Arsip Kategori: Rekomendasi

Hipotesis: Omnibus Law Terhadap Perampasan Ruang Hidup Masyarakat

Omibus Law RUU yang diusulkan oleh pemerintah terus-menerus mendapatkan penolakan dan kritikan dari publik. Lagi-lagi rancangan undang-undang berpihak kepada kaum elit penguasa negara, dari berbagai banyak pasal-pasal dari omnibus law yang dianggap bermasalah dan merugikan kaum pekerja yang wilayah metropolitan, tetapi omnibus law juga berdampak merugikan Masyarakat Adat yang ada di berbagai wilayah pedesaan.

Ada sebuah kepentingan terutama atas nama pembangunan ekonomi, RUU Omnibus Law menjadi suatu alat untuk merampas dan menghancurkan tata ruang hidup rakyat, hal tersebut pasalnya akan memberikan suatu kemudahan bagi investasi maupun korporasi bersama pemerintah untuk merampas tanah masyarakat adat terutama sumber daya alamnya yang akan di kuasai seperti hasil tani.

Berbagai sumber data yang ditemukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta (2018). Bahwasannya melaporkan 300 konflik agraria di 16 provinsi dan 367 kasus pelanggaran Hak akibat perampasan lahan. Data tersebut mencerminkan bahwa selama ini pemerintah melakukan pelanggaran hak serta mengabaikan perlindungan hak warga negara, bahkan pemerintah lebih memberi ruang besar kepada investasi dalam membebaskan lahan masyarakat.

Karena RUU Cilaka ini berencana akan menghapuskan izin lokasi dengan mengganti Rencana Detail Tata Ruang dimana akan menghambat masyarakat adat yang bersikeras dalam mempertahankan ruang hidupnya, karena memperkecil ruang publik untuk mengkaji keputusan pemerintah yang melanggar aturan hukum, salah satunya yang terfokus pada masalah yang ada di dalam 118 Naskah Akademik Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Pengadaan lahan. Karena dengan alasan peraturan pemerintah yang menyatakan masih sulitnya memperoleh lahan dalam melakukan investasi di Indonesia, adanya ketidak harmonisasian antara undang-undang penata ruang, UU pokok Agraria serta UU Kehutanan dan UU sektor lainnya, sehingga yang diharapkan dari UU Omnibus Law adalah kemudahan dalam pengrusan lahan perlu diciptakan untuk meningkatkan iklim suatu investasi dan penciptaan lapangan kerja.

Dengan mengubah ketentuan Undang – Undang Tata Ruang Wilayah sebelum jangka waktu 5 tahun untuk kegiatan investasi kitreria dan persayaratan ketat, menjadi kearah Rencana Detail Tata Ruang membuat pengurusan investasinya paling lama dalam waktu 1 tahun maka yang akan terjadi dalam RUU Omnibus Law ini memudahkan percepatan suatu proses pengadaan tanah hingga proses perpanjangan tanah dan pembaharuan Hak Atas Tanah. Yang lebih sangat parahnya lagi adalah Omnibus Law ini menghapus ketentuan pasal 40 UU tentang perlindungan pengelolaan lingkungan hidup, mengubahnya menjadi persetujuan lingkungan yakni kesanggupan dalam mengelola lingkungan hidup dengan menghapuskan beberapa pasal maka di analisanya  suatu surat izin usaha menjadi tidak selaras dengan suatu prinsip perlindungan tatakelola lingkungan hidup.

Hilangnya sumber penghidupan dan ekonomi, bahkan juga menghancurkan nilai kearifan lokal, serta mengkriminalisasi kebudayaan dari aspek spritualisasi yang selama ini dijaga dan dilestarikan oleh leluhur, karena masyarakat adat yang memiliki keterkaitan khusus terhadap tanahnya. Penggusuran paksa terhadap masyarakat adat tidak sekedar hanya pindah kehidupan yang baru, tetapi juga hilangnya sumber kehidupan yang secara hidup sejak lama memanfaatkan sumber daya alam sekitarnya. Investasi maupun korporasi bersama pemerintah membuat hal penghinaan besar terahadap hak asal usul masyarakat adat dahalunya sudah mengelola sumber daya alam dengan baik bahkan memiliki pengetahuan secara tradisional turun menurun jauh sebelum Indonesia merdeka.

Terkesan Bahwasannya Rancangan UU mengenai Omnibus Law tersebut lebih ke pro kepada investasi hingga tidak memandang dampak dari masyarakat adat kedepannya. Sikap tersebut mengubah Undang – undang dengan berdalilkan “menciptakan lapangan kerja serta memajukan perekomian nasional” dari bentuk pekerja masyarakat adat justru memiliki pekerjaannya secara tradisional yang dilakukan sejak dahulu seperti bercocoktanam, mengelola sawah, mengelola hutan, berladang bertani. Masyarakat adat sendiri justru membutuhkan penguatan hukum terhadap praktik kearifan lokal menjaga kelestariannya. Tetapi fakta dilapangan banyak masyarakat adat lahannya yang dikriminalisasi demi kepentingan. Menyimpulkan bahwa Omnibus Law adalah suatu gagasan – gagasan yang sangat tidak jelas bahkan  bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan kerusakan ekologi. Undang – undang tersebut tidak saja bahaya bagi masyarakat adat tetapi juga untuk kaum pekerja lainnya yang lebih menguntungkan para pemiliki modal.


Sumber gambar: Tirto.id

Meriwayatkan Makassar dengan Literasi Kenangan Anging Mammiri

—Catatan atas buku Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu;  karangan Abdul Rasyid Idris

Seorang yang menulis sejarah pasti tahu,  ingatan adalah suatu yang mudah menguap. Begitu pendakuan Goenawan Mohamad di salah satu esainya di tahun 2012. Karena itulah, sejarah mesti diabadikan. Ditulis dan diriwayatkan. Mirip origami, ingatan sangat mudah dibentuk, disusun, dibelokkan, atau bahkan silap dihimpit memori yang lain.

Tapi, Abdul Rasyid Idris dalam Anging Mammiri tidak sedang menulis sejarah. Melalui literasi kenangan, Abdul Rasyid hanya sedang melahirkan saudara kembar sejarah. Sebagaimana pendakuan Alwy Rachman di pengantar buku ini, Abdul Rasyid bukan dalam kapasitas menandingi sejarah Makassar sebagai kota, melainkan berusaha melahirkan kembali suatu peristiwa subjektif di era kekinian melalui kekuatan ingatan.

Ingatan, dalam Anging Mammiri memang adalah kekuatan yang sebenarnya, yang berada di balik 76 esai Abdul Rasyid Idris. Sebagaimana rasio sebagai struktur esensial manusia yang menopang modernisme, ingatan dalam Anging Mammiri juga menjadi subtansi dari sehingga mengapa Makassar dalam buku ini patut diketahui orang-orang.

Makassar dalam sorot ingatan, apalagi dalam bingkai literasi kenangan Abdul Rasyid Idris, bukan Makassar hari ini yang kadung banyak diobjektifkan melalui wacana dan pemberitaan yang memenuhi ruang publik kita. Melainkan suatu dunia subjektif, yang melihat dari “depan” suatu peristiwa masa lalu dan sebelum beralih menjadi konten yang hampir politis.

Makassar dalam Anging Mammiri, hampir semuanya dibilangkan dengan cara menghidupkan “orang-orang kecil” yang mengitari kehidupan penulis di masa lalunya. Bersamaan dengan itu, momen terhadap lokasi-lokasi yang disebutkan dalam buku ini, menjadi lokasi “bersejarah” yang patut dipersoalkan, mengingat tempat-tempat itu telah banyak mengalami perubahan.

Makassar dalam alaf dalam ingatan

Makassar adalah kota yang selain dihuni dan dialami langsung, juga kota yang belum definitif. Dengan kata lain, Makassar merupakan kota yang sedang bergerak, kota yang dialiri perubahan terus-menerus. Melalui konteks ini, Makassar perlu dicermati.

Mencermati Makassar melalui teropong ingatan—seperti yang ditunjukkan Abdul Rasyid Idris—adalah geliat subjektif bagaimana sebuah kota ditangkap, dialami, dan diriwayatkan kembali setelah melewati pelbagai macam perubahan di dalamnya. Dengan kata lain, kota dalam ingatan merupakan suatu arus kesadaran yang hampir semua dipunyai penduduk di dalamnya. Pungkas ingatan melalui alaf waktu, yang diriwayatkan melalui tulisan, dengan ini adalah suatu cara bagaimana suatu kota, melalui ingatan penduduknya melakukan timbal balik pemaknaan untuk mengenali kembali dirinya.

Dalam Anging Mammiri, kota dalam ingatan, ditelusuri kembali melalui tiga perangkatnya: tokoh, waktu dan tempat. Melalui tiga elemen inilah, dari orang-orang seperti Daeng Torro, A Pui, Sang Guru, Tuan Manni, sampai Tanta Gode’, dapat menjadi jalan masuk mencandra kembali Makassar ketika berada di era 70-an. Begitu juga tempat-tempat semisal Pasar Butung, Pelabuhan Paotere, Pasar Senggol, Benteng Somba Opu—untuk menyebut beberapa di antaranya—menjadi situs-situs perkotaan yang dapat ditelusuri seperti apa dan bagaimana cara orang-orang Makassar dahulu menjalani kehidupannya sehari-hari.

Esai yang berjudul Kampung Antang, juga misalnya, merupakan sepercik sejarah bagaimana generasi masa kini dapat mengenali cerita di balik lokasi-lokasi yang memiliki nilai historis.  Begitu pula, penamaan Pasar Paotere, yang ditulis dengan judul yang sama, menjadi keping sejarah yang memotret bagaimana suatu kawasan kota awalnya dinamai berdasarkan aktivitas warga di dalamnya.

Pewarisan nilai-nilai

Maurice Halbwachs, seorang sosiolog sekaligus filsuf abad 20 pernah mengembangkan suatu penemuan ingatan yang bersifat subjektif, hakikatnya merupakan hasil panjang pergumulan interaksi masyarakat di dalamnya. Artinya, ingatan tidak mungkin bersifat individual melainkan hasil proses sosial yang melibatkan simbol-simbol kolektif. Di dalam konteks inilah, Anging Mammiri bukan sekadar ingatan subjektif penulisnya, tapi juga sebenarnya dapat ditarik menyentuh ingatan orang-orang yang mewakili Makassar tahun 80-an.

Tempat, lokasi, waktu, nama-nama jalan, warung kopi, terminal, pasar, areal pertokoan dlsb, yang diliterasikan melalui Anging Mammiri, sebagaimana dikatakan Maurice Halbwach, merupakan sarana ingatan bukan saja menjadi milik ingatan pribadi, tapi juga kepunyaan kolektif yang mewarisi nilai-nilai bersama agar terhindar dari kepunahan.

Sebagai pewarisan nilai-nilai melalui literasi, dalam konteks perubahan, Anging Mammiri bisa difungsikan sebagai pelengkap sejarah untuk mencipta ulang peristiwa masa lalu yang mengikutkan tempat-tempat, kejadian, waktu, dan moment peristiwa untuk menjadi dasar bagi masa kini, dan menjadi pijakan kepada masa depan yang lebih baik.

Walaupun Anging Mammiri bukan buku sejarah, dan dilihat dari proses kreatifnya yang dilahirkan dari dunia maya media sosial, merupakan suatu cara bagaimana kenangan dan teknologi dapat dipertemukan dan melahirkan input positif bagi generasi hari ini yang sulit lepas dari dunia digital. Cara Abdul Rasyid Idris, yang sudah menerbitkan dua buku sebelumnya, yang hampir semuanya lahir dan berbasis dunia digital, dengan sendirinya adalah jawaban bagaimana kenangan atas suatu kota, dapat dirawat dan diriwayatkan dengan memanfaatkan media sosial sebagai canvas pertamanya.

Sapi Malas Petani

Sebelum ada traktor, kehidupan petani tidak sepelik ini. Sapi-sapi selalu patuh dan taat diajak membajak sawah. Sebelum ada mesin perontok bulir padi, hidup petani adem ayem. Orang-orang datang membantu menuai padi, tanpa perlu kesepakatan mereka dapat berapa.

Tapi modernisme membuat perbedaan mencolok. Modernisme menjanjikan efisiensi dan efektivitas, tapi justru menghadirkan kehampaan.

Sapi malas

Sapi-sapi yang dahulu, hampir semua rumah di kampung ini terikat di kolong rumah belakang, kini tak lagi bisa ditemui. Sapi-sapi yang dahulu menjadi teman petani membajak sawah, kini pergi jauh ke areal peternakan. Yang tersisa hanya sapi-sapi malas, yang kerjanya hanya makan, minum dan pup. Sapi malas itu akan dijual seharga jutaan oleh pemiliknya. Tapi, sapi tetaplah sapi, ia tunduk pada keinginan tuannya. Yang membuat mereka malas adalah tuannya sendiri.

Tanpa sapi, petani mengandalkan mesin traktor yang canggih. Sekali dorong, traktor bisa menyelesaikan kerjaan sapi. Dengan traktor, tak perlu menunggu berhari-hari untuk melihat tanah di sawah itu berubah menjadi lumpur. Meski tidak semua petani bisa membelinya.

Pergeseran siklus

Saat musim tanam tiba, siklus hidup di kampung juga banyak mengalami pergeseran. Jika dahulu, ada ritual khusus, yang dihadiri warga kampung sebelum turun sawah, kini tradisi itu perlahan-lahan ditiadakan. Mereka sepakat menyebutnya dengan istilah kuno, ketinggalan zaman. Tak perlu ritual atau menunggu kesepakatan mengenai jadwal yang tepat. Buat mereka, lebih cepat lebih baik, apalagi siklus hujan kian tak menentu.

Dahulu, menanam padi tidak hanya dilakukan serempak. Menanam padi adalah pemandangan kehidupan kampung yang riuh, ramai dan dilakukan tidak sendiri-sendiri. Bahkan, yang tidak memiliki lahan sawah pun tidak pernah ketinggalan untuk turun ke sawah, melebur dalam kubangan lumpur.

Dahulu, ada gairah yang hidup saat musim tanam. Di pematang, para petani melepas lelah dengan mengepulkan asap tembakau sambil berkelakar. Mereka datang saling membantu dengan sukarela. Tak ada yang dibayar, kecuali penganan seadanya dan segelas kopi.

Tapi waktu seperti mengubah segalanya. Siklus tanam bersama itu telah hilang. Petani kini sibuk dengan sawahnya masing-masing. Bukan tidak peduli dengan yang lain, tapi para petani lebih fokus pada lahan garapannya untuk segera diselesaikan. Mereka mengejar target produksi yang telah dikalkulasi untuk membayar pupuk, pestisida, bibit, traktor, dan bersyukur kalau sisanya dapat dipakai hidup menunggu musim panen selanjutnya.

Musim panen juga mengalami perubahan. Tak ada lagi waktu senggang. Beberapa petak sawah yang biasanya butuh waktu seminggu untuk selesai dipanen, kini dengan bantuan mesin perontok padi, berpetak-petak padi bisa selesai sehari, langsung dikepak dalam karung.

Memang masih ada diantara mereka melibatkan orang lain, tapi polanya berbeda. Mereka ikut memanen karena menginginkan upah. Segalanya dihitung dengan uang. Dan hanya sedikit waktu yang tersisa untuk bersenda gurau, semua diburu target.

Perubahan siklus

Sapi malas dan perubahan siklus adalah revolusi petani yang telah mengubah kehidupan kampung. Seperti orang-orang kota, sibuk. Mereka menjadi efektif, dengan pola hidup yang efisien. Tak ada waktu senggang. Segera setelah panen, lahan sawah kembali diairi. Sawah kembali digarap oleh traktor, dan seterusnya.

Tapi sapi malas itu bukan murni kesalahan petani. Petani meninggalkan sapi, karena mereka dikejar oleh pemenuhan kebutuhan. Mereka butuh uang untuk membayar cicilan motor, membeli sayuran, membeli air galon, membayar tagihan listrik, televisi kabel, uang sekolah, pulsa dan kuota. Petani itu juga berharap bisa membangun rumah permanen yang terbuat dari batu dan semen.


sumber gambar: galeri-nasional.or.id

Iman Kepada Media

Kemarin saya diminta oleh panitia LK 2 Psikologi UNM membawakan materi tentang ‘Hegemoni Media’[. Kegiatan yang bertempat di STIE AMKOP Makassar menghadirkan beberapa pemateri yang punya perjalanan dan karya intelektual yang begitu berpengaruh. Tersebutlah nama besar seperti pak Alwy Rahman, Alto Makmuralto, Bahrul Amsal sampai Aan Mansur. Sedangkan saya – Syahrul Al Farabi – sama sekali jauh dari hal itu. Oleh sebabnya, sampai sekarang, saya masih bertanya-tanya, atas dasar apa si panitia ikut menyelipkan nama saya di sana?

Tapi saya sudah jadi bubur. Eh, maksud saya, nasi sudah jadi bubur. Saya mengikuti permintaan teman-teman panitia. Dengan demikian, sejak empat hari yang lalu , saya disibukkan bertanya sana sini kepada senior dan membaca beberapa buku terkait ‘Hegemoni Media’. Sebutlah misalnya Eriyanto dengan Analisis Wacana-nya,  Franz Magnis Suseno  Dalam Bayang-bayang Lenin, dan beberapa artikel tentang framing dan teori kritis. Itulah sedikit modal dasar saya bicara di depan teman-teman mahasiswa Psikologi. Dan supaya ndak malu-maluin amat, saya sertakan juga beberapa keping tulisan di bawah ini tentang Hegemoni, yang saya beri judul ‘Iman kepada Media’.

*

Iman adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan sebuah ketundukan kepada Tuhan yang Maha Esa. Iman menjadi sebuah sistem kepercayaan yang hendak mendeklarasikan sebuah kebenaran pada sesuatu yang Transenden. Hari ini kita menyebutnya Tuhan. Segala sistem kepercayaan ini didasarkan pada teks kitab suci (Al Qur’an) ataupun Sunnah Rasul. Dari sanalah segala informasi kepercayaan dijadikan dasar hingga akhirnya dipercaya, diyakini, dan jadi pedoman hidup hingga akhir zaman.

Nah, di era modern seperti saat sekarang, di mana teknologi semakin berkembang, cepat, dan canggih, iman telah mengalami pergeseran. Kalau sebelumnya kita menyandarkan segala sistem kepercayaan (iman) kepada kitab suci dan segala tingkah laku Rasul, hari ini mungkin iman telah bergeser kepada ‘sebuah alat’ yang bisa mendefinisikan tentang dunia dan segala isinya ; Media. Melalui alat baca inilah, sebuah ideologi ataupun ajaran disisipkan untuk diyakini seperti wahyu yang diturunkan oleh Tuhan dari langit. Seperti sebuah kebenaran, yang tak punya cela dan cacat untuk dikritik lagi. Selesai. Final dan objektif. Dengan demikian, kita hanya butuh tunduk dan patuh.

Saya lebih senang menyebut bentuk kepercayaan (iman) di atas sebagai bentuk hegemoni. Pada poin ini, kita harus berkenalan dengan Gramsci. Laki-laki bongkol dari pulau Sardinia ini “membangun sebuah teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan” (Eriyanto, hal.103). Pada tahap ini media bekerja, bagaimana dia (media) menguatkan posisi sebuah kelompok dan merendahkan kelompok lain.

Masih menurut Gramsci, kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya menguasai melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan  relasi produksi, tetapi juga melalui kekuatan (force) dan hegemoni. Yang pertama menggunakan daya paksa lewat aturan-aturan yang mengikat untuk ikut dan patuh atas segala syarat atau nilai-nilai tertentu, yang kedua lebih bersifat ‘sukarela’. Gramsci menyebutnya sebagai ‘kepatuhan aktif’ dari kelompok-kelompok yang dikuasai. Penguasaan ini, bisa dengan jalan politik, kepemimpinan intelektual, moral sampai agama. Ciri dari hegemoni ini adalah ia menciptakan cara berpikir yang dominan, rasional, paling benar, dan menegasi kelompok lain.

Demikianlah ritual hegemoni itu lahir. Ia berjalan melalui proses yang halus dan tampak wajar. Semua orang menganggapnya benar dan tidak usah dipertanyakan lagi. Media adalah dunia yang menjadi lahan subur berkembangnya ritual hegemonik tersebut.

*

Secara umum, media dalam menyebarkan doktrinnya menggunakan medium/pemakaian bahasa. Bahasa menjadi representasi dari kenyataan atau sebuah peristiwa. Mohammad A.S Hikam melalui ‘mulut’ Eriyanto membaginya dalam tiga cara pandang. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Menurut pandangan ini, bahasa dilihat sebagai perantara antara manusia dan objek di luar dirinya. Bahasa yang memuat pernyataan-pernyataan logis, sistematis, dan terukur adalah bahasa yang tidak butuh lagi tafsir yang sifatnya subjektif. Bagi penganut paham ini, benar dan salah hanya dilihat dari bangunan semantiknya.

Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme yang punya persinggungan dengan fenomenologi. Aliran ini menolak positivisme-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Konstruktivisme menganggap subjek (dalam hal ini si penyampai berita) punya peran sentral. Alasannya, subjek memiliki kemampuan kontrol terhadap setiap kepentingan/maksud dalam setiap wacana. Namun bagi saya , subjek dan bahasa secara bersama-sama punya peran sentral dalam pembentukan wacana. Lewat medium bahasalah segala kepentingan mewujud dan jati diri subjek terepresentasikan.

Pandangan kritis menjadi pandangan ketiga yang mengoreksi pandangan konstruksivisme. Apa yang menjadi kritik adalah hubungan proses produksi dan reproduksi wacana yang tidak berimbang, baik secara historis maupun institusional. Dengan demikian, pandangan ini tidak hanya melihat hubungan tata bahasa, pernyataan-pernyataan, ataupun makna yang punya tujuan tertentu, tetapi lebih jauh menganalisis konteks dan praktik kekuasaan.

*

Analisis Wacana Kritis

Bagaimanakah sebaiknya berhadapan dengan berbagai macam wacana yang diproduksi oleh media? Itu adalah pertanyaan umum yang hadir dari diskusi LK2 kemarin. Oleh sebabnya, saya hanya menyarankan untuk bersama-sama membaca dua alat analisis. Yang pertama adalah Critical Discourse Analisis atau Analisis Wacana Kritis dan kedua Analisis Framing. Namun, pada tulisan ini, saya tidak akan menyinggung perihal ‘framing’. Selain kekurangan referensi, konsep framing terbilang detail dan spesifik menganalisis media dalam memilah dan memotong realitas, yang kemudian akhirnya melemparnya ke publik. Sedangkan untuk teori analisis wacana kritis, saya hanya akan menyinggung teori Fairclough dari sekian banyak teori yang ada.

Menurut Fairclough, analisis wacana kritis melihat wacana – pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan – sebagai bentuk dari praktik sosial (Eriyanto, hal 7). Sebagai praktik sosial, wacana menjadi semacam diskursus berhadapan dengan segala situasi, institusi ataupun struktur sosial di masyarakat. Pada tahap ini, Fairclough mengintegrasikan analisis wacana berdasarkan linguistik dan pemikiran sosial-politik demi perubahan sosial. Melalui model ini, Fairclough berusaha melihat bagaimana sebuah wacana terbentuk dan bagaimana semaksimal mungkin menggunakan wacana tersebut sebagai alat perubahan sosial.

Ada tiga dimensi penting dalam teori Fairclough : text discourse practice, dan sociocultural practice. Teks dianalisis secara linguistik, misalnya kosakata, aturan penggunaan kalimat ataupun tata bahasa. Analisis ini bertujuan melihat hubungan linguistik dan  semantik yang kemudian membentuk suatu pengertian sehingga menunjukkan muatan ideologis tertentu.

Berbeda dengan teks, discourse practice melihat bagaimana sebuah teks diproduksi dan dikonsumsi. Setiap teks ataupun wacana punya pola yang berbeda dalam proses produksi. Pola ini punya mekanisme yang spesifik dan teratur di mana setiap wartawan mesti mengikuti pola ini. Demikian juga dengan pola konsumsi teks akan berbeda berdasarkan konteks sosial. Seorang petani akan punya kecenderungan membaca berita yang berbeda dengan seorang politisi di perkotaan.

Sedangkan sociocultural practice lebih menekankan pada segala konteks di luar teks. Segala kejadian atau peristiwa di luar teks sangat mempengaruhi bagaimana sebuah teks dibangun. Menurut Fairclough, kondisi sociocultural ini mempengaruhi teks secara langsung namun tetap dipengaruhi atau dimediasi dalam pola hubungan discourse practice. Misalnya bagaimana sebuah teks harus diproduksi ataupun bagaimana wajah masyarakat yang akan mengonsumsi berita tersebut.

Demikian sebagian catatan kecil dari teori Fairclough. Karangan sederhana ini hanya mewakili satu dari sekian banyak teori tentang analisis wacana kritis. Buku yang bisa menjadi pengantar adalah Eriyanto Analisis Wacana ataupun Analisis Framing. Buku Idi Subandi Ibrahim yang menulis Budaya Populer sebagai Komunikasi atau Deddi Mulyana yang menulis Bercinta dengan Televisi. Beberapa buku tersebut cukup komprehensif dalam mengkaji ‘Analisis Wacana’.

Sebagai penutup, penting sebagai pembaca untuk senantiasa mengambil jarak dan curiga pada setiap teks yang lahir dari rahim seorang penulis. Kecurigaan ataupun daya kritis ini bisa dalam bentuk opini yang cerdas dalam melihat dan membaca segala bentuk wacana yang hegemonik. Kecurigaan dan daya kritis ini juga diharapkan melahirkan fungsi batas faktual, dalam bahasa St. Sunardi, semacam pelampauan positivitas (text) menuju after-humanistic.

Trims.

Ilustrasi: https://digitalculurejamrhetorics.wordpress.com

Amma Lolo

Di suatu sudut di hutan Kajang…

Sadrak dan aku membungkuk-bungkuk memungut kayu bakar. Lima ekor ayam dan tiga sapi sudah dikandangkan semenjak sore ketika Amma1 masuk ke rumahnya tanpa menggunakan pasappu2. Amma juga baru saja kedatangan tamu dua jam lalu. Ketika ayam-ayam meloncati dahan tempatnya mengeram, Amma bersuara sembari batuk keras dari bilik jendela menyuruh Madah mengisi gentong penampungan air. Saat itu aku dan Sadrak masih di tengah hutan mencari kayu bakar.

Walaupun agak basah pasca hujan, kayu-kayu bekas tiupan angin semalam banyak yang masih bisa digunakan. Mencari kayu bakar bukan pekerjaan utama sore itu, sebelumnya kami disuruh Amma untuk membersihkan hutan tempat upacara adat seringkali dilaksanakan.

Sementara di rumah, Madah hanya duduk terdiam pasca mengisi gentong air di depan bilik Amma. Badannya masih berkeringat. Tapi dia nampak baik-baik saja ketika keringat mengalir di goresan luka di punggungnya. Nampak di wajahnya sedang merapal sesuatu.

“Sampai kapan Amma akan menyudahi ritual yang dialami Madah?” Sadrak angkat bicara saat memungut ranting beringin hutan yang sudah mulai mengering.

“Itu ada waktunya, dan semua tergantung Amma.”

Mendengar itu, Sadrak tak lagi bertanya. Dia melihat Aku dengan tatapan tanda ingin pulang…

Di suatu waktu, di sudut rumah Amma…

Madah meneguk air tepat saat hujan reda. Tegukan itu sekaligus tanda Madah berbuka puasa. Amma melihat raut Madah dengan seksama. Sebentar lagi magrib dan burung-burung hutan kembali keperaduannya, selang tidak lama dari itu mereka berdua saling menatap. Sunyi seketika.

“Aku ingatkan kembali, engkau mesti banyak bersabar, dan harus banyak menyelami hakikat pasang3,” Amma membuka percakapan.

“Sudah tak terhitung burung-burung pulang pergi menuju sangkarnya, Tu Ria Ara’na4 juga tak terhitung perhatiannya kepada kita.”

“Kali ini, engkau jangan lupa, pasang begitu penting untuk disimpan dalam benak dan hati, sedikit saja lafalnya salah, maka itu akan menyalahi artinya.”

Madah beradu mata, tapi sebenarnya dia hanya menundukkan kepalanya.

“Sekarang, tempatkan ingatanmu kepada Tu Ria’ Ara’na, dan kemudian sekali napas lafalkan pasangmu!”

Madah mengeluarkan suaranya: “Tu Ria’ Ara’na, ammantangngi ri pa’ngarakanna, Anre’ nisei rie’ne anre’na Tu Ria Ara’na nakiappala doang, Padato’ji pole nitarimana pangnrota iya toje’na, Gitte makianjo punna nigaukangi passuroanna, Nanililiang pappisangkana.”

“Anne linoa pamari-marianji, Allo riboko pa’mantangang kara’kang.”

”Appa’ battu ri amma: rara, assi, gaha-gaha na ota’, Appa’ battu ri anrong: bulu-bulu, bukule, kanuku, buku, Lima battu ri Tur Ria’ Ara’na: mata, toli, ka’murung, baba’, nyaha.”

“Lima ampangissengi ilalang batangkale: Ri ngitetta baji’, ri mallangiretta baji’, Ri mangaratta baji’, ri pautta haji’, ripappisa’rinta haji’.”

Begitulah ritual itu dilakukan. Amma memasang telinga baik-baik. Jika satu saja pasang salah dilafalkan, tak segan-segan Amma memukul badan Madah dengan sebilah tangkai kayu. Kadang, akibat itu punggung madah membekas goresan luka.

Sementara aku, ketika hapalan  pasang ke 759 yang diucapkan Madah, tidak jauh dari tiang rumah memilih mempersiapkan secarik kertas untuk menulis puisi. Malam ini langit patut dilukiskan sebagaimana Amma seringkali melukiskan pasang untuk dipegang teguhkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Langit yang dibikin pergi

Malam, sudah

habis aku ditimpa sepi

Ibarat bulan  separuh ditinggal purnama

Sudah datang suatu kabar

Suara orangorang dihempas kelana…”

Saat aku menulis dan membaca habis puisiku, aku jatuh tertidur. Itu bersamaan dengan bunyi bilah kayu di punggung Madah yang ketiga kalinya…

Kembali ke suatu sudut di hutan Kajang…

“Menjadi puto itu tidak segampang yang orang bayangkan!”

“Selain caradde5, seorang calon puto6 juga mesti jujur”

Sadrak siaga memasang telinga mendengarkan. Semenjak keluar dari hutan, dia banyak diam. Matanya dari tadi hanya memerhatikan batangan kayu yang dipikulnya. Tapi, aku masih saja menjelaskan untuk menjadi puto, orang suci setelah Amma, bukan perkara mudah. Sadrak masih terdiam seperti sedang merekam seluruh yang aku katakan. Sebentar lagi kami tiba di rumahku.

Sampai di rumah, Madah sedang membersihkan bekas penapis beras. Amma, ayahku sedang berada di biliknya. Dapur yang bagi kami orang-orang Kajang merupakan lokasi yang penting, nampaknya juga sudah dirapikan Madah. Ketika malam tiba, sulo-sulo dinyalakan. Sadrak yang semenjak tadi ikut bersamaku sudah capai merebahkan badan di bawah jendela rumah. Semenjak dia masuk di dalam kawasan tanah adat, Sadrak banyak mempelajari tradisi hidup kami. Hari ini berarti juga sudah tujuh minggu dia tinggal bersamaku. Mencatat dan meneliti apa saja yang dapat dilihat dan didengarnya. Beruntung kemarin dia mendapat restu Amma ikut bersamaku masuk ke hutan keramat.

Lima bulan setelah suatu waktu di sudut hutan Kajang…

Setelah Sadrak pulang ke Makassar dan dua hari lalu datang membawa hasil penelitiannya, Amma semakin tidak kuat menuruni tangga. Praktis dengan kondisi Amma yang semakin parah, mengurungkan niatku kembali ke Makassar bersama Sadrak. Seperti tradisi sebelumnya, pergantian menjadi Ammatoa dilakukan dengan cara yang selama ini diajarkan leluhur. Mengantisipasi pergantian kepemimpinan Ammatoa, Amma sudah memberikan tanda-tanda bakal meninggalkan kami semua. Itu seperti yang dialami Ammatoa sebelumya. Menurut cerita Amma di waktu aku kecil, semua orang suci mengetahui kapan dia datang ke dunia dan di saat kapan dia akan pergi meninggalkan seluruh sanak keluarganya.

Semakin mendekati waktu kepergiaannya, Amma semakin giat melatih Madah, orang yang diberikan petunjuk bakal menggantikan kedudukannya. Melihat perhatian Amma yang besar terhadap Madah, membuatku tidak sanggup berpisah dengan Amma. Terlebih lagi masyarakat Kajang pasti akan terpukul dengan kepergian Amma.

“Baru saja saya meninggalkan Kajang dua minggu yang lalu, Madah sudah banyak berubah,” Ungkap Madah.

“Sepupuku Madah, semakin siap menjadi calon puto.” Aku berkata sembari membaca hasil riset yang dibawa Sadrak.

“Tahukah kau, bahwa setelah kepergian Amma, Madah akan menyiapkan dirinya selama tiga tahun menjadi puto, menjadi Amma Lolo7, menjalani kehidupan orang-orang suci.”

Aku menjelaskan kewajiban yang bakal dialami Madah. Aku tidak peduli apakah pengetahuan ini sudah diketahui Sadrak atau belum. Sadrak memasang telinga. Aku justru bercerita tanpa disadari air mata tergenang di pelupuk mataku.

Hingga tibalah waktu yang semua orang tidak dapat menolaknya. Di suatu malam dingin, Ammatoa pergi selama-lamanya. Sebelum dia pergi, Madah sudah dipersiapkan Amma menggantikan posisinya sebagai kepala adat. Dua hari pasca Amma dikebumikan di tempat para Ammatoa sebelumnya, aku dan Sadrak pergi meninggalkan tanah adat menuju Makassar. Sementara Madah seperti yang direncanakan sebelumnya akan masuk hutan keramat menjalani ritual sebagai Amma Lolo. Tapi, sebelum ia masuk ke hutan keramat, subuh-subuh ketika aku melayangkan doa dan meninggalkan makam Amma, Madah mencegatku dengan berpesan: “Tiba masamu, pulanglah, jika engkau telah siap!”

Catatan:

  1. Panggilan sehari-hari orang Kajang kepada Ammatoa.
  2. Kain penutup kepala berwarna hitam yang dipakai lelaki dewasa Kajang.
  3. Kumpulan petuah dan pesan yang berisikan hikmat tentang alam semesta, cara hidup, tata cara bersikap yang dipakai sebagai pegangan hidup orang-orang Kajang.
  4. Zat tertinggi dalam keyakinan masyarakat Kajang; Tuhan.
  5. Cerdas, cemerlang akal
  6. Orang suci Kajang, orang yang tidak berbuat tercela.
  7. Gelar calon Ammatoa, orang yang mempersiapkan diri selama 3 tahun dengan ritual khusus sebelum menjadi Ammatoa.

sumber gambar: viva.co.id