Arsip Kategori: Opini

Di Fort Rotterdam, Malik Mengisahkan ‘Kelapa Sawit Membunuh Manusia’

“Sawit itu seperti militer: bercak hitam dan hijau. Itu membunuh orang…” — Sophie Chao.

SUATU siang, di sela-sela Saya tunai satu hajat, datang sebuah pesan WhatsApp dari Malik Rumakat. “Kak, Icak! Sehari dua katong bacarita sagu di Fort Rotterdam Makassar.” Malik juga memberitahu, kalau ia tak sendiri, bakal hadir juga Kasim Rumain. Dua utusan Wanu Sinema, pada lokakarya Bacarita Digital Volume Dua “Kekayaan Pangan Nusantara”  yang dihelat Rumata’ Artspace dan Kemendikbudristek, di penghujung Februari, bulan kemarin.

Saya sambut private chat itu dengan dua perasaan, senang dan cemas. Perasaan senang karena tak lama lagi dikunjungi saudara sepersusuan, sedangkan perasaan cemas gara-gara khawatir adik saya terseok-seok menempuh perjalanan sejauh 1212 kilometer, 751 mil. Malik memulai titik berangkat dari Kian Darat-Seram Timur, menuju Bula kota Kabupaten Seram Bagian Timur (jarak tempuh 95,2 kilometer atau perjalan darat selama 2 jam 22 menit). Selanjutnya dari Bula ke Ambon kota Provinsi Maluku (jarak tempuh 304 kilometer atau perjalan darat selama 24 jam), dan perjalanan berakhir di Kota Makassar (penerbangan nonstop selama 1 jam, 40 menit).

Tatkala tiba di Fort Rotterdam, atau saat dihimpit puluhan manusia, Malik menyadari satu hal—kemudian ditengkan kepada Saya, selagi kami ‘ngopi proletar’ di kontrakan Antang (satu hari setelah kegiatan Bacarita). “Ini semua berkat sagu, meski kadang Beta remehkan di meja makan.” Malik tak membayangkan sebelumnya, sagu yang ia anggap enteng di tiap ‘gelar tikar’, yang bakal membawa dirinya berlayar sejauh 1.212 kilometer 751 mil dari pelosok Seram Timur, bertemu dan bercakap dengan segenap orang di kota.  

Hari itu, di benteng yang menjadi penanda kota Makassar, perempuan-lelaki, tua-muda merangsek dari satu stand ke stand pameran lain, kemudian mereka bergumul di meja jamuan, yang jaga Malik dan Kasim. Sebuah kenap beralas daun pisang, di sana tergolek olahan pangan sagu (sagu bambu dan sagu tumbu), ikan Julung, dan kenari asap. Saya di sana, menyaksikan hilir-mudik puluhan manusia yang tumpang tindih di meja jamuan itu. Seakan-akan Saya diperhadapkan dengan ‘The Last Supper’, lukisan perjamuan terakhir karya Leonardo Da Vinci. Sementara Malik atau Kasim, mereka sontak kaget, lantaran orang-orang kota ini memamah habis sagu dan ikan Julung yang tersaji.

Sialnya, mereka tak cuma mencicipi, orang kota ini, begitu liar mengulik rupa cerita kreativitas meramu—cerita-cerita yang selama ini cuma dijumpai di dapur-dapur pelosok atau menjadi otoritas perempuan. Malik, laiknya rohaniwan yang mengisah ‘Lima Roti dan Dua Ikan’ kepada murid-murid Sekolah Minggu—tapi dirawikan Malik, melampaui yang dicatat Alkitab, yakni ‘Dua Puluh Roti (Sagu) dan Lima Ikan (Julung)’.

Menariknya, Malik bergerak membawa mereka melampaui cerita ‘bagaimana sagu diramu’, menuju cerita ‘kepunahan sagu’ yang menunggu waktu saja. Hemat Malik, kisah nahas sagu ini (atau pangan yang lain), perlu diketahui orang kota. Sebab mereka tak punya tradisi menanam, kecuali tradisi membelanjakan pangan yang datang dari kampung, yang kata Malik, pangan-pangan itu tengah dibinasa oleh ‘orang kota’ sendiri. Melalui perkebunan raksasa.

Mula-mula Malik mendaku, “Sagu bisa disimpan selama satu tahun, atau lebih lama dari waktu itu lagi, tanpa formalin.” Orang-orang kota ini tampak tercengang, saat Malik mendegus keunggulan sagu. “Andaikata benar ramalan 11 miliar jiwa dilanda kelaparan di hari mendatang, setidaknya usia sagu yang panjang itu, sanggup mengatasi musibah tersebut.”

Mungkin sebagian besar orang tak percaya. Tetapi satu fakta yang dikemukanan Malik, Saya kira tak bisa disangkal. Di hadapan puluhan orang yang khidmat memasang kuping itu, Malik berkata. “Sekarang, di museum  Kew Royal Botanic Gardens, di London, Inggris. Tersimpan tiga lempeng sagu dalam kondisi utuh (mungkin masih layak dikonsumsi), meskipun sagu itu sudah berusia 164 tahun. Sagu berumur satu abad lebih itu, dibawa Alfred Russel Wallace ahli botani Inggris dari Waras-waras Seram Timur, pada 1 Juni 1860.”

Gagasan yang kemudian dibangun Malik, kalau sagu yang tersimpan di Kew Gardens, yang berumur satu abad lebih itu, adalah suatu simulasi ketahanan pangan. Dan boleh jadi, itu jawaban pasti yang diberi pangan sagu, dalam mengatasi rasa cemas miliar manusia yang diprediksi akan kesulitan mengakses makanan di masa mendatang.

Baru-baru ini PBB memproyeksikan populasi dunia pada 2050 akan mencapai 9,7 miliar, dan pada 2100 mencapai 11 miliar orang. Ledakan populasi manusia ini, tentu terjadi peningkatan akan kebutuhan asupan makanan. Itulah mengapa FAO, organiasi pangan dunia menaksirkan, produksi pertanian global pada 2050 harus 60% lebih tinggi dibandingkan produksi tahun 2005-2007 jika dunia ingin memenuhi kebutuhan pangannya. Dua informasi penting ini, lekas-lekas disanggah Malik, “Asalkan sumber pangan jangan dirusak!” kemudian Malik menohok, “Faktanya, kini hutan sagu pelan-pelan dibinaskan!”

Apa buktinya? Laporan Statistik Produksi Kehutanan 2020. Volume produksi sagu kuartal I 2023 mencapai 2,37 ribu ton. Angkanya meningkat tipis pada kuartal II 2,38 ribu, kemudian meningkat lagi pada kuartal III mencapai 2,41 ribu ton. Memasuki kuartal IV produksi sagu turun drastis menjadi 1,76 ribu ton. Apa pasalnya? Berbagai studi menyimpulkan kalau penurunan volume produksi sagu ini, dilatari oleh populasi pohon sagu yang menurun tajam sebagai akibat dari massifnya konversi hutan sagu menjadi lahan-lahan sawit.

Kelapa sawit membunuh manusia

Secara rata-rata nasional, luas perkebunan kelapa sawit Indonesia tumbuh 53,09% dalam kurun waktu 2011-2020. Luas lahan tertinggi dicapai pada 2020, yakni sebesar 14.586.599 Juta hektare. Di Maluku dan Papua, luas area sawit sebesar 179.314 hektare. Kenaikan lebih dari dua kali lipat ini berawal dari area sawit seluas 59.077 hektare di 2011, menjadi 238.391 hektare pada 2020 (Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, 2023). 

Di Maluku dan Papua, sebaran area sawit sebesar 179.314 hektare, tentu mengancam ekosistem hutan sagu. Maluku, semisalnya, ‘dusun-dusun’ sagu terus dibabat, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, populasi tanaman sagu anjlok dari sekitar 100.000 hektare pada era 1960-1970 menjadi 58.000 hektare pada 2016. (Kompas, 2017). Sementara pada 2022, turun menjadi 30-an ribu hektare. Di Papua, semisal di Salawati Daratan Kabupaten Sorong, PT Inti Kebun Lestari mendapat izin konsesi seluas 28.256 hektare. Dari luas lahan kelapa sawit tersebut, sekitar 1.700 hektare merupakan hutan sagu milik empat marga: Mili, Malakabu, Fes, dan Libra ( EcoNusa,  2022).

Masifnya konversi hutan sagu jadi lahan sawit, membikin kerusakan lingkungan tak sedikit. Dampak paling mencolok dari aktivitas ini, yakni deforestasi dan kerusakan habitat. Kita tahu, penebangan hutan sebesar-besarnya (termasuk sagu), sama artinya, pengrusakan terhadap ‘rumah’ berbagai spesies tanaman dan hewan. Itulah mengapa banyak spesies hewan (juga sagu) terancam punah karena perubahan drastis pada hunian mereka. Imbas lain ketika perkebunan sawit berlangsung, yaitu pencemaran tanah dan air, hasil dari penggunaan pestisida dan bahan kimia lainnya. Efek jangka panjangnya; manusia, hewan, dan tumbuhan begitu sulit mengakses air yang layak—syarat tumbuh kembangnya.

Kehadiran perkebunan sawit di Papua, menyebabkan tingkat kerawanan pangan, malnutrisi, dan stunting yang sangat tinggi—padahal semula Papua adalah lumbung pangan sagu nomor kedua di Indonesia (Data pertanian 2021, Papua memproduksi sekitar 69.421 ton sagu). Masyarakat tradisional Papua mengandalkan hutan dan sungai sebagai persediaan makanan melalui perburuan, penangkapan ikan, serta pemanenan sagu dan umbi-umbian. Tetapi, geliatnya konversi hutan sagu jadi lahan sawit, disusul pencemaran air oleh pestisida, membikin masyarakat Papua terbengkalai mengakses kebutuhan primer mereka, yakni makanan dan air bersih.

Sophie Chao, Indonesianis dari University of Sydney, Australia. Saat meneliti suku Marind di Merauke selama 18 bulan, Chao melihat orang Papua punya hubungan khusus dengan dengan tanah dan hutan. Menurut Chao, dalam kosmologi Marind, tumbuhan dan hewan seperti kerabat. Masyarakat memandang tanaman baru semacam sawit seperti penjajah karena mengambil alih tanah dan semua sumber daya mereka. Hasil penelitian Chao ini kemudian terdokumentasi dalam buku In the Shadow of the Palms: More-Than-Human Becomings in West Papua yang terbit pada 2022.

Chao berkesimpulan dalam In the Shadow of the Palm: Dispersed Ontologies Among Marind, West Papua (2018), kira-kira begini: ‘kelapa sawit membunuh sagu’. Atau lebih tepatnya, ‘kelapa sawit membunuh manusia’. Musababnya, suku Marind menganggap hutan, pohon dan binatang sebagai kerabat mereka sendiri. Atau bagian dari manusia. Itulah mengapa ketika hutan sagu dibinasakan, sama artinya membinasakan manusia Marind. Chao dengan puisitis melukis, “Pohon sawit adalah ‘pohon tentara’. Soalnya, sawit itu seperti militer: bercak hitam dan hijau. Itu membunuh orang. Ini sangat kuat. Itu orang Indonesia, bukan orang Papua. Itu memakan kita. Duri Sawit, tajam seperti bilah bayonet. Buahnya keras dan bulat seperti peluru. Merah, seperti darah.” 

Dampak besar lainya dibikin pohon sawit, kataChao, terjadi konflik horizontal dan vertikal. konfliknya bukan hanya antara masyarakat, dengan pemerintah, atau perusahaan. Tetapi konflik melibatkan satu masyarakat, dengan masyarakat lain. Berupa konfilik tanah, kompensasi, partisipasi, dan pembagian keuntungan ketika proyek perkebunan ini tiba.

***

Malik benar, jika  kita terus-menerus menuruti keinginan pasar yang tak terbatas di dunia yang terbatas ini, maka kita akan menghadapi kehancuran lingkungan yang tak terperi. Dan kehancuran itu datang lebih cepat, daripada yang diduga. Dengan begitu, hemat Malik, prospek ketahanan pangan untuk miliaran manusia (termasuk anak-cucu kita) di masa depan merupakan sebuah khayalan.

Studi-studi yang datang belakangan, memberi kita ketidakpastian tentang dua hal yang sangat vital pada pertanian hari depan, yakni stagnasi lahan garapan, dan kelangkaan air. Perkebunan sawit, kata Malik, salah satu aktor yang merusak dua unsur penting pertanian berkelanjutan itu. Meminjam bahasa Chao, kelapa sawit membunuh sagu, yang pada gilirannya, kelapa sawit membunuh manusia.

Kiranya kita perlu revisi pandangan ‘manusia adalah pusat segalanya’. Padahal kata Malik, alam-lah yang mengatur manusia. Semisal air. Air yang mengatur manusia untuk pertanian. Ketika tidak ada air, maka tidak ada aktivitas ekonomi. Artinya mata pencaharian terhambat, dan selanjutnya manusia sulit mengakses segala kebutuhannya.

Syahdan. Satu hari di penghujung Februari bulan kemarin, Malik Rumakat terseok-seok menempuh perjalanan sejauh 1212 kilometer, 751 mil, tiba Fort Rotterdam. Di hadapan puluhan orang yang khidmat memasang kuping. Malik, seperti Chao, mengisah kelapa sawit membunuh sagu, pada gilirannya, sawit membunuh manusia.

Yang Tak Wajar Diantara Kita

“pamer harta memang hal yang tak baik, dari sudut pandang apapun, tapi dalam perspektif penegakan hukum bukan disitu pokok persoalannya. Pemerintah semestinya fokus pada ketakwajaran harta kekayaan pejabat dan pegawainya, bukan pada sikap pamernya”


Akhir-akhir ini istilah “tak wajar” banyak kita jumpai di jagat media, misalnya saja dalam tajuk yang tayang di detik.com berjudul “964 Pegawai Kemenkeu Diduga Punya Harta Kekayaan Tak Wajar“. Atau di harian Media Indonesia “Sri Mulyani Jamin Investigasi Harta Tak Wajar Milik 69 Pegawai Kemenkeu Selesai dalam Sepekan“. Kemudian di harian Republika dengan tajuk “Kemenkeu Periksa 69 Pegawai Kemenkeu Berharta tak Wajar”.

Barisan tajuk di harian nasional tersebut menunjukkan ada yang tak wajar dari kata “tak wajar” itu sendiri. Meskipun kosakata tersebut bukanlah sesuatu yang baru, tetapi penggunaannya intens dipakai belakangan ini, terutama setelah kasus Mario Dandy viral dan merembes ke mana-mana.

Tulisan pendek ini hendak memproblematisir “ketakwajaran” tersebut dalam dua hal. Pertama, “tak wajar” nya jumlah kekayaan sebagian pejabat dan pegawai di pemerintahan, yang kedua “tak wajar” nya gaji puluhan ribu tenaga honorer guru di ribuan sekolah. Keduanya sama-sama “tak wajar”, tapi ketakwajarannya memiliki pretensi yang sangat berbeda.

Kekayaan “Tak Wajar” Para Pejabat
Tak wajar yang pertama merujuk pada jumlah kekayaan sejumlah pejabat dan pegawai Kemenkeu terutama di Ditjen Pajak dan Bea Cukai yang dianggap melampaui kewajaran, misalnya saja milik Rafael Alun Trisambodo, Eko Darmanto, hingga terbaru Andhi Pramono. Nama-nama tersebut diduga memiliki harta kekayaan yang tak wajar. Belakangan ketakwajaran tersebut viral dan menjadi sorotan publik.

Setelahnya secara beramai-ramai kementerian—Kemenhub, Kemenpan RB, Kemen BUMN, dls.— mengeluarkan himbauan agar pegawai dan pejabatnya tidak pamer kekayaan dan bergaya hidup hedon. Bahkan Presiden Jokowi pun turut mengeluarkan himbauan khusus agar aparat birokrasi tidak pamer harta di media sosial (baca harian kompas.com).

Sekilas himbauan itu tampak tak ada masalah, tapi bila melihatnya dari sudutpandang tata kelola publik, akan tampak sesuatu yang tidak nyambung. Ibarat pameo “lain gatal, lain pula yang digaruk”. Betul bahwa pamer harta itu adalah hal yang tak baik, dari sudut pandang apapun, tapi dari perspektif penegakan hukum bukan disitu pokok persoalannya. Pemerintah semestinya berfokus pada ketakwajaran harta kekayaan pejabat dan pegawainya, bukan pada sikap pamernya. Soal sikap pamer biarlah para agamawan, budayawan, dan cerdikcendekia yang mengurusinya.

Tapi sekalipun pemerintah mesti mengurusinya, janganlah sampai pemerintah melupakan pokok persoalannya, yakni kekayaan yang tak wajar. Sistem pembuktian terbalik bisa menjadi solusi, para pejabat yang kekayaannya tak wajar, harus membuktikan bahwa kekayaannya didapatkan dari dan dengan cara yang legal.

Sistem pembuktian terbalik bisa menjadi solusi, para pejabat yang kekayaannya tak wajar, harus membuktikan bahwa kekayaannya didapatkan dari dan dengan cara yang legal

Sebetulnya menjadi kaya atau memiliki aset yang banyak bukanlah masalah, setiap orang berhak memilikinya, tetapi sebagai pejabat publik hendaklah dalam batas-batas kewajaran—sumbernya wajar, jumlahnya wajar dan penggunaannya wajar—. Adalah sangat arif bila pejabat publik kekayaannya tidak bertambah, baik berpuluh apalagi beratus kali lipat ketika menjabat.

Menjadi pejabat publik, sebenarnya dan sewajarnya adalah pengabdian-pelayanan, artinya kerelaan berkorban. Karena itu seharusnya seorang pejabat publik ketika memilih mengambil tugas tersebut, maka ia harus rela hidup sederhana, bahkan hidup menderita kata Agus Salim. Aneh rasanya bila seorang pelayan-pengabdi, justru kekayaannya membengkak ketika sedang menduduki jabatan publik. Bila ingin kayaraya, dan tak ingin berkorban, mestinya tak usah jadi pejabat publik, menjadi pebisnis barangkali lebih cocok.

Belajar dari Hatta dan Soekarno
Mari sejenak menengok ke masalalu, Hatta suatu ketika mengeluarkan kebijakan senering (pemotongan nilai uang) dari Rp.100 menjadi Rp.1, istrinya Ibu Rahmi sempat keberatan. Pasalnya, tabungannya jadi berkurang, padahal dia sudah menabung untuk beli mesin jahit yang sangat diidamkannya. Hatta setengah merayu mengatakan kepada Rahmi bahwa “kepentingan negara tidak ada sangkut pautnya dengan usaha pribadi dan keluarga. Biarlah kita rugi sedikit demi kepentingan banyak orang. Kita bisa nabung lagi” kata Bung Hatta menenangkan istrinya.

Sikap yang serupa juga ditunjukkan oleh Sukarno. Ketika akhirnya harus meninggalkan istana pada 1967. Ia mengingatkan kepada anaknya “Mas Guruh, bapak sudah tidak boleh tinggal di istana ini lagi. Kamu bereskan barang-barangmu, jangan kamu ambil apapun, termasuk lukisan atau hal lain. Itu punya negara!” kata Bung Karno yang lantas menyampaikan hal serupa kepada para ajudannya. Saat akhirnya meninggalkan istana, Bung Karno pun hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang hitam. Dengan menumpang VW kodok, ia minta diantarkan ke rumah Fatmawati di bilangan Sriwijaya, Kebayoran.

Kisah-kisah tersebut adalah teladan yang hidup, bukan dongeng apalagi mitos, mereka nyata, mereka mewariskan pelajaran berharga bahwa jabatan publik adalah tugas pelayanan dan pengabdian, bukan wahana menumpuk harta dan pamer kuasa.

Gaji “Tak Wajar” Guru Honorer
Bila ketakwajaran sebelumnya karena melampaui batas, yang kedua ini sebaliknya justru karena di bawah batas kewajaran. Demikianlah adanya, para honorer utamanya guru yang jumlahnya lebih dari 1 juta orang diupah secara tak wajar. Mari memulainya dengan membaca tajuk di detik.com pada juni 2020 “Miris! Gaji Guru Honorer Lebih Kecil dari Upah ART”. Kemudian tajuk di okezone.com pada mei 2022 berjudul “Cerita Guru Honorer Pernah Digaji Rp25.000 per Bulan“, bahkan yang lebih menyedihkan tajuk di halaman depan kompas.com maret 2023 Gaji Belum Dibayar, Guru Honor Jual Ginjal di Media Sosial“.

Padahal berdasarkan Pasal 14 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum serta jaminan kesejahteraan sosial. Namun pasal ini seringkali di anak tirikan.

Dua ketakwajaran di atas menampilkan kenyataan yang kontras, ibarat langit dan bumi. Padahal guru seringkali dielu-elukan dalam pidato para pejabat, disebut sebagai pahlawan, sebagai tulang punggung kemajuan bangsa bahkan suluh peradaban. Namun nasibnya seringkali menyedihkan, tidak lebih baik dari ART di negeri tetangga.

Inilah setumpuk ketakwajaran, yang boleh jadi menyerupai fenomena gunung es, sebagian barangkali telah tampak, tapi bagian terbesarnya boleh jadi belum terlihat. Ketakwajaran ini memerlukan hadirnya pemerintah, sebab memang itulah tugas pemerintah. Kealpaan pemerintah justru akan memperpanjang barisan ketidakwajaran, yang bila dibiarkan terus-menerus pada waktunya nanti akan melahirkan ketidakpercayaan. Publik akan beramai-ramai menyatakan mosi tidak percaya kepada negara. Dan itulah seburuk-buruk pemerintahan, berdiri di atas ketakwajaran dan ketidakpercayaan.

Novia dan Darurat Kekerasan Seksual

Kemarin, 4 desember 2021, media sosial–belakangan media massa juga–diramaikan oleh kisah seorang gadis bernama Novia Widyasari Rahayu. Tagar #SaveNoviaWidyasari dan #JusticeForNovia meluber di laman media sosial kita. Novia adalah seorang mahasiswi tingkat akhir pada sebuah kampus ternama di Kota Malang. Ia adalah korban dari seorang polisi bernama Randy Hari Bagus Sasongko, yang dikabarkan putra dari pejabat DPRD di kotanya.

Tragisnya, gadis itu mengakhiri hidupnya di atas pusara ayahnya. Gadis itu memilih, ahh rasanya kata ‘memilih’ ini seolah-olah pelaku tak bersalah. Kata ‘terpaksa’ jauh lebih tepat. Bahkan mungkin juga bukan terpaksa, tapi ‘dipaksa’ mengakhiri hidupnya.

Siapa pun yang membaca kisahnya, hatinya pasti akan terluka dan marah. Mungkin di dasar hatinya juga akan mengatakan ‘gadis itu bukan bunuh diri, tapi dibunuh’.

Gadis itu dirundung kesedihan dan duka yang bertubi-tubi. Kisahnya begitu pilu dan getir. Mungkin kita pun tak sanggup bila berada di situasinya. Membaca kisahnya saja rasanya sangat menyayat hati (baca kisahnya di akun quora, Aulia Dinarmara Putri Rahayu).

Gadis itu adalah korban dari kekasih yang brengsek, calon mertua yang bajingan, paman yang egois dan penegak hukum yang bobrok. Bagaimana tidak, kekasih dan orang tuanya tak mau bertanggungjawab, ia malah dipaksa untuk aborsi. Sialnya, gadis itu sudah pernah melaporkannya ke kepolisian, tapi ditampik dan tidak ditindaklanjuti. Barangkali korbannya mesti meninggal dulu dan viral lalu kemudian ditindaklanjuti.

Ya, beban gadis itu sungguh berat, dan ia melalui-menghadapinya sendirian, ia sakit, hancur dan menjerit. Beruntung ada ibunya, menguatkannya sesekali. Sehingga beberapa kali rencana bunuh dirinya ia urungkan. Tapi pada akhirnya ibunya pun tak kuasa menahannya. Ia wafat setelah berusaha dan berjuang untuk bertahan. Tapi ia tak sanggup lagi.

Sungguh bajingan orang-orang itu, belum genap 100 hari ayahnya meninggal, ia harus dipaksa lagi untuk kehilangan, kali ini janinnya, si calon buah hati yang amat dicintainya, namanya pun telah ia persiapkan–Aulia Dinarmara Putri Rahayu. nama yang manis.

Kini Novia telah pergi. Pergi bersama cita-citanya. Di akunnya ia menceritakan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang guru. Ia punya pengalaman pahit tentang sekolah. Dulu, ia melihat teman-temannya yang tidak mampu membayar SPP dikeluarkan dari kelas. Ia juga melihat teman-temannya yang agak bandel dan kurang pintar di mata pelajaran tertentu dipermalukan dan dihukum.

Pengalaman itu sangat melukai hatinya. Sejak saat itulah ia mulai merawat cita-citanya menjadi seorang guru–guru yang humanis.

Kini ia telah pergi, dan kisahnya menjadi pelajaran berharga bagi banyak orang. Ia telah menjadi guru–guru dalam arti yang sesungguhnya. Semoga jalannya terang dan lapang.


Kisah Novia ibarat gundukan gunung es di samudra. Di bawah gundukan itu, masih ada banyak kasus lain yang belum terungkap. Memang berat menjadi korban, karena itu ada banyak yang tak sanggup melewatinya, atau setidaknya berani speak up.

Betul bahwa ada yang mampu melewatinya, tapi tidak jarang pula yang tak sanggup, mereka terpaksa mundur dan berjatuhan, Novia adalah salahsatunya.

Sekalipun ada yang sanggup melewatinya, ia pasti akan berhadapan dengan barisan masyarakat yang sok moralis, yang akan menghakiminya sebagai perempuan tak benar, perempuan murahan, perempuan gampangan dan semacamnya. Anak yang lahir kelak pun akan mendapat hujatan dan celaan yang sama. Duh Tuhan sebrengsek inikah hidup.

Novia mungkin bukan yang pertama. Tapi kalau kita tidak serius bertindak, bisa jadi Novia juga bukan yang terakhir. Akan selalu ada Novia selanjutnya.

Ini adalah momentum untuk berbenah. Secara kultural masyarakat kita memang mesti dididik. Agar lebih menghargai tubuh dan menghargai siapa pun. Juga agar lebih ramah dan empatik terhadap korban. Pameo yang menyebut ‘jaga anak perempuanmu’, mungkin sudah waktunya untuk direvisi menjadi ‘didik anak lelakimu’. Atau lebih maju lagi, agar tidak bias gender, mungkin lebih tepat menyebut ‘jaga dan didiklah anak-anakmu’.

Secara legal-struktural ini juga adalah momentum. Momentum menggalang dukungan untuk menuntut negara. Negara tidak boleh diam. Kita menuntut, jangan hanya menindak pelakunya saja, tapi negara juga mesti berbenah. Bereskan infrastruktur dan sistem negara ini agar tak ada lagi korban. Sekalipun ada, setiap korban bisa dengan mudah dan aman untuk mengakses bantuan dan perlindungan.

Kita harus berterusterang, negara kita memang darurat kekerasan seksual. Karena darurat itulah, maka dibutuhkan tindakan extraordinary, perlu langkah cepat dan serius. Pengesahan RUU PKS adalah salahsatu dari beberapa solusinya. Haruskah kita nabung kasus dan jumlah korban dulu lalu kemudian disahkan ? sudah cukup. Sahkan segera !

Rest in power, Novia.

Ilustrasi: dnaindia.com

Menyelamatkan HMI Penyelamat

 

Sungguh sedih dan malu rasanya mendapati kenyataan bahwa kini telah lahir kubu sempalan HMI-MPO yang dipelopori oleh setidaknya tiga cabang utama, yaitu Cabang Jakarta, Cabang Jakarta Selatan, dan Cabang Kendari. Kubu sempalan ini lahir dari kekecewaan karena kandidat yang mereka jagokan tidak berhasil memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan formatur/ketua umum PB HMI-MPO pada Kongres ke-32 di Kendari pada bulan Maret 2020 yang lalu—terlebih sang kandidat juga gagal membujuk formatur untuk menunjuknya sebagai Sekretaris Jenderal. Lebih sedih dan malu lagi rasanya lantaran kubu sempalan ini langsung merapat kepada rezim yang berkuasa, sebagaimana bisa kita cermati pada pernyataan kubu ini yang mengecam deklarasi KAMI yang digawangi Din Syamsuddin cs. Saya sendiri tak tertarik dengan gerakan KAMI, tapi menurut saya di negara demokrasi kelompok oposisi semacam KAMI perlu diberi ruang sepanjang mereka tidak melakukan tindak kekerasan dan upaya makar. Tapi kubu sempalan HMI-MPO ini tampak pasang badan membela rezim yang berkuasa dari kelompok oposan; persis seperti yang dilakukan parpol atau ormas yang pecah di mana salah satu pecahannya akan segera merapat dan cari muka kepada kekuasaan untuk mendapat perlindungan, juga fasilitas.

Setelah mengorek keterangan dari sejumlah peserta Kongres ke-32, dari kedua kubu, juga setelah membaca kembali Konstitusi HMI-MPO, maka saya berkesimpulan bahwa terpilihnya Sdr. Affandi Ismail sebagai formatur/ketua umum PB HMI-MPO adalah sah alias konstitusional. Kesimpulan yang sama juga diyakini oleh mayoritas cabang-cabang HMI-MPO se-Indonesia, sepanjang yang saya ketahui. Klaim kubu sempalan yang digawangi Sdr. Ahmad Latupono yang menyebut memperoleh 50%+1 dukungan cabang-cabang se-Indonesia, sejauh ini tidak bisa dibuktikan secara formal administratif. Jika klaim itu benar, mestinya kubu Latupono menunjukkan surat resmi dari cabang-cabang sejumlah 50%+1 tersebut untuk meyakinkan publik HMI-MPO; dan untuk selanjutnya dapat menggelar Kongres Luar Biasa guna mengoreksi keputusan Kongres ke-32.

Saya termasuk warga HMI-MPO yang cukup kecewa dengan terpilihnya Affandi Ismail, sebab menurut saya yang bersangkutan tidak memiliki kualifikasi atau portofolio yang memadai untuk memimpin PB HMI-MPO. Sikap itu telah saya utarakan dalam artikel yang berjudul “HMI-MPO yang Mulai Tercemar dan Tersusupi” terbitan Kalaliterasi.com yang sudah dibaca luas oleh publik HMI-MPO. Hingga kini, sikap saya tersebut belum berubah—dan karenanya tak perlu saya bahas lagi. Kendati saya kecewa dan menyesalkan terpilihnya Affandi Ismail, saya tetap berpandangan bahwa Sdr. Affandi sah sebagai Ketum. Bahwa Affandi Ismail disebut tidak memenuhi salah satu persyaratan, maka tetap saja ia sah sebagai formatur/ketua umum, sebab sudah ditetapkan di dalam forum Kongres dengan ketukan palu pimpinan sidang atas persetujuan mayoritas peserta Kongres (kuorum). Kubu sempalan berpendapat bahwa Latupono ditetapkan dan dilantik oleh forum Kongres yang sama sesaat setelah penetapan Affandi Ismail. Yang masalah, kubu Latupono tidak bisa menunjukkan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara konstitusional bahwa penetapan Latupono sebagai formatur tersebut dilakukan setelah digelar sidang yang mengoreksi ketetapan sebelumnya (yaitu penetapan Affandi Ismail sebagai formatur) yang disetujui oleh 50%+1 peserta Kongres. Jika kubu Latupono bisa menunjukkan bukti baik berupa dokumen konsiderans persidangan, daftar hadir peserta yang memenuhi kuorum, dlsb, mengenai persidangan yang menetapkan Sdr. Latupono sebagai formatur, maka tentu kubu Latupono-lah yang sah dan benar.

Publik HMI-MPO, juga pihak eksternal, sesungguhnya tidak sedikit yang bingung dengan duduk perkara polarisasi PB HMI-MPO itu. Kebingungan tersebut menjadi berlarut-larut karena tidak ada penjelasan yang memadai dan jernih tentang perkara ini, terutama dari PB HMI-MPO dan para peserta Kongres ke-32. Kedua kubu, baik yang pro Kongres maupun pro Latupono, hanya berdebat kusir di media sosial, saling mengumpat dan mencaci maki, baik dengan menggunakan akun asli maupun akun palsu. Dan apa yang mereka lakukan itu setidaknya menunjukkan tiga hal: (1) keterbelakangan intelektual, (2) kebobrokan etika, dan (3) sikap kekanak-kanakan.

Tiga Krisis

Dalam amatan saya, di usianya yang sudah lebih dari tiga dekade, HMI-MPO secara nasional justru dihadapkan pada persoalan elementer tapi signifikan: degradasi akhlak (etika). Sebenarnya saya agak sungkan bicara apalagi menilai soal akhlak, utamanya akhlak orang lain, lantaran akhlak saya sendiri tidaklah bagus benar. Perilaku buruk yang saya lakukan sudah banyak diketahui orang, namun tentunya lebih banyak lagi yang orang lain tak ketahui. Tapi saya harus jujur mengatakan soal ini (agar kita bisa memikirkan dan menyelesaikannya bersama). Indikasi kuat adanya politik uang oleh kandidat ketua umum PB (utamanya di Kongres ke-32), tergodanya sejumlah peserta Kongres oleh gratifikasi, umpatan dan caci maki di media sosial, pelibatan preman dalam forum Konfercab/Musbadko di cabang-cabang tertentu, serta sikap oportunistis elite pengurus HMI-MPO adalah sedikit dari banyaknya masalah yang terkait dengan aspek etika ini.

Dewasa ini HMI-MPO setidaknya mengalami tiga krisis: (1) krisis intelektual, (2) krisis spiritual, dan (3) krisis etika. Krisis intelektual ditandai dengan fakirnya tradisi literasi serta sunyinya HMI-MPO dari diskursus wacana pemikiran yang berat. Tradisi penerbitan jurnal/buku yang bermutu, penulisan artikel di koran/media, diskusi dan silang pendapat terkait pemikiran tertentu, sudah cukup lama hilang dari HMI-MPO. Krisis spiritual ditandai dengan penghayatan atas ajaran Islam yang begitu lemah, termasuk dalam aspek ritual. Sekitar tahun 2013, dalam forum Pleno III PB HMI-MPO yang dihadiri oleh hampir semua pimpinan cabang se-Indonesia, saya sempat mencak-mencak di dalam forum gara-gara hanya sekitar 10% peserta forum yang bangun salat Subuh, dan selebihnya rata-rata baru bangun sekitar pukul delapan pagi (dan tidak salat), yang membuat agenda persidangan menjadi molor. Waktu saya mencak-mencak itu, hanya 2 orang yang tunjuk tangan mengaku bahwa ia salat Subuh walau terlambat, dan selebihnya diam seribu bahasa. Kalau elite-elite cabang yang hadir ketika itu saja (ketum, sekum, kabid), tidak patuh melaksanakan salat ya gimana dengan angota-anggotanya di cabang dan komisariat? Ketika saya berkunjung ke cabang-cabang atau menghadiri forum-forum nasional HMI-MPO (saat menjabat Ketum PB) perkara salat ini selalu saya perhatikan diam-diam, tapi malu sekali rasanya saya untuk menuliskannya lebih detail di sini. Kalau untuk perkara salat fardu saja sudah bermasalah, tentu kita tidak perlu lagi bertanya soal ritual-ritual sunah seperti tahajud, puasa Daud, mengaji, dlsb, baik itu di forum-forum, sekretariat, maupun di training-training HMI-MPO—sesuatu yang dulu begitu mentradisi di HMI-MPO.

Sementara itu, krisis etika ditandai dengan terdegradasinya aspek adab, sopan santun, integritas, dan yang terkait dengan relasi ikhwan-akhwat dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan HMI-MPO. Fenomena gratifikasi di Kongres ke-32 yang lalu menunjukkan bahwa etika politik sudah diabaikan, dianggap tidak penting. Sejumlah peserta Kongres yang mudah dibeli menggambarkan integritas mereka yang sudah bangkrut. Contoh lain terkait etika ialah aksi saling serang di media sosial antara dua kubu terkait hasil Kongres. Bila saja saling serang itu melibatkan argumentasi yang cerdas dan berbobot (intelektuil), tentu akan sangat membanggakan. Tapi yang terjadi justru pelibatan kata-kata dan informasi sampah dalam silang sengketa itu. Celakanya lagi, tidak sedikit kader-kader baru (yang usia keanggotaannya masih seumur jagung—itupun kalau dia aktif), tapi berlaku sangat agresif menggunakan diksi tak terpelajar, menyerang seniornya atau alumni yang coba memberinya nasihat. Pertimbangan dan nasihat dari para senior dianggapnya sebagai intervensi, bahkan dicemooh sebagai “pengajian”. Sungguh kader celaka!

Kelembagaan yang Keropos

Dari segi fasilitas dan jumlah cabang, HMI-MPO saat ini sudah terbilang luar biasa jika dibanding era-era sebelumnya. Tahun 2011 PB HMI-MPO memiliki sekretariat permanen di Jakarta setelah 25 tahun menjadi “kontraktor”. Cabang-cabang baru tumbuh di Sumatera dan Indonesia Timur. Setidaknya dua aspek itulah yang cukup menonjol dari perkembangan HMI-MPO dewasa ini. Namun sekretariat permanen PB itu diawali dengan sengketa dan kegaduhan, di mana saya juga terlibat di dalamnya. Cabang-cabang baru memang bermunculan, tetapi cabang-cabang tua yang memiliki sejarah panjang justru mengalami kemunduran signifikan seperti yang dialami saat ini oleh Cabang Jakarta, Cabang Semarang, Cabang Purwokerto, Cabang Yogyakarta, Cabang Makassar, dan Cabang Palu. Di cabang-cabang tua itu jumlah kader merosot tajam dari waktu ke waktu berbarengan dengan merosotnya tradisi intelektual dan spiritual di cabang-cabang tersebut.

Pelaksanaan Basic Training (LK I) di sejumlah cabang terpaksa dilakukan dengan prosedur darurat, sebab mereka tak punya SDM yang memadai untuk mengelola training paling dasar sekalipun. Pemandu kurang, pemateri langka. Yang terpaksa diturunkan adalah pemandu dan pemateri yang miskin jam terbang dan bermutu pas-pasan bahkan kurang. LK I dicukur habis-habisan muatan kegiatannya, sementara follow-up lepasan LK I tak pernah dijalankan dengan konsisten. Di banyak pelaksanaan LK I, kegiatan ekstra seperti puasa sunah, salat tahajud, kultum, mengaji Al-Quran, dlsb, dihilangkan dengan berbagai macam alasan, tapi utamanya lantaran para pemandu tidak mampu menanganinya karena faktor kapasitas, juga kemalasan. Apa yang tercantum dengan sangat bagus di Pedoman Perkaderan HMI tak lagi benar-benar dijalankan.

PB HMI punya data tahun 2013 tentang peta kekuatan kelembagaan HMI-MPO se-Indonesia. Data itu kami kumpulkan selama kepengurusan periode 2011-2013, yang di dalamnya tercantum dengan rinci: jumlah cabang, jumlah anggota tiap-tiap cabang, serta data kelembagaan cabang seperti Korkom, KPC, Kohati, dan lembaga kekaryaan. Data itu tercantum dalam LPJ PB HMI-MPO periode kami. Saya tidak tahu apakah PB HMI berikutnya memperbarui data tersebut atau tidak. Namun demikian, besar dugaan saya kekuatan riil HMI-MPO dewasa ini mengalami kemerosotan dibanding periode sebelumnya. Dari data 2013 itu, cabang yang memiliki Korkom, KPC, Kohati, dan lembaga kekaryaan jumlahnya sangat kecil, bisa dihitung jari. Kalau KPC saja tidak dimiliki oleh sebuah cabang, maka bagaimana bisa kita mengharapkan LK-LK dilakukan secara memadai? Dalam sejumlah kasus, beberapa cabang malah menurunkan kader non-SC sebagai pemandu dan pemateri LK I. Kohati juga sama: beberapa cabang membentuk lembaga Kohati padahal anggota-anggotanya tidak pernah mengikuti Penataran Kohati atau Latihan Khusus Kohati. Mereka merasa bahwa setiap anggota putri HMI otomatis menjadi anggota Kohati, padahal sejatinya tidak demikian. Lemahnya kapasitas personel, peran, dan kelembagaan Kohati di cabang-cabang menyebabkan institusi Cabang melemah pula. Kenapa? Selain berfungsi sebagai pemasok SDM, Kohati juga sangat bisa diandalkan menjaga integritas dan independensi Cabang.

Badko sebagai ujung tombak pembinaan teritorial cabang-cabang HMI kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Badko malah acap kali ikut-ikutan menangani masalah politik-lokal di wilayahnya, padahal sejatinya Badko hanya mengurusi aspek internal organisasi. Tugas pokok Badko ialah melakukan pembentukan dan pembinaan cabang-cabang di wilayah kerjanya. Badkolah yang bertanggung jawab atas kondisi kesehatan cabang-cabang. Itulah kenapa kader yang ditunjuk sebagai pimpinan dan pengurus Badko mestilah pengader senior cabang yang memiliki jiwa dan dedikasi yang tinggi pada perkaderan, bukan mereka yang punya jiwa politik yang bergelora. Sementara itu, PB HMI kurang bisa kita andalkan berjibaku mengatasi kesehatan cabang-cabang yang kian merosot, sebab dalam logika Konstitusi saat ini: (1) PB sebatas pengambil kebijakan (regulator), bukan eksekutor lapangan secara teknis, (2) peran pembinaan cabang sudah didelegasikan kepada Badko, dan (3) PB didorong untuk lebih banyak berperan secara eksternal.

Masalah di Seputar Kongres

Benih polarisasi PB HMI-MPO muncul dari forum Kongres ke-32 yang sesungguhnya terbilang sukses dalam hal seremoni dan teknis penyelenggaraan. Kongres ke-32 boleh dikata sangat monumental, sebab di Kongres ini hadir Pj. Ketua Umum PB HMI (Dipo) dan mantan Ketum PB HMI (Dipo) lainnya, termasuk hadir pula Harry Azhar Azis (mantan Ketum PB HMI yang terkait dengan peristiwa di sekitar gejolak asas tunggal). Lebih dari separuh mantan Ketum PB HMI-MPO hadir—kehadiran mantan Ketum terbanyak dibanding Kongres-Kongres sebelumnya. Namun demikian, patut disayangkan bahwa Kongres ke-32 memiliki catatan buruk dalam aspek integritas, yang di kemudian hari memicu lahirnya polarisasi. Problematika seputar bobot dan tertib-konstitusi pada Kongres HMI-MPO belakangan ini sesungguhnya disebabkan oleh perangkat (keras dan lunak) Kongres yang bermasalah hampir secara keseluruhan, sebagai berikut:

Pertama, tidak ada lagi tradisi di mana SC Kongres mengirim draf materi pembahasan dalam Kongres sebulan/dua bulan sebelum hari-H Kongres kepada cabang-cabang. Di era sebelumnya, cabang-cabang HMI-MPO mendiskusikan dan memperdebatkan isi draf dari SC Kongres tersebut sebelum mereka berangkat ke Kongres; dengan demikian, mereka mengikuti Kongres tidak dengan kepala kosong. Diskusi mengenai draf Kongres tersebut biasanya mengundang para pengader senior atau alumni cabang yang dianggap paham Konstitusi dan punya gagasan yang bernas. Belakangan, draf Kongres baru didapatkan oleh cabang-cabang ketika sidang pleno di dalam Kongres, sehingga mereka tidak punya waktu yang cukup memikirkannya secara lebih jernih.

Kedua, di era yang lalu, cabang-cabang sangat selektif memberikan mandat kepesertaan Kongres, baik untuk peserta penuh/utusan maupun peserta peninjau. Peserta penuh yang diberi mandat oleh masing-masing cabang adalah presidium cabang dan pemandu senior di cabangnya. Peserta penuh yang berkualifikasi namun tidak memiliki dana pribadi untuk perjalanan, akan disubsidi oleh cabang supaya mereka tidak punya alasan untuk tidak menghadiri Kongres. Belakangan, mandat kepesertaan Kongres diberikan secara serampangan; yang hanya lepasan LK I (tapi punya dana pribadi untuk perjalanan) pun diberikan mandat demi memenuhi kuota kepesertaan. Keserampangan mandat utusan ini juga disebabkan oleh kurangnya anggota cabang yang memenuhi kualifikasi ideal (pemandu senior sekaligus presidium cabang) sebagai peserta penuh.

Ketiga, di masa lalu, PB HMI-MPO sangat tertib memberlakukan penstatusan cabang, yakni cabang penuh dan cabang persiapan. Di dalam Kongres, hanya cabang penuh yang diberi hak mengutus peserta penuh dan peserta peninjau; sementara cabang persiapan cukup mengutus peserta peninjau. Cabang persiapan tidak memiliki hak suara di dalam Kongres, baik untuk menilai LPJ PB HMI, mengusulkan/memilih formatur, dlsb. Belakangan, tak ada lagi klasifikasi yang ketat dari PB HMI mengenai cabang penuh dan cabang persiapan. Terkadang sebuah cabang-baru agak terburu-buru dinaikkan statusnya dari cabang persiapan menjadi cabang penuh, sementara kapasitas perkaderan dan kelembagaan cabang tersebut belum siap. Tiadanya disiplin penstatusan cabang membuat cabang yang baru dibentuk beberapa bulan saja sudah ikut memiliki hak suara di dalam Kongres. Ada sementara kandidat Ketum PB bahkan yang mendorong pembentukan cabang-cabang baru karbitan ini semata-mata untuk ia manfaatkan hak suara cabang tersebut guna memperoleh suara pada sidang pleno pemilihan formatur.

Keempat, penunjukan tuan rumah Kongres mulai didasari pada pertimbangan teknis dan politis an sich, bukan pertimbangan kelembagaan. Elite pengurus PB/Badko/Cabang yang mengincar posisi strategis seperti Ketum atau Sekjen, mendorong agar tuan rumah Kongres adalah cabang/wilayah yang memudahkan langkahnya untuk mencapai tujuan politisnya. Dalam hal pertimbangan teknis, tuan rumah ditunjuk hanya sekadar karena alasan kesiapan/kesanggupan pendanaan dan kepanitiaan, tanpa melihat kapasitas kelembagaan sang tuan rumah. Kesiapan/kesanggupan pendanaan dan kepanitiaan memang urgen, tapi kapasitas kelembagaan cabang tuan rumah jauh lebih urgen. Contoh yang paling mutakhir adalah penunjukan HMI Cabang Kendari sebagai tuan rumah Kongres ke-32. Secara teknis (pendanaan dan kepanitiaan), Cabang Kendari memenuhi kualifikasi tersebut; tapi apakah secara kelembagaan Cabang Kendari juga berkualifikasi? Faktanya HMI Cabang Kendari sukses menyelenggarakan Kongres ke-32 secara teknis, tapi belakangan elite HMI Cabang Kendari (Ketum Cabang dan Ketua Badko) justru berada di garis depan menolak hasil Kongres khususnya hasil pemilihan formatur. HMI Cabang Kendari menampar dan mempermalukan dirinya sendiri; padahal mestinya dialah (selaku tuan rumah) yang pasang badan membela mati-matian hasil Kongres yang sah, bukannya malah turut memelopori pengingkaran atas hasil Kongres, hanya gegara kandidat yang dibelanya gagal terpilih. Sungguh ironis!

Dalam Pedoman Struktur HMI-MPO, terdapat identifikasi kesehatan Cabang yang dibagi atas lima tingkatan, yaitu: (1) Awas, (2) Bina, (3) Sehat, (4) Kuat, dan (5) Mapan. Data mengenai identifikasi tersebut harus dimiliki oleh Badko dan PB HMI. Idealnya, cabang yang ditunjuk sebagai tuan rumah Kongres adalah Cabang kategori mapan, atau minimal kategori kuat; di bawah itu tidak layak ditunjuk sebagai tuan rumah Kongres. Cabang kategori mapan akan sangat mandiri, dan karena itu PB HMI tidak perlu banyak melakukan bimbingan dalam hal teknis penyelenggaraan Kongres. Pengalaman selama ini, Cabang kategori mapan jika ditunjuk sebagai tuan rumah Kongres akan menunjukkan sikap yang dewasa dalam menilai hasil Kongres, sekalipun hasil Kongres tidak selalu menguntungkan mereka secara politis. Tapi hal itu akan berbeda dengan penunjukan tuan rumah Kongres kepada Cabang tidak mapan.

Kelima, fenomena “mencalonkan diri” untuk menjadi Ketum baru tren dalam 15 tahunan terakhir di HMI-MPO, baik di Kongres apalagi di Musbadko, Konfercab, dan RAK. Di masa lalu, Ketum di struktur pimpinan HMI-MPO selalu “dicalonkan”—mereka menjadi Ketum karena terpaksa ataukah dipaksa, bukan karena menawarkan diri. Mencalonkan diri dan dicalonkan adalah dua hal yang beda: yang pertama si calon aktif, yang kedua si calon pasif. Makin ke sini jabatan Ketum rupanya makin berharga; sekaligus menandakan bahwa HMI-MPO sudah cukup besar dan menjanjikan. Di era sebelumnya, sang calon yang aktif berkampanye akan menjadi musuh bersama cabang-cabang, dan dijamin tak bakal terpilih. Di bab Kepemimpinan dalam Khittah Perjuangan HMI-MPO sebenarnya telah dijelaskan bahwa kepemimpinan merupakan amanah. Di dalam amanah tentu ada tanggung jawab besar baik morel, materiel, maupun spiritual. Karena kepemimpinan merupakan amanah, maka sejatinya ia tidak diperebutkan, bahkan kalau perlu dihindari atau dijauhi dalam konteks ini. Demikianlah doktrin adiluhung yang termaktub dalam Khittah Perjuangan. Tapi faktanya, dewasa ini jabatan di struktur kepengurusan HMI-MPO sudah diperebutkan bak piala. Tak jarang para pemburu jabatan itu melakukannya dengan menghalalkan segala cara. Penentuan posisi strategis di kepengurusan, misalnya Sekjen PB HMI, dilakukan secara transaksional, bukan atas pertimbangan kapasitas. Koalisi politik di dalam Kongres pada umumnya terjalin berdasarkan transaksi komposisi kepengurusan. Di organisasi lain yang demikian itu lumrah belaka, namun di HMI-MPO sejatinya tidak demikian sebab Khittah Perjuangan tak mengajarkan yang seperti itu.

Pencalonan diri para kandidat Ketum PB HMI-MPO makin ke sini makin canggih dan sistematik. Di lokasi Kongres, para kandidat gencar melakukan kampanye bahkan sebelum Kongres dibuka secara resmi. Kongres diwarnai gerilya dan lobi sana sini tim sukses kandidat Ketum kepada pemilik suara. Hotel di sekitar arena Kongres dibooking oleh kandidat tertentu guna mengarantina pemilik suara sekaligus sebagai basecamp tim sukses. Kandidat tertentu dan tim suksesnya gencar menjanjikan tiket perjalanan untuk Cabang-Cabang yang bersedia memilih mereka, dan peserta kongres yang mata duitan dan tak punya prinsip itu bersuka ria dengan gratifikasi demikian. Fenomena ini baru muncul secara sangat terbatas sejak Kongres ke-30 di Tangerang (2015), mulai menguat di Kongres ke-31 di Sorong (2018), menjadi tren di Kongres ke-32 di Kendari (2020), dan akan dianggap normal dan wajar di Kongres-Kongres berikutnya.

Pandemi Hedonisme

Seiring waktu, kini alumni-alumni HMI-MPO cukup banyak yang ekonominya boleh dikatakan mapan, terutama alumni yang berlatar belakang politisi, birokrat tinggi, dan pengusaha. Tak ayal, kemapanan ekonomi itu membuat institusi HMI-MPO kecipratan rezeki pula. Di lain sisi, anggota-anggota baru HMI-MPO juga cukup banyak yang datang dari kelas menengah bahkan menengah atas. Sejurus dengan itu, kesan “kere” yang berpuluh-puluh tahun akrab tergurat di wajah HMI-MPO perlahan-lahan pupus. Hal ini sebenarnya suatu berkah tersendiri dan tentunya patut disyukuri. Tapi situasi ini rupanya menimbulkan efek samping yang tak terbayangkan sebelumnya: pandemi gaya hidup hedonis di kalangan elite pengurus HMI-MPO.

Saya tak mengkhawatirkan apalagi keberatan dengan gaya hidup para alumni HMI-MPO, sebab hal itu adalah aspek privasi atau pilihan bebas masing-masing orang. Yang saya cemaskan adalah gaya hidup elite-elite pengurus HMI-MPO. Saya sendiri masih mengidealisasikan gaya hidup lama para aktivis HMI-MPO yang bersahaja dan asketis. Gaya hidup demikian telah terbukti dalam sejarah sukses menempa aktivis HMI-MPO untuk: (1) konsisten dan bernyali menghadapi rezim Orde Baru, (2) tetap idealis dan independen di masa-masa awal Reformasi, dan (3) terlatih dengan diskursus pemikiran intelektual yang berat. Menurut hemat saya hanya gaya hidup bersahaja dan asketislah yang paling cocok (kompatibel) dengan identitas HMI-MPO sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan. Sulit rasanya bicara soal perkaderan dan perjuangan kepada aktivis HMI-MPO yang hedonistis.

Pilihan untuk tetap bersahaja dan asketis membuat HMI-MPO tidak membutuhkan dana besar (yang berada di luar kemampuannya) untuk mengelola organisasi. Latihan-latihan kader, Konfercab, atau Kongres cukup dilangsungkan di tempat-tempat sederhana sehingga panitia dan pengurus HMI-MPO tidak perlu menggadaikan harga diri dan idealismenya guna memperoleh dana besar. Aktivis-aktivis HMI-MPO mesti menghindari gaya hidup ala kelas atas, sehingga ia tak perlu menjual integritas, martabat, dan kehormatannya guna mengongkosi gaya hidup mahal semacam itu. Di tengah kehidupan serba-materi (materialisme) seperti saat ini, gaya hidup sederhana dan asketis bagi seorang aktivis mahasiswa adalah sesuatu yang patut dibanggakan, bukannya malah diratapi dan membuat minder.

Seleksi Alam

Polarisasi di tubuh HMI-MPO yang melahirkan kubu sempalan Latupono cs, perlu dilihat dari sisi lain; bahwa polarisasi ini merupakan suatu ujian bagi HMI-MPO untuk segera memperbaiki dirinya sehingga ia bisa naik ke kelas yang lebih tinggi. Terjadinya polarisasi tersebut merupakan buah dari buruknya perkaderan dan kelembagaan HMI-MPO selama bertahun-tahun yang dikelola tanpa mengacu pada cita ideal Khittah Perjuangan, Konstitusi, atau pedoman yang ada. Ahmad Latupono sendiri bukan orang baru dalam konflik dan kegaduhan politis di tubuh PB HMI-MPO; yang bersangkutan dan kelompoknya dari Cabang Jakarta sudah saya hadapi sekitar sembilan tahun silam ketika saya memimpin PB HMI (2011-2013). Karena cukup mengenal Sdr. Latupono dan lingkarannya sedari dulu, maka saya tidak terkejut ketika kelompok ini melakukan aksi polarisasi. Lingkaran inilah yang dulu memantik bentrokan fisik di Kongres ke-28 di Pekanbaru (2011) dan Kongres ke-29 di Bogor (2013); di mana di kedua Kongres tersebut saya dan teman-teman berhadap-hadapan dengan mereka. Lingkaran ini jugalah yang ketika itu getol mempersoalkan pengadaan dan pembangunan sekretariat permanen PB HMI dan Gedung Training HMI—dengan menggunakan sejumlah tudingan. Maka ketika saya dapat kabar Sdr. Latupono sempat berupaya menduduki sekretariat PB HMI (yang dulu ditentangnya habis-habisan itu), saya hanya bisa senyum-senyum dari jauh.

Saya sendiri tak terlalu cemas dengan lahirnya kubu sempalan Latupono cs itu, sebab kubu ini dibangun di atas pijakan politik-pragmatis, bukan pijakan ideologi. HMI-MPO yang menyempal dari HMI (Dipo) tahun 1986 bisa bertahan lebih dari tiga dekade karena memang kelahiran HMI-MPO saat itu dilandasi oleh pijakan ideologi: dijiwai oleh spirit ajaran Islam dan idealisme gerakan mahasiswa. Saya tidak melihat paradigma ideologis itu hadir dalam manuver gerakan Latupono cs, sehingga saya yakin betul bahwa kelompok ini tak akan memiliki napas panjang. Bahkan besar dugaan saya bahwa kubu ini memang tidak dimaksudkan untuk bertahan dalam jangka waktu lama; artinya, jika kepentingan politik dan materielnya sudah tercapai, maka mereka akan bubar sendiri atau setidak-tidaknya memvakumkan diri sampai munculnya lagi momentum untuk dihidupkan guna dikendarai kembali. Hal lain yang meyakinkan saya tentang itu adalah bahwa di kubu Latupono cs tak ada satu pun pentolannya yang punya pengalaman panjang dan berdarah-darah dalam merawat perkaderan dan kelembagaan di HMI yang sangat kompleks. Satu dua orang memang ada yang pernah terlibat dalam mengelola pelatihan-pelatihan HMI dan menjadi elite pengurus Cabang, tapi lagi-lagi rekam jejak dan integritasnya tidak meyakinkan. Cabang Jakarta tempat asal Sdr. Latupono sendiri merupakan cabang yang berstatus tidak sehat alias sakit-sakitan lebih dari satu dekade terakhir. Kalau di cabangnya sendiri Sdr. Latupono terbukti gagal memperbaiki indeks kesehatan cabang, maka bagaimana mungkin kita yakin dengan gerakan Latupono cs ini? Belum lagi, lebih dari separuh Cabang yang mendukung Sdr. Latupono merupakan cabang-cabang baru yang tidak punya jejak historikal yang kuat di HMI-MPO. Dua cabang tradisional tua HMI-MPO di wilayah tengah dan timur, yaitu Yogyakarta dan Makassar, tak mendukung kubu Latupono.

HMI-MPO adalah organisasi yang sangat independen dari otoritas struktur negara/pemerintah. Salah satu bentuk independensi HMI-MPO adalah dalam aspek administratif. HMI-MPO sama sekali tidak terdaftar dalam sistem administrasi pemerintah. Kepengurusan HMI-MPO tidak memerlukan legitimasi atau pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM atau lembaga negara lainnya. Dengan demikian, ketika terjadi polarisasi kepengurusan seperti saat ini, maka kubu mana yang akan bertahan atau bernapas panjang akan sangat ditentukan oleh “seleksi alam”. Masa depan PB HMI-MPO versi Kongres ke-32 dan versi Latupono bergantung pada seberapa besar penerimaan komunitas HMI-MPO di cabang-cabang terhadap kedua kubu tersebut. “Komunitas” yang saya maksud di sini adalah warga Komisariat dan Cabang, serta alumni HMI-MPO. Komunitas HMI-MPO juga dikenal sangat sensitif terhadap aspek integritas. Mereka yang punya catatan integritas yang buruk akan segera terpelanting dari komunitas. Hadirnya pejabat teras Badan Intelijen Negara (BIN) dalam pelantikan kubu Latupono merupakan blunder serius yang dilakukan Latupono cs, khususnya terkait aspek integritas, yang justru menimbulkan antipati yang kian luas dan kuat dari komunitas HMI-MPO terhadap kubu ini. Tudingan bahwa kubu Latupono turut disokong pihak luar melalui suatu operasi khusus, lantas mendapat pembenaran yang meyakinkan. Di sepanjang Orde Baru aktivis HMI-MPO kenyang betul berurusan dengan aparat intelijen, dan gelagat Sdr. Latupono yang menunjukkan kedekatannya dengan pejabat BIN, apa pun penjelasannya, justru membuatnya terpojok sendiri.

Sumber gambar: Qureta.com

Merdeka Belajar dan Beberapa Hal yang Luput Dimerdekakan

Tidak bermaksud menggurui siapa-siapa. Atau merasa lebih pintar dari pemerintah. Tidak. Anggaplah opini ini sebagai ajakan untuk berefleksi. Sudahkah pendidikan kita benar-benar merdeka. Jangan-jangan hanya pseudo atau sekadar berpura-pura.

***

Kata ‘merdeka belajar’ tiba-tiba menjadi terma yang begitu populer dalam dunia persekolahan kita, juga perkuliahan akhir-akhir ini. Ramai-ramai orang membicarakannya.

Pengistilahan ini menjadi populer, sebab dipakai dan dibawa ke ruang publik, oleh bukan sembarangan orang. Ia seorang pebisnis terkenal dan juga seorang pejabat eselon I di pemerintahan. Ia menteri pendidikan dan kebudayaan. Sebuah kementerian yang ditugasi mengurusi ilmu dan keadaban manusia Indonesia. Bukan pekerjaan mudah tentu saja, sebab ini menyangkut pembangunan manusia dengan segala macam tantangan di dalam dan di hadapannya.

Adalah Nadiem yang memulainya—sekalipun istilah ini bukan terma yang baru-baru amat—. Jauh-jauh hari sebetulnya tokoh-tokoh mazhab pendidikan kritis sudah memperkenalkannya. Walaupun dengan pengistilahan yang berbeda.

Merdeka Belajar, Sebuah Perkenalan Singkat
Sebagai tenaga pendidik atau tepatnya fasilitator belajar, tentu ide dan kebijakan itu saya sambut baik—sekalipun banyak juga yang merespon sebaliknya—. Bagi saya, ini semacam oase di tengah kemarau atau semacam awan mendung di tengah padang pasir. Cukup meneduhkan dan menghilangkan sedikit dahaga.

Inti pokok dari ide itu menyasar tiga hal; pertama memangkas beban administratif guru. Kedua, menurunkan beban pikiran dan psikologis peserta didik. Ketiga, meningkatkan dan mendorong pemerataan kualitas pendidikan.

Lengkapnya, merdeka belajar diterjemahkan dalam beberapa bentuk. Pertama, pelonggaran konsep Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Artinya, ke depan ujian tidak lagi hanya dalam bentuk tes soal, tapi juga dimungkinkan dalam bentuk portofolio, project, gelar karya dan lain sebagainya. Dengan begitu, proses evaluasinya lebih komprehensif dan menyentuh semua aspek; kognitif, psikomotorik dan afektif.

Kedua, revisi model Ujian Nasional (UN). Melalui kebijakan ini, kedepan UN tidak dilaksanakan lagi, sebagai gantinya disusunlah konsep Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter (SK).

Tujuannya untuk mengukur kemampuan bernalar peserta didik menggunakan bahasa (literasi), kemudian bernalar menggunakan matematika (numerasi). Dan juga untuk memonev (monitoring dan evaluasi) karakter siswa—religius, humanis, nasionalis, gotongroyong, mandiri dan berintegritas—.

Tidak hanya itu, pelaksanaanya juga tidak lagi di akhir masa sekolah. Tapi, di pertengahan masa belajar, misal di jenjang SD pelaksanaanya di kelas 4, kemudian SMP dan SMA/sederajat masing-masing di kelas 2. Sehingga paradigma asesmen yang dulunya untuk menyaring siswa, digeser menjadi proses pelacakan capaian belajar siswa. Hal ini penting agar menjadi bahan guru dalam menyusun fokus dan prioritas dalam membelajarkan siswa di tahun berikutnya.

Ketiga, penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Dari yang dulunya berlembar-lembar, menjadi hanya satu atau dua halaman. Cukup memuat tiga komponen saja; tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan asesmen. Dengan begitu, guru tidak lagi menghabiskan waktunya untuk mengurusi administrasi. Tapi lebih ke substansi pembelajaran.

Keempat, Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi. Pada intinya kebijakan ini dimaksudkan untuk menghilangkan jurang ketimpangan kualitas antar sekolah, sehingga diharapkan ke depan tak ada lagi sekolah unggulan dan pinggiran. Hal yang lainnya adalah untuk memberi akses atau kesempatan belajar kepada semua anak sesuai dengan domisilinya.

Beberapa Hal yang Luput dan Terlupakan

Paket kebijakan ini memang dirasa cukup memerdekakan, sekalipun belum memerdekakan dalam arti sesungguhnya. Kenyataannya memang belum secara signifikan merombak problem mendasar dari pendidikan. Banyak diantaranya masih luput dari agenda ‘merdeka belajar’.

Antara lain, pertama, sumber belajar di sekolah yang masih terbatas di sana-sini, sebutlah misalnya bahan bacaan bermutu dan menggugah, internet untuk mengakses e-jurnal, e-book dll, kuantitas dan kualitas tenaga pendidik dan lain sebagainya.

Kedua, biaya pendidikan yang dirasa masih sangat mencekik. Ini momok yang belum tuntas-tuntas juga hingga kini. Padahal di bagian inilah mestinya mula-mula dimerdekakan.

Memang, anggaran bukan satu-satunya variabel penentu, tetapi kalau kita belajar dari Finlandia, Denmark dan negara-negara di semenanjung Skandinavia, salahsatu kunci kemajuan pendidikan dan negaranya adalah karena politik anggarannya berpihak pada pendidikan. Hal yang sama juga bisa kita jumpai di Kuba, negeri orang-orang kiri itu. Di sana, apa yang disebut education not for sale dan education for all benar-benar kita rasakan.

Ketiga, sarana belajar yang juga belum maju dan merata di semua wilayah. Kita masih menemukan ada sekolah yang sekat antar kelas pun hanya dibatasi oleh kain lusuh atau tripleks bekas, beratap bocor, berlantai tanah dan kenyataan-kenyataan menyedihkan lainnya. Apalagi di tengah situasi darurat pandemi seperti sekarang, segala-galanya didaringkan. Sementara tidak semua siswa memiliki handphone. Bahkan seorang ayah di Garut nekat mencuri, demi membelikan gawai untuk pembelajaran daring anaknya.

Keempat, tenaga honorer yang entah akan kemana nasibnya. Sedangkan di sekolah, mereka-mereka inilah yang seringkali malah dijadikan tenaga serba guna. Apa saja diserahkan padanya. Sementara upahnya ya begitu-begitu saja. Yang bahkan untuk menutupi operasionalnya ke sekolah pun tidak. Apatahlagi mencukupi kebutuhan hariannya. Rasanya, mengharapkan pembelajaran yang berkualitas dari situasi semacam ini adalah hal yang mustahil.

Kelima, merdeka dari iklim belajar yang dogmatis, kurikulum yang menara gading, dan tata kelola sekolah yang ‘memenjarakan’. Tanpa itu, ekosistem belajar kita tidak akan menarik, menantang dan menyenangkan. Sebagaimana pembelajaran yang dulu Ki Hajar bayangkan, ketika mendirikan Taman Siswa.

Selain lima hal itu tentu masih banyak lagi. Tapi, menurut saya pada lima hal itulah kita perlu mengalamatkan perhatian lebih. Saya percaya, melalui perbaikan di lima hal tersebut, wajah pendidikan kita akan lebih tampak humanis dan maju sebagaimana cita-cita pendidikan nasional.