Memilih jalan hidup yang dekat dengan anak-anak dan orangtua saat ini tidak pernah masuk dalam daftar cita-cita dan impian masa kecil saya. Seperti banyak anak-anak lain yang ketika ditanya ingin menjadi apa mereka nantinya seperti itu pulalah kurang lebih gambaran dalam ingatan berpuluh tahun lalu. Ketika guru menunjuk secara bergilir murid-murid untuk ke depan kelas menceritakan cita-citanya masing-masing. Hari ini ingin menjadi guru, bulan depan berubah keinginan jadi insinyur, lalu di akhir tahun berganti cita-cita hendak menjadi penerjemah Presiden di istana.
Karena kesukaan pada pelajaran Bahasa Inggris, dan ketertarikan pada Bahasa Indonesia membuat nilai-nilai rapor untuk kedua mata pelajaran tersebut selalu di atas rata-rata. Itu pula yang menjadi sebab saya memilih jurusan Bahasa Inggris saat kuliah meski tidak tuntas menyelesaikannya. Namun sebenarnya ada sedikit cerita di balik alasan saya memilih jurusan tersebut.
Bahwa cita-cita kanak-kanak yang berubah-ubah sempat mengombang-ambingkan perasaan, manakala dihampiri keinginan untuk menggeluti dunia psikologi. Karena saat itu jurusan yang saya inginkan belum tersedia, maka pilihan jatuhlah pada jurusan Sastra Inggis. Dengan pertimbangan ada sedikit kemiripan, meskipun hanya nol koma sekian persen.
Dalam perjalanan selanjutnya ketertarikan saya mengerucut pada tema-tema psikologi populer khususnya yang berkaitan dengan pendidikan anak. Kemudian berlanjut pada pengembangan diri seiring kebutuhan pada tahun-tahun yang terlewati. Semua saya peroleh dari hasil belajar otodidak serta lewat pelatihan dan seminar yang terkait dengan tema-tema tersebut.
Antara hasrat dan kebutuhan
Rhonda Byrne bilang dalam bukunya Renungan Harian The Secret, “Menghasratkan sesuatu adalah menjadi selaras dengan hukum tarik-menarik. Anda menarik apa yang Anda hasratkan. Membutuhkan sesuatu adalah penyalahgunaan hukum tarik-menarik. Anda tidak bisa menarik apa yang Anda butuhkan jika Anda merasa Anda membutuhkannya dengan sangat dan mendesak, karena emosi itu mengandung rasa takut. Jenis “membutuhkan” seperti itu akan menjauhkan segalanya. Hasratkan sesuatu jangan membutuhkan apa pun.”
Inilah barangkali yang menjadi jawaban mengapa saya mencintai dunia saya yang sekarang. Dunia pendidikan dan buku. Karena saya tidak membutuhkan orang-orang untuk harus masuk semua ke dalamnya seperti halnya perasaan saya terhadap dunia ini. Meskipun sebelum saya dikuatkan oleh pernyataan di atas, saya pernah merasa kecewa dengan respons orang-orang terhadap banyak tawaran saya. Mulai dari usaha membentuk kelas parenting yang makin lama makin berkurang pesertanya, tidak konsistennya banyak orangtua mempraktikkan pengetahuan yang telah diketahuinya, hingga kekecewaan menyaksikan banyaknya orang dewasa yang tidak peduli terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak-anak di sekitarnya, bahkan mungkin anak-anaknya sendiri.
Setelah menyadari korelasi yang terjalin pada dua kutub di atas, maka makin yakinlah saya pada pilihan jalan yang saya tempuh. Bahwa hasrat itu tak mengenal balasan, tak peduli reaksi. Selama engkau memiliki hasrat yang besar maka semesta akan bersinergi mewujudkannya. Tuhan tak menilai hasil tetapi sangat peduli pada usaha yang kita lakukan.
Hasilnya mungkin tak terlihat sekarang, tetapi akan dirasakan oleh generasi-generasi yang akan datang. Almarhum Bapak saya belum sempat melihat tulisan-tulisan yang saya hasilkan. Tidak sempat melihat hasil pengajarannya mengajari saya mengetik cepat, sehingga saya sangat terbantu bias menyelesaikan banyak tulisan berbekal keterampilan tersebut. Saya bersyukur bisa mengajar anak-anak mengaji dengan bacaan tajwid yang lumayan, karena diajari Bapak ketika saya duduk di bangku SMU. Begitupun dengan banyak keterampilan lainnya.
Kecintaan beliau pada ilmu pengetahuan terlihat dari ketekunannya setiap malam bangun belajar, merekam suara melatih pronounciation membaca teks-teks berbahasa Inggris. Dan kami, anak-anaknya melihat langsung keteladanan pada sosoknya. Sedikit berbicara, lebih banyak mencontohkan. Seperti itulah gambaran sehari-hari kehidupan Bapak.
Mendidik mestilah mencintai
Tanpa dasar kecintaan yang besar pada pendidikan, siapa pun saya yakin akan mengalami banyak kesulitan atau hambatan. Karena obyek pendidikan adalah manusia, anak yang memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan. Jika tak sabar dan mengayomi kerja akan terasa berat. Anak yang memiliki niat baik namun diterima oleh hati dan perasaan yang kurang stabil, akan dinilai buruk oleh si penerima. Oleh karenanya tak heran jika banyak kasus penganiayaan ataupun kekerasan verbal yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didik.
Seorang yang diliputi cinta tak akan mudah marah dan cenderung memiliki emosi yang lebih stabil dibandingkan orang-orang yang tidak mendasari segenap perbuatannya dengan dasar kecintaan pada obyek atau profesi. Ia akan berpikir seribu kali jika hendak marah, menimbang dalam-dalam jika akan menindak anak. Karena kendali ada pada tangannya bukan terletak pada hal-hal di luar dirinya.
Ia tak kan marah hanya karena anak bersikap kurang sopan, ia juga tak kan kehilangan kesabaran hanya karena anak tidak mampu menjawab dengan cepat dan tepat soal yang diberikan. Ia pun tak kan tersinggung hanya karena anak tidak menyapanya saat berpapasan dengan dirinya. Karena baginya semua perilaku itu terbentuk bukan semata disebabkan oleh faktor internal anak, melainkan banyak disemai dan dipupuk oleh orangtua dan lingkungan anak yang bersangkutan.
Pada akhirnya, anak akan melihat patron pada orang dewasa yang ada di sekitarnya. Terutama orangtua, guru, ulama, pejabat, dan mereka yang memiliki otoritas dalam kehidupan di masyarakat. Jika ingin anak-anak berperilaku baik, cintailah mereka, didiklah mereka dengan tak lupa mendidik diri sendiri.
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).