Arsip Kategori: Puisi

Pejuang Literasi dari Timur dan Puisi-puisi Lainnya

Pejuang Literasi dari Timur

Pejuang literasi…
Alang melintang di bumi perhelatan
Menebar virus-virus kebajikan
Jarak di bumi bukan penghalang
Barang dan jasa bukan ukuran
Menorobos kabut menuju puncak timur dan barat terasa ringan
Tak pernah gentar dihantam peluru
Tak pernah mengeluh dihantam hujan petir
Tak kenal lelah di bawah terik mentari
Ketiadaanya di rindukan
Keberadaanya menjadi inspirasi

Tubuhnya mungil penuh semangat
Kumisnya tipis penuh wibawa
Meski usianya tidak lagi muda
Langkah kakinya tak sekuat dulu
Pandangannya sudah mulai pudar
Fisik baginya bukan rintangan
Buah pikirannya tetaplah aktual
Goresan penanya tetaplah tajam
Gagasanya menjadi panduan
Nasihatnya menjadi patokan

Syekh Yusuf pahlawan bangsa
Jenderal Yusuf pahlawan nasionalis
Daeng Yusuf penjual terasi
Sulhan Yusuf pejuang literasi..

(Piro’ Galla Cendang; RPBN, 11 Januari 2019)

 

Badai Hidup Pasti Berlalu

Yakinlanlah sahara takkan selamanya tandus
Yakinlah mata hari takkan selamanya bersinar
Percayalah bintang tak selamanya berkelip
Percayalah bumi tak selamanya berputar
Sirna…
Semuanya akan sirna
Takkan ada yang abadi
Dunia ini fana kecuali Dia yang tak bermula dan berakhir
Sang penguji yang penuh kasih
Sang terpuji yang walas hati
Insan dengan segenap rasa bahagia
Sekecap indah terasa
Kala sedih tak selamanya melanda pahit dan kecut berlalu saja
Badai pasti kan berlalu
Jangan menoleh dan melihat kesana
Jangang tengok dan melotot kesana
Keping-keping game kehina-dinaan
Puing-puing gadget kehancuran
Tataplah daku di sini, rumah baca Panrita Nurung
Berjibaku dengan buku
Alang melintang dalam kreasi dan imajinasi
Berpikir kritis menulis puisi puitis
Tataplah daku di sini di rumah baca Panrita Nurung
Tersungkur terhuyung dalam literasi membaca menulis
Penyejuk jiwa berbincang dan berdiskusi meniti makna hidup
Tataplah daku di sini, rumah baca Panrita Nurung
Dengan mata penuh makna
Dengan semangat yang membaja
Dengan keyakinan dan kepercayaan badai hidup kan berlalu
Selamat jalan penderitaan
Selamat datang kebahagian
Di sini kala literasi..

(Piro’ Galla Cendang; RPBN, 11 Januari 2019)

 

Si Sulung dan Si Bungsu

Asyifa dan Aqifa..
Si putri sulung dan bungsu
Serupa tapi tak sama, periang nan manja
Sikapnya yang polos
Matanya yang berkaca-kata bermanja ria
Tak tampak dalam benaknya dunia yang penuh kegilaan..
Asyifa dan Aqifa..
Dengan tutur nan syahdu
Dengan paras nan ceria
Tunas-tunas muda harapan negeri
Lega rasanya napas bila memandangnya
Tentram rasanya jiwa bila di sisinya
Bening rasanya hati dalam dekapanya
Asyifa dan Aqifa..
Si putri seputih kapas riang gembira bagai peri
Bersinar bagai lentera dengan pikiran yang bening
Dengan hati yang bersih
Dengan akhlak yang indah
Kutitipkan masa depan ibu pertiwi.

(Piro’ Galla Cendang; RPBN, 12 Januari 2019)

Aktivis Jalanan

Aktivis jalanan..
Pemuda pemudi bangsa tumpuan harapan
Pejuang kaum miskin, buruh tani, dan nelayan
Penggerak massa rakyat dari penindasan
Pelopor pergerakan revolusi kepulauan

Aktivis jalanan…
Rambutmu gonrong matamu cekung
Tanganmu melengkung tumpuan megapon
Kakimu bertumpu suaramu melantun
Semangatmu membara berdengung menderu..

Aktivis jalanan..
Dengan pena menulis tuntutan..
Megapon dan spanduk alat perjuangan
Berteriak lantang, “hidup tertindas atau bangkit melawan.”
Berbarengan bergerak menuju tujuan
Suara rakyat, suara tuhan menjadi panduan..

Macan loreng menghadang
Huru-hara berdatangan
Kura-kura ninja bersenapan
Pasukan senyap bergetayangan
Peluru karet dihamburkan
Mayat-mayat aktivis jalanan berguguran
Penggusuran di langsungkan
Demi uang dan kekuasan
Tuan-tuan tak lagi bertuhan.

(Piro’ Galla Cendang; RPBN, 11 Januari 2019)

 

Gunung Bawa Karaeng Gunung Lompo Battang

Gunung Bawa Karaeng, gunung Lompo Battang
Berdiri kokoh menjulang membentang di angkasa raya
Menambah keindahan Butta Toa Bantaeng..
Berteduh di bawah cakrawala biru
Dihiasi pelangi berwarna hijau, biru, kuning, merah nan cerah
Kau.. kau.. dan kau..
Menjadi saksi bisu perjuangan nenek moyang dan buyut
Melawan penjajah Belanda yang kejam beringas bagai hantu..
Kau.. kau.. dan kau…
Dihiasi pohon-pohon hijau nan rindang
Dikitari oleh sungai_sungai dengan gemerincik air nan syahdu
Membuat wisatawan takjub terpesona
Malam Jumat tiba
Ya..dende..
He..he..he.., Ma’lampir.
Gadis kumal berbaju putih dengan rambut aut autan, Parakang..
Perjaka tingting kurus kerempeng lompat lompatan, Poppo’..
Burung hantu beterbangan nyaring bunyinya, runcing paruhnya
Menambah sangar akan dirimu
Ya..dende..
Tak seorang pun kesatria berani menampakkan diri di hadapanmu
Jaka sembung, Jaka Tarub, Jaka Tingkir ataupun Jangkarri’ (jengkrik)
Pedagang poteng, pedagang sayur, apalagi pedagang ikan kecuali doktor Nurdin…
Ya..dende..
Gunung Bawa Karaeng gunung Lompo Battang
Engkau menjadi penguji bagi insan penuh dosa
Engkkau menjadi pengingat bagi hamba yang waspada
Engkau berdiri kokoh di bumi Butta Toa tempat kami mengadu nasib
Tempat hatiku terpaut kepada si Basse kembang desa
Gunung Bawa Karaeng gunung Lompo Battamg
Apakah engkau mampu menjadi harapan untuk anak cucu kami?
Setelah dipoles dengan aspal dan bernama baru Mini Showfarm
Taman bunga berbunga-bunga
Nantikan aku kembali

(Piro’ Galla Cendang; RPBN, 11 Januari 2019)

 

Sumber gambar: https://imgcop.com/img/Ithaka-Poem-98989092/

Jangan Bakar Rumahmu dan Puisi-puisi Lainnya

 

Jangan Bakar Rumahmu

Kemarin kita sua di kerumunan bangsa-bangsa
kata mereka, negeri kita dihuni bangsa penolong
tak bisa diam melihat orang-orang dalam duka lara
Kita pun semringah dan senang dengan puja puji itu
setiap terkirim berita duka cita doa dan upaya pun gegas

Tapi, ada yang aneh belakangan ini di rumah bangsa kita
di saat kita masih rajin memelihara kedermawanan
dan semakin aktif menghimpun materi pertolongan
berkembang biak pula kerumunan yang ingin membakar rumah bangsa ini
walau hanya segelintir namun gaungnya besar
sebab sebagian orang-orang gemar beralibi sembari ngantuk

Pikirku selalu dirundung khawatir tentang masa depan anak-anak kita
yang sedang berjalan dan berlari ingin memetik matahari
kemudian menyemainya di hati dan jalan-jalan masa depannya
kuakkan jalan untuknya agar keindahan bulan tetap memukaunya
dan berhentilah menyulut bara di rerimbun daun kering
beri jalan anak-anak kita menenun masa depannya seelok mungkin

Membakar rumah bangsa sendiri atas dalih apapun, membantai masa depan anak
berkacalah di Palestina, di Suriah, di Irak, di Libya, dan Marawi
Tangis dan rintihan anak-anak meruang hingga membusuk
Dalam setiap hura hara perang di mana pun anak-anak jadi mangsa
Sudahlah, hentikan ambisi gelapmu untuk sebuah alusinasi

Kotamobagu, September 2017

 

Para Penista

Aku melihatmu berjalan di jalan sunyi
Sembari membopong pesta pora
Engkau mengatur ritme jejakmu
Seolah bijak dan pemberani
Tapi, semakin jauh engkau berjalan
Perlahan pakaianmu kuak tercabik
Telanjang mengumbar amarah
Tak hentinya menista dan menguar benci
Kala kusapa di jalan tikung sebelum pisah
Engkau masih sesumbar sebagai jalan kebenaran
Padahal aromamu semakin bangkai dihembus angin

Makassar, Oktober 2017

 

Sepotong Doa

Bintang-bintang semringah
ketika doamu kau bagi ke sesiapa
sementara doaku kutautkan di egoku
menagislah ruhku, sebab doa pun kupelit

Sepotong doa menyambangiku
di malam gulita menguar petir
bak’ lagu amarah bersenandung
musnahkan segala kebajikan

Aku masih tetap di semediku
mengejar amarah dengan doa-doa
teriakku pekakkan telinga, padahal doa
cemeti di ujung doa tumpahkan darah

Doa-doa saling beradu di altar ego
semua merasa khusuk dan syahdu
selain aku, adalah jalan kegaduhan
padahal kita semua hanya sepotong doa

Makassar, Oktober 2017

 

Sumber gambar: https://www.deviantart.com/daxederart/art/Just-a-convention-726828484

Laut; Kita dan Puisi-puisi Lainnya

 

Laut; Kita

Keheningan adalah bahasa langit,
atau sebuah pesan tentang
waktu yang beku dan ruang yang
mengecil.

Di pantai itu, hanya ada deru angin
yang sayup, atau gulungan ombak yang
tak merintih.
Selebihnya, seperti tak ada gerak waktu.
Kita menjadi seonggok daging yang tak
mengenal letih, dan tubuh ini tenang
dalam geming.

Sebab suatu malam di pantai itu tetiba
menjadi tontonan yang menghibur.
Malam yang diselimuti oleh lengang
berhasil memugar harapan.
Malam yang merumahkan tubuh dan
jiwa kita,
dalam sebuah ruang yang hanya milik
kita berdua.

Bersama pasir-pasir, deru angin yang
sayup dan gulungan ombak yang tak
merintih.

 

Cinta yang Sayup

Cinta hanya dapat dimengerti
pada ketabahan mengurai rindu,
atau keiklasan menyahap rongga luka di tubuh jiwa yang belum sempat mengering.

Tapi sebenarnya kita tak punya urusan dengan definisi
Sebab kita bersepakat, memaknai segala ikhwal tentang cinta
adalah pekerjaan tak lebih menarik
di banding menikmati pizza berdua,
atau saling menghadiahi kado ulang tahun
dalam merayakan tubuh yang semakin menua

Sebab kita memahami, cinta hanya mengada
jika ia menjelma masa depan.
Namun, seberapa tangguh kita membaca waktu?

Sebab, pada ribuan luka dan sederetan riwayat rindu yang kita alami,
kita memang benar-benar belum mencapai apapun tentang cinta.

Selain bahwa kita ada untuk hari ini
mencuri ruang untuk saling memagut
dan mendengar detak jantung masing-masing.

Pada akhirnya, kita hanya segumpal harapan.

 

Sejarah Kamar Gelap

Aku adalah bulan dan kau adalah cahayanya.
Ketika jemariku melata di sepanjang kulitmu
dan menyisir tiap helai rambutmu

Aku adalah bulan dan kau adalah cahayanya.
Ketika hembusan nafasmu memompa jantungku pada pertemuan dua bibir yang sedang mabuk.

Aku adalah bulan dan kau adalah cahayanya.
Ketika berahi menyala di sela-sela pagut yang mulai tak terkendali.

Aku adalah bulan dan kau adalah cahayanya.
Ketika jemarimu menggenggam erat kain seprai dan aku dibuat tak berdaya oleh luapan gairah yang menggebu.

Aku adalah bulan dan kau adalah cahaya yang menerangi gelap di suatu kamar itu.

Sumber gambar: https://www.deviantart.com/meminiq/art/Sea-at-Night-757775018

Boneka Retak (Usang) dan Puisi-puisi Lainnya

Bingung

Tawa ini kian lepas
Melebur diantara hiruk pikuk canda
Bahagia? Senang?
Entahlah, tapi ini menarik

Satu orang terjebak dalam kata bingung
Satu dan juga lainnya terlihat antusias
Kurasa hidup memang begini
Kita bermain drama di atas pentas (bumi)

Sedang makna kian tersirat
Seperti jarum diantara tumpukan jerami
Kadang kata sabar dengan tekun mendidik hati
Lantas kata ikhlas meredam amarah

Sesekali jiwa berontak
Saat diri tak kunjung faham
Betapa waktu adalah singkat
Berapa lama aku merugi?

 

Boneka retak (usang)

Boneka retak
Tertunduk diantara ilalang yang mulai kuning
Mereka datang dan pergi
Seperti kemarau panjang tak jua kembali

Boneka retak
Apa kabar yang pernah menyanjungmu
Kini
Kau tak lebih dari boneka usang, tak lebih

Boneka retak
Serpihan rindu kau membatu
Dari kehangatan mimpi
Kau bekukan diri

Kau hanya boneka
Retak lalu usang
Pernah ada
Kemudian menghilang.

 

Manusia

Satu dua kata cukup
Seharusnya begitu
Tapi rasa ketidak-cukupan itu
membunuh satu kata lainnya.

Bersyukur
Begitulah seharusnya
Namun satu kata lagi
Menutupi kata sebelumnya

Manusiawi
Alasan logis meski keseringan
Tanpa pernah mampu menjawab
Dua kata berikutnya

Sampai kapan?
Terdengar ringan & biasa saja
Entahlah, mungkin, nanti,
Sepertinya kata itu harus hilang

Lipatan Koran Pagi dan Puisi-Puisi Lainnya

Lipatan Koran Pagi

Kubaca sajakmu di koran pagi, tentang rumah-rumah yang di gusur hari itu
Seorang bocah berjongkok di depan reruntuhan, mencari rautan pensilnya,
Yang di bawa buldozer, ketika ia masih lelap, sajak-sajakmu berpijar seperti lidah api
Membakar sebuah gang sempit, di halaman pertama berita pagi. Di samping iklan perumahan mewah.

Apa yang diingat setelah semua menjadi abu?
Nama-nama yang pernah singgah, jalan-jalan tergenang, atau musim yang payah. Kau sebut peristiwa di pagi penuh amarah, toko-toko di jarah, Kepulan asap membakar langit kota,

Di balik saku celana yang kau simpan rapi selama dua puluh tahun, ada huru-hara tenggelam dalam arsip sebuah kantor yang tenang. Kubuka lipatan koran dan kuhitung tetes air mata yang menggenang di sudut mata seorang ibu yang setia berdiri di depan gedung berbau apak, mendengar jerit terakhir anaknya.

Pampang, 2018

 

Perjamuan

Suara tifa dari kulit buaya
Mengalun dalam ruang sesak
Suara gelas bergesek
Sedang ada pesta perjamuan
Ketika nona-nona pulang membawa
tempayan
Setelah puas menyadap nira

Ini sopi, bakar manyala,
Rekah dari mayang pilihan
Yang di berkati para leluhur
Tumbuh jauh di dalam hutan

Cendrawasih, 2018

 

Rumah Laut

Musim bergulir
Senja beringsut
Dibalik punggung ilalang

Nelayan pulang
Membelah samudra
Mencecap asin laut

Amis bau kapal
Derit tali
Suara anak-anak
Di pantai

Perahu menepi
Gemericik air
lambung perahu lapuk

lihatlah, ada sebuah pintu
terbuka ke arah samudra
menantang
seoarang petualang

Pampang, 2018

Sumber gambar: https://healthinsurancelife.org/edit