Arsip Kategori: Makassar Akar Rumput

Kampung Karabba, Pendidikan dan Kisah Dua Keluarga

Kampung Karabba merupakan salah satu kawasan permukiman pesisir yang terdapat di Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Makassar. Karakteristik permukiman ini sama seperti permukiman pesisir di perkotaan pada umumnya, antara lain memiliki tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dipengaruhi oleh wilayah perairan, dan cenderung kumuh. Mata pencaharian utama di perkampungan ini adalah mayoritas buruh harian lepas dan sebagian kecil nelayan dengan penghasilan yang tidak menentu. Untuk membantu perekonomian keluarga, kadang ada warga yang merangkap bekerja sebagai tukang ojek. Sementara itu, ibu-ibu rumah tangga ada yang berjualan makanan dan minuman di halaman rumah dan ada pula yang berjualan hasil laut.

Tingkat pendidikan masyarakat di Kampung Karabba yang rendah salah satunya disebabkan oleh kemiskinan. Dengan kondisi tersebut tidak memungkinkan bagi hampir sebagian besar warga untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya. Selain itu pandangan masyarakat terhadap pendidikan juga berpengaruh terhadap jenjang pendidikan berkelanjutan. Meningkatnya kebutuhan dan tekanan ekonomi membuat masyarakat Kampung Karabba dihadapkan dengan kenyataan bahwa mereka seolah luput akan pentingnya pendidikan.

Pendidikan sebagai sarana meningkatkan kualitas kepribadian memiliki peran strategis baik dalam aspek intelektualitas maupun moralitas. Untuk itu, pendidikan menjadi salah satu kebutuhan primer yang dianggap penting bagi manusia. Namun demikian, tidak semua orang memahami dan mengejawantahkan pentingnya pendidikan bagi eksistensi hidupnya. Kemudian dalam konteks kehidupan sosial, pendidikan juga berperan penting dalam menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Konsep pendidikan tidak hanya sebatas proses mengajar dan belajar di dalam kelas, tetapi juga mencakup segala aspek pembentukan karakter, peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang membentuk manusia menjadi individu yang lebih baik.

Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik dan mengajar adalah proses memanusiakan manusia, sehingga harus memerdekakan manusia dan segala aspek kehidupan baik secara fisik, mental, jasmani, dan rohani. Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa untuk proses pendidkan ini diperlukan adanya kesadaran dalam setiap orang.

Rendahnya pendidikan di Kampung Karabba ini terjadi karena kurangnya edukasi dan masalah ekonomi bahwa pendidikan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan taraf sosial dan ekonomi keluarga. Pentingnya pendidikan terhadap anak dalam sebuah keluarga dapat mendorong lahirnya individu-individu yang mampu memutus mata rantai kemiskinan dalam keluarga.

Kisah Si Kembar

Siang itu ketika saya berkunjung di Kampung Karabba, saya bertemu dengan salah satu warga di sana yaitu Ibu Isa. Kemudian kami berbincang di rumah salah satu warga yang akrab disapa Ibu Mega. Saya memperkenalkan diri terlebih dahulu kemudian menjelaskan maksud dari tujuan saya berkunjung. Selama berbincang ibu Isa bercerita bahwa dia memiliki dua orang keponakan yaitu Fikram dan Ikram yang ternyata belum sekolah.

Ibu Isa sudah lama tinggal di Kampung Karabba ini. Ia berasal dari Pangkep dan sudah menetap di sini sekitar 40 tahun bersama ibunya dan para saudaranya. Ia bisa dibilang penduduk awal dari Kampung Karabba ini, karena saat itu rumah yang ada masih bisa dihitung jari atau sekitar sepuluh rumah saja.

Di keluarga ibu Isa bisa dibilang dari segi ekonomi cukup kurang. Kata ibu Isa “bukan gak ada tetapi kurang”. Di keluarga mereka anak-anak yang sedang bersekolah tidak ada yang mendapat beasiswa dari pemerintah. Dulu sempat dapat keponakan ibu Isa yang bernama Ilham di bangku kelas 4 SD tetapi dia hanya dapat tiga kali.

Untuk keperluan sehari-hari mereka hanya dibantu oleh menantu yang bekerja sebagai buruh di Pelabuhan Kota Makassar. Fikram yang masih berusia 7 tahun, salah satu dari si kembar sering ikut kerja di orang lain, seperti kerja bangunan angkat batu. Upah yang di dapat tidak seberapa dan terbilang kecil hanya untuk uang jajan saja.

Menurut Ibu Isa si kembar ini memiliki keinginan yang besar untuk sekolah. Mereka sering ikut belajar di temannya bahkan sampai mau ikut pergi ke sekolah. Mereka tidak merasa capek dengan belajar, justru mereka malah senang. Kemauan mereka untuk sekolah sangat besar, tetapi lagi-lagi terhalang oleh masalah ekonomi.

Lalu di hari yang berbeda saya bertemu dengan Pak Ansar di rumah beliau langsung. Bapak dari Fikram dan Ikram yang belum sekolah. Saya berbincang dengan beliau tentang mengapa anaknya tidak bersekolah.

rumah-rumah warga di Kampung Karabba yang berdiri di tepi laut (sumber: ruang abstrak literasi)

Pak Ansar berusia 36 tahun dan bekerja sebagai buruh lepas di Pelabuhan Kota Makassar. Jadwal kerjanya tidak menentu tergantung panggilan saja. Penghasilannya pun paling tinggi dapat seratus ribu setiap hari dan itu hanya cukup untuk keperluan makan mereka.

Beliau menikah di umur 30 tahun dengan seorang janda. Rumah tangga mereka tidak bertahan lama. Tepat setelah melahirkan Fikram dan Ikram di usia yang masih belia, ibunya pergi meninggalkan mereka. Sampai sekarang belum diketahui pasti penyebab ibunya meninggalkan anak dan suaminya.

Untuk mendapat perhatian dari Fikram dan Ikram ibunya kembali berkunjung dan mencoba berbagai cara agar anaknya ikut padanya. Salah satunya dengan sering berkunjung melihat anaknya. Namun sekitar setahun belakang ini ibunya sudah tidak pernah kembali mengunjungi mereka.

Pak Ansar merupakan tamatan SD. Ia sudah lama menetap di Kampung Karabba ini. Rumah yang mereka tempati juga milik mereka sendiri. Di rumah itu hanya dihuni oleh Pak Ansar beserta dua anaknya dan nenek. Keseharian mereka tidak banyak karena di pagi hari ia sarapan dengan kue dan ditemani kopi. Berangkat kerja jam delapan pagi dan pulang di malam hari. Untuk uang jajan anaknya pun bisa dibilang cukup tinggi. Setiap hari mereka dikasih uang senilai dua puluh ribu.

Kedua anak mereka belum sekolah dikarenakan terkendala di persoalan administrasi. Akta kelahiran maupun Kartu Keluarga (KK) sampai saat ini belum ada. Sebelumnya si kembar ini memiliki akta kelahiran, tetapi saat itu telah dibawa oleh ibunya dan tidak diketahui di mana akta itu sekarang. Mereka sempat ingin buat kembali tetapi dari RT setempat meminta biaya senilai empat ratus ribu dan itu nominal yang cukup besar bagi Pak Ansar. Namun beliau ingat jika ditanya soal tanggal kelahiran anaknya dan di mana  anaknya dulu lahir.

Ibunya tinggal di Pulau Badi’ Kabupaten Pangkep bersama kedua anaknya di suami sebelumnya. Tetapi berbeda dengan ibunya, kakak tirinya itu sering berkunjung ke rumah anak kembar ini untuk memberi uang belanja.

Di rumah Pak Ansar juga listriknya hanya disambung dari rumah Ibu Isa, kakaknya. Apalagi kalau Pak Ansar tidak ada penghasilan dalam beberapa hari, yang menutupi kebutuhan sehari-hari mereka adalah Ibu Isa. Seperti dibelikan beras dan ikan.

Bantuan dari pemerintah pun bisa dibilang jarang masuk. “Kalau adapi lebih na baru pi didapat, kalau tidak ada ya tidak ada,” tutur Pak Ansar. Menurut Pak Ansar, RT setempat lebih mengutamakan keluarganya sehingga bantuan tersebut tidak di dapat secara merata. Bantuan seperti Program Keluarga Harapan (PKH) buat lansia pun sekitar setahun belakang ini sudah tidak ada. Sebagai anak Pak Ansar sudah berusaha dengan mendatangi kantor terkait. Sampai pada suatu waktu ia mendengar orang lain mendapat bantuan  PKH. Ia kembali mengecek ternyata masih kosong dan menunggu sampai 1 tahun tetapi tidak kunjung dapat juga bantuan.

Bantuan pemerintah itu sangat penting bagi mereka. Apalagi di keluarga mereka terdaftar 3 orang yang seharusnya mendapat bantuan tetapi sudah lebih dari setahun bantuan tidak kunjung cair. Orang yang membantu mereka mengurus pencairan bantuan saat itu menghilang dan nomor teleponnya pun sudah tidak bisa dihubungi.

Gilang Mahardhika

Gilang berusia 11 tahun dan anak kedua dari tiga bersaudara. Berbeda dengan saudaranya, Gilang memilih berhenti pada saat kelas empat SD. Alasannya, ia tidak ingin menyusahkan orang tuanya. Namun Gilang masih ada keinginan untuk melanjutkan sekolahnya.

Kedua orang tua Gilang sudah lama berpisah. Tepat saat Gilang duduk di bangku kelas satu SD. Saat ini Gilang tinggal bersama ibu, kakek dan kedua saudaranya. Meski sudah berpisah, ayahnya tetap menafkahi anak-anaknya, dengan mengirim uang setiap dua bulan. Ibunya bekerja sebagai buruh rumput laut dengan bekerja enam hari dalam seminggu.

Di Kampung Karabba ini bisa dibilang lingkungan baru bagi Gilang. Ia sebelumnya tinggal di Kelurahan Buloa dan pindah pada saat duduk di bangku kelas empat SD. Saat ini Gilang mengisi kegiatannya dengan membantu ibunya mencari ikan lalu meminta bantuan orang lain untuk menjualnya. Dari hasil jualan ikan tersebut mereka bagi dua. Hobi Gilang tidak jauh-jauh dari laut. Ia senang memancing. Terkadang ia hanya menangkap ikan lalu melepasnya kembali. Ia juga biasa mencari kepiting untuk dimakan di rumah.

Gilang belum bisa membaca meskipun ia berhenti sekolah saat kelas empat SD. Namun ia bisa kalau soal berhitung. Walaupun berhenti sekolah dia masih ikut belajar bersama saudaranya di rumah.

Perasaannya sedih saat berhenti sekolah. Saat sekolah dulu, ia juga sempat dapat beasiswa dari sekolah. Cerita dari adiknya, saat Gilang memutuskan untuk berhenti ia sempat dicari oleh guru di sekolah. Pasalnya ia berhenti secara tiba-tiba.

Orang tua bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, tetapi terkadang pendidikan di rumah lebih dibebankan pada ibu karena ibu dianggap lebih dekat dengan anak. Tetapi sebenarnya pendidikan adalah tanggung jawab bagi kedua orang tua. Namun tidak semua orang tua memiliki kebiasaan dan pola pendidikan yang sama dalam mendidik anak mereka. Tidak semua orang tua memiliki kebiasaan dan mengambil sebuah keputusan dan sikap. Sehingga beberapa orang tua dianggap kurang dan tidak memperhatikan anak karena kesibukan mereka mencari nafkah guna mencukupi kebutuhan hidup.

Selain faktor ekonomi, faktor lainnya ialah lingkungan sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat faktor lingkungan juga pastinya berpengaruh. Lingkungan sosial meliputi kondisi-kondisi dalam dunia ini yang dapat mempengaruhi perkembangan anak, perilaku anak, serta pertumbuhan anak.

Menurut saya penting bagi anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Apalagi anak-anak di Kampung Karabba memiliki motivasi yang tinggi dalam melihat pendidikan tetapi selalu terkendala di biaya pendidikan. Dari kasus Fikram dan Ikram pemerintah setempat semestinya memberikan kemudahan pelayanan administrasi sebagai syarat untuk sekolah bukan sebaliknya membebankan mereka dengan biaya pengurusan administrasi yang tinggi. Lalu untuk keadaan Gilang, pihak sekolah seharusnya berupaya untuk mengajak Gilang kembali untuk bersekolah. Apalagi dengan kondisi ia saat itu masih menerima bantuan beasiswa dari pemerintah. Di sinilah pentingnya posisi orang tua untuk memberikan motivasi kepada anak tentang pentingnya pendidikan.

Bola Pemberdayaan Abon Pulau Lae-Lae yang berhenti di Kaki Pemerintah

Hambatan sesungguhnya bagi kami bukanlah waktu ataupun kerja sama, melainkan peralatan yang kurang memadai

Ibu Puji, Ketua Kelompok Abon Sinar Harapan Pulau Lae-Lae

Pulau Lae-Lae salah satu pulau yang terletak di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pulau ini merupakan pulau peninggalan Jepang dengan luas 6,5 hektar, berpasir putih dan dihuni oleh sekitar 400 keluarga atau sekitar 2.000 jiwa. Hanya butuh waktu sekitar lima menit dari Dermaga Kayu Bangkoa untuk menuju Pulau Lae-Lae. Setiap pekannya selalu ada pengunjung berwisata untuk menikmati suasana laut dan pasir putih Pulau Lae-Lae

Seperti kebanyakan masyarakat pulau pada umumnya, kehidupan masyarakatnya tentunya tidak lepas dari laut. Bagaimana tidak, bagi mereka laut telah menjadi sumber kehidupan yang memiliki kekayaan sumber daya dan menyediakan apa yang mereka butuhkan. Namun, hasil sumber daya yang mereka dapatkan belum mampu dikelola secara maksimal. Alasan utamanya karena masih minimnya pengetahuan mengenai cara mengelola hasil laut itu sendiri. Mereka cuma menangkap hasil laut untuk dikonsumsi atau paling tidak bagi nelayan mereka jual untuk meningkatkan ekonomi keluarganya. Di sinilah pentingnya program pemberdayaan masyarakat terkait pengelolaan hasil laut.

Dinas Perikanan dari provinsi maupun kota merupakan salah satu instansi pemerintah yang memiliki kewenangan mengenai pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau pulau kecil juga tentunya mengacu pada Undang Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang “pemberdayaan Masyarakat bahwa penyelanggaraan Pemerintah Desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika”. Intinya, jika mereka warga Indonesia dan masih kurang paham tentang cara pengelolaan sumber daya yang mereka miliki baik itu manusia dan lingkungannya, maka mereka berhak mendapatakan pemberdayaan.

Secara sosiologis pemberdayaan masyarakat menurut Jim Ife dalam bukunya yang berjudul Community Development, Creating Community Alternatives-Vision, Analisis and Practice (1997), menjelaskan bahwa definisi pemberdayaan ialah memberikan sumber daya, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan kepada warga untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menentukan masa depan mereka sendiri dan berpartisipasi pada upaya mempengaruhi kehidupan dari kelompoknya. Artinya, sumber daya yang dimaksud pastinya juga termasuk alam dan manusia.

Nah, terkait dengan pemberdayaan, di Pulau Lae-Lae sendiri terdapat beberapa kelompok pemberdayaan masyarakat yang saya temukan. Mulai dari produksi abon, kepiting lunak, cumi, pengelolaan pariwisata dan masih banyak lagi. Tidak heran karena fakta yang ada memang pulau ini memiliki beragam kekayaan sumber daya, tetapi dalam tulisan ini saya akan mengulas mengenai “Pemberdayaan Abon Ikan”.

Abon ikan merupakan jenis makanan kering sekilas berbentuk serat halus, terjadi karena hasil dari pembuatannya yang direbus, disayat halus, di goreng hingga pada akhirnya di tekan atau di press. Umumnya Abon terbuat dari daging sapi dan daging ikan. Berhubungan dengan ikan, Pulau Lae Lae merupakan pulau yang mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai nelayan, artinya ikan bukanlah sesuatu yang sulit didapatkan, tetapi justru melimpah.

Sebut saja Ibu Puji, beliau adalah seorang Ibu rumah tangga yang sehari-harinya bekerja sebagai pembuat kue sekaligus pembuat abon. Layaknya ibu rumah tangga pada umumnya yang memiliki berbagai kesibukan setiap harinya. Meskipun sibuk, ia bersama dengan beberapa ibu lainnya masih sanggup membuat abon dengan harapan dapat menambah penghasilan tambahan untuk keluarganya.

Kelompok Sinar Harapan Lae Lae, diketuai Ibu Puji beranggotakan 10 orang yang semuanya terdiri dari ibu rumah tangga di Pulau Lae-Lae sendiri. Ibu Fuji menjelaskan, pada mulanya kelompok yang sudah terbentuk sekitar 5 tahun atau sekitar tahun 2018 ini di bawah naungan Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan dan pelaksanaannya didampingi oleh Dinas Perikanan Kota Makassar. Sekilas kelompok ini memiliki kesan aktivitasnya terlaksana secara sangat efektif dan teratur karena didampingi langsung oleh Dinas Perikanan Kota Makassar, tetapi menurut saya masih kurang maksimal apalagi tentang peralatan dan tindak lanjut pendampingan. Kok bisa?

Kelompok Sinar Harapan Lae Lae juga sudah tercatat sebagai UMKM (Usaha Menengah, Kecil dan Mikro) dan memiliki izin PRT (Produksi Rumah Tangga). Abon yang mereka produksi ini berbahan utama ikan tenggiri dan ikan tuna tetapi lebih dominan tuna. “Ya biasanya saya pakai ikan tuna, Ikan tenggiri itu kita pakai kalau ada orang pesan saja karena mahal”, ucap Ibu Puji. Tidakak heran juga, karena ikan ini sangat mahal jika dijadikan bahan abon apalagi distribusi penjualan yang masih tidak menentu bisa menyebabkan kerugian jika tak tida laku sampai abonnya kedaluwarsa.

Fakta di lapangan yang saya dapat dan diceritakan sendiri oleh Ibu Puji selaku ketua kelompok ini sekaligus yang paling tahu mengenai kondisi dan perkembangan kelompok pembuat Abon Sinar Harapan Lae Lae. “Awalnya saya ini dibina dan diberikan pelatihan oleh dinas perikanan provinsi kemudian pada pelaksanaanya kami didampingi oleh dinas perikanan kota, dan setiap ada proses kami harus melapor kepada mereka. Lalu pendampingannya kami dibantu mengurus akta pendirian hingga terdaftar sebagai PRT dan UMKM, ” kata Ibu Fuji.

Gambar(1): Saat ketika wawancara Bersama ibu puji berlangsung

Dari proses panjang yang dilalui kelompok ini alhasil mereka telah mampu memproduksi abon sendiri dan menjualnya. Namun, tantangannya terletak pada proses pemasaran. Sulit bagi mereka mempromosikan produknya di masyarakat umum apalagi jika penjualannya hanya bergantung pada masyarakat pulau saja.

Namun, Ibu Puji dan anggotanya tentunya tidak menyerah Kelompoknya berusaha memasarkan produknya ini melalui kanal online mulai dari sosial media dan e-commerce atau lapak online. Meskipun menurut saya masih kurang efektif, karena masih minimnya pengetahuan tentang penggunaan teknologi bagi kelompok mereka. Saya lanjut bertanya “Kenapa produk ibu ini tidak di titip di toko saja?’’, Ibu Puji pun menjawab” ya kalau di titip di etalase toko toko kan takutnya produk kami tidak laku hingga masa kadaluarsanya, apa lagi kan rata rata pemilik toko ole-ole itu orang Cina dan mereka teliti, ” balasnya

Permasalahan Ibu Puji tidak hanya terletak pada penjualan dan promosi. Alat pembuatan abon juga menjadi masalah utama mereka. Hal ini juga yang sempat membuat kelompoknya berhenti berproduksi. Bagaimana bisa? Jika dirata-ratakan Ibu Puji kebanyakan menerima abon sekitar 3 sampai 4 Kg yang harus mereka produksi menggunakan alat penekan atau press manual yang sederhana.  Cara penggunaan alat tersebut menguras keringat dan membutuhkan banyak tenaga. Tidak jarang, tangan mereka kesakitan saat menggunakan alat itu olahan ikannya harus melalui press hingga benar benar kering.

“Sempat kelompok kami mandek dalam produksinya karena persoalan alat. Dulu juga Pak Lurah pernah menanyai kami terkait kelompok kami yang mandek ini, terus saya menjelaskan kalau alasannya ya karena kami kekurangan alat” tutur Ibu Puji. Ia juga menceritakan bahwa Pak Lurah tak percaya dan mencoba alat itu, alhasil ia sangat kesusahan hingga tangannya pun juga ikut memerah. Bahkan Ibu Puji berkata ia tidak yakin anak muda pun mampu menggunakan alat itu.

Gambar(2): Alat pemeras abon manual[sumber:shopee.alat.pemeras.abon.dan.kentang.manual]

Ternyata dibalik abon yang ibu Puji produksi membutuhkan usaha yang sangat keras, menguras tenaga dan membutuhkan kesabaran, itulah yang mereka rasakan saat itu. Namun, tidak ada kata menyerah bagi kelompoknya. Tangan yang memerah, tubuh yang lelah mungkin ia korbankan dengan menaruh harapan agar mereka mendapatkan hasil dari produk buatannya itu, meskipun tidak seberapa dengan usaha yang mereka telah lakukan.

“Saya pernah meminta kepada Pak Lurah untuk mengajukan permohonan pengadaan alat ini, saya juga sudah kasih data-data yang kami butuhkan kelompok abon kami. Itu harus ada freezer (pendingin), ada spinner (alat pengering minyak), dan kompor besar, ” lanjut Ibu Fuji.

Ternyata Ibu Puji sebelumnya sudah sering mengajukan proposal terkait pengadaan alat produksi abon untuk kelompoknya. Mereka juga telah menjelaskan kendala dan kenyataan yang terjadi akibat produksi mereka tanpa alat yang memadai. Hanya saja sampai saat ini mereka tidak mendapatkannya bahkan untuk direspon sekalipun tidak. Lebih lanjut ibu Puji mengungkapkan. “Sudah ada empat pendamping yang telah mendampingi kami dan keluhan alat sudah kami sampai kepada mereka semua tetapi sampai sekarang belum ada. Hambatan sesungguhnya bagi kami bukanlah waktu ataupun kerja sama melainkan alat yang kurang memadai.” Ada kesedihan yang tersirat dari cerita Ibu Puji. Ibarat diberikan sebuah cahaya untuk berjalan kemudian setelah berjalan tiba tiba cahayanya redup dan mati.

Ternyata sebelum kelompok Abon Sinar Harapan Lae-Lae terbentuk, ada juga kelompok Abon yang lebih dulu terbentuk bernama kelompok Sinar Lae-Lae. Ketuanya adalah oleh Ibu Intan, dan juga ternyata dibina oleh Dinas Perikanan Kota sama seperti kelompok Ibu Puji. Pembinaan kelompok ini terbilang cukup baik karena telah matang dari segi kemampuan dan alat yang mumpuni. Hanya saja saat saya berada di pulau, saya tidak sempat mewawancarai Ibu Intan lebih lanjut.

Ibu Puji yang memegang amanah sebagai ketua kelompok ternyata tidak main-main, meskipun ia tidak paham mengenai cara membuat sebuah proposal permohonan alat tetapi ia selalu berusaha, dengan penuh rasa tanggung jawab. Ia kadang meminta tolong kepada pejabat kelurahan untuk membantu pembuatan proposal.

Selain mengenai keluhan tentang alat, Ibu Puji juga bercerita mengenai pembina dari dinas perikanan kota. Awalnya perwakilan mereka rutin datang mengecek perkembangan kelompoknya dan memberikan arahan serta menerima masukan dari kelompoknya. Akhir-akhir justru mereka sudah jarang berkunjung, “Yang awalnya datang sebulan sekali, sekarang hanya berkunjung 3 bulan sekali atau 6 bulan sekali, bahkan kadang kadang tidak pernah datang dalam setahun,” lanjut Ibu Puji.

Menurut Ira Susanti (2018) dalam tulisannya “Kendala Kendala Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pembangunan Desa” bahwa, kendala yang dialami oleh aparatur pemerintah seperti kurangnya tenaga untuk sosialisasi dan pembinaan terhadap masyarakat desa dan pengetahuan aparat pemerintah desa yang rendah tentang pemberdayaan serta lambatnya perkembangan teknologi di desa tersebut sehingga dalam proses pemberdayaan masyarakat menjadi lambat dan kurang berkembang. Inilah situasi yang juga dialami Ibu Puji.

Di saat seharusnya mereka sibuk mengembangkan usaha kelompoknya, membuat resep baru dan, memasarkan produknya. Namun kenyataanya mereka masih berupaya mengurus pengadaan peralatan produksi dan di satu sisi ada kekhawatiran jika suatu saat kelompoknya akan mati atau berhenti beroperasi.

Sebelumnya saya pernah mewawancarai salah satu pelaku UMKM di daerah pesisir di kabupaten Barru atau tepatnya di Desa Padongko Kecamatan Mangempang. Saya menemui Ibu Sulaiha (49 Tahun) yang merupakan seorang guru dan juga seorang pembuat abon yang pada awalnya dibina oleh mahasiswa dan selanjutnya pada penyediaan alatnya disiapkan oleh instansi pemerintah. Tidak jauh beda dengan Kelompok Ibu Puji yang melibatkan pemerintah dalam proses pemberdayaan kelompoknya. Saya ingat Ibu Sulaiha pada saat itu pernah berkata bahwa mereka betul betul dibina secara matang mulai dari praktek dan alat, sehingga masalah produksi jarang ia temui.

Suatu usaha tidak akan mencapai sebuah kemajuan jika dalam proses produksinya masih mengalami hambatan. Keadaan inilah yang juga dialami ibu Puji beserta para anggota kelompok abonnya. Meskipun ia masih mampu melakukan produksi tetapi dalam prosesnya sangat sulit, membutuhkan tenaga dan kesabaran yang lebih.

Jika permasalahan ini kita gali akar permasalahannya, tentu tidak terlepas dari peran Dinas Perikanan yang hanya mengusulkan ide pengadaan kelompok dan diberikan sertifikat keresmian. Namun, pada tindak lanjut pendampingan kelompok justru masih sangat minim. Mulai dari pemberian alat produksi, pembinaan tata cara pemasaran, dan pengecekan keadaan kelompok yang awalnya rutin menjadi minim.

Masalah yang terjadi antara kelompok Sinar Harapan Lae Lae sebagi kelompok yang diberdayakan dan Dinas Perikanan Kota yang memberi pemberdayaan harus segera mendapatkan titik temu solusi. Kedua pihak penting untuk bertemu dan berdiskusi membahas bagaimana solusi permasalahan yang dihadapi oleh Kelompok Sinar Harapan Lae-Lae agar terus bisa melanjutkan produksinya dan memaksimalkan pemasaran produk. Jika masalah ini tidak kunjung diselesaikan dan keadaan kedepannya masih tetap akan seperti ini, cepat atau lambat usaha kelompok mereka akan mati. Padahal jika pendampingan ini berkelanjutan maka keuntungan hasil dari produksi abon tersebut bisa menjadi salah satu sumber penghasilan tambahan bagi keluarga mereka. Untuk saat ini kata menyerah hanya belum sampai kepada ibu Puji dan para anggota kelompoknya.

Kisah Pappalimbang Pulau Lae-Lae Makassar

Dalam menjalani hidup, ada banyak hal yang sering kali tidak sesuai dengan realita yang kita inginkan. Kadang ingin jalan yang lurus dan mulus, tapi ternyata kenyataan memberi jalan rusak dan berlubang. Begitulah proses hidup. Seringkali banyak dari kita membuat pilihan berat, baik itu untuk persoalan pendidikan, perkerjaan dan masih banyak lagi. Namun, ketika kita menerimanya, mencintai, dan mensyukuri apa yang sudah menjadi pilihan kita, baik itu persoalan pekerjaan maupun lainnya maka akan terasa lebih ringan dan mudah.

Awalnya saat pertama kali mengetahui tentang pappalimbang saya tidak memandang penting profesi ini. Namun, setelah ikut serta di dalam prosesnya rasa cinta saya tumbuh pada profesi pappalimbang karena sosok Pak Tiro. Seorang pria paruh baya yang begitu mencintai pekerjaannya. Beberapa hari yang lalu saya ingin menyeberang ke Pulau Lae-Lae. Sebelum melanjutkan mungkin saya jelaskan sedikit apa dan di mana Pulau Lae-Lae, barangkali ada yang belum mengetahuinya. Pulau Lae-Lae adalah sebuah pulau kecil yang berada di Sulawesi Selatan yang jaraknya hanya 1,5 km dari pesisir Pantai Losari Kota Makassar. Kira-kira 10 menit waktu perjalanan. Sekitar 90% penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan jasa transportasi penyeberangan antar pulau. Warga Makassar menyebut profesi ini dengan istilah khas lokal: “pappalimbang”.

Pappalimbang merupakan suatu pekerjaan jasa transportasi penyeberangan antar pulau yang biasa masyarakat lokal gunakan untuk aktivitas keseharian mereka maupun untuk berwisata. Pekerjaan di bidang jasa ini membutuhkan pelayanan yang baik agar kepuasan pengguna jasa meningkat dan apabila kepuasan pengguna jasa meningkat, maka akan berpengaruh pada peningkatan penumpang. Pappalimbang sangat penting bagi para warga Pulau Lae-Lae karena selain bisa menjadi jasa penyeberangan, ia juga dapat mengangkut bahan-bahan pokok dari kota ke pulau. Dermaga Kayu Bangkoa salah satu pusat pappalimbang yang ada di Kota Makassar.

Nah lanjut, beberapa hari yang lalu saya dan beberapa teman saya ingin menyeberang ke pulau Lae-Lae karena ada tugas dari tempat magang. Beberapa teman sudah menunggu kedatangan saya. Saat sementara memarkirkan motor di depan dermaga ada seseorang pria paruh baya menghampiri saya dan berujar “itu dek temanta di sana sudah menunggu” sambil menunjuk ke dalam dermaga. Saya pun dengan senyum menjawab “oh iye pak”. Ternyata ia adalah seorang pappalimbang dan sudah berbicara dengan teman saya mengenai jasa transportasi yang ia tawarkan.

Sambil berjalan memasuki dermaga saya berbincang dengan Pak Tiro. Ia seorang pappalimbang yang berumur 53 tahun, mempunya 2 anak. Ternyata Pak Tiro sebelumnya merupakan seorang nelayan tangkap. Biasanya Pak Tiro keluar sesudah salat Subuh untuk bekerja dan mangkal di Dermaga Kayu Bangkoa. Sambil menunggu penumpang Pak Tiro biasanya mencari pekerjaan tambahan seperti menjadi buruh angkat barang. Kegigihan Pak Tiro membuat saya kembali terkagum. Sesampai di hadapan teman-teman, Pak Tiro bertanya “Bagaimana sudah mau berangkat?” Tanya Pak Tiro. “Masih menunggu beberapa teman pak,” jawab saya.

Sambil menunggu teman yang lain datang, saya kembali berbincang dengan Pak Tiro. Ia bercerita dulu saat muda, saat masih menjadi nelayan pernah bekerjasama dengan sebuah perusahaan perikanan. Bersama teman-temannya, Pak Tiro menangkap ikan dan hasil tangkapannya di jual ke perusahaan. Uang hasil tangkapan yang diberikan perusahaan kemudian dibagi enam dengan teman satu kapal Pak Tiro.

Pak Tiro dan beberapa teman satu kapalnya yang berasal dari Takalar pernah ditangkap di wilayah perairan Australia karena illegal fishing. Kata Pak Tiro, saat itu ia dan rekan kerjanya tidak menyadari ternyata ia sudah berlabuh sejauh itu untuk menangkap ikan. Saat ditangkap kata Pak Tiro tidak ada penyiksaan atau hal buruk lainnya, justru di sana dia diberi makan yang enak. Pak Tiro yang tadinya takut jadi senang karena diberi makan enak , “Di sana sudah kayak hotel” kata Pak Tiro sambil tertawa.

Sebenarnya sejak kecil Pak Tiro sering mengikuti sang ayah bekerja yang berprofesi sebagai pappalimbang. Ayah Pak Tiro pada saat itu masih menggunakan perahu dayung. Saat mengikuti dan mengamati sang ayah bekerja, ternyata Pak Tiro menyukai pekerjaan tersebut. Ia juga selalu membantu ayahnya bekerja dan dari pengalaman tersebut, Pak Tiro memutuskan berhenti menjadi nelayan dan beralih profesi menjadi pappalimbang, sebuah profesi yang ia sangat senangi dan cintai.

Dari mengikuti dan menemani sang ayah bekerja sebagai pappalimbang kini Pak Tiro sudah memiliki kapal sendiri untuk ia kemudikan mencari nafkah. Kapal yang Pak Tiro miliki seharga ratusan juta dan sebenarnya masih ada tanggungan. Menurut Pak Tiro Januari tahun 2024, kapal itu sudah lunas dan akan menjadi miliknya sepenuhnya. Pak Tiro membiayai keluarganya dengan penghasilan yang ia dapatkan sebagai papalimbang. Pak Tiro bahkan sudah membiayai anaknya sampai menjadi seorang pegawai kelurahan dengan hasil jerih payahnya dari pekerjaan yang dilakoni bertahun-tahun. Pak Tiro masih memiliki anak yang bersekolah di bangku SMA. Anak Pak Tiro tinggal bersama ibu Pak Tiro dikarenakan sekolah anak Pak Tiro berada di sekitar rumah ibu Pak Tiro.

Pada saat penerimaan siswa baru, Pak Tiro berusaha keras agar anaknya bisa bersekolah di sekitar Pulau Lae-Lae bahkan sampai ingin membayar berjuta-juta agar sang anak bisa bersekolah tidak jauh darinya. Namun, apa boleh buat pemerintah menetapkan sistem zonasi pada sekolah yang dampaknya sangat besar bagi Pak Tiro dan keluarga. Pak Tiro harus berpisah dengan sang anak yang lokasi sekolahnya jauh dari Pulau Lae-lae. Pak Tiro sedih, tetapi kata Pak Tiro mau bagaimana lagi demi pendidikan sang anak. Pak Tiro terkadang rindu, jadi biasanya sang anak akan pulang ke rumah pada hari jumat untuk menghilangkan rasa rindu. Sebenarnya tiga hari merupakan pertemuan yang sangat singkat bagi Pak Tiro tetapi sudah cukup mengobati rasa rindunya pada sang anak.

Keseharian Pak Tiro sebagai pappalimbang selalu membuat saya kagum karena dalam menjalani keseharian, Pak Tiro selalu melibatkan Tuhan-nya. Pak Tiro termasuk orang yang religius. Sebelum berangkat bekerja Pak Tiro salat Subuh dan mengaji sebentar untuk menunggu terbitnya fajar. Pada jam 6 pagi Pak Tiro sudah berangkat ke dermaga untuk mencari nafkah dan saat mendengar azan berkumandang dia akan menghentikan segala aktivitas yang ia kerjakan dan langsung menunaikan salat. Pak Tiro tidak berani meninggalkan salat karena bagi Pak Tiro rezeki berasal dari sang pencipta, “Kenapa mau meninggalkan salat sementara rezeki dari sana,” kata Pak Tiro sambil tersenyum. Pak Tiro juga baik dalam menjalankan perannya sebagai warga Pulau Lae-Lae, ia adalah sekretaris masjid yang biasa menjalankan sumbangan dari rumah ke rumah warga untuk masjid yang berada di Pulau Lae-Lae.

Pulau Lae-Lae dari tampakan atas drone (sumber: Indo Drone)

Di sela menunggu penumpang, kadang Pak Tiro menjadi buruh, kadang membantu mengangkat barang penumpang kapal lain yang juga penumpang teman Pak Tiro. Kata Pak Tiro jika diberi upah alhamdulillah dan jika tidak diberi juga tidak apa, Pak Tiro ikhlas membantu. Pak Tiro selalu bersyukur atas apa yang ia punya. Pak Tiro tidak pernah berselisih paham dengan papalimbang yang lain karena menurut Pak Tiro rezeki sudah ada yang atur, “kita juga harus saling menghargai apalagi sesama pappalimbang,” ungkapnya. Pak Tiro bercerita biasanya ada penumpang yang sebenarnya sudah tawar menawar dengannya, tapi setelahnya disalib pappalimbang lain yang entah bagaimana ceritanya bisa demikian. Mungkin pappalimbang tersebut tidak mengetahui kalau Pak Tiro lebih dulu berbicara dengan si penumpang, tetapi dengan keikhlasan dan kesabaran Pak Tiro ia mengalah demi menghindari perselisihan antar papalimbang.

Selain Pulau Lae-Lae yang menjadi pengantaran keseharian, Pak Tiro juga melayani dan mengantar ke semua pulau di sekitar Makassar tergantung permintaan penumpang dan tarif tergantung dengan jarak pulau yang akan dituju. Ada yang menelepon ke nomor Pak Tiro, ada juga yang bertemu langsung dengan Pak Tiro untuk negoisasi harga pengantaran ke beberapa pulau di sekitar Kota Makassar. Kebanyakan dari mereka bertujuan untuk berwisata ke Pulau Samalona yang jaraknya sekitar 30 menit dari Dermaga Kayu Bangkoa. Tarif yang Pak Tiro tetapkan ada perbedaan antara wisatawan lokal dan wisatawan asing, yang ia tetapkan untuk wisatawan asing lumayan lebih mahal.

Pak Tiro bercerita walaupun ia menetapkan tarif wisatawan asing lebih mahal dari wisatawan lokal, Pak Tiro lebih menyukai mengantar wisatawan lokal karena menurut Pak Tiro wisatawan asing pelit, “Bule biasanya sekke,” kata Pak Tiro sambil tertawa. Namun, tidak jarang Pak Tiro mengantar wisatawan asing. Ketika mengantar wisatawan terkadang Pak Tiro menjadi agen penghubung antara budaya lokal dan wisatawan karena selama di perjalanan Pak Tiro biasanya menyampaikan berbagai pengetahuan yang ia ketahui tentang suatu pulau yang ia sering kunjungi.

Remaja Pappalimbang

Berbeda dari Pak Tiro yang sejak dulu mencintai profesi pappalimbang, bagi Putra, pappalimbang merupakan salah satu jalan untuk melanjutkan hidupnya. Putra merupakan remaja berumur 17 tahun yang bekerja keras demi menghidupi kedua orangtuanya. Putra rela putus sekolah demi membiayai pengobatan kedua orangtuanya yang sakit-sakitan. Seperti anak-anak yang lainnya, Putra sangat ingin melanjutkan pendidikannya. Putra yang seharusnya sudah duduk di bangku SMA merelakan masa remajanya demi membantu kedua orangtua.

Putra memilih menjadi pappalimbang karena merasa harus membantu orang tuanya yang sudah tidak mampu bekerja. Orangtua Putra sudah tak mampu lagi menyekolahkan Putra akibat keterbatasan ekonomi. Putra sangat ingin bersekolah tetapi karena keterbatasan biaya, ia terpaksa menjalani hidupnya tanpa melanjutkan pendidikannya. “Sekolah kan juga butuh biaya apalagi orang tua sekarang sakit-sakitan dan sudah tidak bisa membiayai buat sekolah,” ujar Putra. Ketika ditanya kenapa tidak sekolah sambil bekerja saja, kata Putra dia tidak bisa karena menurutnya kurang efektif untuk mencari uang lebih apalagi untuk membiayai orangtuanya, dan kalau bersekolah tugas-tugas sekolah akan keteteran. Ayah Putra dulunya berprofesi sebagai nelayan yang langsung menjual hasil tangkapannya. Sedangkan ibunya menjual kue, itupun kue yang ia jual merupakan milik orang lain. Ibu Putra hanya keliling di sekitar rumah untuk menjualnya, tetapi karena sakit akhirnya berhenti bekerja.

Putra hidup sederhana bersama kedua orang tuanya di sebuah kontrakan rumah yang berada di Pulau Lae-Lae. Sebelum tinggal di Pulau Lae-Lae, Putra dan kedua orang tuanya tinggal di salah satu daerah yang ada di Makassar. Putra memiliki satu saudara kandung, dan dua saudara tiri. Kedua saudara tiri Putra sudah berkeluarga dan memiliki anak. Kedua saudara Putra tinggal masing-masing bersama keluarga kecil mereka, walaupun berbeda ibu dengan Putra mereka juga tidak sungkan membantu Putra dalam urusan dapur. Putra memiliki adik kandung yang tinggal di Selayar bersama neneknya.

Putra menjadi pappalimbang sejak duduk di bangku SMP, ia mengikuti jejak kakaknya yang menjadi pappalimbang. Perahu yang Putra gunakan untuk mencari nafkah merupakan perahu milik kakak tirinya. Penghasilan yang Putra dapatkan dari hasil mencari penumpang ia bagi dua bersama sang kakak. Putra mendapat seratus ribu perhari, kadang juga dua ratus lima puluh ribu perhari tergantung banyaknya penumpang. Penghasilan Putra seratus ribu maupun dua ratus lima puluh ribu tadi masih kotor karena dibagi dua lagi bersama kakak dan untuk membeli bahan bakar perahu yang Putra gunakan. Hasil yang Putra dapatkan menjadi pappalimbang ia gunakan untuk membayar kontrakan yang Putra tinggali bersama dengan kedua orang tuanya, selain membayar kontrakan Putra juga membayar tagihan listrik dan air mereka.

Putra termasuk anak yang pekerja keras, selama menjadi pappalimbang Putra sudah membeli sepeda motor dari hasil jerih payahnya sendiri dan hebatnya diumur dia yang masih semuda ini. Motor yang Putra miliki biasanya ia pinjamkan ke sepupu yang sedang berkuliah. Kata Putra agar ada yang pakai karena ia sendiri jarang memakainya.

Kegiatan anak-anak sekolah Pulau Lae-Lae di pagi hari (sumber: Media Indonesia.com)

Tidak banyak remaja yang memiliki sikap yang seperti Putra, remaja yang putus sekolah demi membiayai kedua orangtua. Putra termasuk anak yang berbakti yang merelakan masa mudanya demi kedua orangtua. Remaja yang seumuran Putra biasanya menghabiskan waktunya untuk bermain, nongkrong sana-sini, tetapi Putra menghabiskan waktunya demi mencari nafkah untuk menghidupi kedua orangtuanya. Di luar sana banyak remaja yang memiliki kesempatan pendidikan yang lebih baik tetapi malah menyia-nyiakannya, di sisi lain ada Putra yang sangat menginginkan kesempatan tersebut.

Dilihat dari cerita di atas, pappalimbang memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena selain sebagai jasa transportasi penyeberangan dan pengangkutan bahan-bahan pokok, pappalimbang juga dapat menjadi salah satu profesi alternatif bagi sebagian orang yang ingin melanjutkan hidupnya. Sekarang pappalimbang semakin banyak karena banyak nelayan yang berubah profesi menjadi pappalimbang karena menurut mereka pekerjaan ini tidak terlalu berat dan santai kerjanya, dibanding nelayan yang harus mencari tangkapan di laut lepas. Sebagian juga karena faktor umur yang sudah tidak bisa melaut. Belum juga dengan penghasilan sebagai nelayan yang tidak menentu dan akan jauh dari keluarga.

Banyak yang menggeluti profesi ini juga karena pappalimbang sebagai pekerjaan yang sudah diwariskan turun menurun, dan tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi. Semua bisa menjadi pappalimbang jika mereka mampu mengemudikan kapal. Pendidikan minim, kurangnya keahlian, dan ketatnya persaingan, tidak sedikit orang yang melakukan pekerjaan apapun demi menghidupi keluarga mereka. Di luar sana banyak sekali pekerjaan yang dianggap remeh dimasyarakat padahal pekerjaan yang dianggap remeh tersebut merupakan pekerjaan yang orang lain muliakan karena pekerjaan tersebut mereka dapat melanjutkan hidup dan menjadi pahlawan bagi keluarga mereka. Saya belajar banyak tentang kehidupan dari pappalimbang.