“Selamat memasuki usia tujuh belas tahun, Nak.” Salah satu kalimat yang saya ucapkan lewat telepon padanya, kala mengetahui ia tidak jadi kembali ke rumah tepat pada hari ulang tahunnya. Harapan saya, ibunya, ia bisa pulang esok hari mumpung ada hari terjepit yang bisa pula dijadikan hari libur. Tetapi rupanya kegiatannya di sekolah lebih ia pentingkan daripada sekadar peringatan hari jadinya. Menurutnya, esensi jauh lebih berharga daripada hal-hal ekstrinsik.
Sengaja komunikasi saya lakukan dengan menelepon langsung, yang biasanya lebih banyak saling berkirim pesan via whatsapp saja. Untuk menjaga agar ia tidak sampai merasa terabaikan, menganggap tidak ada yang memberinya perhatian pada momen pertambahan umurnya. Bahwa usia sweet seventeen adalah usia terindah bagi sebagian besar remaja. Sekaligus penanda akan tibanya alam kedewasaan. Masa di mana mereka boleh melakukan dan mendapatkan izin untuk menjalankan kendaraan bermotor di jalan umum, memiliki sejumlah kartu-kartu identitas tertentu yang sebelumnya belum boleh mereka miliki.
Saya kemudian menawarinya kalau-kalau ia mau dikirimi kue tart atau makanan tertentu. Ternyata tidak juga. Saat beberapa tawaran benda yang kira-kira ia butuhkan saya coba sodorkan ke dia, ia berseloroh minta mentahnya saja katanya. Dalam hati ia mungkin saja membatin, “Saya menginginkan sesuatu yang lebih tinggi lagi nilainya.” Saya mulai bermain-main dengan pikiranku sendiri. “Ah, ia bukanlah tipe anak seperti itu.” Bersyukurnya ia tidak pernah sekali pun memaksakan keinginannya pada kami. Jika pun suatu ketika butuh barang tertentu yang ia perkirakan harganya melebihi batas kemampuan kami, maka ia terlebih dulu akan memulainya dengan basa-basi pendahuluan. Barulah masuk ke dalam inti persoalan yang ia maksudkan.
Javid kami, walaupun laki-laki sendiri di antara empat bersaudara, bungsu pula, tidak serta-merta mendapatkan previlege di dalam rumah. Seperti yang mungkin disangkakan oleh orang-orang. Setiap kali di antara mereka ada yang mendengar kalau ia cowok sendiri dengan tiga orang kakak perempuan. Pada kenyataannya, tidak sama sekali. Ia mendapat jatah tugas mengerjakan pekerjaan di dalam rumah sama dengan yang lainnya. Menjemur pakaian, mencuci dan menyimpan piring, menyapu lantai toko adalah sebagian dari tugas-tugasnya. Bahkan oleh kakak-kakaknya ia diharuskan bisa memasak nasi dan bikin sambal. Agar dewasa nanti tidak seenaknya menyerahkan urusan masak dan dapur melulu pada istrinya. Seolah pekerjaan-pekerjaan tersebut sudah menjadi tugas yang melekat pada diri seorang perempuan.
Kehadiran Javid berjarak tujuh tahun dari kakak di atasnya. Di saat kami mengira hanya dikaruniai tiga orang putri. Tanpa usaha yang spesial, hanya doa kepasrahan, sekiranya Allah berkehendak memberi kami anak laki-laki. Permohonan yang benar-benar biasa, mengingat harapan itu pernah muncul saat menanti kelahiran anak kedua. Bahkan sebuah nama berkelamin laki-laki sudah kami siapkan kala itu. Namun rupanya kami ditakdirkan untuk mengasuh anak perempuan lagi, yang kembali berulang pada kelahiran anak ketiga. Itulah mungkin yang menjadi sebab mengapa pada kehamilan yang keempat, kami sudah memasrahkan sepenuhnya pada kehendak Dia Sang Maha Pengatur dan Penentu segalanya. Maka keajaiban pun muncul dari sebuah kemampuan berpasrah. Pasrah yang bermakna positif, tetap berprasangka baik pada setiap situasi yang dihadirkan Tuhan dalam kehidupan kita. Ada usaha, ada kerja, dan ada aktivitas kehidupan yang berlangsung di dalamnya.
Pada masa itu, pemahaman kami sebagai manusia dan orangtua sudah semakin bertumbuh. Lebih baik dari tahun-tahun awal ketika pertama kali menerima kehadiran kakak-kakaknya. Cukuplah waktu belasan tahun belajar dan memperbaiki diri. Sehingga sangatlah naif jika masih tetap berjalan di tempat, tanpa usaha melakukan perubahan dalam semua dimensi kehidupan kami. Maka si bungsu ini menjadi tumpahan segala teori pengasuhan yang kami ketahui. Terlepas dari kebenaran pendapat dan penerimaan setiap orang yang sudah pasti berbeda-beda.
Masih jelas terbayang dalam ingatan, pada usia sekitar dua tahunan, setiap kali ia menangis, lalu perlahan mereda seiring proses dialog yang kami lakukan, ia kemudian akan berkata, “Umi, bujuk saya, bujuk saya…” sambil berusaha menghentikan tangisnya. Meskipun ia tahu pastinya akan dibujuk setelah ia mengerti apa kesalahannya. Ia mengatakan itu hanya sebagai penguat hatinya saja. Terkadang pula pada usia yang lebih muda lagi, tatkala ia tetap rewel di saat ada pengunjung toko, walaupun sudah diberi penjelasan, maka dengan kemantapan hati, saya akan mengangkatnya masuk ke dalam ruma dan menutup rapat pintu penghubungnya. Saya bilang, “Javid menangisnya di sini ya, karena di toko lagi ada orang!” Biasanya tidak lama kemudian tangisannya berangsur-angsur reda. Kali berikutnya, ia sudah tahu tidak boleh rewel tanpa sebab, apalagi di tengah orang banyak.
Agak berbeda dengan kakak-kakaknya, rutinitas yang kami terapkan padanya sejak kecil lebih berkualitas dan terkontrol. Ia tidak kenal siaran televisi terlebih sinetron, sebagai gantinya ia akan diputarkan film kartun animasi anak-anak yang bebas iklan karena diputar lewat DVD. Termasuk layar gawai pun belum kami kenalkan padanya kala itu. Acara-acara yang kami pilihkan untuknya, seperti serial film The Wheels on the Bus dari Simi Valley, California. Atau serial film anak-anak Barney & Friends yang diciptakan oleh Sheryl Leach. Untuk film yang satu ini, kakak-kakaknya pun senang nonton bersama dia. Jadwal kegiatannya mulai pagi hingga tidur di malam hari sudah saya buatkan. Sehingga siang hari, setelah makan siang, ia sudah akan mulai duduk di depan layar TV untuk diputarkan salah satu dari kepingan DVD yang ia pilih. Tidak lama ia pun akan terlelap. Malam jelang tidur, barulah buku-buku dongeng menjadi pengantarnya.
Hari-hari di mana kakak-kakaknya semua ke sekolah, satu-satunya teman bermainnya di rumah adalah saya. Maka, perlahan ia saya carikan kegiatan yang menyenangkan sebagai pengisi waktunya. Pada usia tiga tahunan, ia mulai memperhatikan saya memainkan lagu anak-anak dengan pianika atau rekorder. Matanya menatap dengan takjub, dan minta diajari. Pianika lebih mudah ia pelajari dibandingkan alat tiup rekorder. Karena jari-jarinya yang masih sangat pendek tidak mampu menutup semua lubang penghasil suara yang ada pada alat tersebut. Berkali-kali ia nempel ke kakaknya minta diajari. Sesekali si kakak bisa sabar membimbing, namun banyakan tidak. Ia pun ditinggal dengan mendekap rasa penasarannya.
Berbeda dengan ketiga kakaknya, saya adalah orang satu-satunya di rumah yang punya stok sabar lebih banyak, yang bisa setia menemaninya beraktivitas hampir di sepanjang harinya. Usia empat tahun ia mulai belajar bermain monopoli. Menghitung laba-rugi lewat permainan. Secara tidak langsung ia memahami konsep hitung-hitungan dari sini. Kemampuannya menghitung selisih uang kembali dengan cepat terbawa hingga usia remajanya. Pada saat ia sangat menggandrungi permainan ini, saya gunakan kesempatan dengan mengajarinya membaca huruf latin. Menggunakan metode membaca tanpa mengeja. Judul buku yang saya pakai waktu itu adalah Revolusi Belajar Membaca yang terdiri dari dua jilid. Dalam memanfaatkan kesenangannya bermain tersebut, saya selingilah dengan pelajaran membaca. Caranya, setiap kali ia membaca satu halaman, hadiahnya adalah permainan. Jadi, durasi bermain dan belajar itu bisa memakan waktu hingga lebih dari sejam. Walhasil, ia bisa membaca hanya dalam tempo dua pekan saja. Usianya kala itu masih empat tahun lebih. Bersamaan dengan itu pula ia juga sudah menamatkan pelajaran mengaji metode Iqro’ nya.
Jika bosan dengan kegiatan-kegiatan tersebut di atas, ia akan pindah ke aktivitas lain. Belajar main bulu tangkis dan bola sepak pun banyak dilakukan dengan saya, di dalam area toko. Sesekali di halaman rumah jika cuaca cerah. Maka kehadiran anak-anak tetangga yang sesekali mampir di toko, sangatlah berarti buat saya dan dia. Waktu untuk saya melakukan pekerjaan lain jadi lebih longgar. Bagaimanapun kami menikmati tahun-tahun kebersamaan itu.
Dalam masa-masa indah kanak-kanaknya, banyak kejadian lucu, unik, dan mengharukan. Saya ingat, suatu hari ketika sedang bertiga berboncengan di atas motor, kami melintasi sebuah jalan. Seorang ibu lagi marah-marah ke anaknya. Suaranya tidak terlalu jelas. Tetapi dari ekspresinya ia tampak sangat kesal pada anaknya. Tiba-tiba Javid, usianya tujuh tahun waktu itu, berkomentar di tengah keheningan perjalanan, “Umi, itu ibu-ibu pasti tidak baca buku.” Sontak saya dan abinya ketawa bersamaan.
“Kok, bisa Javid berpikir begitu?”
“Iya, karena kalau orang suka baca buku, pasti sikapnya baik.”
“Ya…ya…ya, boleh jadi.”
Suatu ketika, Javid yang saat itu sudah bersekolah di Lazuardi kelas 1 SMP, melihat saya menindis-nindis tuts keyboard, mencoba belajar otodidak memainkan lagu seperti yang dicontohkan di buku. Ia mendekat dan bertanya, “Umi, bagaimana caranya main keyboard? Ajari ya…”
Saya jawab, “Umi juga baru belajar, Nak.” Tapi tetap saja ia antusias memperhatikan bagaimana saya berusaha mengordinasikan kesepuluh jari-jemari saya di atas tuts tersebut. Ia tampak serius melihat usaha saya belajar. Beberapa bulan kemudian, saya dikirimi video singkat oleh guru musik di sekolahnya. Ia sudah bisa memainkan lagu sederhana dengan menggunakan keyboard sekolah. Tidak lama kemudian mereka tampil pertama kalinya dalam pentas seni sekolah, bersama dua orang sepupunya, dan dua anak lain, membawakan lagu-lagu daerah secara medley.
Kini, Javid sudah semakin piawai memainkan alat musik keyboard dan sesekali gitar. Yang kesemuanya ia pelajari lewat guru-guru musiknya yang ada di Lazuardi dan di Bantaeng, baik di sekolahnya ataupun di komunitas pemusik yang tersebar di sana. Ia pun sudah merasa damai dengan suasanan sekolahnya sekarang. Walaupun sempat maju-mundur ingin berganti jurusan. Namun setiap kali ia mendiskusikannya, kami akan bertanya balik ke dia, apa alasan di balik keinginannya tersebut. Kami menerima beberapa pertimbangannya. Ia pun mencoba menerima penjelasan kami. Yang pada akhirnya keputusan kembali kami serahkan padanya. Karena ia yang akan menjalani hidupnya sendiri.
Jalanmu masih panjang, Nak. Jangan berhenti bergerak, belajar, dan menebar kebaikan. Pelihara salatmu, serta muliakan orang-orang di sekitarmu. Terkhusus orang-orang terdekatmu. Kami percaya Engkau mampu mencapai cita-cita dan mewujudkan mimpimu.
Lambat atau cepat,
dia yang mencari
akan mendapatkan.
Selalu pakai kedua
tanganmu untuk
pencarian itu.
Karena pencarian
adalah pandu terbaik.
(Rumi)
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).