Arsip Kategori: Kembara

Kesepian

Seorang tua renta penghuni sebuah panti jompo di salah satu kota nun jauh di seberang benua. Setiap jelang memperingati hari-hari besar negeri dan agamanya, ia mengirim surat dan ucapan selamat untuk dirinya sendiri via jasa Pos. Malam sepi dengan mengurai air mata ia menulis surat yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Diantarkannya ke kantor Pos sendiri. Tiba di panti tempatnya bermukim melepas penat di hari tuanya, kemudian dibacanya sendiri, dinikmatinya sendiri dalam kesepian yang menderanya dalam waktu panjang.

Rasa kesepian di negeri-negeri maju, di tulis pula, Rd. Tesa Contessa dalam buku Kepak Sayap, 22 Kisah Perempuan Indonesia Menembus Batas Lima Benua, dan menjadi sebuah fenomena yang menyesapi kehidupan modern di kekinian, yang mendewakan kehidupan individualistik dalam jejaki hidup. Gejala ini merasuki hampir semua kota besar di planet bumi kita ini. keterasingan dalam sepi bergelayut di kota-kota metropolis yang semarak di ruang-ruang hampa. Di gemerlap hidup berfasilitas serba mewah nan instan.

Albert Camus, peraih hadiah Nobel Sastra 1957, lahir di Aljazair berkebangsaan Prancis yang juga dikenal sebagai penulis dan filsuf eksistensialis, dalam novelnya L’eltranger atau Orang Aneh juga melukiskannya dengan sangat indah, bagaimana keterasingan dan rasa kesepian manusia pada kehidupan sosialnya termasuk pada kerabat dan dirinya sendiri mengantarkannya ke dalam kehidupan yang tak meyakini kebenaran di luar dirinya sendiri, dan sepi kesepian menyergapnya dalam jalan sunyi yang panjang.

Ikatan perkawinan dan kekerabatan merapuh di atas pengejaran meterialisme yang sungguh menafikkan jiwa-jiwa yang respek pada bagunan keluarga dan kekerabatan yang solid. Hubungan personal dan interpersonal selalu dimaknai dengan “berapa yang kamu beri dan berapa yang kami terima”. Vested interest menjadi penanda hubungan sosial kita di hampir semua ranah kehidupan.

Ikatan kekerabatan sudah mulai melintasi ruang tradisional kita, hendak menjauh entah ke mana nantinya. Sebab kita terjebak pada kehidupan latah di kehidupan modern dalam arti yang sesungguhnya. Bahwa kehidupan individual yang pamrih menjadi pilihan yang sadar maupun tak. Pilihan natural sebagai makhluk sosial teralienasi oleh ego-ego yang berkecambah kuat di ruang-ruang hampa kesendirian yang kesepian di riuhnya hidup.

Fenomena ini, pun telah melintasi benua, melintasi negeri-negeri yang terkenal dengan budaya kekerabatan yang kental. Termasuk mulai merambahi kampung-kampung di negeriku. Budaya gotong royong yang kental nuansa kebersamaan dan kekerabatannya sudah mulai mahal implementasinya. Sebab, semua dikikis oleh kecenderungan individualisme dan keserakahan yang telah mulai mewabahi warga. Ada kerja ada uang, ada partisipasi harus ada imbalan dan seterusnya.

Bila telah seperti ini, jalan apa lagi yang mesti kita kuak untuk menemukannya kembali, sebab jalan agama pun nampaknya sudah mulai terkontaminasi oleh para cerdik pandai yang kerap disapa ustadz atawa ulama atawa alim, pendeta, pastor, bikhu, dll. Sebagian dari mereka tak sabar untuk tidak terkenal, tidak mashur, tidak jadi selebritas, sebab di sana ada pundi-pundi yang melimpah ruah yang diperebutkan. Bila perlu, di antara mereka membuat pesan doktrin (fatwa) untuk menghardik, menciderai, kawan seagamanya karena pundi-pundi.

Jadilah manusia gamang di centang perenangnya kehidupan. Sebab, basis atawa benteng terakhir yang diharapkan dapat mengurai kejumudan dan kemunafikan manusia, orang-orangnya mengkhianat dan memanfaatkan pesan-pesan suci Tuhan dan Nabinya menjadi apatis dan tak tertarik lagi mendekati apatah lagi mendekapnya, karena banyak hal dan yang lebih utama adalah karena di antara mereka yang minim yang bisa dijadikan teladan, suluh dalam menapaki kehidupan yang semakin carut marut ini. semua berjuang dan berjalan sendiri-sendiri mengarungi hidupnya di jalan sunyi kesepian yang mengerikan.

Saksikanlah para pejalan di jalan riuh itu, nampaknya kebanyakan yang tak paham hendak ke mana ia akan berlabuh. Rumi, menyebutnya bagaikan orang-orang yang meniti jalan di terang benderang matahari tapi ia menggunakan lampu penerang untuk menyuluh jalannya, betapa gulitanya jalan-jalan yang ditempuh. Tidak sekadar gulita tapi juga di jalan-jalan para pemangsa menantinya di setiap saat dan di setiap pojok.

 

Ilustrasi: http://augenweide.deviantart.com/journal/that-is-love-480450263

Bunda Maemuna

Hari minggu, umumnya kota-kota di Sulawesi Utara sepi nyaris senyap. Demikianlah, suatu pagi sekira matahari sudah mulai menanjak ke perempat depah. Lambungku mulai minta dijamah penganan untuk melanjutkan kehidupan. Jalan-jalan kususuri di kota mungil tempatku bermukim secara tidak menetap. Setelah berkeliling beberapa saat dalam sepi, aku menemukan sebuah warung yang berukuran relatif mungil pula. Kendaraan kutepikan tak jauh dari warung yang hendak kutuju.

Ruang kecil berukuran sekira tiga kali dua setengah meter. Hanya dimuati tiga buah meja plus bangku kayu yang masing-masing hanya memuat dua orang pengunjung. Jadi, paling banter hanya bisa memuat pelanggan atawa pengunjung sebanyak enam orang. Seorang ibu berusia senja menyambutku dengan senyum super ramah. Rona wajahnya menampakkan kebajikan dan bening matanya mengundang kasih.

Setelah kupelototi rupa-rupa penganan yang tersaji di warung ini, aku memilih nasi putih, sayur pakis atawa sayur paku, ikan cakalang rica dan ikan tude masakan woku khas Sulawesi Utara. Sembari menikmati sarapan pagi sekaligus makan siang, aku berbincang panjang lebar dengan pemilik warung. Dengan senyum yang terus mengembang, ibu yang bernama lengkap Maemuna Tololiu, disapa bunda Mun, bercerita bila warung mungilnya ini telah dikelolanya selama berpuluh tahun. “Warung kecil inilah yang menghidupi kami selama ini. Bahkan, alhamdulillah telah membawaku ke tanah suci tiga kali, sekali pada tahun 2011 aku diberi rezki oleh Tuhan lewat warung ini dengan menabung sedikit demi sedikit untuk menunaikan ibadah Haji, dan dua kali Umroh pada tahun 2012 dan tahun 2013 berturut-turut,” dakunya.

Di matanya nampak kebahagiaan yang memancar mewarnai seluruh geraknya. Perempuan sederhana yang telah lama ditinggal suami tercinta, dan hidup sebagai single parent, manafkahi putra-putrinya bersama seorang “pembantunya” yang menemaninya sekian lama di warung pembawa berkah itu. Putra putrinya tiga orang. Yang sulung telah bekerja di sebuah perusahaan konstruksi di kota Manado sebagai arsitektur, yang menamatkan pendidikannya di sebuah perguruan tinggi di kota tempatnya bekerja kini. Putra yang kedua sedang kuliah di kota kelahiran ibunya, di kota Makassar, sedang yang ketiga masih duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota kelahirnya sendiri.

“Hidup ini harus kita jejaki dengan jujur, sederhana, berpikir positif, selalu menghargai orang tanpa pamrih, berlaku baik dan bajik pada sesama. Insha Allah hidup kita akan mabbarakka’ (berkah)”, ujarnya, pun sederhana. Melalui kalimat-kalimat pendek dan sederhana yang disampaikan, Ibu Maemuna Tololiu mengingatkan kita pada pesan-pesan para bijak bestari, pada zaman kala hidup belum sesemrawut seperti saat ini. Kala media sosial belum segencar sekarang. Di mana caci maki atas nama agama, politik, dan intrik ekonomi lainnya bak nyanyian bulu perindu yang senantiasa mengundang gundah. Bagai candu yang mengasyikkan, bila tak memaki dan mencaci terasa ada yang kurang dalam hidup kita. Penghasilan pun kita raih seolah tanpa tahu dari mana asalnya, ia bajik atau tak. Atau paling tidak kita tahu bila sumbernya “abu-abu” namun kita pun berpura-pura tidak tahu.

Ibu Maemuna, tidak tamat dari sekolah rakyat di tahun lima puluhan, namun ia dapat memahami arti hidup secara substansial. Bahwa hidup ini mesti memberi manfaat yang baik kepada orang di luar diri kita. Paling tidak pada keluarga secara bertanggung jawab. Sebab, sekecil apapun laku kita akan berpengaruh secara psikologis dan sosiologis pada orang-orang dan alam di sekitar kita. Tengoklah negeri ini, bagaimana rakyat secara masif melakukan replikasi laku dari para “petinggi”. Ibarat kata pepatah yang telah hampir usang karena seringnya di pakai, “guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Bagaimana laku korupsi direplikasi dari atas ke bawah. Bahkan di bidang-bidang tertentu di pemerintahan, bawahan harus menyerahkan setoran pada atasan. Tanpa sadar kita pun menyuguhkan rezki yang tak bajik pada keturunan dan generasi pelanjut kita. Bagaimana mungkin generasi pelanjut ini bisa berkembang dengan psikologi yang bajik bila sumber-sumber benih telah diracuni sejak dini.

Berbahagialah, Bunda Mun. Sebab sekecil apa pun jasamu pada negeri ini dan mungkin tak ada yang menghitungnya, tapi engkau telah menghidupi anak-anak dengan jalan bajik dengan jalan yang sangat sederhana. Menghidupi anak-anak dengan rezki halalan toyyibah. Rezki yang halal dan baik. Engkau telah memahamkan ke kami bila hidup ini tak terlampau panjang. Kata para pejalan di jalan sufi, “hidup ini, ibarat berteduh sejenak di bawah pohon dari mentari yang menyengat, setelahnya kita berangkat berpulang”. Sangat sejenak, dan terlupakan secara masif pula.

Sebelum aku meninggalkan warung Bu Maemuna, kusempatkan mengamati beliau dalam melayani pelanggannya. Mulai dari tutur kata hingga gerak gestur tubuhnya yang telah menua nampak sangat santun dan ramah. Jauh dari kepura-puraan sebagai pelaku bisnis yang sekadar ingin nampak ramah agar menarik pelanggan dan mempertahankannya.

Hidup ini mabbarakka’ bila dilakoni apa adanya. Tarik menarik antara kebajikan dan keburukan akan berlangsung terus menerus hingga jasad dan ruh terpisah di ujung kehidupan seseorang. Kata para bijak, di situlah letak proses kontemplasi dan muhasabah kita lakukan dalam menegakkan sholat lima waktu dengan waktu yang sangat rigit. Bila momen ini dapat dikelola dengan baik maka jejak-jejak yang kita toreh secara alamiah terdedahkan pada niat, ucapan, sikap dan laku yang pun, akan memberkahi bukan hanya diri kita tapi juga keluarga dan sekeliling kita. Kata Imam Al Gazali, Kebahagiaan terletak pada kemenangan memerangi hawa nafsu dan menahan kehendak yang berlebih-lebihan.

Jadi, mulailah kebajikan dari hal-hal kecil dari diri kita sendiri. Jangan menunggu orang lain dan sekitarmu. Bila laku-laku bajik walaupun kecil terejawantah pada setiap jejak kita, benih-benih kebajikan akan menyemai pada setiap jejak yang kita toreh sepanjang usia kita yang tersisa. Filosof China, Lao Tze berpesan, “Perjalanan seribu langkah dimulai dari satu langkah kecil”.