Arsip Kategori: Puisi

Munajat dan Puisi-Puisi Lainnya

Problematika

Pendidikan, ya, pendidikan

Pendidikan bukan problematik

Ia setali tiga uang dengan urat nadi

Problematik hadir karena kuasa

Sedang pendidikan lahir tanpa paksa

Sekolah, ya, sekolah

Mungkin ada ini itu bersemayam

Sehingga pendidikan menjadi problematik

Setiap hari sekolah selalu saja dibuka

Tapi problematik tak henti-henti bersua

Guru, ya, guru

Gugu ditiru kian kikuk oleh zaman

Problematik hidup menghajarnya untuk mengajar

Berbagi ilmu benar-benar sekedar tuntutan

Digugu dan ditiru menyerah di persimpangan

(Depok, 22 Januari 2021)

Munajat

Dik Lastri mangkat

Pasca isak di ujung sekarat

Satu tali lepas mengikat

Si bocah seketika ruat

Di hari itu ada banyak mayat

Terdampar di sungai keramat

Wajah-wajah berhias gurat

Hanya berlalu dengan pepat

Tak ada iba atau sedikit niat

Bocah malang kehilangan berkat

Dua hari lewat

Joni si tetua sibuk memasang jerat

Di hadapan wajah-wajah berhias gurat

Suaranya lamat-lamat bermunajat:

Aku tak mau hidup melarat

Makin lirih: Tak apa bukan, menjadi bejat?

Si bocah menggeliat

Ah, bangsat!

(Depok, 23 Januari 2021)

Nasihat

Bu Lastri dalam dua pilihan: menasihati atau menasihati

Tampaknya tak ada pilihan

Anak semata wayangnya kian dewasa

Badannya tinggi membungkuk

Telah berjakun dengan kumis melebat

Tak lama lagi ambang batas 12 tahun belajarnya

Suaminya telah hilang, mungkin kabur

Atau 10 tahun ini ia moksa?

Tak ada kabar berita, apalagi batang hidungnya

Tak habis-habis ia memaki

Si bangsat itu lebih baik mati

Di sekolah, Bu Lastri memberi nasihat:

Tuntut ilmu setinggi mungkin, Nak

Raih masa depan gemilang

Jangan kalah bersaing

Sementara pada si tunggal

Di waktu selepas magrib, ia berujar:

Apa yo ra kerjo wae, Le?

Uripku ki sengsoro, angel

Kuliah iku tempate wong sugih

(Depok, 23 Januari 2021)

Sepotong Surat Untuk Bapak dan Puisi Lainnya

SEPOTONG SURAT UNTUK BAPAK

Sejujurnya, aku memang ingin menulis surat untukmu, Pak. Meski aku tidak tahu kau ada dimana sekarang. Aku

hanya ingin mengucapkan Selamat Hari Ayah, Hari Bapak, Father Day, atau apapun itu. Tapi Pak, aku harap kau bahagia, kau bangga, memiliki

anak seperti aku. Rasanya aku ingin memelukmu, sekarang juga. Namun aku rasa itu tidak mungkin, karena

masih terbentur ke-aku-an atau keangkuhan sebagai lelaki dewasa, atau mungkin juga terhalang jarak. Segala yang aku lakukan selama ini, mungkin tidak terlalu hebat atau berkesan. Namun kau, memang menjadi salah satu alasanku untuk terus berkarya dan menghidupi hidup. Dan ya, aku sedikit berharap jika kau akan bersyukur memiliki anak seperti aku. Kendati aku, belum menjadi manusia sebagaimana manusia yang seharusnya atau sesuai dengan ekspektasi dunia. Pak, semoga kau bahagia di sana, salam rindu dari aku

dan Mamah. Sekali lagi, jikalau suatu saat nanti kita bersua kembali, akan kuberikan pelukan paling erat dan

paling hangat yang mungkin hanya kuberikan padamu seorang.

Tertanda Anakmu

PAHLAWAN ITU ADALAH BURUH PENDIDIKAN

Fajar yang harusnya meninabobokan raga, jiwa, dan pelupuk

Telah gagal menahan semangat api dari buruh pendidikan

Tersingkaplah selimut hangat pelengkap kasur yang tak terlalu empuk

Dengan setengah kantuk ia keluar dari kamar tempat merubuhkan badan

Seraya menatap arloji, memastikan tak terlambat untuk kembali meniti hari

Sebuah hari yang biasa, dimana ia akan mengajar anak-anak lugu nan polos

Namun setiap hari ia menyusun strategi belajar agar anak-anak itu tak bolos

Agar kelak para tunas-tunas itu dapat menjadi penopang bangsa di kemudian hari

Ia mengarungi pagi buta hanya untuk

menyediakan ruang Tholabul ‘Ilmi

Mengalahkan siklus surya yang kelak akan menerangi bumi

Mendahului kokokan ayam yang kelak akan menandai pagi

Atau mungkin melampaui Mikail yang kelak akan membagikan rezeki

Meski, landasan kesejahteraan sosialnya masih samar-samar tertutup birokrasi negara

Meski, eksistensi dan esensinya tak terlalu dihargai oleh para pemangku kuasa

Tapi, pahlawan tanpa tanda jasa itu masih bersetia untuk mendidik siswa

Bersetia untuk memikul berat lembaran pembuka jembatan jagat raya

Berbekal utopia untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara

Ia menerjang jalan penuh kerikil berduri yang terkadang mencederai sepatunya

Kendati napasnya kadang kala tercampur dingin yang tercabik realitas hampa

Namun ia tetap melangkahi angin, membentengi angan, dan menumbuhkan makna

Sesampainya di depan sekolah yang tanpa roh, ia disambut gapura yang sendirian

Ia lekas merogoh ransel dan menyiapkan materi pembelajaran untuk diajarkan

Sesampainya di ruang kelas, ia lantas menyapa kondisi dan merekah senyuman

Membuka salam pada anak-anak yang mungkin masih dikuasai oleh kemalasan

Di dalam kelas ia hidupkan atmosfer belajar seraya membuka lebar jendela dunia

Ia mengayomi sekaligus menuntun anak-anak untuk bersegera membuat cita-cita

Setelah kegiatan belajar mengajar usai, ia mengepak ransel dan berpamitan ramah

Menapaki trotoar untuk pulang pada tempat yang manusia lain sebut sebagai rumah

Sesampainya di rumah tempat ia merebahkan segala suka sampai lara

Ia seketika melabuhkan badan pada kasurnya yang ringkih nan tua

Tak sadar, ia pun larut hingga tenggelam dalam sebuah kontemplaasi

Lalu, timbul setitik harapan agar kehidupannya dapat lebih layak lagi

SEBUAH NOTASI UNTUK ANAKKU

Anakku, salah adalah salah meski milyaran manusia menganggap itu benar. Benar adalah benar meski hanya kamu sendiri yang menyatakannya itu benar. Beranilah menyatakan kebenaran, jangan takut membela kebenaran meski kamu harus dimusuhi oleh orang-orang yang merasa benar. Jangan lupa, untuk selalu berpegang teguh pada hati nurani, menjunjung tinggi budi pekerti, dan ikuti nalurimu sendiri. Perlu kamu tahu, bahwa Ayah tidak akan memintamu untuk menjadi kaya, merubah dunia, atau merubah tatanan tata surya. Ayah hanya sedikit berharap, agar kamu dapat memanusiakan manusia lainnya. Dan ya, bertumbuh besarlah, agar kelak kamu bisa menjaga Ibu, bilamana Ayah lebih dahulu pergi meninggalkan. Jaga Ibu seperti kamu menjaga perdamaian,

lindungi Ibu seperti kamu melindungi minoritas, cintai Ibu seperti kamu mencintai hidup, maknai Ibu seperti kamu memaknai cinta. Anakku pilihlah jalan sepimu. Sepi membuatmu punya waktu dan ruang, yang cukup bagimu. Tuk jadi dirimu sendiri, dan menjadi bukan sepertiku. Hidupi, Nikmati, Amorfati!

Tertanda Ayahmu

KITA SEMUA PEMBUNUH-NYA

Tuhan, siapa pun engkau, bahkan bila bukan Tuhan dalam kisah singkat ini, restui hamba, sempurnakan karangan ini seperti hamba sempurnakan sujud, semampu hamba.

O Tuhan, dimanakah Engkau?

“Masih disini, menunggu dengan sabar di dalam hati setiap manusia.”

Apakah Kau bisa menyaksikan apa yang kusaksikan, di bumi ini Tuhan?

“Tentu, Aku kan Maha Melihat.”

Lalu kenapa manusia-manusia ini masih saja Kau biarkan hidup dalam kebodohan dan kesia-siaan? Kenapa Engkau tidak secepatnya memberi mereka jalan untuk menuju-Mu?

“Mereka tetap bisa hidup, itu semua karena cinta-Ku. Aku akan tetap sabar. Menunggu mereka semua kembali pada-Ku. Sesungguhnya, Aku sudah memberi mereka semua jalan. Tapi mereka semua memilih untuk menutup mata, dan pergi membelakangi cahaya-Ku.”

Tuhan, jujur aku risau kepada manusia. Dan aku malu menjadi manusia. Karena mereka semua hanya membuat kerusakan di muka bumi. Kenapa tak Kau turunkan saja bencana-bencana, agar para manusia bajingan ini takut dan segera bertobat?

“Janganlah kau malu menjadi manusia. Perhatikanlah, dalam setiap sel tubuhmu ada Zat-Ku disana. Bersabarlah wahai anak muda! Apakah dirimu mampu memiliki kesabaran seperti-Ku? Kesabaran kala Aku memberi mereka semua nikmat, namun mereka semua lupa akan diri-Ku. Itulah kesabaran, cinta, dan keikhlasan yang hakiki. Sejatinya, sudah Aku sabdakan berkali-kali, dalam kitab suci. Perihal gerbang pertobatan, surga dan neraka. Tapi entah mengapa, mereka semua tetap tidak peduli akan itu semua dan masih saja tidak mematuhinya.”

Ah betapa mengerikannya sosok bernama manusia itu. Tapi, apakah manusia-manusia itu beragama, Tuhan?

“Tentu, mereka beragama. Tapi tidak bertuhan. Mereka tidak menyembah- Ku, mereka malah sibuk mengultuskan

agama mereka.”

Tuhan, salah kah aku yang mulai muak pada dunia, kepalsuan dan segala tipu daya ini?

“Tidak salah, lagipula dunia memang tempat senda gurau saja. Dunia itu fana, dan dunia setelah dunia ini barulah kekal.”

Bila dunia ini memang fana, lalu kapan hari penghakiman tiba?

“Hari penghakiman manusia, terjadi setiap hari, setiap saat, sebenarnya. Dan manusia pun, telah mengambil hak penilaian dari-Ku demi menghakimi manusia lain, yang mereka anggap penuh dengan dosa.”

Tapi, ya Tuhan. Dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku merasa tidak layak untuk mencium surga-Mu. Namun, aku juga tidak kuat untuk merasakan pedihnya siksaan neraka.

” Tak usah kau kejar surga itu. Surga-Ku akan kau dapatkan saat engkau bahagia melihat makhluk lain berbahagia. Ia ada bersama setiap cinta yang kau tanamkan terhadap dunia dan seisinya.”

Lalu bagaimana dengan neraka, Tuhan?

“Neraka ada bersama rasa bersalah, karena tidak mampu menumbuhkan cinta. Neraka juga ada bersamaan dengan kebencian, yang ditebar oleh manusia-manusia yang merasa paling manusia. Manusia yang berlagak paling kuasa, bahkan meminta patuh semua nyawa.”

Ya Tuhan-Ku, selamatkan diriku

“Dari siapa?”

Dari Manusia.

Puisi-Puisi Moch Aldy MA

 

Sebuah Apriori

 

Aku sering lupa wajah sendiri.

Lalu, aku berkaca dalam kontemplasi.

Apakah telah begitu layu,

Atau masih seberingas dulu.

 

Aku melihat seorang lelaki di hatiku,

Yang ternyata adalah diriku sendiri.

Terasing dari masyarakatnya.

Terasing dari zamannya.

 

Mengembarai eksistensi.

Mendulang makna dalam sunyi.

Menerka-nerka dalam esensi,

Di antara gelapnya Aforisme Bumi.

 

Dalam sepi,

Ia yakin akan pasrah.

Tumpahlah sembah

Hamba yang tertatih-tatih letih

 

Dalam puisi,

Ia seketika meraih jati diri.

Terciptalah susunan diksi

Bahwa, tiada cinta tanpa di uji

 

 

Kawula, Manunggal Gusti

 

Aku bermunajat pada-Mu.

Demi Tuhan sang raja semesta ini.

Perihal cinta yang mulai membiru.

Di atas mimbar-mimbar penuh ambisi.

 

Samudera kalam yang suci.

Telah sempit dan mati dalam tafsir duniawi.

Karena lelaku dusta pemuka agama palsu.

Yang mengobral surga bertaklid nafsu.

 

Aku pun memang jalang dan penuh birahi.

Bolehkah? Kusentuh dada puan-Ku?

Bolehkah? Sejenak saja ku nikmati.

Sepasang payudara aduhai itu.

 

Namun, manakah yang lebih durjana?

Aku yang mengultuskan dan menauhidkan puan-Ku.

Ataukah mereka yang memprofankan dan menduakan engkau?

 

O Tuhanku,

Aku masih belum mafhum nan lugu.

O Tuhanku,

Aku hanyalah insan yang naif dan daif.

 

Tuhan, sungguh aku membutuhkan metafora.

Dalam sosok fana seorang manusia.

Tuhan, jika diizinkan lidah dan hati ini ingin bersaksi.

Bahwa tiada Tuhan selain engkau, dan tiada perempuan selain dia.

 

 

Menyenggamai Cinta

 

Komitmen,

tak pernah turun tiba-tiba

dari kamar-kamar privat

maupun kasur-kasur kuat

 

Ada rambut pirangmu,

yang tergerai angin lembut

seusai janji menemukan jumpa

 

Ada bibir merahmu,

yang terlumat air liur cair

sehabis cumbu menghapus gincu

 

Ada leher mulusmu,

yang melongok tengkuk nista

selepas ikan membuat tanda

 

Ada mata beningmu,

yang memandang keringat hangat

setelah desah membakar gairah

 

Dan,

aku memanjat ke surga

lewat tubuh sintalmu

Seketika,

hibat klimaks dengan hebat

 

mengeluarkan benih-benih cinta

Namun, masih saja kau pertanyakan

dimanakah cinta saat gelap buta

ketika tanpa aba-aba

lampu-lampu itu padam

 

 

Intisari Kehidupan yang Mati

 

Aku masih bersamamu sayang,

di bumi ini, bumi dengan segala beton penyangga infrastruktur katastrofi yang kian tandus, tiada henti diperkosa ereksi hegemoni dengan paksa tanpa klimaks, lalu melahirkan tanya kapan dan dimana

Aku masih bersamamu sayang,

di negara ini, negara yang akan selalu siap menjegal sekaligus menjagal Idealisme dengan senyap, lalu secara sembunyi mengudeta bumi dan melarang kita untuk mengeja nostalgia

 

Aku masih bersamamu sayang,

di tanah air ini, tanah air yang menjadi komoditi panas, bahkan terdikotomi jadi sawit dan karet, beberapa terkomodifikasi menjadi sabun mandi, lalu sisanya termaktub dalam kanon negara

 

Aku masih bersamamu sayang,

berbagi muram tragedi anomi, dengan analisa Fenomenalisme yang kebingungan untuk membaca gejala, hingga berdesakan, lalu menggeliat mencari jelaga muara jawaban dari setiap tanya

 

Aku masih bersamamu sayang,

berusaha untuk tetap menjaga kesehatan Rasionalisme dan ingatan akan obituari dari orang-orang yang sudah mati, orang-orang yang dilupakan, orang-orang yang hidup namun merasa mati, ataupun orang-orang yang tak pernah dianggap ada

Bukan untuk terjaring dalam distopia Empirisme, namun kita ada untuk membuktikan, bahwa menerjang arus tidak selesai hanya dengan menerima sirkus paranoia yang dicipta penguasa

Kita tak lagi terjebak Fatalisme, seperti mempercayai narasi seorang eskapis bigot tentang karnaval revolusi yang jatuh dari langit ketujuh menjelma kerangkeng dogma maupun absolut doktrin agama

Kita tak percaya lagi intrik Despotisme, ludahi muka mereka sayang, mereka yang berkata bahwa teater kotak suara secara berkala dapat menyelesaikan peliknya problematika tanpa rasa dialektika

Kita bersama, aku dan kamu, tanpa sederatan birokrasi ideologi konstitusi bernuasa hormon posesi maupun obsesi, yang niscaya menghunjam jantung hakikat Absurdisme secara nyata

Kita bersama, akan tumbuh menua, atau menyerah pada titik nadir, atau mungkin akan tersaruk mati diujung Nihilisme, sebagai konsekuensi akhir dari omong kosong harapan realitas yang fana

Kita bersama, aku dan kamu, tanpa siapapun, tanpa entitas lain, tanpa sesembahan lain yang berskala lebih tagut dari berhala maupun ampas neraka

Kita masih bersama, aku dan kamu, tanpa dia juga mereka, akan meleburkan dualitas suka maupun duka, sembari menunggalkan aku dan kamu menjadi kita

Meski dalam prosesnya, kita acap kali terhimpit piramida kebutuhan ataupun keinginan, sehingga paradigma kita terjun bebas kedalam palung Sinisme yang gelap buta

Namun, kita bersama, untuk membuktikan sayap-sayap Eksistensialisme, bahwa nafas kehidupan harus kembali direbut, bukan hanya dengan menikmati batang nikotin, ataupun ilusi oksigen dari paru-paru dimensi ketiga

Rasa takut akan Anarkisme mungkin masih berdiam dikepala, namun kita bersama, setidaknya kita masih mampu menembus sayup-sayup malam dengan ekstase, walau dibantu oleh beberapa ciuman dan pelukan hangat dari ranjang-ranjang yang tua

 

Tapi sayangku,

Materialisme sudah menjadi sampar,

tak ayal kita pun mencari kembara, dan sayangnya kemanapun kita pergi, dunia punya luka yang sama, itu dibuktikan oleh seorang anak berdurja tangis pilu, dikejamnya angkara aspal hitam jalan raya

 

Tapi sayangku,

Kapitalisme selalu menampar muka, sesekali dengan halus agar kita dirantai tak berdaya, bertopengkan pasar bebas sampai sengkarut argumen

basi tentang bagaimana menyamankan posisi ruang kerja, bahkan mengamankan onggokan laba

 

Tapi sayangku,

bergelut di tengah Konsumerisme tak pernah semudah mengutuk rutinitas urban, yang dipencundangi lampu-lampu distotik maupun jajanan jalang berujung sanggama

Wahai sayangku,

yang terpampang dari dunia ini hanyalah kulitnya, dan tugas kita tak lain ialah mengolah bangkai-bangkai berjalan itu, menjadi daging hikmah yang bisa kita cerna

Duhai sayangku,

tak jenuh pula aku menacapkan memori, bahwa yang terpenting ialah kita masih membara dan masih sempat mengais makna dalam persinggahan yang sama

Namun sayangku,

mereka ada di sana, bersiap menguburkan benih-penih pembangkangan dan mematahkan utopia dengan kecewa, sementara disisi lain, kita adalah manifestasi dari Sisifus yang dihukum hingga ditelan masa

Namun sayangku,

mereka ada di sana, berjaga-jaga menjaga renjana nafsu dan merawat hasrat kuasa, sementara dilain sisi, mereka adalah representasi dari Icarus yang berambisi sebelum dihempas surya

Mereka di sana, membentuk kontingen barikade rapat menjaga Otoritarianisme, dengan tembakan gas air mata, dan sialnya mereka masih saja dapat menemukan senyum lebar melalui layar kaca

Mereka ingin kita eutanasia, namun kita masih bersama sayangku, membuka topeng hipokrit dan membongkar tabir mereka yang membenci Kritisisme, mereka yang seraya menstigma skeptis itu ilegal, sia-sia bahkan dosa

Sayangku, biarkan ragaku mendekap peluhmu, biarkan pikiranku menjaga komitmen kita, dan biarkan jiwaku memayungi jiwamu dari teriknya dunia

 

Meski, aku diancam, diteror,

diracun arsenik di udara, ataupun diseduh kafein sianida

Semua hipotesa realita ini memang hiperbolis, tanpa ada jejalin dengan fisiologis nyata, tapi sayangku, persetan dengan dematerialisasi diksi maupun demarkasi aksara pun juga metafora, selama dehumanisasi ataupun demoralisasi tak merangsek masuk kedalam nyawa

Sayangku, satu yang harus dirimu lakukan adalah membiarkan diriku untuk melukiskan gairah kebebasan pada kanvas Tabula Rasa, dan membiarkan diriku untuk tetap mencatat konstelasi semiotika dari semantik nisbi peradaban manusia

Sayangku, Vita ini Brevis namun Ars itu Longa, daksa kita ini rapuh namun sukma kita itu kekal, sehingga pada akhirnya akan mengukir jalan alternatif dari apriori eksistensi itu hanyalah temporer belaka, sebab itu adalah impuls postulat tanpa dalil yang berpangkal pada esensi fakta

Sayangku, sekali lagi, ini terakhir aku janji, adimanusia adalah Ubermensch, bukan mereka yang memiliki seperangkat masa depan, bukan juga mereka yang mewujud sebagai pialang-pialang kaveling surga

Oleh karena itu,

biarkan diriku untuk terus menjalani hidup prolifik, mentransfigurasi malapetaka setangguh Amorfati Fatum Brutum dan menghidupi frasa Carpe Diem untuk menerjang gelapnya epilog, yang entah kapan, dimana, dan bagaimana

 

 

Bertaklid Cinta

 

Aku bukan pujangga,

yang bergelimang karya

puisi maupun prosa

 

Aku tak memiliki tinta emas,

dalam seni kesusastraan

maupun ilmu bahasa

 

Aku juga bukan seorang filsuf,

yang lihai berdialektika

ataupun beretorika

 

Karena aku tak memiliki otak brilian,

yang mahir merapal esensi

dan menakwilkan makna

 

Bukan pula rohaniwan,

yang masyhur seantero mimbar

apalagi pondok nirmala

 

Sebab aku tak memiliki apapun,

laiknya serambi surga

bahkan selasar neraka

 

Aku bukan pula tukang pahat,

yang datang dari abad-abad

jahiliah suram nan gelap buta

 

Karenanya aku tak memiliki sejarah,

bersama ortodoksi fetis arca

dan pengultusan berhala

 

Tetapi sayangku,

ingin rasanya kukenang dirimu

seperti yang dilakukan kedua tanganku

 

 

Dalam menjamah,

jahanamnya gunung serta palungmu

dan lekak-lekuk tubuhmu yang indah itu

 

 

Lalu menghiasinya,

dengan taman bunga

dan beberapa kecupan

tepat di keningmu

 

Tak luput jua,

antologi tentang renjana

alegori matinya logika

kitab-kitab suci cinta

dan miniatur buah dada

 

 

Duhai kasihku,

pena dan kertasku

itu lebih penting

ketimbang kita berdua

 

 

Sebab di sanalah,

satu-satunya notasi intisari cinta

di dalamnya orang-orang kan temukan

kecantikanmu sekaligus kegilaanku

 

Sayangku,

aku ingin menghabiskan seluruh bakatku

untuk menulis ulang tentang kasihmu

atau, membumbui kembali setiap huruf

hijaiah dari alif hingga ya’ dengan titik

 

Ini memanglah pendirian,

yang tak sejalan dengan

riwayat pengembaraanku

juga hikayat cintaku

 

Tapi sayangku, maafkan aku

akan betapa daif dan kuyunya diriku

bilamana aku tak terlalu jantan

 

untuk memberimu risalah tambahan

Teruntuk,

menghitung noda-noda sundal

yang terlukis pada emas pundakmu

 

Teruntuk,

menghitung cucuran air mata

yang mengalir deras dari matamu

 

Teruntuk,

menghitung ikan-ikan berwarna merah

yang aku pelihara di telukmu

 

Teruntuk,

menghitung konstelasi gemintang yang kutemukan di balik celana dalammu

 

Teruntuk,

menghitung dusta buaya yang kusembunyikan diantara buah dadamu

 

Sekali lagi,

Ini adalah kredo yang tak selaras

dengan arogansi ego lelaki

dan jemawa dari kedua payudaramu

 

 

Selepas Kurusetra

 

Aku masih mencari-cari diri-mu

Di antara belukar wana giriwarsa

Aku masih mencari-cari diri-mu

Di antara arakan awan dirgantara

 

Aku masih mencari-cari diri-mu

Di antara gemerlap riuh prasada

Aku masih mencari-cari diri-mu

Di antara heningnya tirta amarta

 

Aku masih mencari-cari diri-mu

Di antara serat-serat manuskrip renta

Aku masih mencari-cari dirimu

 

Di antara kidung-kidung asmaradhana

Namun, masih saja tak kutemukan

Tapak tilas daksa-mu yang jatarupa

Entah karena hilang dimakan ingatan

 

Entah karena mengirap ditelan pawana

Tapi kasihku, aku akan tetap mencari-mu

Berbekal pangestu bak adipati dan cinta

Aku akan melacak jejak keberadaan-mu

Ditemani bak senopati dan senaya-nya

 

Dimulai dari mayapada

Tempat kita bersarak

Juga merasakan samsara

Bahkan sampai lokatraya

 

 

Dan, setelah melanglang buana

Sedekat-dekat kelana

Sejauh-jauh kembara

Pada akhirnya kutemukan jua

Nama-mu, yang terpampang paripurna

Dengan tuan yang entah siapa

Lengkung janur pun menguning

Seraya terang menyingsing

 

 

Lantas aku mendapatkan warta merta

Bahwa kau akan menggelar wiwaha

Seketika batinku keruh oleh prahara

Laiknya kalabendu tanpa kaladuta

 

 

Hitam-ku kian membuncah

Putihku semakin memucat

Merah padam sudah durja

Mengharu biru pula atma

 

 

Ternyata kau berusaha melarikan diri

Dari asmara yang kulumuri kalpasastra

Ternyata kau berusaha angkat kaki

Ketika kujadikan nirwana sebagai mahar cinta

Apakah selama ini aku melamar seringai jelaga, sehingga kau malah memilih untuk menikahi marabahaya?

 

 

Lelah kumencari sahaja

Di antara petuah para pujangga

Hingga, tualang-ku semakin lenggana

Berpangku di tangan nasib yang hina

 

Dengan berat kutanggalkan masa silam

Agar membias moksha bersama malam

Kutinggalkan seluruh hikayat kelam

Agar dapat meraba hikmah kalam

 

 

Kau, sungguh berhasil mengantarkan-ku

Ke persinggahan-persinggahan

Di mana aku harus menggagas jalan

Untuk bergegas menuju-mu

Meski sayangnya,

Kau menua bersama

Dengan dia yang

Tentu bukan aku

 

 

Tapi kasihku,

Sebelum setra dikutuk sabda

Akan aku maklumatkan satu ikrar

Perihal swarga loka yang akan kubakar

 

Dan aku bernazar,

Akan kubangun kembali swarga loka

Di atas puing-puing reruntuhan angkara

Apabila lentera cinta itu kembali berpijar

Doa Sebelum Tidur dan Puisi Lainnya

Cinta dan Pelaminan

 

Muara cinta bukanlah pelaminan

Karena cinta bukanlah permainan

Sesaat kau rayakan

Kemudian kau lupakan

 

Cinta layak kau rayakan saban waktu

Entah dengan tangis atau tawa

Entah dengan marah atau ramah

Karena cinta adalah manisfestasi luar biasa

Yang tak pernah kau jumpai

Pada manusia biasa

 

Ya, cinta itu adalah firman Tuhan

Ditanam dalam relung hati anak manusia

Tumbuh dengan doa-doa

Subur berkat kata-kata

Gugur bersama air mata

 

Syahdan

Cinta adalah cinta

Pelaminan tetaplah pelaminan

Sungguh banyak yang bersanding di pelaminan

Namun tak cinta

Yang lainnya cinta

Tapi tak berujung pelaminan

 

Namun

Cinta tetap cinta, bukan?

Tanyamu

 

29/01/2020

 

Rumah

 

Orang-orang menyebutnya rumah

Tempat segala kenang berbincang di ruang tamu

Bersama gelas-gelas kopi

Kue manis

Tumpukan buku

dan kamu

 

Orang-orang memanggilnya rumah

Ruang di mana masa lalu

Dipotong-potong

bersama tomat

dan labu

disajikan untuk masa depan yang asin dan asing

 

Orang-orang manamainya rumah

Tempat semua lara

Luruh di ranjang-ranjang lusuh

Dan lirih

Luluh dalam mimpi-mimpi palsu

 

Orang-orang membangun rumah,

katanya

Tapi

betapa banyak yang pergi

karena merasa

rumah tak lagi ramah.

 

07/11/2020

 

Aku Ingin

 

Aku ingin melupakanmu dengan sederhana

Tanpa basa basi

Juga saksi

Hanya puisi

Diksi

dan

sepi

 

Terima kasih

Kekasih

 

Doa Sebelum Tidur

 

Malam ini

Aku ingin mengajakmu duduk

Di bangku taman

Dekat pohon kurus itu

Yang rantingnya jatuh karena rapuh

Dan daunnya layu karena rindu

 

Datanglah!

Di tempat kita pernah merawat angan

Mengikat janji pada sebait awan

Bukan untuk sehidup semati

Bukan, bukan itu

Tapi untuk tetap hidup meski yang lain pergi

Untuk tetap sabar

meski tak ada kabar

Untuk selalu bangkit

Walau sakit

Untuk semua yang baik

Dan suci

 

Datanglah dalam lelap tidurmu

Aku tunggu

Aku rindu

 

13/07/2020

 

Doa

 

Entah doa macam lagi yang mesti kami panjatkan

Saban hari doa kami sama saja

jadikan kami pribadi yang lebih baik

Tapi ketika kesempatan itu terbuka

Kami memilih berpaling

dan menutup mata

mendadak lupa

pura-pura lupa

tuli

 

Akhirnya,

Doa di pagi hari

Terlupakan di siang hari

Tangis malam hari

Kering di pagi hari

Tak ada yang berubah

Sama sekali

Tak ada

 

Kecuali

Hari yang berganti

Dan hati yang perlahan mati

 

30/10/2020

 

 

Merayakan Sepi dan Puisi-Puisi Lainnya

Perempuan Berkebaya

Di beranda rumah

Ada yang sibuk bernyanyi

Melantunkan syair ribuan purnama

cerita-cerita yang melahirkan elegi dan nostalgia

Perempuan berkebaya

Dengan sanggul diatas kepala

 

Suaranya menggema pada langit-langit mega

Berisalah, memberi tanda pada seorang penyair asing

Meluapkan gelisah lewat nyanyian dongeng masa lalu

setelah pujangga berpulang terlebih dahulu

 

Lalu bak anak tangga yang telah tertiti

Gamang tersungkur pada liang langit

Baris-baris usia seperti ingatan tiap masa

Terengkuh ribuan rahasia

Sesak melesat di dalam dada

 

Perempuan berkebaya

Mimpinya tercecer di lorong waktu

Menyalakan lilin membakar tubuh sendiri

Ia duduk melantunkan syair kepahitan

Jemarinya menari tiada henti memutar biji-biji tasbih

Merapalkan doa tiada henti

 

Selayar, 2019

 

 

Jejak Ibu

Di kamarku, ada pintu terbuat dari kesepian

Didalamnya menyimpan jejak kaki ibuku

beberapa hal mengenai masa lalu

Dan menjelma sebaris rindu

 

Sampai jua sajakku pada Ibu

Menafsir bisu berdoa dengan kata kata

Pada aku yang kanak-kanak pun selalu berusaha

Diatas meja khusyuk belajar membaca

 

Lalu perihal sabtu malam

dongeng-dongeng mulai terbaca

Menjelajahi semesta seperti sebuah lagu

Dalam mata ibu dunia telah kujumpai

 

Mesin mesin waktu yang mulai terbaca

Hujan dan beberapa cuaca lainnya

Sungguh Di kamarku ada pintu terbuat dari kesepian

Lembab, menyelinap dibalik elegi sebuah kenangan

 

Selayar, 2019

 

 

Merayakan Sepi

Seperti riuh waktu didadanya

Perempuan itu menahan ingatan

Menghitung sepi dibalik bilik

Mencoba menerka waktu

 

Pada doa doa yang begitu basah

Sungguh takdir serupa narasi

Mencatat segala debar

Mengamanatkan kata kata yang hangus terbakar

 

Pada siapa perempuan itu berbicara

Sementara bunga-bunga tak lagi ranum ia lihat

Cahaya imaji menutup beberapa warna

Tanda ia telah lupa nama

 

Yang tersisa hanya kesepian

Serupa repetisi ia andilkan

Terbayang beberapa sosok

Berkhidmat pada kematian

 

Selayar, 2019

 

 

Gadis Kecil

Gadis kecil pedagang asongan

Melawan degup terus berjalan

Mengupas sepi

Mencari sesuap nasi

 

Tubuhnya gigil

Mencium nyeri

Menikmati terik mentari

Tak lagi kecil berimaji

Tak lagi impian, dan destinasi.

 

Gadis kecil pedagang asongan

Sepotong roti saksi bisu

Pun jalanan yang dipenuhi debu

Menari di tiap-tiap waktu

 

Makassar, 2020

 

 

Panggung Drama

Barangkali kata-kata sebagai pengikat panggung drama

Menjulur keluar dari tiap-tiap rangkaian

Meluapkan kepulangan menuju rumah ribuan cerita

Sementara jalanan tak lagi kosong

Anak-anak sibuk bermunajat mengenal sepasang kaki sendiri

 

Di lorong-lorong waktu

Lembaran kertas menyertai sepi

Kolam-kolam imaji menggigil di sudut taman

Merayapi dinding berbaris doa

Semilir menebar jingga sang mega

 

Bait-bait meranggas dari dahan sajak masa lalu

Mendesak mengalirkan metafora pada rima waktu

Nampak udara menaburkan rangkaian tanda

Dari muara sunyi perih bahasa

 

Barangkali kata-kata sebagai pengikat panggung drama

Laksana setitik noktah berpendar di telan purba

Gugur di kala musim menenun cuaca

Jiwa-jiwa lapuk terlukis bak bayang-bayang lampu pijar

Menarik palung jiwa dari sebait puisi lama

 

Selayar, 2019

 

Ilustrasi: https://www.ibtimes.co.uk/chechen-muslim-gang-terrorising-immoral-women-gays-berlin-1629080