Arsip Kategori: Resensi Buku

Jembatan Ingatan dari Laut Bercerita

Era Reformasi yang dipancang sejak 1998—ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto—kini mendekati usia 24 tahun. Bagi sebagian generasi tua dan sebagian lagi generasi milenial, peristiwa ini tentu masih diingat sebagai peristiwa huru-hara politik—krisis ekonomi, penjarahan, pemerkosaan, aksi demonstrasi, penculikan, dan sebagainya.

Lalu bagaimana dengan generasi muda yang lahir setelahnya atau lazim disebut Gen-Z? Apakah mereka mengetahui dan memahami peristiwa apa yang sebetulnya terjadi? Sejauh mana imajinasi dan kesadaran mereka terhadap sejarah politik negara dan bangsa mereka sendiri—dalam hal ini peristiwa 1998?

Atas pertimbangan itulah, kurang lebihnya, Leila S. Chudori, sastrawan perempuan Indonesia, menulis novelnya berjudul “Laut Bercerita”. Novel yang telah naik cetak 20 kali ini memberikan gambaran betapa tidak berperikemanusiaannya rezim militer Soeharto, namun sekaligus menjadi pengingat: tanpa ada gerakan pemuda dan para mahasiswa, mustahil perubahan penting bisa terjadi di Indonesia ini. Namun, mirisnya, beberapa pemuda dan mahasiswa tersebut mesti membayar mahal kepada penguasa zalim atas tekad mereka dengan cara dikejar, disiksa, diculik, dan dibunuh.

Nah, “Laut Bercerita” dapat menjadi jembatan ingatan yang akan mengajak kita merenungi kembali satu sisi peristiwa kemanusiaan yang pernah terjadi pada tahun 1998 itu: penculikan dan penghilangan paksa. Melalui sudut fokus inilah Leila S. Chudori mengajak kita menyelami kisah novelnya setebal 379 tersebut. Kasus tersebut masih belum tuntas hingga hari ini, dan keluarga penyintas masih setia setiap Kamis berdiri di depan istana kepresidenan, menuntut keadilan, yang kemudian disebut sebagai Aksi Kamisan.

Laut Bercerita. Ini Laut, nama pendek tokoh utama dari Laut Wibisono. Ia seorang aktivis mahasiswa. Di dalam novel ini, sebagian bab akan diisi oleh suaranya dari bawah laut, pasca suksesi penyiksaan, tentang perjalanan hidup yang telah ia alami. Si Laut bersama sahabatnya, Sunu, Alex, Kinan, Daniel, Gusti, Julius, Bram dan beberapa aktivis lainnya berjuang melawan kekejaman rezim. Mereka lantas menyewa sebuah rumah kontrakan di Seyegan, Yogyakarta. Di tempat inilah mereka rutin berdiskusi dan menyusun aksi secara diam-diam.

Secara teknik dan narasi novel ini menggunakan pola plot maju mundur. Kisah-kisah yang mengalir berjalin kelindan antara peliknya perjuangan sehari-hari dalam pertemanan, suka-duka menjalankan aksi baik di jalanan atau di akar rumput di desa-desa, sampai perihal jalinan asmara yang sungguh memilukan walaupun kadang liar.

Narasi “Laut Bercerita” terbilang ringan yang nyaris terkesan ‘ngepop’. Namun, menurut saya, justru metode ini jadi media efektif untuk menghantarkan sejarah kelam bangsa sendiri ke generasi muda. Sejauh ini saya lihat yang mengapresiasi novel ini sebagian besar adalah generasi 90an akhir atau 2000an awal.

Namun, ini bukan novel ideologis. Dia justru memfokuskan substansi novel pada aspek kemanusiaan para tokohnya—aktivis yang punya keluarga, punya kekasih, memiliki selera seni atau musik sendiri. Justru hal ini memberi efek kilau tersendiri yang membuat kita semakin kagum dengan perjuangan para tokohnya yang berumur 20-an dalam menyuarakan suara rakyat tertindas. Jadi mereka bukan dewa, tapi manusia biasa yang didorong oleh perasaan kemanusiaan yang dalam.

Kisahnya sederhana dan mudah diikuti—meskipun ada teknik maju mundur tadi. Namun, di tangan Leila S. Chudori, novel ini menjadi karya yang bakal meremas jantung dan perasaan kemanusiaan kita. Saya kira bakal sangat mudah memantik diskusi terkait peristiwa 1998 dengan generasi muda lewat novel ini. Anak muda tidak dijejali dengan teori politik, tapi diajak memahami politik melalui peristiwa kemanusiaan.

Kesan paling kuat yang saya tangkap seusai membaca novel ini adalah perbandingan peristiwa di dalam novel dengan realitas di luar novel. Saya tak bisa pungkiri, setuntas membaca “Laut Bercerita” ini mau tak mau saya menyandingkannya dengan kisah nyata beberapa anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang pernah diculik lalu dibebaskan atau hilang sampai saat ini. Contohnya, tokoh Sang Penyair mengingatkan saya pada sosok Wiji Thukul, yang kita tahu adalah korban penghilangan paksa yang belum kembali sampai saat ini. Masih banyak lagi. Tapi Leila sangat piawai menjadikan kisah mereka sebagai dunia fiksi tersendiri, yang membuatnya menjadi nilai universal.

Ini buku perlu dibaca agar kita senantiasa ingat pada peristiwa kemanusiaan yang sebagian besar kasusnya belum tuntas itu. Agar tidak lagi peristiwa serupa terjadi di masa mendatang. Sekaligus menyelami penderitaan samudera batin para keluarga penyintas yang anggota keluarganya masih sumir keberadaannya. Seperti kalimat salah satu tokohnya, Asmara Jati (245), “Dan yang paling berat bagi semua orangtua dan keluarga aktivis yang hilang adalah: insomnia dan ketidakpastian. Kedua orangtuaku tak pernah lagi tidur dan sukar makan karena selalu menanti “Mas Laut muncul di depan pintu dan akan lebih enak makan bersama”.

hari ini tepat #17TahunAksiKamisan . Saya juga baru tahu kalau ada aksi ini. benar-benar baru tahu setelah baca Laut Bercerita bulan Desember 2023 lalu. momennya sangat pas pula, genap berusia 17 tahun saat masa Pemilu 2024. siapa pun yg jadi presidennya nanti, semoga mampu menjawab.

“Kepada mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya”

Meragukan Iman Mempertanyakan Keyakinan

Tulisan dalam buku ini menanggapi situasi kita memasuki abad ke-21. Di alam sekularisasi, apakah kepercayaan pada Tuhan masih mempunyai masa depan? Apakah agama-agama dapat survive?

Bagian pertama menyangkut sekularisasi, peristiwa luar biasa yang mengubah pandangan dunia manusia secara radikal dan menempatkannya pada jalur modernitas. Suatu perubahan dari pandangan tentang realitas yang berkaitan erat dengan alam gaib ke realitas yang dilihat secara murni duniawi. Sekularisasi adalah gerakan yang mulai dari Eropa 600 tahun lalu, sekitar abad ke 15. Charles Taylor seorang filsuf kanada menyebut Eropa pada saat itu adalah an enchanted world : suatu dunia penuh makhluk halus. Hidup seseorang maupun seluruh masyarakat erat berkaitan dengan apa yang disebut “Alam dari seberang” oleh Franz Magniz. Seluruh irama hidup diresapi oleh agama. Menurut Taylor, hampir tak mungkin ada orang yang tidak percaya pada Tuhan, Ateisme tak masuk akal.

Setelah 600 tahun kemudian, di abad ke-21 kita ini, situasi total berubah. Sebagian besar kehidupan manusia tidak lagi berkaitan dengan keagamaan maupun roh-roh, semuanya seakan menghilang. Manusia menjalani kehidupan secara ekslusif, berdasarkan rasionalitas internalnya, tak ada kaitannya dengan suatu kepercayaan tertentu atau agama maupun roh penjaga. Sehingga agama menjadi sebuah opsi, orang bisa memilih beragama dan dihormati sebagai urusannya sendiri. Tetapi itu opsi seperti opsi tidak makan daging.

Pada abad ke-15 dan ke-16 terjadi dua peristiwa yang merupakan langkah-langkah proses sekularisasi. Yaitu Renaissance, masa “kelahiran kembali”. Dimana kebebasan berpikir dan rasionaltas manusia menjadi keutamaan dan mencapai puncaknya pada saat itu. Auguste Comte kemudian merumuskan “hukum tiga tahap” yang menyatakan bahwa manusia menjadi dewasa secara intelektual dengan menggantikan agama dan takhayul dengan ilmu pengetahuan. “hipotesis Tuhan” tidak dibutuhkan untuk menjelaskan apa yang terjadi didunia. Yang kedua adalah Reformasi protestan sebagai bentuk penolakan terhadap Renaissance. Reformasi menegaskan bahwa keselamatan seseorang bergantung pada iamnnya bukan ikut serta dalam tradisi-tradisi keagamaan. Hegel melihat bahwa dalam protestantisme terjadi kelahiran kesadaran manusia bahwa ia adalah subjek. Yang menyelamatkan adalah sikap pribadi setiap orang, jadi apa ia beriman atau tidak.

Menurut Charles Taylor, ada tiga unsur yang menandai masyarakat tersekularisasi. Yang pertama disebut secularized public space. Artinya, ruang publik yang sekuler, jadi segala dimensi kehidupan manusia ditata dan dijalankan tanpa acuan pada suatu agama namun menurut logika masing-masing. Inilah yang kita maksud “perpisahan antara agama dan politik”. Negara kita indonesia merupakan negara nasional, bukan negara agama yaitu tidak membedakan antara warga negara menurut agama mereka. Sehingga unsur-unsur sekularisasi semakin terasa juga di indonesia. Unsur kedua yaitu menurunnya praktik keagamaan di negara-negara tersekularisasi. Salah satu contohnya adalah diperkirakan bahwa di jerman, mereka yang masih katolik, hanya 9% pada hari minggu ke gereja, dan dari yang protestan malah hanya 2%. Tentu kita bisa melihat bagaimana praktik keagamaan pada agama lain, apakah mengalami penurunan ataukah sebaliknya. Unsur ketiga adalah suatu pandangan yang khas pada masyarakat eropa yaitu, agama sebagai opsi atau pilihan pribadi sedangkan dimensi kemanusiaan dihayati sesuai dengan rasionalitas internalnya, tanpa acuan sama sekali ke “alam seberang”.

Iman Dalam Tantangan Apa Kita Masih Dapat Percaya pada “Yang di Seberan”?

Dalam proses perkembangan masyarakat tersekularisasi, filafat juga memainkan peran yang cukup besar dan radikal. Filsafat muncul sebagai ajaran kebijaksanaan, seorang filsuf mengajarkan manusia bagaimana hidup secara bijaksana. Namun sudah hampir 4.000 tahun yang lalu melalu kejadian seorang penggembala ternak di daerah palestina yang bernama Abraham, dalam islam disebut Ibrahim. Merasa dipanggil Tuhan, sehingga, baik anak maupun pengikutnya mendapat pengetahuan bahwa kebijaksanaan bukan dari pemikiran manusia melaninkan wahyu Tuhan. Sehingga filsafat terpaksa menyingkir dan memainkan peran baru yaitu sebagai ilmu kritis. Salah satu yang dikritisi adalah tentang ketuhuhanan. Tuhan dianggap sebagai causa prima segala yang ada. Segala sesuatu ada kerana dipertahankan oleh Tuhan.

Akan tetapi dengan revolusi ilmu-ilmu alam, suatu perumusan hukum alam dilakukan oleh isac Newton. Tuhan dianggap sebagai watchmaker yang baik, setelah jam dibuat, si pembuat tidak dibutuhkan lagi. Pandangan ini disebut deisme. Implikasinya adalah, wahyu,mukjizat,do’a menjadi kehialngan eksistensinya. Kitab suci dianggap sebagai tulisan manusia bijaksana.

Tidak lama kemudian, ada filsuf yang menarik kesimpulan lebih radikal, yaitu jika Tuhan tidak dibutuhkan untuk menjelaskan apa yang terjadi di alam raya, maka Tuhan juga tidak dibutuhkan untuk menjelaskan permulaan alam ini. Di abad ke-18 inilah ateisme memasuki filsafat.

Kemudian di abad ke-19 gereja-gereja mengalami revatilitas dan ledakan semangat. Charles Taylor menyebutnya efect nova, yaitu seperti ledakan bintang penuh terang di alam raya. Tujuannya adalah “mewartakan kerajaan Allah”. Mereka membentuk beberapa kongregasi biarawan dan biarawati baru. Namun di sisi lain terdapat ancaman bagi kaum gerejawan, protestan terancam oleh kedangkalan liberalisme dan “demitologisasi” Rudolf Bultmann. Tokoh-tokoh spiritual protestan seperti Karl Barth dan Dietrich Bonnhoeffer dieksekusi mati oleh kaum nazi. Kemudian pengeksekusian 10.000 pastor, suster, dan rohaniawan pada revolusi prancis yang menimbulkan trauma mendalam bagi gereja katolik.

Pada Konsili Vatikan I, gereja katolik memperkuat kedudukan paus dan sentralisasinya dan mengharuskan para imam mengucapkan suatu sumpah antimodernisme dan mulai menyadari apa yang disebut “masalah sosial”. Sehigga hubungan antara katolik dan protestan menjadi positif, kemudian dimateraikan dalam Konsili Vatikan II. Pada saat yang sama, di Amerika Latin muncul teori pembebasan yang meresapkan option for the poor ke dalam seluruh gereja dan lebih jauh lagi.

Arus sekularisasi menimbulkan beberapa pertanyaan : Dapatkah agama-agama survive ? Apakah agama-agama dapat mencegah yang dialami oleh Eropa Barat, bahwa orang secara massal meninggalkan agama? Bagaimana agar “opsi agama” tetap aktraktif ?. Jawabannya adalah agama dapat survive apabila membuktikan diri sebagai sesuatu yang positif, menyelamatkan dan menyembuhkan. Agama harus benar-benar berpihak pada kebenaran, kebaikan. Dialog keagamaan diperlukan, di mana dalam dialog memiliki pola saling terbuka dan semakin saling memahami bukan kalah menang sehingga kita dapat mengerti mengapa yang diyakini oleh selain kita begitu berharga baginya. Hans Kűng memiliki seruan termasyhur yaitu “No peace among the nations without peace among the religions. No peace among the religions without dialogue between the religions”.

Judul Buku
IMAN DALAM TANTANGAN (Apa kita masih dapat percaya pada “yang di seberang”?)
Penulis
FRANZ MAGNIZ-SUSENO
Penerbit
PT Kompas Media Nusantara
Jumlah halaman
216 + xvi (232 hlm)
Ukuran buku
14 cm × 21 cm

ISBN
978-623-160-034-9

Utopianisme Sulhan dalam Gemuruh Literasi

Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang digiatkan tanpa lelah oleh Sulhan, demi utopia yang selama ini terbenam dalam pikirannya: mewujudkan masyarakat literasi Bantaeng.

Sejujurnya, saya belum pernah mengenal sosok yang begitu bersemangat mewujudkan sebuah utopia selain Sulhan. Sebelum buku Gemuruh Literasi  lahir, sejak dulu Kak Sul—begitulah kami sebagai murid memanggilnya—berulang kali menyatakan hendak mewujudkan masyarakat literasi Bantaeng. Utopia ini tak pernah surut dalam imajinasi tuanya.

Hingga suatu ketika saya merenungi rencana itu: Apa mungkin masyarakat literasi Bantaeng dapat terwujud? Bisakah di desa-desa dan rumah warga memiliki perpustakaan? Bagaimana cara mengajak aparatur sipil negara dan anggota dewan yang terhormat agar rajin membaca buku? Apakah tidak begitu sulit membuat seluruh masyarakat Bantaeng memiliki tradisi baca, menulis, dan diskusi saat tradisi literasi di Indonesia semakin terpuruk? Aku merasa cita-cita Sulhan terlalu fiktif, khayali, dan nyaris mustahil.

 Itulah sebabnya utopia kerap dipandang sebagai lelucon oleh masyarakat modern yang selalu melihat realitas dalam kalkulasi matematis: pasti dan terukur. Aku sempat di fase ini. Saat mendengar Sulhan berceloteh mengenai masyarakat literasi Bantaeng, aku membayangkan Sulhan seperti Platon yang berdogeng tentang Atlantis, negara dengan tanah subur, memiliki emas melimpah, memiliki kekuatan militer yang hebat, dan panorama alam yang eksotis. Hanya indah dalam imajinasi.

Jelas, waktu itu saya keliru menginterpretasikan utopianisme Sulhan. Seharusnya saya, dan para penganut distopia lainya tidak boleh lupa,  jika perubahan kadang kala memerlukan reformasi visioner yang idealis, memerlukan cita-cita utopis. Indonesia sebagai sebuah bangsa bahkan lahir dari politik utopia para pemuda.  

Pada 28 Oktober 1928. Saat mental inlander terus dibentuk oleh Belanda, saat masyarakat semakin pasrah di tengah kekuatan militer kolonial yang nyaris tak terkalahkan, para pemuda membangun kolektivitas gerakan demi cita-cita bersama:  mewujudkan nation state bernama Indonesia. Mereka telah membentuk utopia kebangsaan yang disebut Benedict Anderson sebagai komunitas terbayang (imagined Communities).

Itu artinya, sebelum Indonesia merdeka, bangsa ini pertama kali diperjuangkan dalam bentuk politik utopia. Dengan kepercayaan jika di masa depan Indonesia dapat lepas dari penjajahan dan kehidupan masyarakat akan lebih baik dibanding hari ini. Sebagai utopia, term  “Bangsa Indonesia” adalah konstruksi imajiner yang terlalu idealis dalam sebuah negeri jajahan. Belanda tentu saja tak akan membiarkan berdirinya negara berdaulat yang masyarakatnya hidup kolektif dalam ikatan cita-cita bersama. Tapi pada akhirnya, tatanan masyarakat ideal tersebut berhasil terwujud: Indonesia merdeka, meski harus melalui pengorbanan yang tak ternilai.

Yang utopis belum tentu sebuah kemustahilan. Begitulah kira-kira insight yang kita dapatkan dalam perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan. Utopia memang selalu menampilkan dirinya sebagai visi ideal yang terlalu sempurna untuk dunia yang daif. Di Yunani, kita mengenal utopia Platon mengenai negara Atlantis. Sir Thomas More, pencetus pertama istilah “utopia” pernah mencita-citakan negara kota dimana institusi dan kebijakannya diatur oleh akal. Marx dan pengikutnya memperjuangkan masyarakat tanpa kelas. Semua itu adalah proyeksi imajiner yang terlalu sulit diwujudkan oleh manusia. Tapi, tak ada kata mustahil selama utopia diperjuangkan bersama.

Seperti Bangsa Indonesia yang terlalu sulit diwujudkan saat ia masih menjadi kepentingan partikular kaum muda semata. Namun, saat komunitas terbayang itu mulai diterima oleh seluruh masyarakat sebagai tujuan politik bersama, Bangsa Indonesia akhirnya dapat diwujudkan. Saya pikir, utopianisme Sulhan yang hendak mewujudkan masyarakat literasi Bantaeng bukanlah idealisme yang mustahil. Sepanjang Sulhan mampu mengubah kepentingan partikularnya  menjadi kepentingan bersama masyarakat Bantaeng, saya pikir utopia tersebut dapat menjadi nyata.

Tepat di titik itulah Sulhan memulai perjalanan panjangnya ke masa depan, yang dia kisahkan dengan apik, humoris, dan dramatis dalam Gemuruh Literasi. Utopianisme Sulhan memulai gerak awalnya dari komunitas literasi yang ia dirikan di Bantaeng: Boetta Ilmoe. Berdirinya komunitas tersebut menjadi akar bagi tumbuhnya komunitas literasi yang lain. Boetta Ilmoe kata Sulhan dalam Gemuruh Literasi, “telah terduplikasi dan diduplikasi, menginspirasi dan mengadaptasi, sehingga banyak lahir komunitas-komunitas literasi.”

Berbagai komunitas literasi yang telah lahir kemudian saling bergiat membangun gerakan literasi meski dalam bentuk dan artikulasi yang berbeda. Tapi setidaknya di titik ini, masyarakat literasi Bantaeng mulai menjadi cita-cita bersama. Sulhan percaya masyarakat literasi Bantaeng kelak akan lahir tepat di jantung gerakan kultural para komunitas, menyublim di sela tradisi literasi yang tumbuh dari generasi ke generasi.

Kita tak tahu pasti kapan masyarakat literasi Bantaeng benar-benar terwujud secara paripurna. Mewujudkan utopia memang tak semudah membuat pesawat kertas. Butuh perjuangan keras. Perlu ditopang oleh kerja kolektif dan berkelanjutan, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tapi setidaknya, api perubahan di bantaeng telah menyala. Baranya dijaga dengan baik oleh Sulhan dan para aktivis literasi yang tumbuh pesat di sana.

Jika membaca Gemuruh Literasi, Anda akan menyaksikan bagaimana perjuangan Sulhan bergerak dari orang ke orang, desa ke desa, komunitas ke komunitas, agar api literasi tetap menyala di ButtaToa. Pelan demi pelan Sulhan, dengan dukungan aktivis literasi lainnya, membangun literasi desa, memperbaiki sumber daya manusia dengan mengaktifkan budaya literasi masyarakat Bantaeng. Karya buku pun telah lahir dari sumber daya manusia yang mulai memperbaiki diri. Hal yang dulunya saya anggap hanya indah dalam imajinasi kini mulai menyata.

Orang-orang akan menyebut gerakan literasi Sulhan selama bertahun-tahun demi sebuah utopia adalah suatu “kegilaan”. Namun bagi saya, justru Sulhan lah orang yang paling waras saat ini. Sebab apa yang ia kerjakan adalah untuk masa depan manusia dan peradaban. Hanya orang-orang waras yang masih setia memikirkan manusia dan kemanusiaan,  adab dan peradaban, di tengah deru zaman yang memaksa kita menjadi gila.

Tetra Sari Diri(?)

Tak sedikit kisanak dan nyisanak menohokkan tanya, kala saya mengada di persamuhan literasi, bagaimana proses kreatif menulis buku? Biasanya, saya ajukan respon, empat buku saya tidak pernah direncanakan mewujud buku. Pasalnya, sekotah buku lahir, karena akumulasi dari kumpulan tulisan. Berkat rajin menabung tulisan di celengan minda. Segenap minda, saya ikat lewat tulisan, lalu saya tabung dalam berbagai genre tulisan: fiksi (sastra) dan nonfiksi (opini).

Tulisan bergenre fiksi saya tuangkan berupa puisi dan epigram. Sedangkan opini saya ruangkan berbentuk esai. AirMataDarah (sehimpunan puisi), Tutur Jiwa dan Maksim Daeng Litere (keduanya epigram), sedangkan Pesona Sari Diri (sekumpulan esai). Uniknya, keempat buku tersebut, tiada pengantar dari saya selaku penulis. Cuman, pendakuan rasa terima kasih saja kepada semua pelibat lahirnya buku.

Kiwari, saya sering menyempatkan diri mengeja kembali keempatnya. Mencari benang putih pengikat minda secara keseluruhan. Subjektivitas saya merasai kesinambungan minda, kemudian terobjektivikasi dalam bentangan puisi, epigram, dan opini. Objektivikasi bisa nyata beragam, tapi subjektivikasi mampu tampak seragam: sari diri.

Berlapikan asumsi demikian, saya coba balik pembacaan. Saya mengeja seluruh prolog maupun epilog buku, didedahkan oleh sahabat maupun guru saya, guna menyerap subketivikasinya terhadap objektivikasi tuangan dan ruangan minda saya. Dan, subjektivikasi mereka lewat bentangan prolog-epilog, saya objektivikasi kembali. Reken-reken sejenis resensi terbatas atas prolog-epilog keempat buku. Jadi, bukan semacam resensi atas buku sendiri. Melainkan, sekadar mencari keterkaitan dari penulis prolog-epilog, kemungkinan adanya benang merah: sari diri.

AirMataDarah, terbit 2015, penerbit Liblitera bekerjasama Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng.  Ada dua sosok pemberi pengantar. Alto Makmuralto, selaku penyunting sekaligus bertindak representasi penerbit. Dul Abdurrahman, selakon sastrawan dan kritikus sastra. Subjektivikasi keduanya, akan saya nukilkan secara bebas.

Dul Abdurrahman mengemukakan argumen, pada umumnya, jenis sajak terbagi atas sajak pastoral dan sajak prelude. Sajak pastoral lebih condong menggunakan gaya bahasa denotatif. Sajak pastoral melukiskan sesuatu apa adanya. Jenis sajak ini menghindari simbol-simbol atau metafora. Sajak pastoral lebih gampang dinikmati, dan juga gampang dipahami.

Sajak prelude tidak lagi melukiskan apa adanya, tapi sudah menggunakan simbol-simbol tertentu serta ragam gaya bahasa lainnya seperti personifikasi dan metafora. Jenis sajak ini menggunakan bahasa konotasi, sehingga untuk memahaminya butuh interpretasi. Sajak-sajak lirik-sufistik sebagai bentuknya.

Lalu bagaimana dengan puisi-puisi dalam AirMataDarah? Dul menegaskan, sebagaimana halnya dengan penyair-penyair kontemporer lainnya, Sulhan Yusuf terlihat memadukan keduanya. Ataukah boleh jadi, Sulhan Yusuf masih mencari model tanda tangan yang pas baginya, kelak akan menjadi ciri khasnya sendiri.

Dul mengibaratkan AirMataDarah seperti Rumah Kebahagiaan dan Keabadian. Di dalamnya terdapat perabot-perabot pengabdian, keikhlasan, keselarasan. Ada juga asesoris kebijaksanaan. Rumah Kebahagiaan yang ditawarkan, serupa Rumah Keabadian, ditumbuhi jejeran pohon-pohon rindang yang menciptakan kesejukan. Bukan dijejali oleh rombongan binatang yang penuh kegaduhan. Semakin tua sebuah pohon, maka akarnya semakin dalam mencengkram bumi. Bahkan, semakin kuatlah ia dalam kehidupan. Sebaliknya, hewan begitu bermusuhan dengan waktu. Semakin bertambahnya waktu, maka semakin tua dan lemahlah dia, dan juga semakin dekatlah kematian. Bagi hewan, waktu ibarat jarum-jarum kematian yang setiap saat bisa menusuk.

Alto pun ikut bertutur, pada puisi-puisi Sulhan akan kita jumpai kata-kata seperti: azali, pejalan, maqam, keabadian, ruhani, jiwa, dan semacamnya. Bukankah kata-kata semacam itu sangat identik dengan dunia para pesuluk? Ya, benar. Dan karena itu patut diduga jikalau Sulhan sesungguhnya adalah seorang pesuluk. Hanya saja ia berpura-pura menjadi pedagang buku, pecandu kopi pahit, penggila Koes Plus dan Arsenal, serta pegiat facebook yang unyu-unyu. Begitulah memang kiranya penganut suluk Malamatiyah.

Tutur Jiwa, terbit 2017, penerbit Liblitera bekerjasama Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng.  Alwy Rachman, lebih akrab saya sapa Kak Alwy, seorang budayawan, mengistilahkan pengantarnya sebagai pracitra. Berlapis-lapis kisah terdedahkan, hingga saya bisa mendapatkan subjektivikasinya. Bila saya ekstrak durasi waktu menanti, sekira lebih setahun. Setiap saya sua, beliau selalu bilang sementara dibaca. Dan, saya tiada lelah menanti pracitra itu.

Sekali waktu, saya bertandang ke ruang kerjanya di Lephas Unhas. Tiba-tiba beliau menyampaikan bahwa sudah selesai. Jujur, saya seperti mau terbang, untung saja ada langit-langit ruangan menjadi perintang. Pendakuannya, ketika menuliskan pracitra, Kak Alwy hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam. Namun, merahiminya di pikiran butuh waktu lama.

Kak Alwy kemudian menabalkan kepada saya, ia menemukan istilah untuk jenis tulisan-tulisan dalam Tutur Jiwa, “Literasi Paragraf Tunggal”. Baginya, belum pernah menemukan jenis tulisan semacam itu. Jadi, beliau mendaku, ia menemukan istilah sedangkan saya membikin bentuknya. Kami tidak pernah mengumumkan sebagai genre baru dalam penulisan sastra. Cuman, menurut Kak Alwy: unik.

Ah, lebih elok bila saya ajukan saja penggalan pracitra Kak Alwy. Di rentang panjang peradaban, sejak dulu hingga kini, “kisah” selalu didudukkan di kedalaman wajahnya yang jamak: sebagai  mata air, sebagai nyala api inspirasi, sebagai refleksi, dan sebagai percakapan yang melingkar. Di percakapan yang melingkar itu pula, manusia menggerakkan kedirian dan eksistensinya. Di satu momen, manusia berada di ketinggian, dan di momen lain ia menemukan dirinya di kerendahan.

Di momen gerak ke ketinggian dan ke kerendahan inilah sekumpulan literasi “Tutur Jiwa”, ditulis oleh Sulhan Yusuf, sejatinya dicerap. Di kerendahan, Sulhan Yusuf membincang manusia melalui satir yang santun, bukan sarkasme yang kasar. Satir santun dialamatkan kepada politikus, kepada demokrasi, dan kepada kekuasaan. Di ketinggian, Sulhan Yusuf berkisah tentang cinta, tentang persahabatan, dan tentang kedirian, tentang hak, dan tentang jiwa.

“Tutur Jiwa” adalah literasi “paragraf tunggal”. Uniknya, Sulhan Yusuf di sini menjalankan perilaku tulis “paragraf tunggal” untuk menciptakan “rongga yang luas” untuk menyimpan kisah. Apa pun tajuknya, apa pun ruang hidupnya, siapa pun aktornya, kisah yang dibangun Sulhan Yusuf berujung pada “jiwa”. Lebih unik lagi, Sulhan membangun kisah lewat “genre percakapan”, suatu genre yang sejauh ini dipercaya oleh sastrawan untuk menggerakkan jiwa pembaca.

“Tutur Jiwa” berdiri di atas “keselamatan jiwa”, sebagai representasi dari takjub manusia atas pesona “jiwa”. Berisi diskripsi atas manusia yang bergerak di ketinggian dan kerendahan untuk paham perjalanan lelah manusia mencari “The Soul of soul” (Jiwa dari segala jiwa).

Pesona Sari Diri, terbit 2019, penerbit Liblitera bekerjasama Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Dua sosok pengapit, Bahrul Amsal menyodorkan prolog dan Muhajir MA mendedahkan epilog. Keduanya aktivis di Paradigma Institute, pengelola kelas menulis, sekaligus jejeran redaktur Kalaliterasi.com.  

Bahrul menorehkan ungkapan, Pesona Sari Diri, saya kira adalah pembuktian. Bukan kepada siapa-siapa, melainkan kepada penulis sendiri. Ini mungkin cenderung personal. Tapi, apa yang lepas dari personalitas? Tanpa personalitas yang kukuh –suatu titik subjektivitas— semuanya bakal mudah menguap. Saya kira beragam tulisan di buku ini adalah energi luar biasa, dilambari dari kekuatan diri yang dahsyat.

Itulah sebabnya, esai-esai dari buku ini tiada arti tanpa kemendasaran “diri”. “Diri” di sini tentu tidak semata-mata entitas biologi belaka. Bukan pula sekadar hubungan fisiologis yang menghasilkan gerak mekanik laiknya mesin. Namun, jauh dari tilikan materialistik, “diri” adalah suatu asal tempat berpijak “kesadaran”. Titik alamat yang menimbulkan keinsafan insani (cukup diri).

Maka, ketika keinsafan ini menjadi aktual, beragam fenomena tidak lagi menjadi data-data indrawi yang berhamburan di selaksa ruang waktu, melainkan berubah, bertransformasi, bergerak, berpindah, dan berkembang dalam kemendasaran diri penulis. Melihat, mengamati, merefleksi, dan menuangkannya ke dalam tulisan adalah buah dari semua itu.

Muhajir, memungkasi Pesona Sari Diri dengan epilog. Saya nukilkan saja sari patinya. Sebagai orang modern, kita terlalu sibuk menapaki keseharian. Jadwal-jadwal padat mengintai hidup kita. Pekerjaan remeh-temeh memenuhi rutinitas kita. Namun, justru karena itu kita gagal menyelami kedalaman. Setidaknya, ada dua bentuk kedalaman yang gagal disentuh manusia karena diterungku oleh keseharian: pertama, momen pengalaman eksistensial yang bersifat pra-preflektif. Kedua, momen permenungan yang bersifat reflektif.

Jika yang pertama menjauhkan manusia dari Ada-nya, maka yang kedua menjauhkan manusia dari pesan-pesan moral, hikmah, falsafah. Itu karena kesibukan praktis membuat kita jauh dari kontemplasi. Sehingga akal budi kita tidak jernih memandang jutaan hikmah pada hal-hal yang tampak.

Sulhan memang adalah aktivis literasi yang tulen. Pemahaman terhadap arti penting literasi, karena literasi membahagiakan jiwa. Satu pesan yang sangat dalam, lahir justru dari penjara keseharian. Sejatinya, Sulhan menghadapi keseharian yang dangkal dan remeh-temeh bukan sebagai rutinitas biasa saja. Namun, sebagai jalan menyelami kedalaman, menyingkap pesan-pesan kehidupan. Keseriusan Sulhan memahami keseharian, barangkali bisa diartikan sebagai sebuah ajakan untuk sesekali berkelana di alam permenungan.

Kehadiran Pesona Sari Diri akhirnya jadi penegasan, betapa keringnya pengetahuan kita, saat menyadari ada banyak hal yang tidak kita ketahui, justru tertuang dalam kumpulan esai ini. Barangkali, kita terlalu sibuk berputar-putar di permukaan, hingga tak kunjung sampai di kedalaman.

Maksim Daeng Litere, terbit 2021, penerbit Liblitera bekerjasama Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Muhammad Nur Jabir, Direktur Rumi Institute Jakarta, membentangkan prolog, memahkotai dengan sederet penjelas penuh makna.

Tarian pena dari Muhammad Nur, penuh pesona. Saya ajak saja untuk mengikuti penggalan-penggalan tuturnya. Ada saat kata-kata mekar di dalam hati sanubari seseorang. Kata-kata itu tak hanya menemukan kehidupan, tetapi juga menemukan maknanya yang paling batin, seolah berada di taman surgawi, memetik buah makna keindahannya yang paling indah. Saat kata tak lagi menemukan makna, kata itu sudah menemukan ajalnya. Walau tak mati, tetapi tak bertuan dan tak bersinggasana. Kata-kata itu hanya keluar dan masuk tanpa arah di setiap lidah seseorang.

Makna ibarat jiwa bagi kata-kata dan kata-kata seperti tubuh. Jiwa yang indah akan melahirkan kata-kata indah. Semakin indah dan lembut jiwa seseorang, semakin indah kata-kata yang akan keluar dari lisannya dan akan semakin dalam maknanya. Harmoni keindahan antara jiwa, kata, dan makna semakin menjelma. Menembus setiap hati para pendengarnya.

Segala keharmonian itu berasal dari keluasan jiwa. Dan keluasan jiwa berakar dari sebuah pengalaman atas sesuatu, entah pengalaman tentang kehidupan atau pengalaman tentang pencarian makna. Tetapi tentu tak semua pengalaman itu berhasil menemukan kata dan seuntai kalimat. Kekayaan pengetahuan seseorang juga memberi pengaruh penting dalam merangkai suatu pengalaman menjadi kata-kata.

Pada akhirnya, Maksim Daeng Litere mengajak kita semua untuk berdialektika dengan kata dan makna. Dialektika ini tentu terjadi di dalam jiwa yang tenang, agar mampu menghidupkan jiwa-jiwa yang lain. Dunia sekarang ini butuh pemaknaan yang menghidupkan, bukan sekadar kata yang tak punya jiwa dan hampa. Walau terlihat indah tetapi tak memberikan apa pun kecuali kehampaan.

Daeng Litere adalah pejuang makna. Sudah menyerahkan seluruh makna hidupnya dalam membangun literasi. Para pejuang makna adalah para pejuang peradaban. Tak akan ada imbalan yang setimpal dengan apa pun bagi para pejuang peradaban. Dan satu-satunya yang dibutuhkan dalam membaca Maksim Daeng Litere adalah permenungan.

Sekotah penulis prolog dan epilog, telah membabarkan subjektivikasinya terhadap objektivikasi di empat buku saya. Simpai simpulan gegabah dari saya, ada benang merah dari para pembabar tentang keberagaman ungkapan, meski tiba pada maksud: soul (jiwa) atau kedirian. Pun, saya temalikan dengan benang putih: sari diri.

Menggugat Kemewahan di Paris dan London

Bagaimana menjadi miskin dan hidup seperti gelandangan? Lupakan apapun semua tentang definisi miskin. Kemiskinan stuktural atau kultural, pada akhirnya hanya konsep, setidaknya bagi George Orwell, yang hidup di pertengahan abad XX. Hidup bersama mereka yang tidak punya makanan, dan tak punya tempat rebahan. Orwell paham lebih dalam bentuk-bentuk kemiskinan. Juga para gelandangan, dengan segala stereotype yang melekat kepada, termasuk pemabuk, para homeless, dan para plongeur, mereka adalah orang-orang yang tidak diakui negara, tersingkir dari ruang publik, di London dan Paris. 

Orwell sangat detail menulis bagaimana orang-orang miskin dari berbagai profesi -atau lebih tepat dari berbagai jenis, hidup di Paris dan London. Beberapa hal yang seperti tak terpisahkan pada sosok miskin: bau busuk, wajah kusut, jarang mandi dan tidak punya pakaian ganti. Rougier dan pasangannya, tetangga kamarnya, menurut Madame F, pemilik salah satu bistro (kost) di Paris, bahkan tidak berganti baju selama empat tahun. Pasangan itu menjalani pekerjaan sebagai penjual kartu pos, -kartu pos porno.   

Dalam “Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London” (TTPL), Orwell mengisahkan dirinya yang bekerja sebagai plongeur, pencuci piring restoran. Plongeur mungkin secara ekonomi berada di lapisan paling bawah di antara orang-orang miskin di Paris, tapi plongeur adalah kurungan bagi tubuh, dan sama sekali tak punya kesempatan untuk berpikir.

Entah bagaimana caranya, George Orwell bisa begitu kuat menahan diri untuk tidak menghadirkan plot thriller. Padahal, untuk kepentingan pembaca, ia punya segala hal untuk mengeksploitasi ceritanya menjadi lebih dramatik. Tokoh yang dihadirkannya tercipta seperti apa adanya. Mungkinkah karena ia benar-benar mengalaminya, -tersungkur dan terhina di Paris dan London? -seperti yang juga pernah dialami oleh Om Pramoedya Ananta Toer, selama 14 tahun penjara di Pulau Buru, dan berhasil menyelesaikan tetralogy Buru dan beberapa karya lainnya.

Orwell menghadirkan pertanyaan mengenai definisi kemewahan, atau apapun yang orang-orang sering menyebutnya sebagai mewah. Mewah oleh dan bagi siapa? Itu perlu dibahas, kata Orwell, sebagaimana kemiskinan, yang seringkali definisinya disusun dari peneliti atau dari lembaga statistik.

Mempertanyakan kembali definisi mewah mungkin sama urgensinya dengan memeriksa kembali apa yang telah terlanjur diberi kategori remeh-temeh. Yang remeh, seperti makanan sisa, roti yang telah mengering, mantel butut, sepatu yang bagian depannya berlubang, tapi bagi gelandangan, itu semua adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.

Perlu untuk mempertanyakan kembali apa itu kemewahan. Karena definisi mewah itulah yang akhirnya menghadirkan pekerjaan plongeur di Paris atau penarik andong di negeri Timur, yang dianggap Orwell sebagai negeri tempat orang-orang yang malas menggunakan kakinya untuk berjalan.

Plongeur ada ribuan di Paris. Mereka bekerja setidaknya 15-17 jam per hari. Nyaris tanpa jam istirahat. Saat mereka tidur adalah saat-saat di mana mereka benar-benar berada di ujung lelah. Mereka bisa benar-benar mengerti arti penting dari makanan, karena hampir selalu makan pada saat lapar. Jadi, membayangkan jam istirahat saat makan pun adalah sebuah kesimpulan yang terburu-buru. Karena waktu untuk makan hampir setara dengan waktu yang dihabiskan untuk mengisap sebatang rokok. Plongeur hanya bisa menemukan jam-jam istirahat jika tiba saat mereka dipecat..!

Plongeur, dalam pembagian tugas, berperan mencuci piring restoran dan hotel, itu terdengar biasa saja. Tapi pekerjaan itu, dengan segala konsekuensi yang melekat pada posisinya yang amat vital dalam pelayanan, adalah budak era modern. Mereka tidak hanya harus melakukan banyak hal di waktu yang sama dan cepat, mereka pun harus mendengar makian dan berbagai jenis umpatan dari rekan kerja atau pelayan atau dari para koki yang terkadang lebih memilih tak berteman, ketika saat-saat memo pesananan makanan datang menumpuk.

Lalu apa hubungannya plongeur dengan definisi kemewahan? Sepintas, kita bisa menyebutnya sebagai jenis pekerjaan, yang memang harus ada, karena ada orang yang punya banyak uang dan harus terlihat sibuk dan harus menyantap makanan mahal, dan tentu tidak punya waktu untuk mencuci piring bekas makannya. Memang, mereka yang makan di warung pinggir jalan pun tidak perlu mencuci piringnya. Harga makanannya sudah termasuk penggunaan piring, sendok, dan air minum yang disediakan oleh warung.

Argumen Orwell sejalan dengan pemikiran Marx yang melihat adanya nilai lebih dari faktor produksi. Baginya, kemewahan telah menggeser makna sebenarnya dari makan karena lapar, menjadi makan demi gengsi, demi kelas sosial, demi agar terlihat kaya, demi punya kuasa, atau demi hanya terlihat lebih, seolah-olah.

Lalu, apa yang sebenarnya orang-orang harapkan dari sebuah kemewahan? Mengapa ada orang yang karena hidupnya yang mewah, justru menghadirkan neraka bagi yang lainnya? Bandingkan dengan Paddy -tokoh gelandangan di London, yang karena strategi bertahan hidup, ia mengirit uang dengan cara ekstrim. Ia menganggap makan sekali sehari adalah sebuah kemewahan. Dan jenis kemewahan Paddy itu adalah hanya roti dibalur margarin dan teh dalam gelas besar.

Paddy tak menyesal, tak merasa malu, tak takut, dengan hidup yang dijalaninya. Ia tak kasihan pada dirinya sendiri. Ia menerima nasibnya, dan bahkan menciptakan filosofi untuk hidupnya: bahwa ia menjadi pengemis, katanya, bukan salahnya, dan ia tak mau menyesal atau marah karena itu (hal.240). Ia siap dengan segala konsekuensi hidupnya karena menyadari ia adalah musuh masyarakat. Dengan pemikiran seperti itu, ia malah menganggap berterima kasih adalah sebuah Tindakan tidak perlu, bahkan hina.

… Ia mau diberi amal, asal ia tak diharapkan berterima kasih untuk itu. Namun, ia tak suka amal yang bersifat religius, karena ia tak mau menyanyikan nyanyian pujian untuk sepotong roti. Ia punya beberapa prinsip lagi, misalnya, ia sering menyombong bahwa tak pernah sekalipun dalam hidupnya mengambil puntung rokok bekas, meski kelaparan. Ia menganggap dirinya berada di kelas yang lebih tinggi daripada pengemis biasa, yang, katanya, hina dan masih tahu berterima kasih. (Hal.240-1)

Ambiguitas dihadirkan Orwell ketika ia mengisahkan seorang pemabuk yang begitu keranjingan dengan ideologi komunis, dan anehnya ia menjadi begitu rasis saat dilanda mabuk setelah menenggak lebih sebotol brandy. Mungkin tidak banyak orang di dunia ini, mereka yang bisa menertawai penderitaan, dan bahkan bisa menjadi lebih rasional ketika sedang terpuruk, sesuatu yang seringkali kita dengar dari pemikiran kaum Stoa, yang mampu melihat realitas dari kejauhan, -lebih obyektif melihat derita.  

Tapi, berapa banyak orang yang bisa melihat kehidupan menggunakan kacamata kaum Stoa? Orwell menulis:

“Orang-orang berpendidikan, sebaliknya, mampu hidup dengan ketiadaan kegiatan, yang merupakan salah satu akibat utama kemiskinan. Namun, seorang seperti Paddy, yang tak punya cara untuk mengisi waktu, sama menderitanya dengan anjing yang dikerangkeng. Itulah mengapa omong kosong kalau dibilang bahwa mereka yang hidupnya “jatuh” harus dikasihani. Orang yang pantas dikasihani adalah orang yang memang sudah jatuh sejak awal, dan hanya bisa menghadapi kemiskinan dengan pikiran kosong dan tak berdaya.” (261)

Orwell menemukan bentuk kemiskinan pada wajah-wajah gelandangan yang ambigu, yang harus berjalan sepanjang waktu sebagai akibat dari diskriminatifnya penerapan hukum di London. Jika kamu tak punya rumah untuk tidur, pemerintah menyediakan wisma, dan karena ada ratusan orang dalam ruang aula, maka cukup beruntung jika mampu memejamkan mata sejam atau dua jam.

Di London, siapapun bisa dilaporkan ke polisi jika ia meminta uang dua sen ke orang yang tak dikenalnya. Tapi, orang bisa meminta uang kepada siapapun atas nama amal dan agar Tuhan memberkati, agar masuk surga. Di London, Orwell menemukan bentuk kemiskinan pada wajah-wajah gelandangan yang ambigu. Karena, satu-satunya hal yang dipedulikan adalah apakah pekerjaan itu mendatangkan banyak uang atau tidak. Persis seperti apa yang masih bisa ditemukan hari ini. Uang akan mengangkat status sosial dan tentu akan mempengaruhi penilaian orang, -tanpa perlu mengetahui apa pekerjaan kamu, atau bagaimana kamu memperoleh uang. (hal.249-251) 

“Seorang pengemis bekerja dengan berdiri di jalan di bawah panas dan hujan dengan pembuluh darah yang mekar di kakinya, dengan bronkitis yang parah, dan seterusnya. Mengemis adalah sebuah pekerjaan yang wajar; tidak ada gunanya, memang—tetapi, banyak juga pekerjaan terhormat yang tidak ada gunanya. Dan sebagai makhluk sosial, pengemis tak lebih asusila daripada orang-orang dengan pekerjaan lain. Ia jujur bila dibandingkan dengan kebanyakan penjual obat, berbudi luhur bila dibandingkan dengan pemilik koran Minggu, baik hati bila dibandingkan dengan penjual keterangan soal pacuan kuda—singkatnya parasit, tetap parasit yang tak berbahaya.” (hal.250-1)

Ada banyak jenis pekerjaan yang digambarkan oleh Orwell sebagai pekerjaan yang hanya layak untuk para pengangguran. Tapi, pekerjaan idaman pengangguran itu pun tak pernah benar-benar memberikan biaya pengganti untuk tenaga dan waktu. Ia mencontohkan, pekerjaan sandwich man, yang bekerja sepuluh jam sehari dengan menyebar brosur dari produk tertentu, tapi mereka tak boleh bermalasan, karena tiap saat akan ada pengawas yang akan membuat laporan apakah mereka bekerja cukup keras. Pesannya, ketika kamu melihat seorang yang membawa brosur, berbaik hatilah dengan menerima brosurnya, karena dengan begitu, ia akan dianggap sudah bekerja. (hal.260)

Buku ini kembali menegaskan kepiawaian Orwell dalam menulis sisi kehidupan yang tak biasa. Orwell selalu menghadirkan dunia ganjil, yang tak sempurna, yang mengusik kemanusiaan. Karenanya, kalau ingin memahami bagaimana politik diamalkan, bacalah Animal Farm. Dan, kalau ingin mengerti mengapa dan bagaimana kekuasaan dipertahankan, bacalah 1984. Dan, jika itu semua belum cukup membuatmu mengerti bagaimana dunia ini bekerja, segeralah buka lembaran TTPL. Mungkin dengan TTPL, kamu akan memahami kapan baiknya kamu tidur dan mengapa seseorang harus makan. Dan, dari yang telah dikisahkan Orwell, kita akan tahu ada saat tertentu makian berulang-ulang lama-lama akan kehilangan maknanya, sebagaimana ucapan terima kasih, bagi para gelandangan yang dipaksa mendengar khutbah hanya karena mereka butuh segelas teh, dan sepotong roti berpoles mentega.

Tentang buku:

Judul buku: Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London

Penulis: George Orwell

Penerbit: Diva Press, Yogyakarta, 2019 – 312 halaman

Peresensi: Subarman Salim

Facebook: Subarman Salim

Instagram: uba_band