Menyambut maulid Nabi
Bak kulihat cahayamu di matahari menerangi semesta. Membasuh wajah-wajah lugu bersahaja hingga melek hidup, membasuh batin-batin letih para pencari cinta ke ruang dan waktu tak berbatas. Membasuh laku kasar penduduk sahara menuai santun. Semesta mewujud cinta dari perangaimu yang indah. Engkau hadir di remah hidup kaum tak berpunya, mengasihi mereka yang memusuhimu.
Menyelimuti cinta dan kasih semesta dan paradaban. Para penyair tak habis kalimat mengukir keindahanmu. Pena-pena para cerdik pandai tak hentinya menggores kebajikan yang engkau jejakkan. Jadi, bila mencintaimu dengan beragam ekspresi budaya, merindukanmu dengan berbagai laku yang kami jejakkan, lalu kami dituduh berlaku bid’ah dhalalah, tak mengapa, sebab semuanya hanya sezarra ekspresi cinta kami dari gundukan semesta ini.
Membelamu tidak mesti dengan amarah tapi dengan cinta, seperti engkau mengasihi seorang buta berras Yahudi di pojok pasar Madinah, yang engkau suapi makan sembari memakimu karena tak memahamimu, padahal engkau punya kuasa ketika itu. Syahdan, ketika Rasulullah saw mangkat, Abu Bakar ingin mengganti peran Nabi yang saban hari menyuapi Yahudi buta itu. Namun si Yahudi buta menampiknya dengan keras. Abu Bakar berusaha meyakinkannya, namun ia tak yakin dan berseloroh “Kamu bukan orang yang setiap hari menyuapiku. Sebab dia sangat lembut dan penyayang, aku belum pernah menjumpai orang sebaik dia.” Abu Bakar terkesiap tak terasa tebing-tebing pipinya basah becucururan cairan hangat penuhi janggutnya.
Ketika kami masih kanak kerap kali aku menemui dan mendengar ibu dan nenekku melafazkan shalawat atasmu ketika mengobatiku dengan berbagai ramuan lokal karena terluka oleh benda tajam, ataukah adikku didera sakit perut hingga ia tersiksa.
Acap pula kudengar nenekku merapal ayat-ayat suci Alquran sembari mengurut perut seorang perempuan hamil tua, dan di ujung jemari rentanya beliau menyudahi pegerjaan mengurutnya dengan bacaan shalawat kepada Nabiullah Muhammad SAW.
Di keriuhan pengantin di kampungku ketika aku masih belia, aku mendengar para tetua dan “santri” senandungkan puji-pujian kepada al-Mustafa sang manusia agung itu dalam langgam barasanji dengan irama dan lafaz berbahasa Bugis. Dalam prosesi mappacci sebagai sebuah prosesi yang bermakna “membersihkan” sang pengantin dari kotoran-kotoran yang melekat di jiwanya.
Bersamaan dengan prosesi itulah barasanji disenandungkan. Bait-bait kecintaan pada Rasulullah memenuhi ruangan menyejukkan seluruh pojok-pojok hati sanak keluarga, handaitoulan, dan keluarga. Sang pengantin tak kuasa membendung rasa haru menyeruakkan bulir-bulir hangat dari kelopak matanya, simaklah beberapa bait dari keseluruhan syair barasanji yang indah itu.
Ya Nabi salam alayka.. ya Rosul salam alayka
Ya Habib salam alayka.. sholawatullah alayka
Asrakal badrun alayka fahtafahtalminhul buduri
Mislahkhusnikamara’aina.. kattuya wajeha syu’uri
Anta syamsun anta badrun.. anta nuurun fauqanuri
Anta iksyiru wagali.. anta mizbahu syuduri
Ya Habibi ya Muhammad.. ya aruszal khafiqaiini
Ya Muayyad ya Mumajjad.. ya Imamal kiblataini
Kalimat-kalimat cinta dan salam untuknya akan mengalun hingga akhir zaman dengan beragam ekspresi dari budaya lokal di semua negeri dan benua.
Aku terkenang pula di masa kanakku ketika bulan Maulid tiba kerabatku sekampung akan merayanya dengan sepenuh suka cita. Di surau-surau, di masjid jami (biasanya mesjid paling besar di kecamatan) di rumah-rumah para tetua. Di tempat-tempat ini pula disenandungkan barasanji dengan jumlah pelantun yang lebih banyak.
Keriuhannya mengalahkan semua perhelatan yang setiap tahun diraya di kampungku. Telur-telur beraneka warna dipadu dekorasi yang sungguh indah dan apik dengan beragam wadah, semisal perahu-perahu phinisi, rumah-rumah adat Bugis-Makassar, miniatur bendi (dokar), baku yang terbuat dari tembikar, ember yang dihias indah, dll. Semua wadah berisi kaddo’ minnya (penganan tradisional Bugis-Makassar terbuat dari beras ketan ditaburi beragam rempah dan berwarna kuning)
Ekpresi kecintaan pada Nabi betapa lekat dan terasa indahnya, suka cita mengangkasa memenuhi kampung-kampung saling bersahutan. Silaturrahim terasa sejuk menyelimuti hati ummat Muhammad SAW, suasana damai terasa hingga ke relung-relung hati di semua strata kehidupan masyarakat di kampungku. Tak ada bid’ah, tak ada caci maki, tak ada umpatan, dan sejenisnya. Indah dan damai merayainya. Kami yang masih kanak biasanya mengenakan baju baru berbondong-bondong memenuhi surau di desa atau mesjid jami di kecamatan.
Kala itu aku belum memahami betul mengapa kecintaan kepada Rasulullah SAW begitu mendalam pada ummatnya. Kerinduan akan datangnya bulan Maulid sebagai bulan kelahirannya begitu ditunggu dan dirindukan. Bahkan persiapan untuk merayakannya ada yang rela berutang untuk sekedar persembahan makanan untuk di santap bersama di hari suka cita itu.
Namun setelah beranjak remaja dan dewasa aku mulai sedikit melek akan hal perjalanan hidup beliau. Semua merindukanmu wahai al-Mustafa sebab engkau adalah pemimpin besar yang pernah lahir di bumi dengan tahta kemuliaaan laku tiada tara dan bandingnya. Tengoklah beberapa kisah di bawah ini yang secara manusiawi mengantarnya menjadi pujaan ;
Dalam sebuah kisah yang kerap diceritakan kepada kami oleh guru agama ketika duduk di tingkat akhir sekolah dasar. Ketika sang Nabi menceritakan tanda-tanda akan kemangkatannya, kemudian meminta sahabatnya untuk mengambil qisas atau “membalas” semua laku tak elok yang pernah di lakukannya sepajang hayatnya hingga ketika hari beliau memintanya, namun tak satu pun yang rela memintanya hingga beliau berulang kali memintanya.
Namun tiba-tiba keheningan pecah oleh seorang lelaki berdiri dan berjalan menuju Sang Nabi. Seluruh mata menatap kepadanya. Dialah Ukasyah Ibnu Muhsin. Kemudian berseloroh, Wahai Rasulullah kata lelaki itu “Dulu aku pernah bersamamu di Perang Badar. Untaku dan untamu berdampingan, dan akupun menghampirimu agar dapat menciummu. Namun, saat itu engkau melecutkan cambuk pada untamu agar dapat berjalan lebih cepat, sesungguhnya ujung cambukmu memukul lambungku.”
Para sahabat yang mendengar kata Ukasyah tiba-tiba berubah marah. Suasana menjadi gaduh. Tetapi Muhammad Sang Rasul meminta mereka untuk tenang. Para sahabat kembali diam dengan rasa kesal yang menggumpal untuk lelaki kurang ajar bernama Ukasyah.
Mendengar keluhan Ukasyah atas perbuatannya. Muhammad pun menyuruh Bilal mengambil cambuk di rumah putri kesayangannya, Fatimah. Tampak keenggananan menggelayut di wajah Bilal, kepalanya menggeleng, langkahnya terayun begitu berat, sesungguhnya ingin sekali ia menolak perintah tersebut. Meskipun penolakan ini akan menyinggung hati Sang Nabi, tetapi ia lebih tak ingin cambuk yang dibawanya melecut-melukai tubuh sang Kekasih yang sangat ia cintai. Tak apalah ia berdosa, katanya dalam hati, ia tak ingin membuat Muhammad merasakan sakit di tubuhnya yang sudah lemah. Tetapi Muhammad sungguh-sungguh memintanya, dengan berat hati ia melangkah pergi.
Masjid seketika bergemuruh bagai sarang lebah yang di ganggu. Semua orang menghardik Ukasyah dan menatapnya penuh kebencian, tak satupun di antara mereka mengira bahwa Ukasyah akan tega melakukannya.
Ukasyah tetap diam tak satu pun kata-kata keluar dari mulutnya
Tak lama, Bilal datang dengan dada yang berguncang, dengan wajah sedih yang tak rela. Segera setelah sampai, cambuk itu diserahkannya kepada Sang Nabi lalu Muhammad menyerahkannya pada Ukasyah. Dengan cepat cambuk berpindah ke tangan Ukasyah. Orang-orang semakin marah, tetapi Sang Nabi tetap memerintahkan mereka untuk diam. Mereka tertunduk lesu. Sungguh, demi Tuhan, mereka tak sanggup menatap Muhammad terkasih dilecut cambuk yang akan menyakitinya.
Saat Ukasyah bersiap, tiba-tiba melompatlah beberapa sahabat, mereka bergerak kehadapan Ukasyah, gemetar dan bibir yang menggigil berkata, “Wahai Ukasyah, cambuklah kami sesuka yang kau dera. Pilihlah bagian manapun yang paling kamu inginkan, jatuhkanlah qisasmu kepada kami, jangan sekali-kali engkau pukul Rasulullah kekasih kami.” Tagisnya kembali terisak dan dadanya berguncang. Ketika mereka hendak mendekati Ukasyah dengan tangan terkepal dan gigi gemertak, Muhammad sang nabi mencegahnya, “Duduklah kalian wahai sahabatku tercinta, sesungguhnya Allah telah mengetahui kedudukan kalian di sisiku.”
Ukasyah bergeming. Ia tetap menggenggam erat cambuknya.
Kemudian Ali bin Abi Thalib bergegas berdiri di depan wajah Ukasyah dengan gagah berani. “Wahai hamba Allah, dengan suara tegas, inilah aku yang masih kuat siap menggantikan qisas Rasulullah. Inilah tubuhku, ayunkanlah cambukmu sebanyak apapun kau mau. Deralah aku. Tapi kumohon, jangan kau lecutkan cambukmu kepada kekasih kami.” Suara terakhir Ali bergetar.
Tetapi Muhammad segera meminta Ali duduk kembali. “Allah swt sesungguhnya tahu kedudukan dan niatmu, wahai Ali duduklah kembali.” Kata sang Nabi lembut.
Lalu dengan suara lantang Hasan dan Husein menyusul ayahnya, berdiri “Hai Ukasyah engkau tahu kami kakak beradik kamilah cucu Rasulullah. Kamilah darah dagingnya. Bukankah ketika engkau mencambuk kami sama saja seperti meng-qisas kakek kami? Lecutkanlah cambukmu pada tubuh kami!.” Kini yang tampil di hadapan Ukasyah adalah cucu tercinta dari sang Nabi.
Sama seperti sebelumnya, Muhammad pun menegur mereka, “Wahai penyejuk mata, cucu-cucuku tercinta, aku tahu kecintaan kalian kepadaku. Duduklah, biarkanlah aku yang mengambil qisas ini.” Muhammad tersenyum pada Hasan dan Husein.
Masjid kembali ditelan senyap. Hening yang begitu mengguncangkan hati para sahabat. Isak tangis tak tertahan. Beberapa tertunduk dengan punggung yang berguncang.
Ukasyah melangkah, mendekat pada sang Nabi. Jantungnya berdegup kencang. Para sahabat menahan napas. Ukasyah terus melangkah dengan tegap. Kini, tak ada lagi yang berdiri menghadang Ukasyah mengambil qisas!
“Wahai Ukasyah, inilah ragaku, ambillah qisas-mu.” Muhammad melangkah maju.
“Wahai Rasulullah, Ukasyah menyela, saat cambuk kudamu mengenai lambung kiriku, ketika itu tak ada sehelai kain pun yang menghalangi lecutan cambuk itu di tubuhku.”
Tanpa berbicara, Muhammad langsung melepaskan ghamis-nya yang warnanya telah pudar. Dan tersingkaplah tubuh suci sang Nabi. Seketika pekik takbir menggema, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” semua yang yang hadir menangis pedih. Mereka tak sanggup melihat apa yang akan terjadi.
Melihat tubuh suci sang Nabi, Ukasyah langsung menanggalkan cambuknya dan menghambur memeluk tubuh Muhammad. Sepenuh cinta di rengkuhnya tubuh sang Nabi, ia ciumi punggung sang Nabi, ia dekap erat-erat. Gumpalan kerinduan yang mengkristal kepada Muhammad ia tumpahkan seluruhnya saat itu. Ukasyah menangis gembira, ia bertasbih memuji Tuhan, menjerit haru, gemetar bibirnya mengucap sendu, “Tebusanmu, jiwaku wahai Rasulullah. Siapakah yang sampai hati meng-qisas manusia dengan perangai paling indah sepertimu? Sesungguhnya aku hanya berharap tubuhku melekat dengan tubuhmu, sehingga Allah dengan keistimewaan ini menjagaku dari siksa api neraka.”
Para sahabat yang semula marah terdiam membisu. Diam-diam air mata mengalir lembut di tebing pipi mereka. Ada jerit yang tertahan.
Sambil tersenyum, sang Nabi berkata, “Ketahuilah wahai manusia, barang siapa yang ingin melihat penduduk surga, maka lihatlah pribadi lelaki ini.“ Ukasyah langsung tersungkur dan bersujud memuji Tuhan. Sedangkan yang lain berebut mencium Ukasyah.
Tak ada yang menyangka takbir kembali bergema. Para sahabat berterima kasih kepada Ukasyah karena telah mengajarkan mereka makna terdalam dari cinta.
Dalam episode yang lain, Muhammad Sang Nabi pernah menjenguk, membelai sepenuh kasih dan mendoakan orang-orang yang pernah melukai hatinya, menaburi kotoran halaman di depan pintu rumahnya, bahkan menaburi kepala dan wajahnya dan hingga berlumur kotoran onta. Dan Fatimah Azzahra yang masih kanak ketika itu, putri yang sangat dicintainya hanya bisa menangis sesenggukan melihat ayahnya diperlakukan kasar seperti itu.
Di kisah yang lain seorang yahudi yang jahil menuduh Nabi telah berutang dan menyebarkan ketengah khlayak sembari berkata “Anda sekarang harus membayar utang itu!” Rasulullah membantahnya seraya berkata “Sebelum saya membayar utang yang anda tuduhkan, buktikan dulu bahwa saya memang memiliki hutang dan bila terbukti izinkan saya ke rumah dulu karena saya sekarang tidak membawa uang!”
Si Yahudi tidak mau menerima usulan Nabi. “Saya tidak mengizinkan anda pergi ke rumah selangkah pun!”
Sementara Rasulullah sedang ingin melaksanakan salat. Dan si Yahudi mendesak terus agar Nabi membayar hutang saat itu juga. Rasulullah tetap melayaninya dengan penuh kelembutan tapi malah dibalas dengan sikap keras. Orang Yahudi itu semakin kurang ajar, ia menarik jubah Rasul dan kemudian diikatkan ke leher beliau serta ditarik dengan keras sehingga membekas di leher beliau.
Para sahabat Nabi yang tadi menunggu berdatangan ingin membantu beliau. Tapi beliau tidak mengizinkan mereka ikut campur dan tetap memperlakukannya dengan baik. Sampai akhirnya orang Yahudi itu tidak tahan lagi. Saat itu juga ia menyatakan ke-Islaman-nya.
Namun dalam berbagai catatan, bahwa Rosulullah sangat lembut dan berakhlak paripurna bila berkenaan dengan pribadinya. Tapi bila berkenaan dengan aturan dan hukum yang telah disepakati maka ia akan berlaku sangat tegas termasuk kepada putrinya yang ia sangat cintai “Fatimah Azzahra sekalipun bila melakukan pelanggaran hukum akan kukenakan sangsi.” ujarnya.
Bagaimana mungkin aku tak berbagi cinta untukmu bila lakumu melampaui kebaikan seluruh makhluk Tuhan yang pernah diciptakan-Nya. Aku malu mengaku sebagai pengikutmu bila jejak-jejak yang kutoreh dalam hidupku menciderai kemuliaanmu.
Baca pula bagaimana Muhammad Iqbal (1877-1938), seorang filsuf asal Pakistan, mengatakan. “Tuhan bisa tak kau percaya, tapi Muhammad tak!” Sebab, bagi Iqbal, Muhammad terlalu sederhana, dekat dan nyata untuk bisa di tolak. Keagungannya terletak sungguh-sungguh sebab ia menjadi sahabat terdekat siapa saja. Sebab manusia biasa yang bisa sakit sakit dan terluka, namun pada dirinyalah Tuhan menitipkan cinta dan kasih sayang semesta. Pada dirinyalah nilai-nilai Tuhan yang kompleks dan tak terpermaknai menjadi sangat nyata, dekat, dan tak sanggup lagi di tolak. Sebab Muhammad adalah kekasih abadi Tuhan yang Ia balaskan menjadi cinta bagi siapa saja. Kata Iqbal, lagi, apapun tafsirmu tentang Tuhan, agama, dan apa saja yang melingkupinya, kau tak bisa menolak Muhammad, sebagai manusia suci dengan cintanya yang abadi, yang mengajarkan kita kebaikan, nilai utama dari alfa-beta dari kehidupan, alif-ba-ta cinta.
Ya Tuhan pemilik alam semesta dan seisinya, beri aku kekuatan untuk sekadar mencium aroma pekertinya dan cintanya yang mewangi kesturi.
Subhanallah… bulan ini maulidmu, ya Rasulullah. Aku telah berusaha mencintaimu, merindukanmu, dengan caraku sendiri. Mengirimimu shalawat sebanyak yang aku mampu, torehkan hidupku seperti yang engkau teladankan sekuat raga dan batinku, walau di sana-sini diriku masih berselimut nista. Salam untukmu ya…Nabi, salam untuk keluargamu yang penuh cinta, salam untuk sahabatmu yang tercerahkan.
Sebagai penutup dari catatan ini aku ingin mengutip sepotong puisi dari Johann Wolfgang Von Goethe (1749-1832), filsuf dan penyair besar asal Jerman, tentang Muhammad. Padahal beliau seorang non muslim, namun ia mampu menguak makna cinta lintas keyakinan, yang di tulisnya dengan begitu indah ;
Banyak bintang yang berkelap-kelip
Ada bulan yang bercahaya lembut
Ada dian menerangi pondok petani
Kilau lampu-lampu listrik di tengah kota
Namun, hanya satu matahari,
Cahaya di atas cahaya,
Dialah Muhammad
Maha pemimpin
Maha manusia..
Ilustrasi: https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/04/17/o5r9ao361-kisah-cinta-rasulullah-terhadap-keluarga
Penulis. Telah menerbitkan beberapa buku kumpulan esai dan puisi di antaranya Jejak Air mata (2009), Melati untuk Kekasih (2013), Dari Pojok Facebook untuk Indonesia (2014), Tu(h)an di Panti Pijat (2015). Anging Mammiri (2017), Menafsir Kembali Indonesia (2017), Dari Langit dan Bumi (2017). Celoteh Pagi (2018), Di Pojok Sebuah Kelenteng (2018), dan Perjalanan Cinta (2019).