Arsip Kategori: Fragmen

Bencana Neoliberalisme di Boetta Toa dan Maulid Akhir Tahun

Seorang ibu berbadan gempal masuk ke bilik kamar, tidak berapa lama dia keluar dan menenteng beberapa bungkus kantungan hitam. Tanpa pikir panjang, bungkusan itu dibagi-bagikannya kepada orang-orang yang beranjak pulang.

Saya yang duduk tak jauh dari pintu masuk, sudah tahu isi kantungan itu. Saya hanya menatap peristiwa itu sebagai bagian dari tradisi yang selama ini ditemukan ketika merayakan kelahiran nabi terakhir.

Peristiwa itu menandai merayakan Maulid Nabi adalah suatu cara untuk berbagi kebahagiaan, berbagi berkah. Sokko, makanan yang terbuat dari beras ketan itu tidak semata-mata tanda biologis belaka, melainkan sebagai simbol silaturahim. Suatu tanda umat Muhammad mengikat kembali simpul-simpul kekerabatan.

Begitulah, malam itu saya berkesempatan ikut merayakan hari kelahiran baginda Rasulullah di kediaman Sulhan Yusuf, di Bantaeng. Setelah sebelumnya kami melantunkan syair puja-pujian atas kelahiran manusia suci berabad-abad lalu.

“Saya ingin mengembalikkaan tradisi Barasanji ke rumah-rumah,” ucap Sulhan Yusuf sebelum acara dimulai.

“Sekarang tradisi Maulid sudah banyak berubah ketika dirayakan oleh institusi-institusi formal.”

Begitulah petikan obrolan yang masih sempat saya ingat.

Malam itu beberapa orang belum beranjak pulang. Di antaranya duduk  berdiskusi menyambung perbincangan siang tadi, sambil menyalakan rokok. Selang berapa lama senampan gelas berisikan sarebba dibawa Sulhan Yusuf dari bilik belakang. Di tangan kanannya masih ada setengah ceret persediaan ketika sewaktu-waktu ada yang meminta tambah.

Saya hanya ikut mendengar diskusi yang berlangsung alot. Sembari menahan kantuk merebahkan badan di dinding rumah. Tidak lama berselang, Javid, satu-satunya anak lelaki Sulhan Yusuf datang menghampiri.

“Masih ada Sarebba, Abi?”

***

Inti dari dialog itu saya kira seperti yang dikemukakan Mahbub di akhir diskusi sore yang mendung. Kedaulatan dan kemandirian negara menjadi poin penting dari telikungan neoliberalisme. Tanpa itu, kehadiran negara hanya menjadi kaki-tangan dari agenda-agenda neoliberal selama ini.

Negara, intrumen kekuasaan yang sejatinya harus berdaulat, ketika berhadapan dengan neoliberalisme, mesti mendahulukan kepentingan warga negaranya dibanding kekuasaan pasar yang sering kali banyak merinsek masuk mengguyah tatanan kenegaraan.

Itulah sebabnya di bawah kebijakan liberalisasi, swastanisasi, dan privatisasi yang menjadi prinsip kerja neoliberalisme, negara harus mampu mengelola kebijakannya tanpa harus kehilangan kendali atasnya. Itu artinya, di hadapan pasar sebagai satu-satunya kekuatan ekonomi selama ini, politik kenegaraan penting bagi negara-negara yang ingin membangun kemandirian.

Agenda besar konsep neoliberal sesuai dengan Konsesus Washington, dirumuskan John Williamson di tahun1989. Konsensus Washington bertujuan sebagai mekanisme reformasi bagi negara berkembang jika ingin menyetarakan diri seperti negara-negara maju.

Konsesus ini melahirkan 10 item agenda besar liberalisasi ekonomi. Pertama, disiplin anggaran pemerintah (ingat kebijakan perdana, menteri keuangan Sri Mulyani ketika resmi bergabung di Kabinet Kerja Jokowi-JK!). Kedua, pengerahan pengeluaran pemerintah dari subsidi ke belanja sektor publik, terutama sektor pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan (ini yang menjelaskan mengapa institusi pendidikan diarahkan seperti pengelolahan swasta). Ketiga, reformasi pajak.

Keempat dan enam item lainnya berturut-turut: tingkat bunga yang ditentukan pasar dan harus dijaga positif secara ril, nilai tukar yang kompetitif, liberalisasi pasar, perlakuan yang sama antara investor asing dan domestik untuk menarik investasi asing, privatisasi BUMN, deregulasi aturan main pelaku pasar, dan keamanan legal bagi hak kepemilikan.

Ciri khas konsep neoliberal adalah mengusung ide pasar bebas, tetapi bukan berarti persaingan yang tercipta di pasar berlangsung secara bebas. Dengan kata lain, kebebasan ekonomi yang terjadi adalah kebebasan bagi korporasi bukan bagi masyarakat.

Itu sebabnya, senjata neoliberalisme dalam merealisasikan agenda besarnya yang menjadi item liberalisasi menggunakan kekuatan aktor utamanya yaitu IMF, WTO, dan Bank Dunia.

Melalui tiga lembaga internasional ini agenda neoliberal kerap membangun “hubungan kemanusiaan” terhadap negara dunia berkembang berupa bantuan program-program pemberdayaan demi pemerataan ekonomi dunia. Walaupun dengan dalih pemerataan ekonomi, tetap saja pemerataan yang dimaksud adalah keuntungan kapital bagi kepentingan negara-negara maju.

Kira-kira begitulah diskursus yang berkembang dalam dialog akhir tahun oleh Boetta Ilmu-Rumah Pengetahuan. Komunitas yang berdomisi di Bantaeng ini, sengaja mengakhiri akhir 2016 dengan mengundang beberapa elemen masyarakat Bantaeng di bawah tajuk Dialog Akhir Tahun, Persembahan Akhir Tahun.

Saya mendapat kesempatan mewakili Paradigma Institute Makassar menjadi pemantik selain Mahbub Emha Alahyar, direktur Bonthain Institute Bantaeng.

Dialog ini merujuk kepada buku Petaka Neoliberalisme: Membongkar Proyek Pembangunan Sosial Sebagai Kuda Troya Neoliberal yang sengaja dibedah di Balla Lompoa Letta.

Di sela-sela persiapan acara, Sulhan Yusuf mengemukakan kegiatan seperti ini akan rutin dilakukan setiap bulan. Ketika berdiskusi di teras rumahnya, Sulhan berharap, Boetta Ilmoe, komunitas yang dirawatnya bersama pemuda-pemudi Bantaeng, bisa menjadi wadah tempat semua orang bertukar pikiran, membangun silaturahmi pemikiran.

“Saya ingin Boetta Ilmoe jadi semacam tempat kembali pegiat sosial Banteng, untuk membesarkan masyarakat Bantaeng.” Ungkap Sulhan Yusuf.

Saya kira, komunitas semacam ini yang perlu dilipatduakan, semacam rumah pemikiran, ruang bersama tempat segala kepentingan didialogkan. Kemudian merumuskan suatu program yang memiliki visi memajukan daerah tanpa harus kehilangan lokalitasnya.

“Barangkali ada maksud mengapa kita melakukan kegiatan ini di Balla Lompoa? Mungkin ingin menegaskan bahwa kebudayaan adalah benteng terakhir segala ancaman yang berbau neoliberal.” Begitu kira-kira suatu ucapaan salah satu peserta kala diskusi berlangsung.

“Saya berharap ruang publik di Bantaeng dimanfaatkan Boetta Ilmoe untuk kegiatan seperti tadi itu (dialog publik), itulah sebabnya mengapa Balla Lompoa yang dipilih sebagai tempat kegiatan.” Beber Sulhan Yusuf  sebelum beranjak shalat Magrib.

Ruang publik memang, juga menjadi arena yang sarat persitegangan. Era kiwari, tempat-tempat umum menjadi ruang eksterior yang menyuplai hasrat hedonistik masyarakat. Imbasnya, jamak ditemui ruang publik malah menjadi arena pertukaran modal tinimbang gagasan.

Kapitalisasi ruang semacam inilah yang mesti dialihmaknakan setiap komunitas berbasis gagasan dan gerakan, menjadikan ruang publik semata-mata ruang diskursif. Ini penting dikarenakan seharusnya ruang publik menjadi media masyarakat untuk meningkatkan dimensi interiornya dibanding eksteriornya. Dengan begitu, ruang publik hadir untuk  mengangkat dan mewarisi “pengetahuan lintas generasi” yang menjadi pembatinan kolektif masyarakat.

Jika merujuk kepada Pierre Bourdieu, sosiolog Perancis, masyarakat adalah aktor yang memiliki perangkat episteme, dan paling memungkinkan merebut dan menciptakan ruang antara yang dimediasi habitus.

Dengan kata lain, habitus yang diciptakan masyarakat memungkinkan setiap aktor memiliki kewenangan yang sama mendaur ulang setiap modal sosial yang dimiliki demi peningkatan kapasitas pemahaman masyarakat itu sendiri.

Syahdan, ruang publik di mana pun mesti diterjemahkan ulang berdasarkan kerangka kerja berbasis “pencerahan” dan “pergerakan” seperti yang menjadi tujuan utamanya, yakni menggerakkan gagasan dan wacana

***

“Buku ini memiliki satu kekurangan, tidak jelas memaparkan apa petaka dari neoliberalisme itu sesungguhnya,” Mahbub membeberkan kekurangan buku yang diacungkan tangan kirinya. Di hadapannya, peserta dialog nampak serius menunggu petaka macam apa yang ingin dijelaskan pria murah senyum ini.

Saya yang duduk di sampingnya dibuat kaget. Bergegas bersiap mencatat enam petaka neoliberal yang disebutkan Mahbub secara lantang:

Pertama. Disebut bencana akibat neoliberalisme merusak tatanan alam berpikir bangsa. Ketika ideologi berbangsa dirusak dengan semangat individualisme. Jika cara memahami dunia diperantai dengan cara pandang yang menjunjung kebebasan moral.

Kedua. Menghancurkan kedaulatan dan kemandirian bangsa. Ketergantungan secara ekonomi bagi negara berkembang terhadap negara maju berimbas kepada pudarnya kedaulatan dan kemandirian. Situasi ini sudah dimulai dari era Orde Baru hingga sekarang dengan warisan hutang yang semakin hari semakin bertambah.

Ketiga. Petaka neoliberalisme ditandai dengan dikeruknya aset-aset negara berupa sumber daya alam ataupun aset-aset kekayaan lainnya.

Agenda utama neoliberalisme dalam privatisasi aset-aset merupakan cara menguasai kekayaan Indonesia. Periode 1991 – 2001 pemerintah Indonesia 14 kali memprivatisasi BUMN dengan jumlah 12 BUMN yang diprivatisasi. Periode 2001-2006 pemerintah juga 14 kali memprivatisasi BUMN dengan 10 BUMN yang diprivatisasi. Pada tahun 2007 pemerintah melalui Komite Privatisasi memutuskan untuk memprivatisasi 34 BUMN dan melanjutkan privatisasi 3 BUMN yang tertunda pada tahun2007 sehingga total BUMN yang diprivatisasi sebanyak 37 (www.jurnal-ekonomi.org).

Keempat, dan dua petaka lainnya yaitu: Semakin banyaknya kaum miskin, pengangguran dan lapangan kerja yang kompetitif, hancurnya tatanan moral dan sosial yang ditandai dengan cara hidup hedonistik dan korup, dan generasi muda yang bodoh dan apatis akibat kebijakan pendidikan yang tidak berpihak kepada golongan kelas bawah.

***

“Mohon maaf karena saya terlambat menghadiri kegiatan ini,” suara seorang perempuan remaja ketika diberikan kesempatan terakhir untuk bertanya, “saya tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakan tadi, tapi kenapa dari tadi disebutkan jika Indonesia selalu peringkat nomor dua dari bawah?”

Saya tidak tahu berdasarkan kriteria dan segi apa Indonesia mengalami urutan terbawah dari pertanyaan anak SMA perempuan itu. Tapi, seperti yang saya rasakan, menjawab rasa keingintahuan dari anak ini, tidak sesederhana yang dibayangkan.

Begitulah, pertanyaan itu dibiarkan tidak terjawab. Di akhir penutup acara, Sulhan Yusuf berpesan jika pertanyaan siswi perempuan itu harus ditindaklanjuti melalui grup Boetta Ilmoe via facebook.

Tak lama berselang, sore berlahan-lahan berubah gelap. Masjid-masjid berkumandang. Magrib telah tiba.

Komplen dan Literasi

“Andai kota itu peradaban, rumah kami adalah budaya, dan menurut ibu, tiang sarinya adalah agama.”  (Faisal Tehrani).

Penabalan tutur dari Faisal Tehrani, seorang pengarang di bidang fiksi-sastra: cerpen, puisi, dan naskah drama, berkebangsaan Malaysia di atas, menutup sajian foto-foto dan testimoni dari masyarakat sekitar, yang dipancarkan pada layar slight, menandai satu dekade perjalanan sekaum pegiat seni-budaya, yang bernama Komplen (Komunitas Pakampong Tulen) di Butta Toa, Kabupaten Bantaeng. Saya amat tergetar dengan penggalan tutur itu, seolah kejatuhan sabda dari langit.

Malam Jum’at, 3 November 2016, sekira pukul 20.00, genderang peringatan satu dekade Komplen, sebagai komunitas yang banyak bergiat di ruang seni-budaya, mulai ditabuh. Menu ganrang bulo, sejenis tari yang dimainkan oleh bocah-bocah lelaki, yang diringi permainan gendang yang atraktif, lalu dilanjutkan dengan tari Pakarena, yang amat gemulai dibawakan oleh anak belia perempuan, menandai acara dimulai. Dan, setelahnya, sekumpulan cilik perempuan, berpuisi dan bernyanyi tentang arti persahabatan, buah karya sendiri yang berjudul Sahabat. Tak ketinggalan, tiga orang remaja putri-pelajar, menembangkan sebuah lagu, Cermin Retak, yang merupakan adaptasi dari puisi Aspar Paturusi.  Para bocah lelaki, cilik dan belia perempuan, serta remaja itu, adalah anak-anak yang kesehariannya bergumul di Teras Baca Lembang-Lembang.

Kiprah Komplen yang sudah lebih satu dekade, terbentuk 25 Juli 2005, kini telah mewujud menjadi tiga tingkatan generasi. Ada Komplen Senior, Junior dan Cilik. Bahkan, Komplen Balita pun nampaknya sudah ada. Pasalnya, di Teras Baca Lembang-Lembang, sebagai markas utamanya, sering hadir balita-balita, yang dibawa oleh para Amma (Ibu), yang tiada lain adalah orang tua dari para pegiat di Komplen. Memang, sejak teras rumahnya Tata’ Pare’ (Syaifuddin Baharu), seorang guru mengaji, difungsikan menjadi Teras Baca, maka nilai gunanya, menjadi sentrum berbagai aktivitas, baik anak-anak Komplen sendiri, maupun para tetuanya.

Tata’ Pare” sendiri, tiada lain adalah ayah dari Baharuddin, namun lebih populer dengan panggilan Dion Syaif Saen. Dan, Dion sendiri merupakan pendiri sekaligus pentolan utama, bersama Khaidir Tumphaka, Ince Bantayank, Jamhari Alfa, Wawan dan Rosdalifha sebagai generasi awal Komplen, yang kemudian disebut Komplen Senior. Dari mereka inilah, fondasi Komplen dalam berkesenian terburai, dalam berbagai bentuk, semisal: mencipta lagu, bermain drama, monolog, berpuisi, tari, pantomim dan bentuk kesenian lainnya.

Sehingga, tidak mengherankan, tatkala peringatan satu dekade ini, anasir-anasir berkesenian yang utuh, ditampilkan dengan apik, sebagai penegasan akan jati diri sebagai suatu komunitas. Makanya, sehabis menu tari, puisi dan pantomim, segeralah tersajikan menu utama, dalam bentuk sajian tembang-tembang balada, yang merupakan karya cipta sendiri. Perlu dicatat, bahwa selama Komplen eksis, telah menelurkan lebih dari 20 judul lagu. Dari lagu-lagu itu, yang sempat disajikan, diantaranya: Aku Mutiara Anak Bangsa (2000), Lestari Alamku (2005), Jelang Malam (2006), Narkotika (2006), Bunga Kehidupan (2007), Seandainya 1 (2007), Seandainya 2 (2008), Kemarin Membohongi Kami (2008), Ammaku (2010), Patinro Anak (2010), Tentang Kita (2011), dan Perempuan Matahari (2013).

Selain lagu yang syairnya dibikin sendiri, juga melakukan musikalisasi puisi, dalam pengertian, syairnya diambil dari para penyair, seperti puisi-puisi Muhary Wahyu Nurba , Ibu, Tidurlah dan beberapa lagi, serta dari Aspar Paturusi, Cermin Retak (2016), yang penyair-penyair itu, tiada lain adalah penyair terdepan dari tanah Sulawesi. Dan, selain itu, mencipta lagu pula, yang didedikasikan buat lagu kebesaran komunitas literasi Boetta Ilmoe Bantaeng, Membacalah-Menulislah, dan lagu Kelas Inspirasi Bantaeng 1,2,3, yang syair-syairnya disumbangkan oleh pegiat literasi dan Kelas Inspirasi Bantaeng.

Tanpa mengabaikan personil yang lain, Dion merupakan personil yang cukup produktif mengarang lagu. Semua lagu Komplen, ada jejak jiwanya di situ, waima ada beberapa lagu dibuat bersama, terutama dalam arasemennya. Dan, buat perhelatan satu dekade ini, semua lagu yang ditampilkan, sepertinya diaresemen ulang oleh para pentolan Komplen Junior, di antaranya: Ashok, Ippank, Baddu, Aldi dan Iccang, serta mendapat dukungan penuh dari teman segenerasinya. Bahkan, kepanitiaan perhelatan kali ini, sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari Komplen Junior.

Bagi saya selaku pegiat literasi, merasa beruntung sekali bersua dengan komunitas ini. Seingat saya, pertemuan perdana dengan Komplen, dalam artian sebagai pementas, ketika saya dan kawan-kawan di Komunitas Hijau Hitam Makasar, menggelar acara reuni, tahun 2009. Kala itu, pemanggung yang kami ajak adalah Komplen dari Bantaeng. Dan, ternyata kemudian, beberapa personilnya, saya kenal baik, soalnya satu kampung. Dari mula inilah, perkawanan saya berlanjut, hingga saya dan beberapa kawan mendirikan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, serupa dengan komunitas literasi di Bantaeng. Hal mana, kawan-kawan kemudian mendapuk Dion selaku kepala suku komunitas Boetta Ilmoe, yang dalam perkembangannya, amat signifikan menggerakkan tradisi literasi di Bantaeng.

Dion sendiri selaku salah seorang motor terdepan Komplen, punya tradisi literasi yang kuat. Bukan saja dalam mengarang syair-syair lagu buat Komplen, tetapi juga sangat telaten dalam menulis puisi dan narasi-narasi yang menggetarkan jiwa. Dan terbuktilah di momentum berikutnya, tatkala Boetta Ilmoe mengumpulkan lalu menerbitkan, syair dan narasinya menjadi satu buah buku, yang bernuansa prosa liris, dengan judul, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2011), yang sewaktu diluncurkan, dirayakan dengan penuh nuansa pementasan.

Momentum peluncuran buku ini, menandakan sebuah pertemuan antara gerakan literasi dan berkesenian plus berkebudayaan, yang muaranya kemudian menemukan buah cintanya, dalam bentuk Teras baca Lembang-Lembang. Sebab, perlu dicatat, bahwa Teras Baca Lembang-Lembang, serupa dengan hasil persetubuhan antara Komplen selaku komunitas seni-budaya dan Boetta Ilmoe sebagai komunitas literasi. Maka benarlah apa yang ditabalkan oleh Gola Gong dalam bukunya, Gempa Literasi, bahwa gerakan literasi yang paling mutakhir, bisa berwujud sinerginya dengan berbagai komunitas, termasuk ikon budaya pop.

Di waktu kiwari ini, telah satu dekade kehadiran Komplen, makin menarik untuk ditelisik lebih jauh ke dalam sari dirinya. Pasalnya, komunitas ini unik, kalau bukan aneh, dikarenakan dari segi latar belakang pendidikan, sosial dan ekonomi jamaahnya, beraneka ragam. Ada yang tidak tamat sekolah dasar, hingga sarjana berbaur tidak ada jarak perbedaan. Dari pegawai negeri sipil, tukang batu, tukang becak, penggali pasir, sampai yang serabutan pekerjaannya, semuanya menyatu tak berkelas. Di sini, pada Komplen, semangat egalitarianisme dijunjung setinggi langit dan kebersamaan dalam spirit altruisme, dipijak sekuat tanah untuk berdiri. Dan, ini tercermin dalam logonya, yang sangat sederhana, hanya berupa tiga titik air, yang maknanya, mengalir seperti air dalam hitungan. Bagi mereka, hitungan itu, hanyalah satu, dua, tiga, maka jadilah, dan kalau tidak jadi kembali ke hitungan satu, karena Komplen tidak mengenal angka empat.

Saya yang hadir pada malam satu dekade Komplen itu, pun oleh mereka diminta untuk memberikan testimoni. Karenanya, saya pun menghentakkan pidato, bahwa Komplen adalah aset daerah, telah menjadi aset Kabupaten Bantaeng. Seyogyanya, marilah menjaganya secara bersama-sama. Baik selaku pemerintah daerah maupun selaku masyarakat Bantaeng. Lebih dari itu, hendaknya Komplen tidak perlu diberikan program-program yang berbau proyek, sebab mereka tidak mahir mengelolah proyek. Pun, janganlah Komplen ditarik ke arena politik praktis, yang cukup sering digalang oleh para politisi, sebab Komplen merupakan komunitas yang tidak pandai bermain politik praktis. Selanjutnya, komplen mesti dipagari oleh kaum agamawan, sebab jangan sampai suatu saat, Komplen diberi stigma sebagai kelompok yang mengumbar hasrat duniawi karena berkesenian, sebab tidak sedikit paham keagamaan yang berkembang belakangan ini, kerjanya menjadi tukang semat bid’ah.

Mengapa demikian? Sebab seperti yang dibilang Faisal Tehrani, yang saya nukilkan di awal tulisan ini, sepertinya amat cocok meletakkan Komplen di dalamnya. Bagi Komplen, seni-budaya adalah rumahnya, dan sari tiangnya adalah agama. Meski kelihatan lahiriahnya anak-anak komplen, sepertinya lebih unik ketimbang masyarakat pada umumnya, tetapi mereka amat berbudaya, bahkan ikut mengusung nilai-nilai budaya. Walau penampakannya seolah urakan, namun mereka adalah anak-anak yang lahir dari rahim sosial keagamaan yang taat.

 

 

 

 

Menggosipkan Buku

Kampus adalah medan perang, yakni memerangi kebodohan untuk mewujudkan mahasiswa yang cemerlang, dan generasi yang memiliki ciri intelektualitas tinggi. Jika sebagai prajurit di medan laga peperangan anggota militer, senjata yang digunakan adalah pistol, senapan, dan senjata api lainnya, untuk menegakkan keamanan rakyat, maka sudah selayaknya seorang mahasiswa menjadikan buku, pena, dan laptop sebagai senjata untuk berlaga di “medan perangnya” yang bernama kampus.

Komitmen yang kuat tentu sangat diperlukan dalam suatu pertempuran untuk memperoleh hasil yang baik. Demikian pula bagi seorang mahasiswa dalam membatinkan komitmennya, untuk selalu mendekatkan bahkan mencintai “alat tempurnya”. Hal tersebut tentu sangat diharapkan agar generasi yang dicita-citakan, bisa terwujud melalui cetakan-cetakan kampus. Mengingat hal itu, turut andil dalam menanamkan komitmen, tentulah tidak hanya sekadar memperkenalkan melalui nasehat dan imbauan lisan, tetapi ikut serta melakukan aktivitas-aktivitas yang mengarah pada komitmen yang akan dibangun.

Salah satu forum yang mendukung pada peneguhan komitmen itu adalah forum bedah buku, yang sudah beberapa pekan hadir di tengah-tengah mahasiswa. Forum ini biasa juga dikenal dengan istilah yang lebih gaul ala generasi kekinian, sebagai ajang pertemuan “Ngegosip Buku”. Di mana tokoh penggeraknya adalah Muchniart AZ dan saya sendiri. Forum tersebut rutin dilaksanakan satu kali dalam sepekan, tepatnya pada pukul 13.00-15.00 wita. Adapun hari dan tempat pelaksanaannya sampai detik ini cukup fleksibel atau berdasarkan kesepakatan setiap pertemuan. Hal tersebut kami putuskan agar forum ini bisa melakukan penyesuaian, dengan jadwal perkuliahan dan tempat-tempat yang mudah dijangkau oleh mahasiswa dari beberapa kampus.

Selaku pengelola forum ini, sehari sebelum jadwal pertemuan dilaksanakan, saya terlebih dahulu akan mengingatkan teman-teman, dengan menginformasikannya melalui akun saya di media sosial. Pengamatan saya selama pertemuan ini diadakan, beberapa wajah baru bermunculan dan menunjukkan semangatnya untuk belajar. Tampaklah pesona kebahagiaan di wajah kami dengan melihat respon positif dari adik-adik mahasiswa.

14344115_1327485310597700_6026070192256458139_n

Pertemuan Ngegosip Buku yang kami selenggarakan pada dasarnya adalah titik balik dari pencitraan atau makna gosip, yang selama ini nyaring terdengar sebagai hal yang negatif, dan mayoritas dilakukan oleh kaum perempuan, bahwa di era perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan yang tumbuh pesat, buku menjadi objek yang sangat seksi untuk diperbincangkan, dan perempuan harus tampil sebagai subjek yang terampil dalam memposisikan diri, serta turut andil di dalamnya. Sehingga dalam pertemuan Ngegosip Buku yang diselenggarakan, mahasiswa perempuan menjadi prioritas.

Forum yang masih terbilang seumuran jangung ini, kami lakukan dengan desain yang sangat sederhana dan santai. Di mana setiap pertemuan akan membedah satu buku yang “bernafaskan” feminitas, sebagaimana beberapa buku yang telah menjadi bahan gosip di forum tersebut, yakni Marriage With Heart, Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, Feminisme untuk Pemula, dan Perempuan di Titik Nol. Beberapa buku yang telah dibedah ini mengangkat cerita seputar kehidupan tentang perempuan, mulai dari kehidupan privat hingga ruang publik, yang tidak jarang diteropong dari sudut pandang budaya, agama, sejarah dan pesan-pesan hikmah yang diangkat dari kisah tokoh klasik.

Sebagai tantangan dari pertemuan Ngegosip Buku, setiap peserta akan mendapatkan giliran membedah buku yang disepakati, termasuk saya dan kak Muchniart. Para pembedah pun wajib menuliskan hasil diskusi atau pertemuan Ngegosip Buku, dan menyebarluaskannya di media sosial, sebagai bentuk penyebaran virus-virus ngegosip positif dalam skala yang lebih luas. Tentunya hal ini juga diniatkan, media sosial menjadi “tabung jejak”, Dalam upaya meningkatkan kualitas mahasiswa melalui gerakan literasi. Langkah yang ditempuh dalam pertemuan ini memang cukup sederhana, tetapi tidak menutup kemungkinan perjalanan ke depannya akan mengalami perkembangan, dan perubahan untuk efisiensi dan efektivitas forum pembelajaran selanjutnya.

Hal lain penting yang menjadi harapan kami, serangkaian aktivitas dalam pertemuan Ngegosip Buku ini, menjadi tahap pengenalan wacana tentang perempuan, sekaligus bagian dari agenda gerakan literasi yang membumi dalam dunia mahasiswa. Sehingga, segala persoalan dan wacana terkait perempuan, akan menjadi target kajian utama, mulai dari hal yang mendasar sebagai pemenuhan kebutuhan peserta.

Melalui medan ini pula, kami dapat terus belajar bersama untuk melatih diri secara terbuka berpendapat, dan berargumentasi berdasarkan referensi yang jelas. Terkhusus bagi mahasiswa, proses ini dapat menjadi pembelajaran bagi mereka, untuk menjalankan fungsi kemahasiswaannya sejak dini sebagai agent of change, dengan bekal mencintai buku dan menjadi pengusung gerakan literasi. Bukan hal yang tidak mungkin, di balik aktivitas yang sangat sederhana ini, akan memberi sumbangsih untuk menutup “kran” mahasiswa yang lahir dari produk-produk instan, melalui prosesnya yang step by step.

Demikianlah kami mengukuhkan harapan besar ini dalam perjalanan panjang pertemuan sederhana, berkumpul di saat terik matahari terang memancar, dan kembali ke peraduan masing-masing di kala matahari mulai mengatupkan kelopak cahayanya.

Ibn ‘Arabi, Para Pencari Ilmu, dan Suatu Rasa Bersalah

Di ruang berisikan puluhan meja dan kursi itu, peserta diskusi tengah duduk santai, sambil menikmati sajian kopi dan fasilitas internet. Saya datang terlambat. Dan entah mengapa, setelah sampai di warkop itu saya merasa gugup. Saya tak seperti biasanya.

Mungkin karena materi yang dibebankan oleh Yusri, owner dari warkop yang bernama Be Smart Coffee itu, membuatku seperti ciut sendiri. Bayangkan, saya harus mengulas pemikiran Ibn ‘Arabi, meski hanya pengantar saja. Dan kita tahu, pemikiran Ibn ‘Arabi begitu rumit, tak sederhana yang kita bayangkan. Tapi saya pikir, ini tugas intelektual yang harus saya emban. Saya hanya memilih mensiasati diskusi ini dengan mengutarakan apa yang saya tahu, dan tidak mengutarakan, atau tidak asal ngomong dari apa yang saya tidak tahu tentang percik pemikirannya.

Soal tugas intelektual, bagi saya adalah “barang” yang tak bisa ditawar-tawar. Justru karena itu, saya berupaya memantik semangat berbagi ilmu dalam diri saya yang nyaris hilang belakangan ini, dengan menerima undangan sebagai pembicara pada majelis ilmu yang digelar Be Smart Coffee, meskipun tawaran materinya rumit bukan main.

Yah, belakangan ini saya sering “ogah” berkunjung, ketika diundang sebagai pembicara di suatu majelis ilmu. Saya menyadari, kelakuan seperti itu sebenarnya tidak baik. Bahkan saya kerap merasa bersalah sendiri ketika melakukan penolakan untuk menjadi pembicara. Di samping juga, kelakuan seperti itu perlahan mematikan etos belajar anak-anak muda kita. Apa jadinya ketika mereka lagi semangatnya menuntut ilmu, lantas kecewa gara-gara pematerinya yang tidak ada? Sangat betul, kelakuan seperti itu sungguh tak baik. Apalagi saat melihat air muka para peserta diskusi Ibn ‘Arabi malam itu, yang kelihatan haus intelektual, kuyakinkan diriku sekali lagi untuk ke depan, tak lari dari tanggung jawab intelektual.

Baiklah untuk tidak berlama-lama, di kesempatan ini, saya berencana mengulang bahasan Ibn ‘Arabi malam yang lalu. Meski tidak sesempurna pada saat diskusi yang lalu, setidaknya garis-garis besar pembahasan itu bisa kuutarakan di sini, untuk yang tidak sempat menghadiri diskusi, ataupun untuk mereka yang mau mengomentari pemahaman sempit saya tentang Ibn ‘Arabi. Oke, the next…..

***

Ibn ‘Arabi. Pesohor tasawuf teoritik itu, setidaknya bagi mereka yang bergulat dalam dunia diskursus, adalah persona yang tak asing lagi. Apa lagi jika mendengar konsep wahdat al-wujud, tajalli dan insan kamil, maka pikiran kita tertuju pada persona yang pemikirannya penuh kontroversi itu. Malam itu saya hanya membahas dua konsep kuncinya. Yakni hanya membahas pokok pemikiran wahdat al-wujud-nya, dan konsep tajalli-nya.

Sebenarnya penyematan wahdat al-wujud untuk konsepnya mengenai ketunggalan wujud, bukanlah berasal dari Ibn ‘Arabi. Cuma ciri pemikiran wahdat al-wujud dimiliki sepenuhnya dalam diskursus metafisikanya. Bahkan, pemantik awal perkembangan diskursus wahdat al –wujud, baik dalam tasawuf teoritik maupun dalam terang metafisika Islam, berasal darinya.

Jika disimak baik-baik konsep pemikirannya, Ibn ‘Arabi hanya menjelaskan bahwa wujud itu tunggal dan esa, bersifat tetap dan tak berubah, tidak sebagaimana semesta kosmik yang berubah, bergerak dan jamak. Bahkan eksistensi segala yang ada di alam semesta, diragukan Ibn ‘Arabi sebagai yang benar-benar “ada”. Ibn ‘Arabi melihat, yang mawujud (yang berada) di alam semesta tidaklah ada-pada-dirinya. Sebab limpahan keberadaan yang plural itu bisa binasa oleh kuasa ruang-waktu, hingga menjadi tiada. Sehingga Ibn ‘Arabi memahami, tak pantaslah segala yang ada di semesta kosmik ini dibilangkan sebagai al-wujud. Hanya satu yang pantas disematkan sebagai al-wujud. Ialah Tuhan. Dan selainnya, hanyalah “ketiadaan”, perihal yang fana. Dari sinilah Ibn ‘Arabi identik dengan wahdat al-wujud.

Yang menjadi soal kemudian, Ibn ‘Arabi memahami, Tuhan sebagai al-wujud itu adalah perihal yang tak terperi. Ia musykil terkatakan oleh bahasa manusia, musykil terpikirkan oleh nalar manusia, dan musykil pula tergambarkan oleh imajinasi manusia. Menjadi soal karena, al-wujud akhirnya tak bisa dipahami, apapun modus pengetahuan yang kita pergunakan. Sehingga ketidakpahaman kita pada al-wujud, atau Tuhan itu sendiri, benar-benar membawa kita pada kondisi absennya pengetahuan kita tentangnya. Dia-pada-diriNya-sendiri adalah suatu kesendirian, suatu yang tak terjamah oleh nalar manusia. Jika kita ingin menggambarkan ketidak terjamanya Dia, maka meminjam istilah suatu hadis Qudsi yang dipakai oleh Ibn ‘Arabi, katakanlah al-wujud itu sebagai “Harta yang tersembunyi”.

Tetapi, redaksi yang lengkap dari hadis Qudsi itu sebenarnya menyiratkan juga suatu kemungkinan untuk mengenali Allah sebagai al-wujud. Di situ diterangkan, “Aku adalah harta yang tersembunyi. Aku tidak dikenal, maka Aku ingin dikenal”. Hal demikian adalah suatu pertanda bagi mungkinnya mengetahuan tentang-Nya.

Di sinilah konsep Tajalli Ibn ‘Arabi dirumuskan dalam melengkapi diskursus metafisikanya. Upaya Allah agar dikenal oleh mahluknya adalah dengan melalui proses “penyingkapan diri” (Tajalli). Dengan tajalli, Allah melimpahkan wujudnya dalam penciptaan mahluk bersama semesta kosmik, melalui proses manifestasi “ke –Diri-an-Nya”, melalui pemancaran cahaya wujudnya yang paripurna dan tak terbatas. Sehingga mahluk tercipta pada segenap limpahan wujudnya, dengan memberikan eksistensi kepada setiap mahluk, sesuai porsi penciptaan mereka masing-masing. Maka dari itulah Allah, sang al-wujud itu, memungkinkan menjelma pada setiap mahluknya, dan menyingkapkan “wajah”-Nya pada setiap mahluknya. Dalam arti memungkinkan untuk dikenali. Yah, Dia lebih dekat dari urat leher kita (QS. Qaff : 16). Dan, di manapun kita menghadap di situ ada wajah Tuhan (QS. Al Baqarah: 115).

Pada konsep tajalli itu, ada dua pokok yang bisa kita urai. Pertama, tajalli adalah suatu konsep kosmologi, suatu proses bagaimana Allah mencipta mahluknya, dan penjelasan asal usul alam semesta ini. Dari sini, Allah adalah al-wujud yang tunggal, esa dan sendiri, melimpahkan wujudnya, menciptakan pluralitas eksistensi, kejamakan realitas. Kedua, tajalli adalah konsep di mana Allah memperkenalkan dirinya kepada mahluknya. Pengenalan itu, selain Dia menyingkapkan “wajah” pada setiap mahluk, juga bisa melalui 99 asma-Nya. Maka dalam 99 asma Tuhan itu adalah upaya simbolisasi, upaya konseptualisasi dalam menggambarkan sifat-sifat –Nya, menggambarkan identitas-Nya agar dikenali mahluk.

Lantas, bagaimana mesti menjelaskan hal tersebut? di satu sisi Ibn ‘Arabi menegaskan ketidak mungkinan pemahaman apapun terhadap Allah sebagai al-wujud. Tapi di sisi lain, Ibn ‘Arabi menegaskan kemungkinan-Nya untuk diketahui. Di sinilah terkadang pemikirannya menuai kontroversi. Sebab, pada konsepnya, cenderung memperlihatkan keadaan yang contradictio in terminis, sehingga menuai prilaku yang multitafsir bagi para pembacanya. Bahkan, Ibn ‘Arabi pernah dituduh sebagai seorang panteis. Sebab konsep-konsepnya memperlihatkan kecenderungan menyamakan antara Tuhan dan mahluk. Sebab bagaimanapun, keberadaan mahluk bukanlah keberadaan yang sejati. Dikarenakan mahluk hanyalah bayangan Allah, limpahan wujud yang seolah-olah plural, tapi sebenarnya tunggal. Bahwa keseluruhan adaan-adaan hanyalah wujud Allah yang tampak jamak dan terpisah-pisah karena diakibatkan oleh tampakan esensi-esensi saja. Maka dari sini, orang-orang seenaknya menuduh bahwa Ibn ‘Arabi memahami mahluk adalah Tuhan juga.

Padahal paradoks dalam pemikiran Ibn ‘Arabi, karena ia contradictio in terminis, maka tak bisa dijustifikasi oleh penalaran absolut seperti apapun. Sebab Ibn ‘Arabi mengakui mahluk sekaligus tidak mengakui mahluk. Ia mengakui pluralitas sekaligus mengabaikannya. Ia mengakui ketidakmungkinan mengenali al-wujud sekaligus mengakui kemungkinan pengenalan terhadap-Nya. Di sini, logika Aristotelian tak memadai lagi untuk memilah-milah pemikirannya pada suatu ketetapan justifikasi yang absolut. Definisi pun tak memungkinkan lagi. Makanya, Ibn ‘Arabi tetap harus ditempatkan pada pemikir di jalan tasawuf. Di mana pencapaian pengetahuan intuitif kadang tak memadai dibahasakan oleh bahasa manusia.

***

Aku hanya menjelaskan itu. Sangat jauh dari sempurna. Bahkan, bisa saja terjadi kesalahpahaman pada saat saya mengurai pemikiran Ibn ‘Arabi. Tapi, bagaimana pun, saya tetap yakin bahwa setidaknya, terselip percikan kecil kebenaran dari penjelasan itu. Dan, suatu kesyukuran, para peserta cukup antusias bertanya, dan mengutarakan pendapatnya sendiri. Diskusi akhirnya tercipta dengan sendirinya, dari sebuah lemparan pertanyaan dari satu orang, menggelinding bagai bola sajlu, lebih besar dan semakin besar muatan bobot diskusinya, hingga diskusi ini harus berakhir oleh waktu yang terbatas.

Tapi setidaknya, “wajah’ Ibn ‘Arabi seperti nampak pada kedirian para peserta. Yakni, “wajah” Ibn ‘Arabi yang haus pengetahuan, sang pencari pengetahuan. Sebagaimana Ibn ‘Arabi yang mendalami ilmu dengan mencari tempat-tempat yang sekiranya berseliweran ilmu pengetahuan di sana, dengan berjalan kaki. Para peserta pun seperti itu. Perbedaannya, mereka belum setangguh Ibn ‘Arabi, yang mampu berjalan ribuan kilo meter untuk mencari guru, mencari hikmah di setiap negara-negara terdekat. Tapi etos mencari ilmu itu ada pada mereka.

Literasi Terasi dan Terasi Literasi

Tidak banyak insan yang mengisi hari libur dengan berbagi kepada sesama. Sebab, bagi kebanyakan orang, liburan adalah buat keluarga, atau setidaknya, menjadi ajang memanjakan diri, mengurus soal-soal pribadi. Tapi, bagi empat pembicara di Seminar Nasional yang bertajuk: “Narasi Kepustakawanan dalam Gerakan Literasi”, yang diselenggarakan oleh IKA Ilmu Perpustakaan dan HMJ Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, memilih menunda liburannya, dan mengada untuk berbagi, membagi apa yang tidak hilang kalau dibagi, ilmu dan pengalaman.

Tepat lima belas menit sebelum pukul 08.00 pagi, bersetuju dengan hari Kamis, 05 Mei 2016, sekena tanggal merah karena libur nasional, Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, saya sudah tiba di gedung Training Centre UIN Alauddin Makassar. Sedianya, acara seminar itu dimulai pukul 08.00, namun karena ada sedikit “gangguan”, tertundalah beberapa saat. Di sela menunggu itulah, saya menyempatkan berbincang dengan Quraisy Mathar, Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, yang lebih dulu hadir di lokasi. Pada perbincangan itulah, soal kehebohan Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, yang melakukan penyiangan koleksi, khususnya skripsi mahasiswa, saya tahu duduk perkaranya.

Empat orang yang saya maksud selaku pembicara, masing-masing: Drs. Muh. Syarif Bando, MM. (Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Minat Baca), Muh Quraisy Mathar, S.Sos. M,Hum. (Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar), Andi Ibrahim S.Ag, SS,M.Pd (Ketua Jurusan Ilmu Perpustakaan UIN Alauddin Makassar) dan Sulhan Yusuf(Pegiat Literasi Sulawesi Selatan). Setiap pembicara, dengan sudut pandang yang berbeda, bahu membahu memprovokasi peserta seminar, yang didominasi oleh mahasiswa dan alumni Ilmu Perpustakaan.

Ada yang menarik dari Syarif Bando, ketika mendedahkan kondisi terkini peta dunia literasi. Menurutnya, kalau dulu, sebelum abad ke-21, dunia sering dibagi menjadi lima benua. Dan, dari patokan inilah kemudian dunia dipotret lebih rinci menjadi perbedaan berdasarkan ras, bahasa, bangsa, dan geografis. Setelah dunia memasuki era internet, hadirlah dunia maya yang mengubah tatanan. Pembagian dunia bergeser ke katagori sejauh mana persentuhannya dengan aspek literasi. Maka dunia pun dibagi menjadi pra literasi, literasi dan pascaliterasi.

Setelah pembicara pertama, giliran berikutnya adalah Quraisy Mathar, dengan topik yang perbincangan agak nyentrik, Terasi dan Literasi. Bagi Quraisy Mathar, dikarenakan oleh pelaksanaan acara ini bertepatan dengan liburan, maka suasana penyajian pun tidak perlu serius. Dan, bukti kesantaian itu, setidaknya tercermin dari judul yang ditabalkannya. Pun, ditambahkannya pula, bahwa kelak nanti di Padang Mahsyar, antara surga dan neraka, bakal ada perpustakaan terbesar, yang dikawal oleh dua sosok “pustakawan”, malaikat pencatat perbuatan baik dan buruk.

Selanjutnya, Andi Ibrahim, yang memberikan perspektif tentang pentingnya mempersiapkan diri, selaku mahasiswa jurusan perpustakaan untuk menjadi pustakawan. Dibutuhkan tenaga-tenaga profesional nantinya, guna mengawal perpustakaan, sebagai kaum profesional,mengingat begitu banyaknya perpustakaan yang membutuhkan tenaga-tenaga yang mumpuni di bidang pengelolaan perpustakaan.

Sebagai pembicara keempat, saya diminta untuk berbicara seputar geliat gerakan literasi di Sulawesi-Selatan. Pada sajian saya, lebih banyak membabarkan sisi-sisi pengalaman lapangan dalam mengampu gerakan literasi yang berbasis komunitas. Saya tegaskan di forum itu, bahwa gerakan literasi harus didefenisikan sebagai gerakan sosial, tepatnya sebagai bagian dari Gerakan Sosial Baru (GSB). Sehingga, pada konteks ini, gerakan literasi bisa bergandengan dengan entitas sosial manapun. Gerakan literasi, ibarat flashdisk yang bisa dicolokkan ke pelbagai perangkat pembaca program.

Pada sisi inilah menarik mempertajam gagasan nyentrik dari Quraisy Mathar, tentang Terasi dan Literasi. Saya menangkapnya, gagasan ini penuh dengan jamuan-jamuan ilustratif. Terasi, sebagaimana diungkapkan olehnya, adalah sejenis adonan yang terbuat dari bahan udang, ikan dan bumbu tertentu. Tidak ada kata sepakat mengenai bentuknya, mau bulat, segi empat, lonjong tergantung selera pembuatnya. Namun, ada satu hal yang identik pada diri terasi, baunya menyengat, khas. Kadang tidak disukai, walau tidak sedikit yang membutuhkannya untuk memperenak selera makan.

Begitupun juga dengan literasi, tidak ada defenisi yang baku tentangnya. Yang pasti, satu hal yang menjadi konvensi, yakni: baca-tulis. Literasi sendiri, berkembang mengikuti geliat zaman. Sehingga, di masa kiwari ini, seluruh aspek kehidupan, ditempeli oleh istilah literasi. Maka lahirlah istilah-istilah sebentuk: literasi media, literasi informasi, literasi ekonomi, literasi budaya, literasi politik, dll. Pun, tak ketinggalan tentunya, istilah literasi terasi.

Ketika saya menjadi tawanan ungkapan ilustratif dari Quraisy Mathar, akan Terasi dan Literasi ini, saya pun berspekulasi untuk membabarkan tohokan-tohokan gagasan, dengan mengelaborasi dua penggalan lema itu. Saya memaksudkannya dengan “Literasi Terasi”, bahwasanya terasi mesti dijelaskan secara tekstual, agar tersajikan pengertian baku akan benda itu. Ketika terasi itu diaktualkan fungsinya untuk memperenak selera makan, maka pada poin inilah, arti penting terasi menemukan bentuk fungsionalnya. Terasi dengan sengatan baunya, telah memasuki seluruh lapisan masyarakat. Tidak kenal dengan istilah masyarakat kelas atas, menengah dan bawah, semuanya telah bersetubuh dengan terasi. Terasi tidak lagi menjadi konsumsi masyarakat tertentu, tapi sudah memondial, termasuk tempat mendapatkannya, tidak lagi di pasar tradisional, di pasar modern sekalipun terasi ikut nangkring menawarkan diri.

Bila sudah sebegini keliaran imajinasi saya, maka taklah menjadi masalah kemudian, tatkala saya ajukan istilah lain, “Terasi Literasi”, bahwa semestinya literasi meniru terasi dalam gerakan eksistensialnya, memformulasi diri sedemikian rupa, bermetamorfosis dalam bentuk sesuai lingkungan yang membutuhkannya. Sehingga, gerakan literasi — manakala sudah seperti terasi, sewujud terasi literasi– pun harus dijalankan dengan bentuk-bentuk, mulai dari yang paling awal hingga paling mutakhir. Dengan begitu, gerakan literasi akan menghidu segenap lapisan sosial, bergantung pada konteks adaptasinya. Jadi, literasi terasi dan terasi literasi, adalah dua sejoli gagasan ilustratif yang mesti dibumikan.