Arsip Kategori: Parenting

Mengabadilah dalam Kebaikan

“Selamat memasuki usia tujuh belas tahun, Nak.” Salah satu kalimat yang saya ucapkan lewat telepon padanya, kala mengetahui ia tidak jadi kembali ke rumah tepat pada hari ulang tahunnya. Harapan saya, ibunya, ia bisa pulang esok hari mumpung ada hari terjepit yang bisa pula dijadikan hari libur. Tetapi rupanya kegiatannya di sekolah lebih ia pentingkan daripada sekadar peringatan hari jadinya. Menurutnya, esensi jauh lebih berharga daripada hal-hal ekstrinsik. 

Sengaja komunikasi saya lakukan dengan menelepon langsung, yang biasanya lebih banyak saling berkirim pesan via whatsapp saja. Untuk menjaga agar ia tidak sampai merasa terabaikan, menganggap tidak ada yang memberinya perhatian pada momen pertambahan umurnya. Bahwa usia sweet seventeen adalah usia terindah bagi sebagian besar remaja. Sekaligus penanda akan tibanya alam kedewasaan. Masa di mana mereka boleh melakukan dan mendapatkan izin untuk menjalankan kendaraan bermotor di jalan umum, memiliki sejumlah kartu-kartu identitas tertentu yang sebelumnya belum boleh mereka miliki. 

Saya kemudian menawarinya kalau-kalau ia mau dikirimi kue tart atau makanan tertentu. Ternyata tidak juga. Saat beberapa tawaran benda yang kira-kira ia butuhkan saya coba sodorkan ke dia, ia berseloroh minta mentahnya saja katanya. Dalam hati ia mungkin saja membatin, “Saya menginginkan sesuatu yang lebih tinggi lagi nilainya.” Saya mulai bermain-main dengan pikiranku sendiri. “Ah, ia bukanlah tipe anak seperti itu.” Bersyukurnya ia tidak pernah sekali pun memaksakan keinginannya pada kami. Jika pun suatu ketika butuh barang tertentu yang ia perkirakan harganya melebihi batas kemampuan kami, maka ia terlebih dulu akan memulainya dengan basa-basi pendahuluan. Barulah masuk ke dalam inti persoalan yang ia maksudkan.

Javid kami, walaupun laki-laki sendiri di antara empat bersaudara, bungsu pula, tidak serta-merta mendapatkan previlege di dalam rumah. Seperti yang mungkin disangkakan oleh orang-orang. Setiap kali di antara mereka ada yang mendengar kalau ia cowok sendiri dengan tiga orang kakak perempuan. Pada kenyataannya, tidak sama sekali. Ia mendapat jatah tugas mengerjakan pekerjaan di dalam rumah sama dengan yang lainnya. Menjemur pakaian, mencuci dan menyimpan piring, menyapu lantai toko adalah sebagian dari tugas-tugasnya. Bahkan oleh kakak-kakaknya ia diharuskan bisa memasak nasi dan bikin sambal. Agar dewasa nanti tidak seenaknya menyerahkan urusan masak dan dapur melulu pada istrinya. Seolah pekerjaan-pekerjaan tersebut sudah menjadi tugas yang melekat pada diri seorang perempuan.

Kehadiran Javid berjarak tujuh tahun dari kakak di atasnya. Di saat kami mengira hanya dikaruniai tiga orang putri. Tanpa usaha yang spesial, hanya doa kepasrahan, sekiranya Allah berkehendak memberi kami anak laki-laki. Permohonan yang benar-benar biasa, mengingat harapan itu pernah muncul saat menanti kelahiran anak kedua. Bahkan sebuah nama berkelamin laki-laki sudah kami siapkan kala itu. Namun rupanya kami ditakdirkan untuk mengasuh anak perempuan lagi, yang kembali berulang pada kelahiran anak ketiga. Itulah mungkin yang menjadi sebab mengapa pada kehamilan yang keempat, kami sudah memasrahkan sepenuhnya pada kehendak Dia Sang Maha Pengatur dan Penentu segalanya. Maka keajaiban pun muncul dari sebuah kemampuan berpasrah. Pasrah yang bermakna positif, tetap berprasangka baik pada setiap situasi yang dihadirkan Tuhan dalam kehidupan kita. Ada usaha, ada kerja, dan ada aktivitas kehidupan yang berlangsung di dalamnya. 

Pada masa itu, pemahaman kami sebagai manusia dan orangtua sudah semakin bertumbuh. Lebih baik dari tahun-tahun awal ketika pertama kali menerima kehadiran kakak-kakaknya. Cukuplah waktu belasan tahun belajar dan memperbaiki diri. Sehingga sangatlah naif jika masih tetap berjalan di tempat, tanpa usaha melakukan perubahan dalam semua dimensi kehidupan kami. Maka si bungsu ini menjadi tumpahan segala teori pengasuhan yang kami ketahui. Terlepas dari kebenaran pendapat dan penerimaan setiap orang yang sudah pasti berbeda-beda.

Masih jelas terbayang dalam ingatan, pada usia sekitar dua tahunan, setiap kali ia menangis, lalu perlahan mereda seiring proses dialog yang kami lakukan, ia kemudian akan berkata, “Umi, bujuk saya, bujuk saya…” sambil berusaha menghentikan tangisnya. Meskipun ia tahu pastinya akan dibujuk setelah ia mengerti apa kesalahannya. Ia mengatakan itu hanya sebagai penguat hatinya saja. Terkadang pula pada usia yang lebih muda lagi, tatkala ia tetap rewel di saat ada pengunjung toko, walaupun sudah diberi penjelasan, maka dengan kemantapan hati, saya akan mengangkatnya masuk ke dalam ruma dan menutup rapat pintu penghubungnya. Saya bilang, “Javid menangisnya di sini ya, karena di toko lagi ada orang!” Biasanya tidak lama kemudian tangisannya berangsur-angsur reda. Kali berikutnya, ia sudah tahu tidak boleh rewel tanpa sebab, apalagi di tengah orang banyak.

Agak berbeda dengan kakak-kakaknya, rutinitas yang kami terapkan padanya sejak kecil lebih berkualitas dan terkontrol. Ia tidak kenal siaran televisi terlebih sinetron, sebagai gantinya ia akan diputarkan film kartun animasi anak-anak yang bebas iklan karena diputar lewat DVD. Termasuk layar gawai pun belum kami kenalkan padanya kala itu. Acara-acara yang kami pilihkan untuknya, seperti serial film The Wheels on the Bus dari Simi Valley, California. Atau serial film anak-anak Barney & Friends yang diciptakan oleh Sheryl Leach. Untuk film yang satu ini, kakak-kakaknya pun senang nonton bersama dia. Jadwal kegiatannya mulai pagi hingga tidur di malam hari sudah saya buatkan. Sehingga siang hari, setelah makan siang, ia sudah akan mulai duduk di depan layar TV untuk diputarkan salah satu dari kepingan DVD yang ia pilih. Tidak lama ia pun akan terlelap. Malam jelang tidur, barulah buku-buku dongeng menjadi pengantarnya.

Hari-hari di mana kakak-kakaknya semua ke sekolah, satu-satunya teman bermainnya di rumah adalah saya. Maka, perlahan ia saya carikan kegiatan yang menyenangkan sebagai pengisi waktunya. Pada usia tiga tahunan, ia mulai memperhatikan saya memainkan lagu anak-anak dengan pianika atau rekorder. Matanya menatap dengan takjub, dan minta diajari. Pianika lebih mudah ia pelajari dibandingkan alat tiup rekorder. Karena jari-jarinya yang masih sangat pendek tidak mampu menutup semua lubang penghasil suara yang ada pada alat tersebut. Berkali-kali ia nempel ke kakaknya minta diajari. Sesekali si kakak bisa sabar membimbing, namun banyakan tidak. Ia pun ditinggal dengan mendekap rasa penasarannya.

Berbeda dengan ketiga kakaknya, saya adalah orang satu-satunya di rumah yang punya stok sabar lebih banyak, yang bisa setia menemaninya beraktivitas hampir di sepanjang harinya. Usia empat tahun ia mulai belajar bermain monopoli. Menghitung laba-rugi lewat permainan. Secara tidak langsung ia memahami konsep hitung-hitungan dari sini. Kemampuannya menghitung selisih uang kembali dengan cepat terbawa hingga usia remajanya. Pada saat ia sangat menggandrungi permainan ini, saya gunakan kesempatan dengan mengajarinya membaca huruf latin. Menggunakan metode membaca tanpa mengeja. Judul buku yang saya pakai waktu itu adalah Revolusi Belajar Membaca yang terdiri dari dua jilid. Dalam memanfaatkan kesenangannya bermain tersebut, saya selingilah dengan pelajaran membaca. Caranya, setiap kali ia membaca satu halaman, hadiahnya adalah permainan. Jadi, durasi bermain dan belajar itu bisa memakan waktu hingga lebih dari sejam. Walhasil, ia bisa membaca hanya dalam tempo dua pekan saja. Usianya kala itu masih empat tahun lebih. Bersamaan dengan itu pula ia juga sudah menamatkan pelajaran mengaji metode Iqro’ nya.  

Jika bosan dengan kegiatan-kegiatan tersebut di atas, ia akan pindah ke aktivitas lain. Belajar main bulu tangkis dan bola sepak pun banyak dilakukan dengan saya, di dalam area toko. Sesekali di halaman rumah jika cuaca cerah. Maka kehadiran anak-anak tetangga yang sesekali mampir di toko, sangatlah berarti buat saya dan dia. Waktu untuk saya melakukan pekerjaan lain jadi lebih longgar. Bagaimanapun kami menikmati tahun-tahun kebersamaan itu.

Dalam masa-masa indah kanak-kanaknya, banyak kejadian lucu, unik, dan mengharukan. Saya ingat, suatu hari ketika sedang bertiga berboncengan di atas motor, kami melintasi sebuah jalan. Seorang ibu lagi marah-marah ke anaknya. Suaranya tidak terlalu jelas. Tetapi dari ekspresinya ia tampak sangat kesal pada anaknya. Tiba-tiba Javid, usianya tujuh tahun waktu itu, berkomentar di tengah keheningan perjalanan, “Umi, itu ibu-ibu pasti tidak baca buku.” Sontak saya dan abinya ketawa bersamaan. 

“Kok, bisa Javid berpikir begitu?”

“Iya, karena kalau orang suka baca buku, pasti sikapnya baik.”

“Ya…ya…ya, boleh jadi.”

Suatu ketika, Javid yang saat itu sudah bersekolah di Lazuardi kelas 1 SMP, melihat saya menindis-nindis tuts keyboard, mencoba belajar otodidak memainkan lagu seperti yang dicontohkan di buku. Ia mendekat dan bertanya, “Umi, bagaimana caranya main keyboard? Ajari ya…”

Saya jawab, “Umi juga baru belajar, Nak.” Tapi tetap saja ia antusias memperhatikan bagaimana saya berusaha mengordinasikan kesepuluh jari-jemari saya di atas tuts tersebut. Ia tampak serius melihat usaha saya belajar. Beberapa bulan kemudian, saya dikirimi video singkat oleh guru musik di sekolahnya. Ia sudah bisa memainkan lagu sederhana dengan menggunakan keyboard sekolah. Tidak lama kemudian mereka tampil pertama kalinya dalam pentas seni sekolah, bersama dua orang sepupunya, dan dua anak lain, membawakan lagu-lagu daerah secara medley. 

Kini, Javid sudah semakin piawai memainkan alat musik keyboard dan sesekali gitar. Yang kesemuanya ia pelajari lewat guru-guru musiknya yang ada di Lazuardi dan di Bantaeng, baik di sekolahnya ataupun di komunitas pemusik yang tersebar di sana. Ia pun sudah merasa damai dengan suasanan sekolahnya sekarang. Walaupun sempat maju-mundur ingin berganti jurusan. Namun setiap kali ia mendiskusikannya, kami akan bertanya balik ke dia, apa alasan di balik keinginannya tersebut. Kami menerima beberapa pertimbangannya. Ia pun mencoba menerima penjelasan kami. Yang pada akhirnya keputusan kembali kami serahkan padanya. Karena ia yang akan menjalani hidupnya sendiri.

Jalanmu masih panjang, Nak. Jangan berhenti bergerak, belajar, dan menebar kebaikan. Pelihara salatmu, serta muliakan orang-orang di sekitarmu. Terkhusus orang-orang terdekatmu. Kami percaya Engkau mampu mencapai cita-cita dan mewujudkan mimpimu.  

Lambat atau cepat,

dia yang mencari

akan mendapatkan.

Selalu pakai kedua 

tanganmu untuk 

pencarian itu.

Karena pencarian 

adalah pandu terbaik.

(Rumi)

Welcome Flood

Sejak pagi hujan turun deras sekali. Walaupun diselingi jeda sesekali, namun kekhawatiran akan datangnya banjir tetap menghinggapi. Apalagi sehari sebelumnya beredar info perihal cuaca ekstrem yang akan menjamah beberapa wilayah di Sulawesi Selatan. Pemukiman kami termasuk di antaranya. Titik-titik banjir bukannya semakin berkurang, justru makin bertambah dari tahun ke tahun. Hunian yang telah kami tempati selama hampir tiga puluh tahun, mulai merasakan dampak buruk tata kota dan drainase dalam sepuluh tahun terakhir. Bangunan-bangunan baru tampak beradu dengan waktu menyebar tak terkendali mengisi tanah-tanah kosong yang menjadi daerah resapan banjir selama ini. Seolah rawa-rawa dan tanah lapang hijau nanti berdaya guna jika dicokoli bangunan di atasnya.

Benar saja, sore ini hujan yang mulai alot berjam-jam lalu, perlahan menghantarkan luapan air masuk ke pemukiman warga yang berposisi rendah. Seberapa kuat manusia mampu membendungnya, hukum alam tetap berlaku. Aliran air akan mencari jalan untuk mengisi tempat yang lebih rendah. Hunian kami jika dibandingkan rumah kanan-kiri sudah tertinggal beberapa jengkal. Bahkan jalan umum yang membentang di depan rumah pun sudah dinaikkan oleh pemerintah setempat tanpa pertimbangan yang masuk akal. Jalan ditinggikan meninggalkan rumah-rumah dalam posisi lebih rendah. Akibatnya, jalanan yang fungsinya hanya sebagai lintasan kendaraan sesaat tidak lagi tergenang setiap kali musim hujan tiba, namun warga yang menghuni rumah-rumah di kedua sisinya, harus menerima akibatnya.

Entah apa yang menjadi dasar ditinggikannya beberapa ruas jalan di area pemukiman warga. Apalagi menyisakan kekhawatiran saban-saban kendaraan roda empat saling berpapasan. Yang mana sebelum dinaikkan, dua kendaraan yang bertemu dapat melenggang dengan leluasa. Tanpa khawatir saling bersenggolan. Tahun-tahun belakangan ini, situasinya seringkali menimbulkan kekhawatiran. Beberapa kali kejadian, ban mobil itu meleset keluar jalan, meninggalkan jalur, karena berusaha menghindari serempetan kendaraan yang datang dari arah depan. Beberapa berhasil melalui situasi mendebarkan tersebut dengan damai, namun tidak sedikit yang bertabur gerundelan, saling memaki bermenit-menit tanpa tanda-tanda ada yang mau mengalah.

Dari selentingan kabar yang tersiar, katanya jalanan yang diperbaiki tersebut belum benar-benar selesai. Masih menunggu pengerjaan lanjutannya. Tetapi berita itu sudah terdengar beberapa tahun lalu. Hingga hari ini belum tampak tindak lanjutnya. Ada pula yang bilang, ia hanyalah proyek yang bertujuan menghabiskan anggaran saja. Mengingat kala itu akhir tahun dan sudah masuk musim penghujan. Permukaan jalan yang sudah dibeton dan tidak lagi tergenang, sesaat tampaknya cukup menggembirakan para penggunanya. Sampai nanti muncul persoalan-persoalan di atas.

Hari ini entah sudah banjir yang ke berapa kalinya, sudah tidak penting lagi angkanya. Peristiwa ini sekadar mengembalikan ingatan beberapa tahun silam, ketika pertama kali air genangan itu perlahan mengusik tidur nyenyak seisi rumah jelang subuh hari. Anak nomor tiga yang usianya masih beberapa tahun, senang tidur melantai beralaskan kasur lipat. Pagi itu tiba-tiba merasakan punggungnya basah tanpa mengetahui penyebabnya. Seisi rumah pun kaget, tidak menduga serangan air bah yang masuk tanpa permisi. Rupanya kenyamanan belasan tahun tanpa sekali pun pernah merasakan situasi banjir, perlahan berganti rasa.

Setiap peristiwa terlebih musibah yang datangnya pertama kali, tanpa persiapan, sudah pasti akan menimbulkan kepanikan. Demikian pula yang menimpa toko kami kala itu. Buku-buku yang banyak tertumpuk di lantai karena rak penyimpanan yang terbatas, kami lemparkan sekenanya ke atas meja, tanpa peduli lagi dengan bentuk dan susunannya. Yang terpenting semua benda-benda berbahan kertas tersebut—musuhnya hanya dua, api dan air—bisa segera berpindah ke tempat lebih tinggi. Alhasil semua buku selamat, hanya ada satu dua yang terpercik air.

Dari sekian tahun setelahnya, pemukiman kami nyaris setiap tahun disambangi air bah. Hanya ada satu tahun di antaranya yang bebas dari kunjungan rutin ini. Saya lupa tepatnya tahun berapa. Rutinitas yang berulang setiap tahun. tersebut perlahan mengajari kami untuk menyesuaikan diri dengannya. Semisal dalam menyimpan buku-buku, benda yang dominan dijumpai di dalam rumah, terutama di area toko buku kami yang bersebelahan ruangannya dengan rumah tinggal. Rak bagian bawah sudah bertahun-tahun dikosongkan. Sehingga fungsinya hanya sebagai tempat menyimpan bangku-bangku plastik dan meja lipat kayu, yang sesekali digunakan sebagai meja mengaji anak-anak santri.

Pernah pula sekali waktu ketika bertepatan hujuan deras yang cukup lama, air laut pun pasang. Air bah yang bertandang pada bulan-bulan tertentu setiap tahunnya, kala itu mencapai tinggi permukaan melebihi kebiasaan sebelumnya. Kali ini kami hampir kecolongan. Pasalnya, buku-buku koleksi pribadi yang letaknya berada di ruang belakang rumah dan berlantai agak tinggi, sempat terabaikan. Karena setiap tiba jadwal kunjungan banjir, ia tidak pernah tersentuh air sedikit pun. Saat itu, di luar dugaan, air dengan mudahnya menggenangi seluruh pojok-pojok lantai rumah. Termasuk buku-buku yang diletakkan di rak bagian bawah ruang perpustakaan keluarga. Sebuah kecerobohan yang kami sesalkan setelahnya. Karena tidak segera mengantisipasi sebelumnya pada saat air mulai menampakkan ketinggian yang tidak wajar.

Berdamai dengan banjir

Dua tahun belakangan ini kami sudah semakin akur dengan si banjir. Tidak ada lagi keluhan, ataupun wajah-wajah merengut menghadapi kedatangannya. Benar kata pepatah alah bisa karena biasa. Rupanya ia tidak hanya berlaku di dunia kerja yang menuntut keahlian, melainkan juga dapat dipraktikkan pada aspek lain kehidupan.

Mengetahui bahwa cara untuk keluar dari kemelut tahunan ini adalah dengan melakukan perbaikan pada bentuk dan fisik rumah, memunculkan kesadaran untuk tidak mengutuk apa pun yang tidak berjalan sesuai keinginan. Karena itu berarti melawan sunnatullah. Berharap rumah tidak dihampiri banjir, sementara posisinya berada di tempat rendah, sungguh sebuah kedunguan. Bersungut-sungut dan mengeluh hanya akan memboroskan energi dan semakin mengundang hadirnya situasi serupa. Energi negatif akan menarik energi negatif pula. Manakala mereka berkumpul dalam satu wadah, bisa dibayangkan akan semakin runyamnya suasana. Setiap orang akan mudah tersulut walaupun hanya oleh percikan api kecil saja. 

Lepas magrib hari ini, kumpulan air yang bersekutu mendiami sebagian lantai rumah kami, perlahan-lahan bergerak pergi, menyurut kembali ke perut bumi. 

Sebelum air mulai masuk sore tadi, di grup whatsapp keluarga saya sempat berpose dengan foto diri yang sedang duduk memakai sepatu bot di tengah lantai toko. Dibubuhi keterangan, menanti kunjungan banjir, yang ditutup dengan emoji wajah tersenyum. Kali ini kedatangan banjir hanya sesaat, itu pun tidak menyeluruh menyapu seisi rumah. Ia hanya menghampiri pojok-pojok tertentu saja. Rupanya ia hanya ingin menyapa dan menguji kesiapan penghuninya. Mungkin juga karena kami telah siap fisik dan mental sebelumnya. Susunan perabot dan buku-buku pun tetap rapi pada tempatnya. Tidak tampak tumpukan yang mengganggu pandangan. Kami telah menjadi tuan rumah yang baik baginya.  

Anugerah Harga Diri

Andai setiap orang dewasa dapat disodori dua pilihan, yang mesti mereka gunakan ketika memberikan komentar pada perilaku anak-anaknya, maka pilihan diam terkadang lebih baik. Karena pengetahuan dan kesadaran betapa berartinya setiap kata yang diucapkan orangtua, belum umum diketahui. Kata-kata masih dimaknai sebagai sebuah dorongan alamiah manusia yang muncul spontan tanpa perlu dipikirkan sebelumnya. Ditambah lagi dengan pahaman yang keliru, yang menganggap tugas orang dewasa melulu seputar memberitahu, mendikte, menasihati, menyuruh, memaksa, dan seterusnya. Berlapik-lapik generasi terus-menerus melakukan hal yang dianggap benar ini. Ibarat sebuah warna, kebenaran dan kepatutan mengalami degradasi menjadi abu-abu. Kita sudah kesulitan mengetahui warna aslinya.

Seringkali ketika menghadapi perilaku anak yang bermasalah, orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya akan sibuk mencari penyebab dari luar dirinya. Orangtua akan mengecek siapa teman-teman bergaulnya, seberapa perhatian dan pedulinya pihak sekolah pada pertumbuhan kecerdasan kognitif anak. Guru pun akan melakukan hal yang sama. Mencari hubungan peristiwa dengan kondisi sehari-hari anak di rumah, bagaimana interaksi yang terjalin antara anak dan orang-orang dewasa yang tinggal serumah dengannya. Demikian pula lingkungan masyarakat tempat anak-anak tumbuh besar. Tatkala sesuatu yang buruk menimpa seorang anak, semisal terlibat dalam perkara kriminalitas, maka sasaran yang pertama sekali dicari biangnya adalah keluarga dan sekolah tempat ia menimba ilmu selama ini.

Demikianlah hukum kehidupan berlaku. Hal tersulit untuk diterima dan diakui ketika muncul masalah adalah melongok ke dalam batin, mungkinkah penyebabnya berasal dari sana? Ahwal ini mengemuka karena manusia memelihara obsesi dan kecenderungan ingin menampilkan citra diri yang baik, tanpa cacat atau cela kepada orang-orang dan lingkungan luarnya. Sesuatu yang paradoks, karena kondisi batin, pikiran, dan jiwanya tidak selaras dengan nilai-nilai yang ingin ditampilkan. Sebuah fiksasi omong kosong yang akan kembali menampar wajah sendiri. 

Seyogianya hanya hati yang dipenuhi nilai-nilai kebajikan yang mampu memancarkan kebaikan yang sama pula. Apa yang terjadi di dalam, itu pula yang akan tampak keluar. Jika kita tidak pernah menanam padi, jangan berharap ia akan tumbuh. Berbeda dengan rumput liar, tanpa kita tanam pun ia selamanya akan tumbuh dengan mudah. Maka mengusahakan dan merekayasa perilaku baik pada anak-anak wajib dilakukan. Jika orangtua tidak pernah melakukan itu, maka batin anak akan terisi oleh nilai-nilai yang sebaliknya. Seperti rerumputan yang tumbuh liar.

Salah satu kunci rahasia bisa mengendalikan anak kendati ia berjarak ribuan kilo dengan orangtuanya adalah membangun harga dirinya. Dengan memiliki harga diri yang kuat, anak-anak tidak perlu diawasi sepanjang masa hidupnya. Sayangnya, harga diri bukanlah sesuatu yang bisa diturunkan, seperti halnya warna rambut, kulit, bentuk hidung, mata, dan sebagainya. Ia pun bukan ramuan ajaib yang dapat dicampurkan ke dalam minuman atau makanan mereka. 

Harga diri adalah mengenai cara kita memperlakukan anak-anak sejak lahir, bahkan beberapa bulan sebelumnya. Bagaimana kita sebagai orangtua mampu menempatkan mereka di atas segala urusan penting lainnya. Hanya karena seorang bayi dan batita (bawah tiga tahun) belum dapat berbicara, kita lantas mengira mereka belum memiliki kemampuan merekam dan mengamati. Padahal perkembangan bayi sudah dimulai saat usianya masih sekitar lima bulan sebelum dilahirkan. Melakukan beberapa stimulus pada janin dalam kandungan, terbukti sangat bermanfaat dalam turut membentuk fondasi perilakunya kelak setelah lahir.

Membangun harga diri sejak masih dalam kandungan

Sebagaimana dijelaskan dalam buku Cara Baru Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan karya F. Rene Van de Carr, M.D. dan Marc Lehrer, Ph. D., ada delapan prinsip dasar yang membentuk fondasi filosofis dan prosedur Pendidikan Pralahir. 

Pertama, Prinsip Kerja Sama. Orangtua dan anggota keluarga lain perlu belajar bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bayi sebelum ia dilahirkan, sehingga mereka akan mengetahui bagaimana bekerja sama setelah bayi lahir.

Kedua, Prinsip Ikatan Cinta Pralahir. Latihan-latihan Pendidikan Pralahir membantu mempersiapkan untuk menerima kehadiran sang bayi. Stimulasi gerakan dan sentuhan membantu bayi belajar memberi dan menerima kasih sayang.

Ketiga, Prinsip Stimulasi Pralahir. Dengan memberinya aneka ragam stimulasi indra pendengaran seperti suara ibu, stimulasi indra penglihatan, dan indra peraba seperti gelitik akan memberikan stimulasi sistematis bagi otak dan perkembangan saraf bayi sebelum dilahirkan. Semakin banyak bukti ilmiah menunjukkan bahwa kegiatan semacam itu membantu otak bayi menjadi lebih efisien dan menambah kapasitas otak bayi sebelum kelahiran sampai ia berusia kira-kira dua tahun.

Keempat, Prinsip Kesadaran Pralahir. Latihan-latihan ini memiliki potensi mengajarkan bayi untuk menyadari bahwa tindakannya mempunyai efek. Dalam permainan bayi menendang, misalnya, ketika ia menendang perut ibunya di satu tempat, tangan si ibu membalas menekan di tempat yang sama. Kenyataan bahwa bentuk stimulasi lingkungan ini dapat diajarkan sebelum kelahiran mempunyai potensi besar dalam mempercepat bayi belajar tentang sebab akibat setelah ia dilahirkan.

Kelima, Prinsip Kecerdasan. Albert Einstein dikabarkan telah menjawab sebuah pertanyaan mengenai kecerdasannya bahwa “Rahasia kecerdasan saya yang tinggi adalah bahwa saya belajar sesuatu yang baru setiap hari dalam hidup saya.” Dalam Program Pendidikan Pralahir mencakup latihan-latihan untuk menarik minat bayi yang sedang berkembang terhadap sensasi dan urutan yang dapat dipahami sebelum kelahiran. Setelah lahir, bayi mungkin menjadi lebih perhatian.

Keenam, Prinsip Mengembangkan Kebiasaan-Kebiasaan Baik. Orangtua mulai mengembangkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti berbicara dengan jelas kepada bayi, mengharapkan si bayi akan menanggapi, dan mengulang latihan-latihan dengan perasaan senang. Kebiasaan-kebiasaan ini kemudian dengan mudah diteruskan setelah bayi lahir.

Ketujuh, Prinsip Melibatkan Kakak-Kakak sang Bayi. Dengan ikut serta dalam latihan-latihan Pendidikan Pralahir, anak yang lain akan merasa penting dan tidak diabaikan. Mereka belajar berharap bahwa adik bayi akan belajar dari mereka. Anak-anak akan merasa yakin bahwa posisi mereka dalam keluarga aman sekalipun waktu ayah dan ibu untuk mereka berkurang.

Kedelapan, Prinsip Peran Penting Ayah dalam Masa Kehamilan. Penelitian telah membuktikan bahwa hubungan baik antara ayah dan bayi sangat berkaitan dengan perkembangan kemampuan sosial anak. Karena banyak latihan Pendidikan Pralahir dapat dilakukan dengan mudah oleh ayah, dan sang bayi akan lebih menanggapi nada dalam suara ayah. 

Anak-anak, remaja, dan orang dewasa setiap hari, setiap waktu, berpotensi mengalami penggerusan harga diri. Gesekan-gesekan antarsaudara di dalam rumah, selisih paham dengan orangtua, konflik dengan teman atau guru di sekolah, atau masalah-masalah lain yang kerap muncul dalam pergaulan sehari-hari. Namun jika harga diri seseorang cukup besar, maka kesemuanya itu tidak akan memberikan pengaruh yang berarti pada dirinya.

Pesan-pesan cinta yang kita berikan setiap hari pada anak-anak akan mampu meningkatkan stok harga dirinya. Banyak melakukan perbincangan dan diskusi terbuka dengan mereka. Berfokuslah pada kekuatan tinimbang kelemahannya. Bimbing mereka melalui pertanyaan alih-alih banyak memberitahu. Gigit lidah kuat-kuat setiap kali ingin menasihati. Karena belum tentu apa yang kita pikir bermanfaat buat mereka, sama dengan yang mereka rasakan saat menerima pesan tersebut. Harga diri perlu dibangun dan dikuatkan, bukan dihancurkan dan dilemahkan.

Merontokkan Kulit Mati (Refleksi di Usia Paruh Baya)

Diperlukan banyak keberanian untuk melihat segalanya sebagaimana adanya, karena kita harus melepas begitu banyak pandangan yang berharga. (Ajahn Brahm)

Setengah abad menyusuri lorong waktu, bersua ribuan tantangan sungguh-sungguh suatu keberanian. Berbekal lentera yang sinarnya acapkali redup namun nyalanya tidak pernah dibiarkan mati. Banyak masa merasa letih ingin berhenti, namun pendar-pendar cahaya di ujung pandangan memompakan asan baru dalam jiwa. Berpadu dengan tekad yang sudah dibulatkan, juga ikrar yang telah dilangitkan.

Ketika pertama kali Tuhan melontarkan tanya, apakah hamba-Nya ini bersedia menerima segala konsekuensi dari ditiupakannya ruh ke dalam jasad? Menerima tanggung jawab mengemban sebuah amanah agung? Eksistensi diri hari ini adalah bukti persaksian itu. Karena bila tidak, Ia akan menyodorkan pilihan lain. Sebuah jalan pintas kembali sebelum perjalanan dimulai.

Melampaui alam rahim yang penuh kenaifan, Tuhan pun menganugerahi pendengaran, penglihatan, dan hati agar manusia menjadi makhluk bersyukur. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” (Q.S An-Nahl : 78)

Berbekal Kasih Sayang Tuhan, perjalanan menempuh etape kedua ditempuhlah. Tumbuh besar di bawah naungan cinta dan kasih sayang kedua orangtua dalam bentuk dan ekspresi yang unik. Ia diajarkan untuk memahami. Walaupun banyak soal di antaranya yang masih samar-samar. Mereka menerjemahkan Cinta Tuhan dalam caranya sendiri. Bagaimanapun bentuknya, percayalah di sana ada niat luhur dan mulia untuk mengasihi.

Dalam kurun waktu yang sangat singkat menjadi anak, mencoba menyerap pengetahuan dan pengalaman dari ilmu-ilmu yang bertebaran di sekitarnya. Tanpa instruksi siapa-siapa, belajar keterampilan dari melihat, meniru, melakukan, dan mengalami. Pembawaan yang serius dan sungguh-sungguh dalam belajar mempercepat semua proses tersebut. Pantang mundur atau berhenti jika belum mahir. Kelak keterampilan-keterampilan ini menjadi sangat berguna dan menolongnya menjalani kehidupan selanjutnya. 

Saat ia belum sepenuhnya memahami kediriannya, kehidupan baru menggiringnya ke dalam sebuah tanggung jawab besar. Menyiapkan anak-anak masa depan yang bahagia dan penuh welas asih. Bagaimana ia akan mampu menjaga jarak antara pengalaman dan pengetahuannya? Banyak kebingungan, salah kaprah, salah tindakan, dan tak terbilang kesalahan lainnya. Tidak ada pilihan mundur atau lari. Ia harus menghadapinya dengan penuh keberanian, mencoba dan salah, belajar lagi. Kembali mencoba, lalu benar. Rasa bahagia dan syukur kerap mucul silih berganti dengan berbagai kekhawatiran. Sementara itu mencoba tegar di tengah pusaran arus yang tarik-menarik sungguh tidak mudah. Kesemuanya mengandung risiko kerusakan yang tidak ringan. Tak ayal, gesekan-gesekan acap terjadi demi terbangunnya kesalingpahaman satu sama lain. Kata Rumi, Tuhan mengharubirumu, dari satu rasa ke yang lain, dan mengajarmu hal-hal yang berlawanan. Agar kamu miliki dua sayap untuk terbang.

Rasanya tidak akan cukup waktu untuk membereskan segalanya soal hidup. Walau usia berlanjut hingga seratus tahun, seperti kata penyair Chairil Anwar. Selamanya akan muncul masalah meskipun ia dilakukan dengan penuh perencanaan. Maka dari itu, belajar melepaskan sedikit demi sedikit hal-hal yang tidak mampu ditangani akan meringankan beban yang ada di pundak. Agar cukup energi untuk melanjutkan perjalanan panjang.

Orang-orang yang kita kasihi sangat mendambakan kehadiran kita di sini dan saat ini. Bukan nanti, lusa, atau suatu waktu entah kapan. Bukan sekadar raga, tetapi rohani yang saling terhubung kuat satu sama lain. Jasmani boleh berjarak namun batin yang terjalin dalam balutan kasih sayang mampu meruntuhkan dinding-dinding waktu. 

Tiba pada titik usia emas hari ini semakin memunculkan sebuah kesadaran mendalam. Perihal ragam watak dan perilaku manusia dan orang-orang terdekat. Bagaimana mengundang simpati dan rasa damai di hati mereka dalam jarak dekat ataupun jauh. Seperti bunga yang menarik kumbang hinggap tanpa paksaan. Atau semut yang mengerubungi gula bukan karena dicelupkan ke dalamanya, melainkan karena rasa manis yang ada padanya.

Manusia tentu takkan hidup selamanya. Tetapi bertahan untuk tidak menyerah pada segala sesuatu yang disebut “nasib”, itulah kuncinya. Seperti pohon jati yang menggugurkan daunnya ketika musim kemarau tiba untuk mengurangi penguapan. Begitulah pula kita dalam usaha melanggengkan hidup. Merontokkan kulit-kulit mati dalam diri yang sudah tidak memiliki fungsi. Tabiat, perangai, cara pandang, dan semua yang dinilai buruk mesti dilepaskan.  Termasuk ketakutan, kesombongan, keserakahan, kemelekatan, atau keinginan berlebihan menyenangkan orang-orang yang kita sayangi, hingga mengabaikan hak atas diri sendiri. Kita harus melepaskan untuk bisa menerima kulit yang baru, seperti pohon jati yang menggugurkan daunnya pada musim kemarau. Diperlukan keberanian untuk melakukannya, ujar Ajahn Brahm.

Selamat datang kulit baru.

Merenda Doa

Suatu sore menjelang magrib. Dua orang pengendara motor yang berboncengan berbelok masuk ke halaman rumah kami yang sekaligus merangkap sebagai toko bernama Paradigma Ilmu. Saya perlu menebalkan tulisan nama tersebut karena dari sinilah pangkal cerita bermula. Keduanya lalu memarkir kendaraan tersebut di halaman yang sedang saja luasnya. Saya yang saat itu lagi rajin-rajinnya, sementara menyapu daun-daun kering setengah basah sisa hujan siang tadi. Salah seorang di antaranya menyapa dengan bertanya, “Bisa masuk?” Pertanyaan yang wajar, karena pintu toko memang dalam kondisi tertutup. “Oh, iya. Silakan, masuk saja.” Sedikit bergegas saya meletakkan sapu lidi kembali ke tempatnya. Menunda melanjutkan rencana menyapu. Demi menghargai kedatangan calon pembeli.

Ketika sudah berada di dalam area toko, sambil memegang ponselnya si pengendara yang tadi sudah menyapa sebelumnya, bertanya kembali. 

“Ada ji bukunya Karen Armstrong yang saya tanyakan tadi di IG?” 

“Oh, chat yang mana ya? Setahuku tidak ada pesan menanyakan buku itu di IGnya Paradigma.” Dalam hati saya mulai menebak kalau toko yang ia maksud bukan Paradigma Ilmu. Tetapi saya biarkan saja sesaat ia memeriksa ulang dan memastikan nama toko yang ia maksud sesuai atau tidak. Sementara itu, temannya yang membonceng sudah tampak hanyut dalam jelajahnya meneliti judul demi judul yang terpajang memenuhi keseluruhan dinding-dinding toko. Ia tampaknya tidak terlalu peduli apakah mereka memasuki toko yang sama dengan dunia maya seperti yang dimaksud oleh temannya tadi.

“Bukan ini akunnya Paradigma Ilmu?” Tokoh pertama masih sibuk mencocokkan kebenaran yang ia pikirkan dengan realitas di depan matanya. Ia tampak mendekat beberapa langkah, hendak menunjukkan akun yang ia maksud pada ponselnya. Tetapi sebelum itu saya sudah menyambungnya dengan sebuah permakluman. 

“Oh, ada memang satu akun itu yang namanya sama, Paradigma Buku namanya.” Saya tersenyum menjelaskan. Dalam hati saya membatin, ia bukan orang pertama yang salah sangka. Banyak sebelumnya yang seperti ini, hanya saja mereka umumnya bertanya lewat chat whatsapp. Tidak berkunjung langsung. 

“Alamatnya di mana, kalau boleh tahu?”

“Tidak ada tercantum di sini.”

“Ohhh….”

“Saya biasa pesan online.

“Ohhh….”

“Berarti saya salah selama ini. Saya betul-betul mengira, Paradigma Ilmulah toko Paradigma Buku itu.” Ia masih larut dalam keterbengongannya.

“Hehehe…. iya, banyak yang menyangka begitu.”

Pada waktu yang sama, temannya yang membonceng motor tampak mulai meletakkan beberapa buku pilihannya ke atas meja rendah di tengah ruangan. Meja multi fungsi itu, selain sebagai meja tempat anak-anak belajar setiap hari, akhir-akhir ini sering saya jadikan sebagai meja kasir. Saya merasa aman beraktivitas di belakang meja tersebut. Posisinya cukup jauh dari pintu masuk toko, tetapi sangat dekat dengan pintu penghubung dapur. Sehingga saya mudah menyelamatkan diri, segera mengambil langkah cepat bergerak ke dalam rumah bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.  

Beberapa kejadian kriminalitas yang kerap terjadi di area jalan di sekitar pemukiman, bahkan beberapa kali menimpa rumah dan toko, cukup menjadi pelajaran agar senantiasa waspada dan bersikap antisipatif pada setiap kemungkinan. Untuk lebih menjaga diri lagi, pintu toko seringkali dalam keadaan tutup. Dan sebagai gantinya saya menggantungkan tulisan BUKA pada pintunya sebagai penanda toko bisa menerima kunjungan calon pembeli dan orang-orang yang sekadar ingin mampir bertemu.

Buku-buku hasil pilihan itu pun bertambah satu demi satu. Ketebalannya pun tak tanggung-tanggung. Ada Sejarah Filsafat Barat pesanan orang yang sudah sangat lama tidak memberi kabar, malah berjodoh dengannya. Lalu Surat-Surat John Lennon pun ikut berpindah dari tempatnya nangkring sekian waktu di bawah kipas angin, bergabung dengan buku-buku terpilih lainnya. Terakhir tiga jilid buku bantal Nagabumi semakin menambah tinggi tumpukan tersebut.

Tuhan sungguh Mahabaik. Seringkali Ia menunjukkan Kemurahan dan Kuasa-Nya di tengah hamparan sikap pasrah dan berserah diri seorang hamba pada semua ketentuan-Nya. Ia yang telah menetapkan kejayaan, Ia pula yang menentukan kemunduran. Toko kami sudah tidak seramai dulu lagi. Belasan tahun silam, kala kami mampu mempekerjakan pegawai hingga 2 – 3 orang. Yang mengawasi lalu lintas pembeli mulai ujung pintu masuk sampai ujung pintu belakang, dekat sumur.

Tuhan pun sesungguhnya Mahatahu, peran-peran yang sementara kami lakoni belakangan ini. Kegiatan seisi rumah lebih banyak tersalurkan pada kerja-kerja pemberdayaan, daripada penjualan buku. Suami, lebih banyak menghabiskan waktu di Bantaeng, menggelar kegiatan-kegiatan literasi dan menggalang kerja-kerja kolaborasi dengan berbagai pihak. Anak sulung kami sudah masuk tahun ke-4 ia dipercaya mengelola cabang sebuah yayasan pendidikan swasta dari Yogyakarta. Kesibukannya sudah berlapis-lapis. Anak ke-2 sementara ini menekuni bidang yang sama di Kota Denpasar. Menjajal kemampuannya di dunia desain grafis. Yang ke-3 dan ke-4 masih dalam proses bersekolah di perguruan tinggi negeri dan tingkat SMU. Saya sendiri, sehari-hari mengajar anak-anak yang datang ke rumah, untuk mengaji dan les privat mata pelajaran.

Di tengah ragam aktivitas tersebut, tentu kami tidak bisa sepenuhnya berharap dari bisnis toko sebagaimana dulu lagi. Karena keterbatasan tenaga dan waktu yang kami miliki. Sebagaimana kata pepatah, ke mana Anda memberikan perhatian, di sanalah terbit hasil. Maka akan sangat tidak adil jika kami mengharapkan hasil dari sesuatu yang hanya diberi perhatian setengah-setengah. Meskipun begitu, keajaiban tetap akan muncul di sela-sela doa dan harapan yang tak pernah putus. Ia kadangkala hadir justru dari arah yang tidak logis. Tetaplah bergerak dan lakukan hal-hal baik, agar Tuhan punya alasan mengalirkan rezeki-Nya.