Arsip Kategori: Parenting

Mencintai Kehidupan, Didiklah Manusia

Memilih jalan hidup yang dekat dengan anak-anak dan orangtua saat ini tidak pernah masuk dalam daftar cita-cita dan impian masa kecil saya. Seperti banyak anak-anak lain yang ketika ditanya ingin menjadi apa mereka nantinya seperti itu pulalah kurang lebih gambaran dalam ingatan berpuluh tahun lalu. Ketika guru menunjuk secara bergilir murid-murid untuk ke depan kelas menceritakan cita-citanya masing-masing. Hari ini ingin menjadi guru, bulan depan berubah keinginan jadi insinyur, lalu di akhir tahun berganti cita-cita hendak menjadi penerjemah Presiden di istana.

Karena kesukaan pada pelajaran Bahasa Inggris, dan ketertarikan pada Bahasa Indonesia membuat nilai-nilai rapor untuk kedua mata pelajaran tersebut selalu di atas rata-rata. Itu pula yang menjadi sebab saya memilih jurusan Bahasa Inggris saat kuliah meski tidak tuntas menyelesaikannya. Namun sebenarnya ada sedikit cerita di balik alasan saya memilih jurusan tersebut.

Bahwa cita-cita kanak-kanak yang berubah-ubah sempat mengombang-ambingkan perasaan, manakala dihampiri keinginan untuk menggeluti dunia psikologi. Karena saat itu jurusan yang saya inginkan belum tersedia, maka pilihan jatuhlah pada jurusan Sastra Inggis. Dengan pertimbangan ada sedikit kemiripan, meskipun hanya nol koma sekian persen.

Dalam perjalanan selanjutnya ketertarikan saya mengerucut pada tema-tema psikologi populer khususnya yang berkaitan dengan pendidikan anak. Kemudian berlanjut pada pengembangan diri seiring kebutuhan pada tahun-tahun yang terlewati. Semua saya peroleh dari hasil belajar otodidak serta lewat pelatihan dan  seminar yang terkait dengan tema-tema tersebut.

 

Antara hasrat dan kebutuhan

Rhonda Byrne bilang dalam bukunya Renungan Harian The Secret, “Menghasratkan sesuatu adalah menjadi selaras dengan hukum tarik-menarik. Anda menarik apa yang Anda hasratkan. Membutuhkan sesuatu adalah penyalahgunaan hukum tarik-menarik. Anda tidak bisa menarik apa yang Anda butuhkan jika Anda merasa Anda membutuhkannya dengan sangat dan mendesak, karena emosi itu mengandung rasa takut. Jenis “membutuhkan” seperti itu akan menjauhkan segalanya. Hasratkan sesuatu jangan membutuhkan apa pun.”

Inilah barangkali  yang menjadi jawaban mengapa saya mencintai dunia saya yang sekarang. Dunia pendidikan dan buku. Karena saya tidak membutuhkan orang-orang untuk harus masuk semua ke dalamnya seperti halnya perasaan saya terhadap dunia ini. Meskipun sebelum saya dikuatkan oleh pernyataan di atas, saya pernah merasa kecewa dengan respons orang-orang terhadap banyak tawaran saya. Mulai dari usaha membentuk kelas parenting yang makin lama makin berkurang pesertanya, tidak konsistennya banyak orangtua mempraktikkan pengetahuan yang telah diketahuinya, hingga kekecewaan menyaksikan banyaknya orang dewasa yang tidak peduli terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak-anak di sekitarnya, bahkan mungkin anak-anaknya sendiri.

Setelah menyadari korelasi yang terjalin pada dua kutub di atas, maka makin yakinlah saya pada pilihan jalan yang saya tempuh. Bahwa hasrat itu tak mengenal balasan, tak peduli reaksi. Selama engkau memiliki hasrat yang besar maka semesta akan bersinergi mewujudkannya. Tuhan tak menilai hasil tetapi sangat peduli pada usaha yang kita lakukan.

Hasilnya mungkin tak terlihat sekarang, tetapi akan dirasakan oleh generasi-generasi yang akan datang. Almarhum Bapak saya belum sempat melihat tulisan-tulisan yang saya hasilkan. Tidak sempat melihat hasil pengajarannya mengajari saya mengetik cepat, sehingga saya sangat terbantu bias menyelesaikan banyak tulisan berbekal keterampilan tersebut. Saya bersyukur bisa mengajar anak-anak mengaji dengan bacaan tajwid yang lumayan, karena diajari Bapak ketika saya duduk di bangku SMU. Begitupun dengan banyak keterampilan lainnya.

Kecintaan beliau pada ilmu pengetahuan terlihat dari ketekunannya setiap malam bangun belajar, merekam suara melatih pronounciation membaca teks-teks berbahasa Inggris. Dan kami, anak-anaknya melihat langsung keteladanan pada sosoknya. Sedikit berbicara, lebih banyak mencontohkan. Seperti itulah gambaran sehari-hari kehidupan Bapak.

 

Mendidik mestilah mencintai

                Tanpa dasar kecintaan yang besar pada pendidikan, siapa pun saya yakin akan mengalami banyak kesulitan atau hambatan. Karena obyek pendidikan adalah manusia, anak yang memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan. Jika tak sabar dan mengayomi kerja akan terasa berat. Anak yang memiliki niat baik namun diterima oleh hati dan perasaan yang kurang stabil, akan dinilai buruk oleh si penerima. Oleh karenanya tak heran jika banyak kasus penganiayaan ataupun kekerasan verbal yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didik.

Seorang yang diliputi cinta tak akan mudah marah dan cenderung memiliki emosi yang lebih stabil dibandingkan orang-orang yang tidak mendasari segenap perbuatannya dengan dasar kecintaan pada obyek atau profesi. Ia akan berpikir seribu kali jika hendak marah, menimbang dalam-dalam jika akan menindak anak. Karena kendali ada pada tangannya bukan terletak pada hal-hal di luar dirinya.

Ia tak kan marah hanya karena anak bersikap kurang sopan, ia juga tak kan kehilangan kesabaran hanya karena anak tidak mampu menjawab dengan cepat dan tepat soal yang diberikan. Ia pun tak kan tersinggung hanya karena anak tidak menyapanya saat berpapasan dengan dirinya. Karena baginya semua perilaku itu terbentuk bukan semata disebabkan oleh faktor internal anak, melainkan banyak disemai dan dipupuk oleh orangtua dan lingkungan anak yang bersangkutan.

Pada akhirnya, anak akan melihat patron pada orang dewasa yang ada di sekitarnya. Terutama orangtua, guru, ulama, pejabat, dan mereka yang memiliki otoritas dalam kehidupan di masyarakat. Jika ingin anak-anak berperilaku baik, cintailah mereka, didiklah mereka dengan tak lupa mendidik diri sendiri.

 

               

Mengagungkan Lisan

Kata orang-orang dalam beberapa hal saya memiliki banyak kemiripan dengan Bapak. Dari cara jalan, bagaimana menjejakkan kaki kanan dan kiri yang meskipun tampak lambat dan jauh menjangkau ke depan, namun iramanya cepat dan konstan. Postur tubuh yang cenderung lurus bahkan sedikit maju mulai bahu hingga pinggang. Serius dan menyimak jika mendengar orang berbicara. Bapak  sangat tidak suka pada orang yang seenaknya memotong pembicaraan, baik secara sadar maupun tanpa disadarinya. Kami, anak-anaknya pun dipetuahi begitu. Itulah mungkin salah satu sebabnya hingga seusia ini saya lebih senang mendengar orang lain berbicara daripada saya yang harus berbicara kecuali diperlukan.

Apabila salah seorang di antara kami hendak menyampaikan sesuatu kepada Bapak, ia sudah harus mempersiapkan susunan kalimat dengan baik, karena beliau tampak kurang respek pada mereka yang berbicara tetapi terlalu banyak jeda alias boros kata, padahal maksudnya sederhana. Bisa dinyatakan dalam kalimat pendek saja. Seperti pada mereka yang biasa menggunakan frasa “apa namanya”, “eh…”, “anu”, “siapa lagi”, dan seterusnya. Kata-kata tersebut muncul sebenarnya dikarenakan orang tersebut dalam kondisi sementara berpikir, dan di saat bersamaan tetap membuka mulut mengeluarkan kata-kata itu sebagai pengisi kekosongan. Sekarang ini saya pun jika berbicara berusaha seperti itu. Sejak dulu sudah membiasakan diri berbicara dengan hanya menggunakan kata-kata yang benar-benar dibutuhkan.

Berdasarkan pertimbangan itu pula, kami terkadang banyak menimbang sebelum menyampaikan sesuatu kepadanya. Di sisi lain, secara tidak langsung kami terdidik dan dibiasakan untuk merapikan susunan kata yang digunakan dalam pembicaraan. Selain hal-hal tersebut di atas, Bapak juga seorang penafsir. Beliau mampu membaca apa yang tersirat di balik yang tersurat. Jadi, jangan coba-coba mengakalinya dengan bersandar pada kata-kata saja, jika di balik itu tersimpan maksud tersembunyi yang kita tidak ingin ia ketahui.

Dari sudut tinjauan pendidikan anak, metode Bapak memiliki kekurangan, yakni anak menjadi tidak bebas dalam mengekspresikan pikirannya karena dibatasi oleh aturan kata-kata di atas. Lamun bisa saya katakan bahwa aturan tersebut tidak selamanya berlaku. Dalam situasi-situasi bercanda, ungkapan kata-kata spontan, kami bisa bebas mengemukakan pendapat. Yang saya maksudkan dengan ini adalah saat-saat tertentu ketika kami ingin membicarakan hal-hal yang sifatnya serius. Dalam situasi seperti itu diperlukan kesungguh-sungguhan pula dalam berkata-kata dan menyampaikan ide.

Apa yang pernah diajarkan oleh beliau baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan, tanpa saya sadari—karena ia otomatis tersimpan dalam otak bawah sadar sebagai memori yang cenderung menetap sifatnya—menjelma dalam perilaku saya hingga kini. Saat hal yang sama saya praktikkan pada anak-anak kami . Pada mereka saya pun mengajarkan cara bertutur kata yang sarat sopan santun dan etika. Dalam pembicaraan sehari-hari, saya khususnya telah menjadi “polisi” bahasa di rumah. Membantu siapa pun yang menggunakan bahasa Indonesia asal-asalan dan salah penempatan untuk berusaha meluruskannya. Karena bahasa bukan perkara sepele. Kadang koreksinya sambil bercanda, kadang serius. Tidak ada yang keberatan ataupun protes, karena siapa pun saling menghargai otoritas masing-masing. Kepada anak-anak pun kami berlaku serupa. Menghargai kelebihan mereka,  atas penguasaannya  yang berbeda-beda dalam bidangnya masing-masing.

Satu pertanyaan besar, di era digital seperti sekarang masih banyakkah orang yang mau peduli dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Saat orang-orang dibanjiri informasi dari kanan-kiri, depan-belakang, tanpa memiliki cukup waktu jeda untuk sedikit menghadirkan kesadaran dalam diri, apakah saya sudah berbahasa sesuai dengan aturan semestinya? Realitasnya nampak kurang, karena banyak faktor yang memengaruhinya. Di antaranya terkait dengan pendidikan formal di sekolah-sekolah sejak anak kecil hingga berlanjut pada jenjang-jenjang di atasnya. Sementara pendidikan informal, yang berlangsung di dalam keluarga tidak banyak yang mempraktikkan tradisi belajar seperti ini. Umumnya kita masih menganggap berbahasa adalah masalah sepele yang tak perlu dipikirkan penggunaannya secara serius dan sungguh-sungguh.

Sebab lainnya karena tidak adanya siaran pendidikan bahasa Indonesia di televisi seperti dulu, kendati orang-orang yang tertarik dengan bahasa Indonesia saya yakini tidak pernah banyak, kecuali mereka yang berkecimpung dalam dunia tulis-menulis yang memang taat aturan. Akan tetapi tidak banyak yang tertarik bukan berarti tidak penting, ini hanya soal kesadaran dan waktu.

 

 

 

 

Anak dan Gawai, Suara Lirih Keprihatinan

Di zaman kini, agaknya akan sulit menemukan anak-anak yang tidak memegang handphone. Bahkan ada seorang ibu bertanya kepada saya, amankah jika anak-anak yang masih di bawah usia tiga tahun sudah diperkenalkan dengan gadget?  Saya bisa membaca keresahan ibu tersebut. Mungkin yang ia harapkan adalah jawaban ‘aman’ atau ‘boleh’. Mengingat demikian sulitnya menghindarkan anak-anak kecil dari benda ajaib ini.

Saking sulitnya bersikap terhadap persoalan ini, bahkan seorang pendidik, guru, atau pemerhati parenting pun masih banyak yang kecolongan dengan bersikap permissive terhadapnya. Sering dalam keluarga saya berkalakar mengatakan, jika kita tidak mampu memasang benteng yang kuat terhadap godaan sesuatu, maka bersyukurlah pada kondisi ketidakmampuan. Tidak mampu memiliki benda penggoda yang dimaksud, sehingga pengendalian diri pun diambil alih oleh situasi ‘yang tidak menguntungkan’ tersebut.

Sebagai contoh, seorang anak dari keluarga kurang mampu, tidak seberuntung teman-temannya, fasilitas belajar pun seadanya. Jangankan untuk membeli telepon genggam, bahkan untuk melengkapi buku-buku pelajarannya saja ia kewalahan. Akhirnya dengan kondisi serba minim seperti ini ia memiliki lebih banyak waktu untuk membaca buku di perpustakaan sekolahnya ketimbang tergoda untuk mengutak-atik gawai.  Mungkin saja ada kecenderungan dalam dirinya untuk juga berselancar di dunia maya lewat benda ajaib tersebut, namun apa daya kondisi ekonomi keluarga mengharuskannya untuk mengerem keinginannya itu.

Di sisi lain, sebuah contoh yang berkebalikan dengan situasi di atas, seorang anak usia SD dari keluarga berada dan terdidik. Orangtuanya menerapkan aturan yang sangat baik dalam memanfaatkan gawai. Benda tersebut hanya boleh digunakan untuk berkomunikasi. Ada pun untuk menjelajah internet, ia diarahkan untuk menggunakan laptop atau PC (komputer) yang diletakkan di ruang keluarga. Di sekolahnya murid-murid tidak diperbolehkan membawa handphone. Dalam kondisi seperti ini, anak dan orangtua mampu membentengi diri mereka sendiri, meskipun godaan fasilitas menari-nari di depan mata.

Jika pada tahun-tahun sebelumnya orangtua demikian khawatir dengan tayangan televisi yang bebas-bebas saja menayangkan berbagai acara kekerasan dan muatan seksualitas, maka kini layar televisi mungkin tak lagi semenarik layar gawai. Gawai canggih saat ini bahkan bisa menampilkan berbagai gambar bergerak yang jauh lebih menggoda dan menantang, tanpa sensor pula, yang tak bisa disaksikan lewat layar media yang sebelumnya mereka kenal.

Di rumah-rumah, sekolah-sekolah, ruang-ruang pertemuan, pemandangan yang sangat umum biasa kita jumpai adalah orang-orang yang  asyik masyuk dengan benda  berlayar di tangan masing-masing. Tak banyak lagi kita  lihat orang-orang yang lebih memilih menenteng dan membaca buku. Pemandangan itu sekarang berganti dengan menggenggam dan membaca di layar gawai. Buku-buku mulai tergeser oleh kehadiran benda mungil ini.

Bila orangtua dan orang dewasa umumnya mempertontonkan perilaku seperti ini, bagaimana anak-anak tidak akan menirunya? Orang bijak bilang, jika pemimpin—dalam hal ini orangtua—mencontohkan kebaikan maka anak-anak hanya akan meniru separuhnya saja. Akan tetapi sebaliknya, jika pemimpin (orangtua) melakukan perbuatan yang menyimpang, maka anak-anak meniru dua kali lipatnya. Menilik hubungan sebab-akibat ini, sebagai orangtua  serasa mendapat tamparan keras. Akankah situasi  kita biarkan berjalan seperti ini selamanya?

Mengakhiri  tulisan ini, ingin saya kutip sebuah pengamatan dan peringatan seorang direktur penerimaan siswa di Sekolah Francis W. Parker di Chicago dalam buku High Tech High Touch, Mizan, 2001,  John Naisbitt. Dewasa ini, kebiasaan membaca kian berkurang, pengasuhan langsung oleh orangtua semakin berkurang, dan kesempatan untuk menggunakan imajinasi pun berkurang. Anak-anak kurang memiliki waktu bersama orangtua dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan kegiatan pasif sendirian (dengan layar). Juga terdapat sikap kurang peduli mengenai apa yang seharusnya kita berikan kepada anak-anak. Antara lain, anak-anak harus belajar untuk bisa menyaring. Kita mendidik orang untuk membaca. Namun, di masa depan, seiring dengan semakin berkurangnya waktu baca seseorang, kita harus mendidik mereka untuk “membaca” media.

Belasan tahun telah berlalu, namun tulisan di atas  justru semakin relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat kita dewasa ini. Anak-anak tak boleh dilepas mengembara dalam dunia imajinasinya sendiri. Tanpa pengawalan dan bimbingan kita sebagai orangtuanya. Pihak pertama yang seharusnya paling bertanggung jawab dan memegang kendali atas apa yang terjadi dalam kehidupan anak-anaknya. Bukan produsen atau pemasar di luar sana yang jelas-jelas menarik keuntungan yang sangat besar dari aplikasi-aplikasi teknologi yang mereka pasarkan.

Pertanyaan terbesar saat ini, masihkah kita ingin menjadi orangtua yang memiliki pengaruh dan kendali terbesar dalam kehidupan anak-anak kita. Mari peduli dan terus belajar.

 

 

 

Mencari Ibu Sejati

Dalam sebuah dongeng H.C. Andersen yang terkenal, tersebutlah seorang putra Raja yang sudah sekian lama belum juga mendapatkan pendamping hidup. Raja dan Ratu pun mulai risau. Sayembara-sayembara yang digelar dalam usaha mencari pendamping yang selaras dengan kriteria putra Raja tak juga membuahkan hasil. Putri sejati tak kunjung bersua.

Hingga pada suatu malam yang gelap disertai petir dan hujan deras, seseorang mengetuk pintu istana Raja. Pelayan pun membuka pintu dan mendapati seorang gadis sedang berdiri menggigil kedinginan di tengah hujan dan gelapnya malam. Lalu si pelayan mengajak si gadis masuk ke dalam istana menemui Raja dan Ratu.

Merasa iba dengan kondisi gadis tersebut, Ratu lalu menawarkannya untuk bermalam saja di istana. Ia lantas menyuruh para pelayan untuk menyiapkan kamar untuk sang gadis. Kasur empuk pun disusun lapis demi lapis sedemikian tingginya, sehingga untuk dapat berbaring di atasnya, seseorang harus menggunakan tangga yang cukup tinggi. Namun karena kelelahan, ia pun segera tertidur pulas.

Keesokan harinya, saat sedang sarapan bersama-sama di meja makan, Ratu bertanya pada sang gadis, “Bagaimana tidurmu semalam? Apakah cukup nyenyak?”

Oleh gadis tersebut dijawab, bahwa semalam ia tak dapat tidur pulas hingga menjelang pagi. Sebab serasa ada sesuatu serupa biji yang mengganjal di bawah kasur.

Mendengar jawaban tersebut, pahamlah Ratu bahwa inilah putri yang selama ini dicari-cari oleh putra Raja. Seorang putri yang dengan kemampuan istimewa mampu merasakan ganjalan sebuah biji yang kecil di bawah kasur, meskipun kasur tersebut telah disusun berlapis-lapis hingga ketinggian tertentu.

Benar tidaknya kisah dalam dongeng di atas, membawa kita pada sebuah pertanyaan yang mirip dengan kisah tersebut, adakah yang disebut ibu sejati? Dan bagaimana pula cara mengetahuinya? Tentu bukan dengan cara yang sama, memintanya untuk tidur di atas kasur empuk berlapis-lapis, lalu mengujinya dengan meletakkan sebuah biji di bawah lapis kasur terbawah.

Jika sekiranya harus menggunakan alat penguji seperti ini, tentu untuk merasakan sebuah ganjalan kecil di bawah sana diperlukan sebuah kondisi batin yang peka pula. Analogi biji kacang sesungguhnya untuk menunjukkan betapa halus dan perasanya seorang gadis yang berhati mulia. Sama halnya betapa seharusnya seorang ibu penuh kasih dan sayang terhadap semua makhluk di dunia ini, terlebih pada anak-anaknya, darah dagingnya sendiri. Sehingga jarak yang terbentang jauh sekalipun mampu menautkan hati-hati mereka.

Tak ada definisi yang tepat untuk menggambarkan arti ibu sejati. Hanya kata sejati yang bermakna ‘sebenarnya’, ‘tulen’, ‘murni’ dstnya yang dapat kita temukan dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia. Dewasa ini sangat beragam definisi mengenai ibu sejati. Apakah ia seorang ibu yang bekerja di luar rumah, ibu yang beraktivitas di rumah saja, atau seorang ibu multi tasking yang memiliki kemampuan menjalani kedua peran di dua atau lebih wilayah yang berbeda.

Yang ingin saya tonjolkan di sini—terlepas dari apa pun peran lainnya—adalah bagaimana seorang ibu mampu menghidupkan unsur kelemahlembutan, cinta, welas asih, dan kebijaksanaannya dalam perilaku hidup sehari-hari. Walaupun ia melakukan banyak peran sebagai ibu di luar sana. Keluarga membutuhkan figur dan dukungan mereka, di tengah hiruk-pikuk dan kebisingan berita yang menggaduhkan serta perilaku tak manusiawi dari sosok-sosok yang diagungkan. Ibu sejati akan tampil menenangkan hati siapa saja yang berdiam dalam rumahnya, dan memeluk raga anak-anak yang rindu dekapan sayang ibu.

Sehingga sesulit apa pun kondisinya setiap orang akan mampu melaluinya, karena ada ibu yang mendampinginya. Bukan hanya fisiknya, tetapi yang paling utama adalah jiwanya. Tantangan terbesar di era ini, bagaimana anak-anak mampu menemukan jalannya agar kelak bisa bermuara pada akhir kehidupan yang baik. Mampu menggapai cita-cita walaupun tantangan menghadang di mana-mana, dapat menyelesaikan perjalanannya dan tidak tergoda oleh seribu satu tangan yang menari-nari menghalanginya.

Sejati bukan dalam makna lahiriah, namun lebih bermakna batiniah. Mari mencari ibu sejati di dalam diri masing-masing. Hadapi tantangan dunia global, dekap hangat jiwa anak-anak, lalu biarkan mereka mencari jalannya masing-masing. Kehangatan cinta dan kasih ibu akan menjaganya ke mana pun kaki membawanya pergi.

Pentingnya Belajar Menulis

Sebagaimana biasa kelas dimulai dengan membaca dan menyimak karya tulis teman-teman peserta yang hadir siang itu. Si empunya tulisan membacanya dan yang lain menyimak sambil memegang kertas gandaannya. Tulisan bebas saja, tak ada keharusan mesti menuliskan jenis apa. Mau puisi satu paragraf, cerpen satu halaman, ataupun opini berlembar-lembar. Siapa pun bebas mengalirkan ide dalam bentuk yang dipilihnya.

Lalu dengan suara yang cukup lantang dibacakanlah hasil karya tersebut. Ada yang membaca dengan intonasi yang cukup baik, ada yang seadanya alias datar saja. Tetapi ada juga yang cukup merdu. Iramanya enak, pemenggalan frasa dan kalimatnya pas di telinga. Yang mendengar, meskipun tidak kebagian kertas hasil tulisan tersebut, tetap bisa menyimak dan menangkap kalimat demi kalimat yang mengalir dari mulut si pembaca.

Dari sekian puluh peserta yang telah mengikuti kelas selama kurang lebih setahun, hanya sedikit yang bisa membaca dan menulis dengan baik. Itulah sebabnya mengapa kehadiran kelas ini demikian penting dan mendesak. Karena sepengetahuan saya kedua teknik ini—bagaimana membaca dan menulis—tidak lagi dianggap penting untuk diajarkan di bangku-bangku kuliah. Beruntung di sekolah kami yang dasar dahulu teknik-teknik ini diajarkan. Kendati porsi keduanya tidak cukup berimbang. Belajar membaca beserta tekniknya lebih dominan daripada belajar menulis atau mengarang.

Saya masih ingat dengan sangat baik guru Bahasa Indonesia kelas 4 SD yang sekaligus mengajar musik atau menyanyi kami waktu itu. Bu Cesilia namanya. Beliau sangat disiplin dan tegas saat mengajar, sehingga kami tidak berani main-main saat jam pelajaran. Untungnya saya suka dengan semua pelajaran yang berbau bahasa. Bukan hanya Bahasa Indonesia, tetapi Bahasa Inggris pun saya suka. Hingga nanti saat duduk di kelas 2 SMU, Bahasa Jerman menjadi tambahan pelajaran yang saya minati.

Bu Cesil (semoga beliau menjalani masa tuanya dengan sehat dan bahagia) jika mengajar selalu sungguh-sungguh. Tak heran jika rata-rata anak didiknya berhasil meraih prestasi dengan gemilang. Kami belajar Bahasa Indonesia mulai peribahasa sederhana, kata-kata majemuk, hingga pengenalan terhadap sastrawan-sastrawan angkatan 20 hingga angkatan 66. Aneka jenis pantun dan puisi pun diajarkan dengan cara menarik. Saya sangat menyenangi pelajaran yang satu ini. Selanjutnya, di kelas-kelas yang lebih tinggi pun pelajaran Bahasa Indonesia tetap menjadi kecintaan dan prioritas di antara semua pelajaran.

Di kelas ini membaca dengan intonasi yang baik sudah mulai ditekankan. Bahkan sedapat mungkin mampu membaca tanpa salah dan jeda yang bukan pada tempatnya. Jadi aturannya, setiap anak digilir dari depan atau dari belakang untuk mulai membaca sebuah teks. Yang lain harus menyimak, terlebih bangku di sampingnya, yang akan mendapat giliran selanjutnya. Jika si pembaca salah huruf atau salah ucap, ia akan dinyatakan gagal, dan selanjutnya sambungan teks akan dibaca oleh siswa di sampingnya. Begitu seterusnya. Saat giliran saya, teman-teman kadang bosan, karena sering terjadi berbaris-baris kalimat yang saya baca tidak kunjung salah. Meskipun pada akhirnya keseleo lidah juga sehingga mesti diganti dan dilanjutkan oleh teman berikutnya.

***

Tahun-tahun pun berlalu. Saat kuliah di fakultas Sastra jurusan Bahasa Inggris, oleh dosen pun kami kerap diminta satu per satu membaca teks bahasa Inggris. Pronounciation yang tepat serta irama membaca yang enak didengar menjadi perhatian utama. Lagi-lagi saya menyukainya. Motivator bilang, jika engkau menyukai sesuatu maka biasanya engkau dapat melakukannya dengan baik. Seperti itulah yang saya rasakan saat belajar bahasa dan ihwalnya. Menyenangkan sekaligus menantang. Saya tidak tahu apakah mahasiswa-mahasiswa sekarang masih menerima materi seperti yang pernah saya dapatkan dulu.

Satu hal memprihatinkan yang saya ketahui, bahwa banyak mahasiswa yang saat ini tidak bisa menulis dengan baik. Bahkan membaca penggalan-penggalan nama atau kata asing pun masih terbata-bata alias banyak yang salah. Jangankan menulis artikel dengan baik, bahkan logika antar kalimat yang satu dengan kalimat berikutnya sering kali rancu dan tidak nyambung. Yang lebih parah lagi, menempatkan koma dan titik saja masih sangat kerepotan. Apatah lagi penempatan tanda-tanda baca lainnya.

Bagi yang tidak hobi dengan pelajaran bahasa, apa boleh buat Anda tetap harus berusaha untuk bisa menulis dengan baik, minimal belajar merangkai kalimat demi kalimat dengan runut. Karena lewat tulisan yang terstruktur ide-ide bisa tersampaikan dan diterima dengan baik oleh pihak lain.