Arsip Kategori: Kembara

YANG TERSISA DARI PEMILU 2019

Masih terhitung pagi jelang siang. Matahari sudah mulai sedikit menyengat pori-pori tanganku yang sedang memegang stang sepeda yang sedang kugowes. Tiba-tiba handphone-ku bergetar dan langsung tersambung ke headset yang nempel di telingaku. Halo.. suara sedikit lembut menyapaku dari kejauhan sekira empat puluh kilo meter dari tempatku membalas sapaan via telepon genggam itu. “Kakak ditunggu ya..”. “Baik saya akan datang tapi agak siang,” balasku cepat dan singkat.

Adik-adik kelas waktu sekolah menengah atas dahulu kala, sedang mengadakan reunian dengan jumlah yang terbatas di rumah empangnya di sebuah kabupaten berbatasan kota Makassar, satu kabupaten terdekat dari kota Makassar. Saya tiba di kerumunan mereka persis waktu makan siang, bahkan sebagian dari mereka sudah pada suapan terakhirnya. Kampung yang kutuju ini sesungguhnya masih kawasan kampung ibuku juga, kampung-kampung yang berbatasan dengan kabupaten kepulauan yang sepanjang mata memandang terhampar hamparan tambak atawa kerap pula dibilangkan empang.

Dari orang orang yang berkumpul sekira lima puluhan orang, terselip pula dua di antaranya caleg (calon anggota legislatif). Keduanya caleg dari kota Makassar. Dalam perbincangan yang riuh dipenuhi canda tawa aku iseng menanyai kedua caleg yang masih terbilang adik angkatan saya itu. “Berapa anggaran yang engkau siapkan dalam bertarung Pemilu ini?” Keduanya hampir bersamaan menjawab dengan mimik wajah santai, “berkisar tiga ratus hingga enam ratus juta, Kak.” “Saya tidak melakukan serangan Fajar kak karena anggaran saya terbatas, hanya menyediakan berupa-rupa souvenir yang kami bagikan ke konstituen, seperti sarung, mukena, sejadah, dan lain-lain.” Di samping tentu memberi uang bensin dan makan bagi peluncur-peluncur di lapangan yang membantunya. Kalau lawan-lawan kami yang berkantong tebal mereka memang menyiapkan anggaran di atas satu milyar jelasnya.

Tuan rumah menjelaskan bila di sekitar kampung ini hampir setiap hari kedatangan tamu asing. Atawa tamu yang keluarga besarnya beranak pinak di kampung ini yang menjelang pemilu baru rajin mengunjungi sanak-saudaranya demi kepentingan suara. Lihat saja mobil-mobil baru yang lalu lalang itu mereka bukan penduduk kampung sini. Mereka adalah para caleg atawa “peluncur” yang sedang bersaing dan bekerja keras mendekati dan membujuk para konstituen dengan berbagai strategi dan iming-iming.

Saya meninggalkan kampung tambak ini setelah penduduknya usai melaksanakan ibadah salat Zuhur di masjid dan surau yang tidak terlalu sulit menemukannya. Hal ini juga mungkin penanda atau sebuah indikator bila penduduk kampung ini terkategori sejahtera. Sepanjang jalan masjid-masjidnya yang kulintas lumayan bagus secara fisik untuk tidak mengatakannya mewah. Di perjalanan sebelum memasuki ibu kota kabupaten, kuputuskan untuk menyambangi adik kandungku. Tempatnya di salah satu desa atawa kampung di pelosok bagian timur kabupaten ini yang besisisan dengan bukit-bukit karst nan indah. Kendaraan kubelokkan mengarah ke timur menyusuri jalan-jalan beton yang tak seberapa lebar tapi cukup dilewati kendaraan roda empat bila bersisian kiri dan kanan. Realitas ini juga penanda bila pembangunan di kabupaten ini secara fisik sudah cukup distributif dan merata.  Kampung tempat kelahiran ayah saya ini terbilang kampung paling tepi dan paling ujung.

Kala kendaraan yang kutumpangi kutepikan di pagar rumah adikku, dari rumah-rumah tetangganya yang masih terbilang kerabat, mengintip-intip dari jendelanya. Pun orang-orang yang sedang mengaso di sebuah balai-balai, di pojok pekarangan sebelah rumah adikku setelah menunai salat azar bersama di surau. Aku belum sampai dan duduk di beranda rumah panggung adikku, sekonyong-konyong para tetangga itu berdatangan. Melihat kedatangan mereka, adikku tersenyum lebar seraya berseloroh bercanda dengan bahasa bugis yang berarti: “Bukan caleg ini yang datang, tapi kakak saya dari Makassar.” Dengan mimik kecele kerabat saya itu tetap datang dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman sebagai tradisi yang entah kapan dimulainya.

Melihat fenomena yang berkembang sejak lama di negeri ini, cara-cara culas untuk meraih kekuasaan politik masihlah mengemuka. Money politic, serangan fajar, dan iming-iming material yang menyerbu para konstituen masih sangat massif dari kota hingga ke pelosok desa. Para caleg masih menyiapkan segepok anggaran untuk meraup suara. Inilah salah satu penyebab sehingga korupsi di negeri ini masih susah hengkang dari berbagai sumber-sumber anggaran. Para politisi dan partainya masih bermain di ruang-ruang gelap untuk meraih kekuasaan.

Secara umum, sesungguhnya politik menghendaki sebuah proses bergulirnya pembagian kekuasaan di dalam masyarakat. Bentuk praktisnya pembuatan keputusan khusus  dalam sebuah Negara. Yakni keputusan yang diambil dari rakyat (perwakilan) dan untuk rakyat (yang diwakili). Sebagaimana sinyalemen Aristoteles, bahwa muara sebuah proses politik adalah usaha yang mengajak warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Muara dari keseluruhan proses demokrasi dalam politik adalah bagaimana kebaikan bersama dapat terwujud dalam berbangsa dan bernegara, yang secara substansial di mana rakyat memberikan amanat dan tanggung jawab kepada pihak-pihak yang mendapatkan dukungan oleh rakyat kebanyakan.

Jadi tanggung jawab moral, spiritual, dan konstitusi melekat di dalamnya. Tapi, lihatlah realitas yang ada, di mana modal dan politik uang masih menguasai dan merajai proses demokrasi dan politik kita, dari level paling bawah hingga di pucuk. Nampaknya sudah jamak di negeri ini bahwa secara etis partai politik juga tidak berperan dengan baik, mulai dari proses pengkaderan dan rekruitmen anggotanya. Yang dipikirkan adalah bagaimana meraih suara sebanyak-banyaknya dan partainya menjadi pemenang di setiap Pemilu (pemilihan umum).

Jadi perpenjelasan singkat dan sederhana di atas berkenan fenomena pada paragraf yang lebih awal, menunjukkan secara substansial arah dan pergerakan demokrasi dan politik di negeri yang kita cintai ini sudah mulai menyimpang. Belum lagi bila kita memotret fenomena pertikaian dua pendukung paslon presiden pada pemilu yang baru saja dihelat, menyisakan rangkaian dendam kesumat. Bagaimana tidak di masa kampanye semua cara digunakan untuk menjatuhkan lawan politik. Dari hoaks, fitnah, dan berbagai cara-cara Machiavellian digunakan untuk menghancurkan lawan. Dan bila kita cermat mengamati, bahwa sesungguhnya fenomena ini telah berlangsung sejak pemilu 2014 dihelat. Hoaks dan fitnah merebak bak bola api menggelinding di jerami kering seolah tiada akhir hingga pemilu tahun 2019 ini.

Bila membaca sejarah pendahulu kita, bagaimana mereka mempraktikan politik beradab dan saling menghargai pastilah terkesan elok. Contoh paling kecil bila kita menengok sepak terjang, Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir, dan Kasimo, mereka paling tidak memberi contoh-contoh selain persahabatan mereka di luar panggung dan khasak-khusuk politik, mereka juga mempertontokan sebuah gerakan politik narasi dan literasi yang baik. Mereka tidak hanya berpolemik di mimbar-mimbar kampanye dan sejenisnya, tapi juga secara intelektual berpolemik lewat tulisan di berbagai media maupun buku yang mereka tulis sendiri. Sebagai politik gagasan yang mestinya menjadi budaya yang mesti diteruskan oleh para politisi negeri ini. Bukan hanya pandai merangkai hoaks dan fitnah yang secara psikologis bisa berdampak sangat buruk pada generasi penerus bangsa ini.

Beberapa menit sebelum aku meninggalkan mukim adikku, seseorang berusia parubaya menanyaiku dengan suara sedikit bergetar. “Apakah betul kalau si Fulan yang menang dalam pemilu ini, suara adzan akan ditiadakan di masjid-masjid?” Aku terhenyak dan sedikit senyumku kukulum untuk semua kerabat yang hadir di mukim adikku sore itu, lalu kuberi penjelasan secara proporsional bahwa dua paslon presiden yang sedang berkompetisi dalam pemilu kali ini, adalah muslim semuanya, mereka salat, puasa, naik haji, membayar zakat, dan melaksanakan berbagai ritual Islam lainnya.

Imam Al-Mawardi dalam kitab Adab al-Dunia wa al-Din mengutip perkataan Imam Ali bin Abi Thalib, bahwa; “Kehidupa di dunia ini memang unik. Diumpamakan pertandingan, dalam pertandingan ada harapan untuk menang, serta ada trik dan perjuangan yang akan dipraktikkan. Dalam pertandingan-pertandingan ini, semua orang harus mengikuti aturan serta menjauhi larangan, karena jika hal itu dibutuhkan maka ia akan melakukan kecurangan yang akan dilanggar, bahkan mencelakakan lawan-lawannya. Maka ini sangat berbahaya.”

Lebih lanjut Imam Al-mawardi menjelaskan, bahwa ada dua hal yang selalu dihindari Imam Ali. Yang pertama mengikuti hawa nafsu karena akan menutup diri dari kebenaran, dia tidak akan menerima jenis apapun kebenaran itu. Pada hakekatnya nafsu selalu berhubungan dengan hala-hal negatif, maka segala macam kebenaran tak akan diterimanya, sehingga berujung pada pembenaran yang sesuai dengan hawa nafsunya. Kedua, terlalu panjang dalam berangan-angan yang tak berguna. Kekhawatiran ini akan melalaikan kehidupan akhirat. Kemenangan abadi adalah kemenangan yang diliputi kebajikan dan penuh cinta.

Butta Toa Butta Literasi (Memantik semangat dari Desa Labbo)

Tentu bagi sebagagian besar pegiat literasi sangat familiar dengan kisah Jhon Wood yang hidup di abad ini. kisah hidupnya yang sangat menginspirasi dan menggerakkan banyak orang di planet Bumi ini. Tersebutlah seorang lelaki berusia tiga puluhan tahun dengan posisi mentereng di sebuah perusahaan yang mentereng pula. Dialah Jhon Wood, yang posisi terakhirnya di Microsof sebagai salah satu Direktur untuk wilayah Asia Pasifik yang berkantor di pusat keriuhan Kota Hongkong.

Kala suatu waktu di tahun 1998, dia mengambil cuti tahunannya dan berlibur ke sebuah desa terpencil di Himalaya yang akhirnya mengubah jalan hidupnya dengan sangat ekstrim. Dari pengembaraanya saat liburan itu, Ia menemui beberapa guru dan mengunjungi beberpa sekolah, menyaksikan sekolah-sekolah yang tidak memiliki buku. Dari situlah bermula perubahan itu. Setelah pulang dari berlibur Ia mengirim e-mail ke teman-temannya secara terbatas meminta buku-buku bekas untuk disumbangkan ke sekolah-sekolah di daerah terpencil yang telah dikunjunginya itu.

Alhasil lelaki penyuka traveling atawa berwisata ke daerah-daerah terpencil itu, resign dari tempatnya  kerjanya dan mendirikan sebuah organisasi nirlaba bernama Room to Read. Dari keputusannya yang ekstrim itu, hingga konon pacarnya yang hendak Ia nikahi tak lama lagi memutuskannya dan meninggalkannya. Untungnya keluarga dekatnya cukup mendukungnya sehingga beberapa tahun setelah resign dari kantornya dan memilih bekerja sebagai social worker, membiayai gerakannya dari tabungannya dan support dari keluarga dan teman-temannya, membuahkan hasil yang mengagetkannya.

Sebab, hanya beberapa tahun kemudian Room to Read mengalami perkembangan sangat pesat yang jauh dari dugaannya sendiri. Bantuan buku dan dana mengalir tiada henti ke rumah yang sementara dijadikan sebagai kantornya dan rekening lembaga nirlaba yang Ia bangun itu. Dalam usia sebelas  tahun terakhir, Room to Read, telah mendirikan perpustakaan di pelosok beberpa negeri sebanyak dua belas ribu perpustakaan. Menerbitkan lebih dari sepuluh juta buku, dengan penulis lokal dan dalam bahasa lokal pula. Mendirikan lebih dari seribu lima ratus sekolah, dan mendukung lebih dari tiga belas ribu anak perempuan untuk menyelesaikan studinya di sekolah menengah atas.

***

Suatu pagi jelang siang saya mengunjungi sahabat saya di tempat semedinya begitu Ia kerap membilangkannya. Sebuah toko buku di bilangan Jalan Perintis Kemerdekaan, tepatnya di kompleks Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Bila hendak mengunjunginya harus kusiapkan waktu yang sangat luang, sebab berbincang dengannya membutuhkan waktu yang panjang apatah lagi bila membincangkan gerakan literasi, sepertinya waktu tak pernah cukup. Begitulah, kala hari jumat itu aku kembali mengunjunginya di pagi jelang siang. Dalam perbincangan kali ini, di samping mengabari padaku tentang beberapa rumah baca baru yang dirintis kawan-kawan di beberapa Desa di Bantaeng serta geliat dan semangat gerakan literasi di Butta toa itu yang semakin moncer. Dan yang sangat specsal pertemuaku kali ini adalah, aku diberi sebuah buku yang berjudul, Literasi Dari Desa Labbo.

Hatiku berbunga-bunga menerima buku itu. Setelah kubuka-buka dan mendaras beberapa tulisan dan pengantarnya, aku semakin yakin bahwa kelak Kabupaten Bantaeng ini adalah salah satu kabupaten pemantik gerakan literasi di Indonesia dengan berbagai dinamikanya. Dan bersyukur pula bahwa kabupaten ini telah di karuniai dua pemimpin yang gayung bersambut, pemimpin muda, cerdas dan sangat peduli. Dari Nurdin Abdullah ke Ilham Azikin.

Buku Literasi Dari Desa Labbo adalah sebuah buku pemantik dari Desa Labbo yang diharapkan menularkan virusnya ke desa-desa lainnya. Substansi isinya cukup variatif. Buku itu bercerita mulai dari sejarah Desa Labbo dan dinamika pembangunannya, hingga cerita-cerita rakyat Desa Labbo itu sendiri.

Setahuku di negeri ini, baru Desa Labbo inilah yang memulai gerakan literasinya menyusun sebuah buku yang penulisnya dari warga desa itu sendiri. Gol A Gong, seorang penulis produktif di negeri ini pernah menghimpun banyak tulisan dari komunitas literasi yang dia bangun dengan judul Gempa Literasi, dari kampung untuk Nusantara dan bukunya walau cukup tebal dengan harga yang cukup “mahal” tapi tetap laris manis di pasaran.

Bedanya, adalah komunitas yang di bangun dan dirintisnya lama bersama para penulis yang relative sudah jadi, tapi Desa Labbo melahirkan penulis dari warganya yang tulen warga desa, yang relatif belum begitu lama bersentuhan dengan gerakan literasi. Semangat dan dedikasi kepala Desa dan warganya perlu diapresiasi, apatah lagi konon gerakan literasi yang dibangunnya juga menggunakan dana desa yang sedang moncer-moncernya ke seluruh desa di negeri ini, di tengah banyaknya kepala desa yang tidak tahu hendak diapakan atawa bagaimana menghabiskannya dan bermanfaat untuk pembangunan dan warga desanya, makanya tidak sedikit kepala desa saat ini yang bersoal dengan hukum karena keliru dalam menggunakan dana desanya dan berujung ke bui, entah Ia sengaja atawa tidak.

Aku juga pernah diundang ke kabupaten yang berjuluk Botta Toa ini, untuk sharing dengan kawan-kawan pegiat literasi di sana berkenaan dengan literasi dan pernak-perniknya terkhusus tentang kepenulisan. Respon dan semangat kawan-kawan di sana memang sangat hangat sebagai sebuah indikator bahwa gerakan literasi di kabupaten ini bak ketemu buku dan ruasnya. Tidak hanya warga dan generasi mudanya, tapi juga pemerintahnya sangat well come  sehingga semua stakeholder padu padan mengawalnya.

Tentu moncernya gerakan literasi di Butta Toa tidaklah terjadi secara kebetulan, tapi juga melalui proses panjang yang tidak mudah dan sederhana namun ada seorang pekerja keras yang sangat kuat keinginan dan dedikasinya. Setahuku gerakan literasi di Kabupaten Bantaeng sebagai tempat lahir dan tumpah darahnya ini telah dirintisnya sejak beberapa tahun silam. Berupaya sekuat tenaga memprtemukan dan mempersatukan ruas-ruas dan tulang-tulang yang berserakan.

Waktu akhir pekannya yang mestinya untuk keluarga dihabiskannya untuk menongkrongi dan mengawal gerakan literasi di kampungnya. Tokoh itu sahabat saya sejak mahasiswa yang aku kenal memang ulet untuk sesuatu yang ditekuninya. Kerja-kerja gerakan literasi yang ditekuninya sejak bertahun-tahun lamanya kerap pula dibilangkannya sebagai gerakan atawa kerja-kerja altruist. Gerakan sukarela yang tulus untuk kepentingan banyak orang. Semoga dengan hadirnya buku Literasi Dari Desa Labbo menjadi pemantik semakin moncer dan meluasnya gerakan literasi di Butta Toa khususnya dan tidak menutup kemungkinan merambahi kabupaten-kebupaten lainnya di Sulawesi selatan dan Indonesia.

***

Hari jumat, usai salat magrib, barulah aku meninggalkan tempat semedi sahabtaku ini. seharian duduk berdua membincangkan gerakan literasi, dari merintis taman baca baru hingga kepenulisan dan melahirkan buku baru sebagai bagian dari gerakan literasi yang kami tekuni selama ini. ketika masuk berbincang pada tema-tema kepeloporan merintis pendirian taman baca di kampung kami masing-masing, di situ tergelitik kecemburuan melandaku, sebab aku jauh tertinggal, dan sekaligus kujadikan pemicu untuk selalu bersemangat, berupaya melakukan rintisan pendirian rumah baca dan melakukan gerakan literasi di kampungku yang sebenarnya juga telah kurintsi walau hingga saat ini masih berjalan belum signifikan.

Temaram senja menemani perjalananku kembali keperaduanku. Hatiku lapang dan segudang inspirasi menemaniku pulang. Seperti itulah setiap kali usai berbincang dengan sahabatku itu. Makanya, untuk menemuinya selalu kusiapkan waktu panjang agar banyak yang bisa kuserap dalam setiap kali pertemuan itu. Di Dunia ada Jhon Wood dengan Room to Read-nya, di Jawa Barat ada Gol A Gong dengan Forum Taman Baca Masyarakat-nya , di Butta Toa dan Sulawesi Selatan ada Sulhan Yusuf dengan Bank Buku Boetta Ilmoe-nya.

***

Di ketinggian 7000 meter dpl desa-desa di Himalaya, pada sepuluh tahun berdirinya Room to Read, Jhon Wood, memboyong Ibunya tercinta, Carolyn ke desa itu untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 79, sebagai bentuk kesukuran yang selama ini mendukungnya dalam berbagai hal. Persis kala Jhon Wood membantu merintis pendirian perpustakaan sekolah di Nepal yang ke sepuluh ribu dalam tenggak waktu sepuluh tahun gerakan literasi yang dirintisnya. Ah.. indah sekali.

 

Makassar, Februari 2019.

Sepanjang Jalan, Kopi

Salah satu yang saya syukuri bekerja di rantau, khususnya di perusahaan tempatku mengais nafkah saat ini, hingga jelang usia pension, perjalanan dan mutasi dari site satu ke site lainnya. Saya selalu dipertemukan dengan orang-orang baik, dan khususnya penikmat dan pencinta kopi. Pernah menemui kelompok pembuat kopi goraka atawa dibilangkan juga kopi jahe sekaligus kerap menikmatinya untuk beberapa lama di sebuah kampung di Bolaang Mongondow. Kopi jenis robusta Mongondow dan jahe merah yang ditanam sendiri oleh warga. Mengolahnya secara manual tradisional dan sederhana yang telah berlangsung cukup lama. Paduan kopi dan jahenya proporsional. Terasa kopinya terasa pula jahenya ditenggorokan. Saya cukup menyukainya sebab di samping kopinya yang anti oksidannya tinggi juga jahenya konon bisa menggerus masuk angin yang kerap menyiksa.

Perjalanan selanjutnya, bila melintas di kampung Purworejo masih di Bolmong yang mayoritas dihuni oleh etnis Jawa, selalu kusempatkan mampir menyesap kopi di sebuah kedai kecil di tepi jalan dan di tepi kebun sayur dan kopi yang masih tersisa setelah berpuluh tahun usianya. Menurut cerita si pemilik kedai, mereka adalah generasi ke 3 di kampung ini setelah Kakek dan  Nenek buyutnya diimigrasikan dari kampungnya di Pulau Jawa oleh VOC sebagai pekerja paksa di kebun kopi milik perusahaan Belanda itu. Mereka didatangkan sebelum Negeri ini meraih kemerdekaannya sekira tahun 1930-an. Jenis kopi di kedai langgananku dan di kebun-kebun sekitarnya adalah jenis kopi robusta yang memang nyaman tumbuh dan berkembang di ketinggian sekira 300 meter hingga 500 meter DPL, pahitnya terasa enak di lidah dan tenggorokan. Panorama di kawasan ini sangat indah dan memesona sebab di kawasan ini berdiri tegak indah Gunung Ambang yang seolah tak hentinya diselimuti awan dan di kakinya di kitari danau indah pula, Danau Moat.

Kemudian bergeser ke kota mungil Kotamobagu. Di kota ini terdapat beberapa kafe dan kedai kopi yang asyik sebagai tempat nongkrong. Kopi dan racikannya selalu mengundang selera untuk bertandang menyesapnya. Interior dan exterior kafe dan kedainya tak kalah eksotis dengan kafe-kafe di kota-kota besar. Di kota ini pula di sebuah kedai kopi saya mengenal beberapa cara meracik kopi yang kekinian dan milenial. Satu dari beberapa yang diperkenalkan oleh barista handal di kota itu adalah drip V60. Menyesap racikan ini kita akan menemukan sensasi sendiri sebab dari kopi Arabika akan menguarkan aroma harum kopi dan sedikit rasa kecut yang menemani rasa pahit kopi. Di kota ini pula terdapat komunitas penikmat dan pencinta kopi bersama barista yang pernah juara di beberapa event di festival kopi di Negeri ini. Mereka juga melakukan pendampingan dan pembinaan pada petani-petani kopi di kampung-kampung sekitarnya agar kualitas dan harga kopinya bisa membaik.

Ketika dimutasi ke site yang lain lagi, eh.. Aku sua dengan seorang anak muda energik dari sebuah kampung di Jawa Barat. Di samping Ia sebagai karyawan sepertiku tapi juga rupanya anak muda ini tidak sembarang karyawan sebab dia juga eksportir kopi walau masih terhitung pemula atau baru saja beberapa kali mengekpor kopinya ke mancanegara, ke beberapa Negeri di Eropa dan Asia. Kawan ini kerap memberiku kopi yang berkelas ekspor. Beberapa orang di antaranya juga penikmat kopi yang asyik.

Di tempat mutasi terakhirku dan mungkin site terakhirku jelang pensiun sebab usia yang mensyaratkan. Di tempat ini nun jauh di kaki bukit, aku sua lagi dengan beberapa orang kawan sejawat yang juga penikmat dan pencinta kopi yang lagi-lagi asyik. Di tempat ini di waktu-waktu lowong nyaris tak berjeda mendiskusikan kopi. Bukan hanya kopi sebagai varitas tapi juga mulai dari awal sejak memilih bibit, memelihara, memetik, memilih, menyangrai, mengemas hingga pelbagai cara meracik dan menyeduhnya dengan berbagai pilihan alat atawa wadah hingga siap hidang dan menyesapnya.

Tak kunyana, di tahun 2018 ini ternyata Indonesia negeriku yang kucinta telah meraih capaian di bidang perkopian sangat spektakuler. Kopi Indonesia memenangkan penghargaan AVPA Courmet Product di pameran SIA Paris, Prancis. Kompetisi yang diselenggaran oleh AVPA selama bulan oktober 2018 ini diikuti oleh lebih dari 170 produsen kopi dari seluruh dunia. Sementara itu seorang barista asal Indonesia menaiki pringkat dunia  nomer 13 dan 17 terbaik di dunia. Di antara 170 produsen kopi dunia, beberapa misalnya, Brasil, Kamerun, Kolumbia, Kongo, Hawai, Gabon, El Salvador, Honduras, Kenya, ada 11 produsen yang mewakili 23 kopi Indonesia berhasil memenangkan penghargaan bergengsi ini. AVPA (Agency for the Valorization of the Agricultural Product) adalah organisasi Perancis yang bertujuan membantu para produsen produk pertanian dari seluruh dunia, untuk memasarkan produk mereka di pasar Eropa. Dan setiap tahunnya AVPA mengadakan kompetisi “Coffee roasted in their country of origin”. Diselenggarakan di SIAL Agrofood, salah satu pameran Agrofood terbesar di dunia. Indonesia mendapatkan 23 penghargaan dari 11 produsen, setelah Kolumbia mendapatkan 25 penghargaan dari 14 produsen.

Secara tradisional kultural, masih tertinggal agendaku untuk mencicipi kopi khas dari pelbagai daerah di negeriku tercinta ini, di antaranya kopi Jos, kopi dan arang di Yogyakarta. Kopi yang di seduh dengan menempatkan arang di dalam gelas sehingga ketika dituang kopi asap mengepul berlebihan. Konon racikan kopi ini kadar kafeinnya rendah karena telah dinetralisir oleh arang. Kedainya diberi nama oleh pemiliknya LikMan, angkringan (warung) legendaris pertama di Yogyakarta yang mulai dibuka sejak tahun 1950-an. Mencicipi kopi ala Hainan di pelbagai kedai kopi di Aceh dan kedai lainnya di Nusantara, dengan menggunakan penyaring dari kain di wadah ceret yang tinggi. Umumnya berbahan jenis kopi robusta yang khas pahitnya. Disebut ala Hainan sebab, konon cara ini pertama kali diperkenalkan oleh kedai-kedai kopi di Penang-malaysia.

Di Aceh dikenal racikan kopi Sanger yang selain berbahan kopi robusta juga diberi susu dan gula, tapi rasa dan aroma kopinya jauh lebih terasa. Racikan kopi sanger ini tersedia hampir di semua kedai kopi di Aceh bahkan telah menjadi khas sebagai kopi Aceh. Dan masih di Aceh tepatnya di dataran Gayoh, Kabupaten Aceh tengah, varitas kopi arabikanya telah mendapatkan Fair Trade Certified dan sertifikat  IG (Indikasi Geografis) yang mengukuhkannya sebgai kopi organik terbaik di dunia. Bergeser ke Sumatera Barat, di sini terdapat racikan kopi yang unik orang setempat membilangkannya “kopi talua”. Racikan kopinya menggunakan kuning telur lalu dimasukkan ke dalam gelas berisi susu kental manis dan ditambah satu sendok teh bubuk kayu manis. Campuran ini kemudian dikocok hingga mengembang lalu ditambahkan air seduhan kopi yang mendidih. Air seduhan kopi yang mendidih inilah yang mematangkan telur saat pengocokan berlangsung. Proses ini menciptakan tekstur buih yang lembut pada kopi ini.

Setelahnya di kekinian, alat dan cara meracik kopi pun telah mengalami perkembangan yang sangat jauh. Di samping pertimbangan kualitas kopi juga meraciknya. Maka dikenallah Manual Brew dan Espresso Base. Mesin Espresso, biasanya menggunakan roasting kopi medium to dark. Hasil peracikan kopinya bila tepat maka akan menghasilkan kopi dengan rasa yang seimbang dengan komposisi tingkat keasaman, manis dan kekentalan yang hampir sama. Mesin espresso, ada yang otomatis dan manual. Hampir semua kedai kopi kekinian menggunakan mesin espresso ini, sebab dengan mesin ini kita bisa meracik, Cappucino, Latte, Americano, dan espresso itu sendiri. Selain mesin espresso, juga dikenal Manual Brewing yang proses peracikan dan penyeduhannya didominasi peralatan non mekanik. Berikut beberapa alat dan metode seduhan ; Plunger (French Press), Drip V60, Aeropress, Cold Brew, Cold drip.

Mendiskusikan kopi nampaknya butuh waktu panjang, tidaklah seperti yang kubayangkan semula. Banyak aspek yang belum kutuang di esai pendek ini termasuk jenis kopi dan varietasnya, sisi kesehatan dan yang lainnya.

Perkembangan kedai kopi juga sangat signifikan termasuk di kotaku tercinta, Makassar. Dari yang teradisional hingga yang kekiniaan telah bertebaran di mana-mana dengan tingkat penikmat dan pengunjung juga semakin meningkat. Menariknya, sebab kedai-kedai kopi tradisional yang telah menjaja kopi sejak puluhan tahun silam sejak usiaku masih kecil dan mungkin sebelum aku lahir tetap eksis, tak tergerus oleh keberadaan kedai-kedai kopi kekinian, baik yang berdiaspora dari mancanegara maupun hasil kreativitas anak-anak negeri sendiri. Sepertinya mereka memiliki pangsa pasar sendiri, penikmat dan pelanggan masing-masing.

Bahan pemerkaya ;

  1. Ottencoffe.com
  2. Majalah lingkers, edisi desember 2018.

Sumber gambar:    http://palembang.tribunnews.com/2017/10/30/

Uang dan Uang

Dalam sebuah dialog kecil tapi nyaris tegang antara seorang bos dan seorang anak buahnya di sebuah kantor pertambangan kelas menengah. Seorang anak buah yang berposisi selevel menejer tersinggung oleh pernyataan bosnya yang menilai semua hubungannya dari perspektif uang an sich, padahal kedua laki-laki pekerja profesional ini di luar hubungan kerja memang bersahabat sejak di bangku kuliah puluhan tahun lampau. Sudut pandang yang begitu sulit dihindari saat ini adalah memposisikan uang sebagai segalanya mengalahkan semua alat ukur hubungan antar manusia.

Dalam realitas kefanaan kita nilai uang sepertinya menjadi segalanya. Seolah semesta takluk olehnya. Manusia lari meninggalkan kediriannya sebagai sosok pemilik fitrah ruhaniah yang bemuasal dari Tuhannya. Semua terpuruk oleh asal kasarnya yang jasadia, yang oleh Ali Syariati dibilangkannya lempung asal dari sisi yang lain manusia. Demikianlah sehingga ketimpangan kehidupan manusia lebih mengarah pada kerusakan. Sebab, uang yang semua unsurnya lebih berat ke lempung asal muasal manusia secara fisik mengabaikan unsur kejadian fitrahnya.

Maka, keserakahan merajai bumi, korupsi sepertinya tiada hari tanpa pelakunya. Perampokan, bukan lagi laku yang memalukan. Pungli, setiap saat di hampir semua tempat berlangsung secara dramatis. Saling membunuh memperebutkan uang adalah menjadi laku biasa. Kita tak malu lagi menipu demi uang. Menjual segalanya termasuk harga diri demi uang. Dekradasi moral menyentuh hingga ke bilik-bilik rumah kita yang sangat pribadi. Kehidupan glamour saat ini tidak hanya berlangsung di masyarakat kota yang metropolis, tapi sudah merambah hingga ke pelosok-pelosok  desa. Kala dengung “pesta” demokrasi merambahi desa dengan berbagai pernak-perniknya yang berujung pada jual beli suara di ruang-ruang benderang, jadilah uang sebagai panglima.

Materialisme telah merambahi segala tradisi, gerakan, ideology[, yang dulunya konon antitesa dari materialisme. Tidak sekedar sistemnya yang tergilas tapi juga termasuk orang-orang yang hingga hari ini mengaku-ngaku sebagai penganut paham ideologi sosialisme, semua tergilas tanpa ampun. Lihatlah para muda negeri ini di masa orde baru, yang di kejar-kejar, dipenjarakan dan bahkan ada yang dihilangkan tanpa jejak, setelah mereka “menang” oleh reformasi yang diskenarioi entah oleh siapa, mereka masuk bergabung dan lebur sebagai eksekutif dan legislatif. Tak butuh waktu lama hanya sepenggalan waktu mereka berubah wujud bergaya hidup hedonis yang kerap memeras di kantor swasta yang ada di bawah “genggamannya” tanpa risih dan malu.

Uang sebagai anak kandung dari materialisme telah mengelabui dan memperdaya khalayak secara masif. Tidak sebatas para awam tapi juga para pesekolah yang paham daya rusaknya secara teoritis dan filosofis. Kerap ditemukan kerusakan alam dan lain sebagainya karena rekomendasi dari komunitas ini dalam penyusunan berbagai dokumen dan bermain patgulipat antara corporate dengan tim penyusunnya dari para pesekolah itu. Para alim atawa ustas yang kerap dinisbahkan sebagai penjaga moralitas agama, juga terjebak di banyak tempat dan momen. Dan tidak tanggung-tanggung sebab jerembabnya pada hal yang sangat subtantif dan tabu. Dana haji dikorupsi, dana pengadaan Al-Qur’an ditilep. Apa lagi yang lebih sakral dari dua hal tersebut, Al Qur’an dan Haji. Laku ini seolah-olah biasa saja bahkan sebagian alim membelanya dengan mengalihkan issu bahwa penangkapan itu membawa misi ingin mendiskreditkan agama Islam yang mayoritas di negeri ini. Padahal, bukti hukum materilnya jelas tanpa pretensi.

***

Meskipun ungkapan time is money seperti ungkapan yang mencerminkan kehidupan dunia modern kita saat ini, sebenarnya ungkapan tersebut sudah lahir sejak zaman Yunani. Seperti yang dijelaskan dalam Maxim (430 BC), saat itu seorang orator Yunani Antiphon mengatakan “Pengeluaran paling berharga adalah waktu.” dalam pidato pembelaan sebuah sidang. Itu adalah cikal bakal ungkapan time is money.

Beberapa abad kemudian, Sir Thomas Wilson dalam A Discourse Upon Vsurye (1572) dan John Fletcher dalam The Chances (1647) memunculkan ungkapan tersebut muncul dalam bahasa Inggris, Time is precious. Akhirnya, pada tahun 1748, Benjamin Franklin dalam bukunya Advice to a Young Tradesman (1748) menggabungkan penggunaan kata-kata tadi menjadi time is money,seperti yang kita kenal saat ini (dikutip dari blog Time is money)

Sejak digulirkannya sebuah Filosofi hidup menjadikan uang sebagai segalanya   seperti ungkapan dan penjelasan di atas maka uang sebagai raja, bergulir menggelinding keseluruh pelosok negeri. Manusia seolah berlomba mencengkram apa dan siapapun untuk memenuhi hajat dan seleranya tanpa memperdulikan sisi kebajikan dalam dirinya. Imperialisme bersenjata menaklukkan negeri-negeri “kecil” untuk menguasai sumber daya alam sebuah negeri untuk memperkaya diri, kelompok dan negerinya. Manusia saling memangsa atas nama uang di seluruh penjuru dunia. Hingga memasuki zaman modern yang serba canggih, imperialisme dalam bentuk lain masih merajalela di seluruh jagat.

Dalam kehidupan mikro, manusia pun tak hentinya saling menyengsarakan baik langsung maupun tidak. Korupsi yang berdampak sangat dahsyat untuk kehidupan berbangsa dan bernegara masih menjadi terdepan dan penegakan hukumnya, sebab dampaknya menyengsarakan rakyat kebanyakan. Memperkaya diri, kelompok, partainya bagi pelaku korupsi yang masif dari para politisi. Karenanya negeri-negeri yang korupsinya tak terbendung lagi akan mengalami kebangkrutan.  Begitu ganasnya kejahatan korupsi, terutama korupsi politik yang tidak hanya melanggar hak-hak ekonomi rakyat tetapi lebih dari itu bisa memporak-porandakan perekonomian suatu negara sehingga negara tersebut bersatus negara pailit (bangkrut).

Korupsi saat ini sudah menjadi trend di mana-mana, yang melakukan korupsi pun sudah tidak mengenal kelas dan strata lagi, mulai dari level menteri, sampai kepada level kepala desa, korupsi pun kini sudah mulai menjalar sampai ke penegak hukum dan swasta. Bahkan yang menyandang status PNS (Pegawai Negeri Sipil) pun, tanpa disadari dalam kesehariannya telah melakukan perilaku korupsi kecil-kecilan dengan modus “terlambat masuk kantor dan cepat pulang sebelum waktunya” padahal telah digaji oleh negara dengan jam kantor yang sudah ditentukan.

Perilaku korup memang sudah menggurita dan sudah menjadi kanker ganas stadium empat yang susah disembuhkan dan yang lebih parah lagi terduga korupsi pun sudah tidak mempunyai rasa malu lagi tampil di depan publik. Lihat saja ketika mereka diwawancarai oleh awak media (cetak maupun elektonik) mereka tidak menampakkan wajah penyesalan apalagi perasaan bersalah dan dengan enteng mereka menjawab “kan ini baru dugaan belum tentu kami bersalah dan kita harus menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah.”

Menurut Artidjo Alkautsar (Hakim Agung sekaligus Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI) masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah merajalelanya korupsi, terutama yang berkualifikasi korupsi politik karena korupsi merupakan penghalang pembangunan ekonomi, sosial politik, dan budaya bangsa, di mana korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), karena korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar hak-hak ekonomi masyarakat, untuk itu memerlukan cara-cara pemberantasan korupsi yang luar biasa.

Maka sesungguhnya bila kita sadar dan bijak memaknai hidup yang hanya sepenggalan ini, berbagi pada sesama dalam pengertian sesungguhnya amatlah kita butuhkan. Bahwa uang hanyalah perantara menuju ke kehidupan yang lebih baik, baik itu di kefanaan kita maupun hidup di keabadian kita kelak. Sebab, dalam terminologi sosiologi semua agama bahwa menebar kebajikan adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar. Karenanya, marilah menyemai potensi semaksimal mungkin untuk meraup uang dan uang dengan jalan bajik untuk membangun peradaban negeri penuh cahaya.

Sumber gambar: https://tirto.id/melacak-uang-di-dunia-bulf

 

 

 

Muasal Jagung, dari Milho ke Milu

Perjalananku kali ini melintasi negeri nyiur melambai ditemani gerimis hujan sore hari. Senja hanya nampak sebagian karena sebagiannya sedang bertirai gerimis. Suasananya sedikit romantis, perpaduan gerimis hujan dan senja memerah saga. Dalam suasana seperti itu, kenangku berkelebat jauh ke masa-masa kala masih kanak di Kota Makassar. Waktu itu, kondisi negeri ini sedang tak berdaya, daya beli masyarakat sedang anjlok hingga ke titik nadir. Antrian panjang untuk mendapatkan beberapa bahan pokok seperti minyak tanah, beras, dll., itu kita dapati di mana-mana khususnya di sekitar mukimku di sebuah pasar tua di Makassar.

Di warung makan sederhana di daerah Tumpaan namanya, di Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel) setelah Kabupaten Minahasa dipecah menjadi beberapa kabupaten sejak reformasi dikumandangkan untuk mendekatkan dan memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat. Di warung sederhana itu, aku memesan nasi milu alias nasi jagung. Nasi jagung inilah yang mengundang kenangku jauh ke masa silam. Seperti yang kujelaskan di atas, bahwa, nasi milu adalah adalah nasi kenangan masa silam kala beras begitu sulit menemukannya. Jadi, untuk menyiasati kekurangan beras, orang tua kami mencapurnya dengan milu atawa jagung maka jadilah nasi jagung atawa nasi milu.

Yang membedakannya antara nasi milu dahulu kala di masa kanakku dengan nasi milu sekarang adalah, bila dulu nasi milu dikesani sebagai makanan orang bawahan atawa orang miskin sehingga orang-orang menyarapnya secara sembunyi-sembunyi. Sehingga D’Loyd sebuah group band lawas di tahun tujuh puluhan merilis sebuah lagu yang menggambarkan betapa siksanya tahanan penjara waktu itu, dengan salah satu gambarannya “bangun pagi makan nasi jagung.” Tapi, ternyata di daerah ini, secara khusus Tumpaan dan Minahasa serta Bolaangmongondow, nasi milu adalah nasi yang cukup digemari dan bukan pertanda pengkomsumsinya sebagai warga kelas dua dan semacamnya.

Dari buku Garis Besar Sejarah Amerika yang diterbitkan oleh Depatemen Luar Negeri Amerika Serikat, bahwa jagung telah dikembangkan manusia Indian sekitar tahun 8000 sebelum masehi, kemudian berkembang ke Amerika bagian utara. Pada tahun 3000 sebelum masehi, jenis jagung Purba telah ditanam di lembah-lembah sungai New Mexico dan Arisona. Selanjutnya jagung semakin berkembang di Benua Amerika hingga tahun 1492. Christoper Colombus yang pertama kali melihat jagung di Kepulauan Karibia, tertarik dan membawa bibitnya pulang ke Eropa.

Beberapa tahun kemudian seorang penjelajah Spanyol yang bernama, Ferdinan Magelhaens membawa benih jagung dari Spanyol ke Asia lewat jalur barat. Sebelum menguasai kepulauan Filipina pada 1543, Spanyol menjadikan Manado Tua sebagai tempat persinggahan untuk memperoleh air tawar. Perdagangan barter hasil bumi termasuk jagung dan pengembangan perkebunan kopi berkat kesuburan tanah dan hubungan baiknya dengan penduduk dataran jazirah utara pulau Sulawesi ini. jadi sebelum kedatangan Bangsa Portugis dan Bangsa Eropa lainnya, masyarakat Sulawei bagian utara termasuk manusia Gorontalo dan Philipina telah mengembangkan tanaman jagung yang dibawa armada penjelajah Spanyol yang sisanya pulang ke negerinya lewat jalur timur (Tanjung Pengharapan). Dari jazirah bagian utara pulau Sulawesi inilah jagung menyebar ke seluruh pelosok Nusantara pra-Indonesia. (Sumber : Makalah, Ambo Tang daeng Materru “Jagung : Menguntungkan Atau Membuntungkan Petani.”)

Di Gorontalo, Bolaangmongondow, Minahasa, dan Sangir, empat etnis besar di jazirah utara Sulawesi  tempatku bersentuhan dan lalu-lalang mengais nafkah beberapa tahun terakhir ini, membilangkan jagung sebagai milu yang dalam bahasa Spanyol disebut “milho” jadi dari kata milho ke milu. Jagung yang bahasa kerennya teosinte (Zea mays ssp paviglumis) termasuk jenis rumput-rumputan yang dahulu kala telah menjadi bahan makanan pokok, bersama ubi, pisang, sagu, dan beras. Hingga setelah kemerdekaan Indonesia mewujud dan pemerintah mencanangkan kebijakan swasembada beras dan produksi beras melimpah yang mencapai puncak keberhasilannya pada tahun 1984, berbagai makanan pokok lainnya perlahan terpinggirkan menjadi bahan makanan substitusi, pencampur dan pelengkap selain sebagai pakan ternak.

Gorontalo sebagai provinsi tempatku mengais nafkah yang baru beberapa bulan terakhir, adalah provinsi yang menjadikan jagung sebagai produk pertanian unggulan dalam program agropolitan. Jagung menjadi komoditi export yang menguntungkan. Volume ekspor jagung Provinsi Gorontalo dari tahun 2001 – 2010, 271.114.397.11 Kg dengan harga 50.193.448.93 $. Sebuah angka yang cukup besar sebagai salah satu sumber pemasukan daerah. Walau sejak diluncurkannya program ini masih menyimpan pelbagai plus minus. Di antaranya, pembukaan lahan yang tak terkendali yang bisa merusak lingkungan dan pembukaan hutan yang lebih luas. Harga beli dari petani yang belum menguntungkan petani secara baik karena harga produksinya masih hampir sama dengan dengan harga jual secara keseluruhan apatahlagi bila bahan produksi pertanian seperti pupuk, petani masih berutang pada tengkulak dengan harga yang tentu mencekik. Semoga bengkalai-bengkalai ini dapat teratasi dalam waktu yang tak telampau panjang.

Dalam perjalanan panjang dari Kota Kotamobagu menuju Kota Manado dan ke Kota Gorontalo, berbagai penganan dengan  varian substitusi dan pokok dari bahan jagung dengan mudah ditemukan. Di Tumpaan Minahasa Selatan aku menyesap nasi milu. Sedang di kota Manado aku disuguhi tinutuan atawa bubur manado, sedang di Gorontalo aku kembali menyesap penganan khasnya, binte bilahuta yang juga jagung menjadi menu utamanya.

 

Sumber gambar:   https://www.flickr.com/photos/8180199@N02/3036917907