Arsip Kategori: Resensi Buku

Membaca Manusia Secara Filosofis tapi Puitis ala Nirwan Ahmad Arsuka

Percakapan dengan Semesta (PDS) adalah buku tipis. Sang pengarang, Nirwan Ahmad Arsuka, pendiri Gerakan Pustaka Bergerak, hanya meraciknya dari tiga esai yang kemudian menghasilkan 120 halaman belaka. Tapi yakinlah, buku ini begitu padat akan sajian diskursus. Para pembaca tidak hanya diajak menyelami tema-tema kebudayaan, tapi juga filsafat, sains, sejarah, yang diracik padu untuk membaca manusia. Manusia akan dilihat pada pertautannya dengan semesta (esai pertama), pertautannya dengan citra-citra foto (esai kedua), dan manusia yang ditafsirkan dalam sebuah karya sinema (esai ketiga). Pertautan-pertautan itulah yang sekaligus membuka tabir-tabir problem kemanusiaan.

Meski diskursus yang disajikan cukup padat, tapi kiranya tidak menjadi kendala bagi psikologi pembaca era kiwari, yang tentunya cepat bosan dengan bacaan-bacaan yang menguras pikiran, apalagi untuk pembaca pemula. Sebab yakinlah, Anda tak akan bosan dengan gaya menulis Nirwan yang begitu sastrawi. Sehingga ragam macam pembahasan filosofis di dalamnya menjadi indah untuk dibaca, sehingga dapat membuat orang betah menghabiskan setiap paragraf yang diracik dari paduan bahasa teknis-ilmiah dan puitik: perbincangan filosofis akhirnya ibarat menyelami teks-teks puisi.

Rekaman manusia itu sudah bisa kita temukan esai pertama PDS, “Percakapan dengan Semesta”, yang mengangkat tema mengenai bagaimana manusia memahami semesta, dan menceritakannya. Upaya memahami semesta itu, yang dalam buku ini sudah berlangsung sejak leluhur manusia mulai berimajinasi terhadap data-data pengalaman kesehariannya. Dan pada dinding padas itulah hasil memahami semesta—atau hasil percakapan dengan semesta dalam bahasa Nirwan— dinarasikan dalam bentuknya yang paling purba: melalui gambar-gambar imajinatif, dengan sentuhan teknologi lukis yang masih sederhana.

Kemudian waktu bergerak, diikuti pula dengan gerak vertikal kecerdasan manusia. Hingga manusia bisa sampai pada ekspresi memahami (percakapan dengan) semesta yang jauh melampaui usaha-usaha epistemik tradisional yang pernah ada. Ekspresi memahami paling mutakhir itulah yang dalam era kiwari dibilangkan sebagai pengetahuan ilmiah. Pengetahuan yang bagi Nirwan “berkembang menjadi bentuk percakapan tertinggi karena ia berusaha sepenuhnya menjadi dialog (hal.9)”. Dialog itu terjadi ketika teori ilmiah coba dikorespondensikan dengan kenyataan, dan akan bisa benar atau salah tergantung semesta menyepakati atau tidak (sesuai dengan realitas apa adanya atau malah melenceng).

Namun, percakapan dengan semesta ini, bukannya tidak melahirkan rasa cemas. Dari awalnya Nirwan menarasikan sejarah percakapan semesta-manusia dengan optimisme yang kuat, tetiba ia menunda optimisme itu pada refleksi era kiwari. Era yang bisa saja menjadi jalan buntu manusia untuk terus menerus mengembangkan dialog mutakhir dengan tatanan kosmik dan segala hamparan misterinya. ketakutan Nirwan ada pada kalangan akademisi yang hanya memuja gelar akademik, tapi begitu berjalan mundur dalam menarasikan semesta.

Ketakutan itu juga terletak pada masih menjamurnya pemujaan pada pandangan dunia tertutup: pandangan dunia yang bisa menjadi ancaman bagi perkembangan ilmu pengetahuan, yang menyaratkan keterbukaan untuk mengkritik, dikritik dan bereksperimen pada hal-hal yang baru. Dan kemunduran memahami semseta pada akhirnya ada pada kemampuan otak manusia itu sendiri, yang harus tunduk pada hantaman ombak informasi yang datang tiada henti. Masalahnya kemudian, “Luapan informasi yang datang dari segala penjuru mengepung manusia tidak dalam kuanta dan paket yang bisa dicerna. Agar bisa dicerna, arus informasi itu harus disederhanakan dan disesuaikan dengan daya cerna manusia: sejumlah informasi pun disingkirkan. Penyingkiran informasi itupun bisa bersifat temporer, juga permanen. Jika ia permanen, manusia dengan mudah melakukan kekerasan kognitif dengan mudah (hl.23),” begitulah ketika Nirwan menarasikan masa depan otak manusia yang kian murung. Penyesuaian informasi oleh daya cerna manusia akhirnya menjadi problem. Informasi yang ditelan kemudian banyak yang belum terbukti secara logis, kritis dan sesuai dengan kenyataan apa adanya, karena daya cerna otak manusia yang rendah hanya menginginkan informasi yang bisa langsung menentramkan, tanpa perlu dipikirkan matang-matang. Jika manusia pada keadaan epistemologis seperti itu, perbincangan pada semesta sukar untuk berkembang.

Di dua esai lainnya, Nirwan memulai perbincangan tentang manusia pada hal yang mungkin di kalangan awam begitu remeh-teme, tapi penting setelah dibedah secara filosofis: fotografi dan sinema. Untuk tema mengenai fotografi, Nirwan mencoba membedah pemikiran Susan Sontag dalam sebuah esai, “Susan Sontag: Citra-Waktu”. Pembahasan yang tidak melulu mendeskripsikan pemikiran filosofis Sontag mengenai fotografi, tapi juga berupaya mengkritiknya. Melalui esai inilah, Nirwan juga bergerak untuk membaca manusia pada relasinya dengan citra-citra fotografi. Fotografi ini, yang bagi Sontag memang sebagai mahakarya teknologis abad ini, tapi justru menjadi jalan buntu untuk menyelesaikan problem epistemologis dan etis dari manusia.

Fotografi memang bisa menguasai waktu, tapi tak bisa menguasai ruang: problem epistemologisnya terletak di sini. Yang tertangkap pada kamera hanyalah irisan kenyataan yang sukar menjadi medium untuk manusia menilai kenyataan itu secara apa adanya. Itu karena kehadiran separuh kenyataan dalam foto berarti ketersediaan informasi di dalamnya juga terbatas. Sementara problem etisnya adalah, fotografi dalam amatan Sontag, bukannya menjadi medium untuk menyelesaikan problem kemanusiaan (misalnya mengintervensi simpati manusia untuk revolusioner dengan melihat foto-foto bencana atau perang), citra foto malah membekukan keberpihakan manusia (berhadapan dengan gambar foto perang, misalnya, membuat manusia serasa tak berdaya, dan hanya bisa diam).

Nirwan bergerak melampaui amatan Sontag. Bukannya menyalahkan citra foto—seperti yang dilakukan Sontag—, Nirwan malah melihat problem itu pada manusia itu sendiri: pada kualitas daya cerna manusia saat berhadapan dengan kenyataan pada citra foto. Keterbatasan kognitif manusia inilah yang kerap membuatnya selalu lupa jika foto bukanlah visualisasi kenyataan yang utuh. Sementara problem etis yang disangka Sontag pada fotografi, Nirwan hanya mengatakan ini: “Bila benar bahwa limpahan citra penderitaan manusia akan membuat kebas mereka yang menatapnya, maka gelombang bantuan kemanusiaan pasca-tsunami dan gelombang bantuan bencana alam lainnya, tentunya tak akan terjadi. Awalnya, mereka yang menatap foto-foto dan rentetan bencana tsunami mungkin memang terpaku beku, tetapi kemudian mereka bergerak (hal. 51-52).”

Tentu, isi esai kedua dalam PDS tak sesederhana yang saya bilangkan itu. Esai ini diracik dengan sangat cerdas. Analisisnya sangat kuat dan mendalam dalam melihat diskursus fotografi Sontag yang banyak menyisakan problem filosofis itu. Tapi juga tak sepenuhnya menyalahkan Sontag. Pada beberapa hal, Nirwan bahkan mendukung pikiran-pikiran revolusioner pakar fotografi itu. Amatan dalam esai ini akhirnya terlihat bijak dalam menanggapi suatu diskursus. Meskipun memang, esai kedua ini akan rumit dipahami jika tak dibekali banyak kosakata teknis-ilmiah, dan ketakbiasaan membaca teks-teks analogi dan metafor: struktur teks dalam esai kedua ini seperti memaksa setiap orang memaksimalkan proses kognitifnya dalam memahami isinya.

Terakhir, pada esai yang ketiga, manusia coba direkam Nirwan dalam pertautannya dengan cita ideal dan semangat kepahlawanan dari film Hero Episode 2 dengan mengangkat judul esai, “Pedang dan Dunia ‘Hero’ Episode 2”. Film yang dianggap Nirwan sejak Hero Episode 1 “tak tuntas menggali pengertian arketipe tentang pahlawan dalam psike Timur (hal. 92).” Film ini, kata Nirwan, “mentok jadi propaganda bagi kediktatoran dan aneksasi, bagi paham legalisme yang mempromosikan kuatnya negara di depan masyarakat, yang dengan sistematis dilemahkan (hal.92).”

Model kepahlawanan dalam psike Timur yang belum tuntas digali dalam Hero 1, sepertinya tak bisa saya komentari lebih lanjut. Apakah yang dimaksud adalah, karena ia film dari Timur (Cina) maka hendaknya merepresentasikan citra kepahlawanan dalam kebudayaan Timur? Sebab memang, film ini bercerita banyak tentang kepahlawanan: bagaimana seorang manusia (4 pendekar), yang sudah jengah dengan kediktatoran penguasa, coba melakukan persekongkolan untuk membunuh sang Kaisar, dengan melakukan pengorbanan nyawa (atau dalam akhir film Hero 1, justru terjadi negosiasi dengan sang Kaisar untuk menjadi “tiang utama” terbentuknya kerukunan antar kerajaan, yang sebenarnya juga bisa dikata sebagai puncak kepahlawanan.). Tapi, apakah memang pesan kepahlawanan dalam film ini, tidak sepenuhnya mewedarkan perspektif kepahlawanan di belahan Timur?

Terlepas dari itu, dalam esai ini, Nirwan sebenarnya lebih memusatkan perhatiannya membedah nilai seni dan muatan sastra dalam struktur film Hero 2 (dan sesekali menyinggung Hero 1), mulai dari kualitas sinematorgafinya yang sangat memukau, hingga jalinan puisi yang menubuh pada setiap adegan dan tuturan para pelakon film. Hingga, pembacaan atas manusia lebih padat pada dua esai pertama ketimbang esai terakhir ini.

Namun, Nirwan pada esai ketiga ini tetap tidak meninggalkan gaya menulisnya yang khas: puitis dan filosofis. Bahkan, membaca esai ini, seperti membaca sebuah cerita pendek yang menceritakan huru-hara di belahan Cina di zaman kerajaan, dengan mengolah kembali kisah-kisah Hero 2 dalam bentuk teks.

Meriwayatkan Makassar dengan Literasi Kenangan Anging Mammiri

—Catatan atas buku Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu;  karangan Abdul Rasyid Idris

Seorang yang menulis sejarah pasti tahu,  ingatan adalah suatu yang mudah menguap. Begitu pendakuan Goenawan Mohamad di salah satu esainya di tahun 2012. Karena itulah, sejarah mesti diabadikan. Ditulis dan diriwayatkan. Mirip origami, ingatan sangat mudah dibentuk, disusun, dibelokkan, atau bahkan silap dihimpit memori yang lain.

Tapi, Abdul Rasyid Idris dalam Anging Mammiri tidak sedang menulis sejarah. Melalui literasi kenangan, Abdul Rasyid hanya sedang melahirkan saudara kembar sejarah. Sebagaimana pendakuan Alwy Rachman di pengantar buku ini, Abdul Rasyid bukan dalam kapasitas menandingi sejarah Makassar sebagai kota, melainkan berusaha melahirkan kembali suatu peristiwa subjektif di era kekinian melalui kekuatan ingatan.

Ingatan, dalam Anging Mammiri memang adalah kekuatan yang sebenarnya, yang berada di balik 76 esai Abdul Rasyid Idris. Sebagaimana rasio sebagai struktur esensial manusia yang menopang modernisme, ingatan dalam Anging Mammiri juga menjadi subtansi dari sehingga mengapa Makassar dalam buku ini patut diketahui orang-orang.

Makassar dalam sorot ingatan, apalagi dalam bingkai literasi kenangan Abdul Rasyid Idris, bukan Makassar hari ini yang kadung banyak diobjektifkan melalui wacana dan pemberitaan yang memenuhi ruang publik kita. Melainkan suatu dunia subjektif, yang melihat dari “depan” suatu peristiwa masa lalu dan sebelum beralih menjadi konten yang hampir politis.

Makassar dalam Anging Mammiri, hampir semuanya dibilangkan dengan cara menghidupkan “orang-orang kecil” yang mengitari kehidupan penulis di masa lalunya. Bersamaan dengan itu, momen terhadap lokasi-lokasi yang disebutkan dalam buku ini, menjadi lokasi “bersejarah” yang patut dipersoalkan, mengingat tempat-tempat itu telah banyak mengalami perubahan.

Makassar dalam alaf dalam ingatan

Makassar adalah kota yang selain dihuni dan dialami langsung, juga kota yang belum definitif. Dengan kata lain, Makassar merupakan kota yang sedang bergerak, kota yang dialiri perubahan terus-menerus. Melalui konteks ini, Makassar perlu dicermati.

Mencermati Makassar melalui teropong ingatan—seperti yang ditunjukkan Abdul Rasyid Idris—adalah geliat subjektif bagaimana sebuah kota ditangkap, dialami, dan diriwayatkan kembali setelah melewati pelbagai macam perubahan di dalamnya. Dengan kata lain, kota dalam ingatan merupakan suatu arus kesadaran yang hampir semua dipunyai penduduk di dalamnya. Pungkas ingatan melalui alaf waktu, yang diriwayatkan melalui tulisan, dengan ini adalah suatu cara bagaimana suatu kota, melalui ingatan penduduknya melakukan timbal balik pemaknaan untuk mengenali kembali dirinya.

Dalam Anging Mammiri, kota dalam ingatan, ditelusuri kembali melalui tiga perangkatnya: tokoh, waktu dan tempat. Melalui tiga elemen inilah, dari orang-orang seperti Daeng Torro, A Pui, Sang Guru, Tuan Manni, sampai Tanta Gode’, dapat menjadi jalan masuk mencandra kembali Makassar ketika berada di era 70-an. Begitu juga tempat-tempat semisal Pasar Butung, Pelabuhan Paotere, Pasar Senggol, Benteng Somba Opu—untuk menyebut beberapa di antaranya—menjadi situs-situs perkotaan yang dapat ditelusuri seperti apa dan bagaimana cara orang-orang Makassar dahulu menjalani kehidupannya sehari-hari.

Esai yang berjudul Kampung Antang, juga misalnya, merupakan sepercik sejarah bagaimana generasi masa kini dapat mengenali cerita di balik lokasi-lokasi yang memiliki nilai historis.  Begitu pula, penamaan Pasar Paotere, yang ditulis dengan judul yang sama, menjadi keping sejarah yang memotret bagaimana suatu kawasan kota awalnya dinamai berdasarkan aktivitas warga di dalamnya.

Pewarisan nilai-nilai

Maurice Halbwachs, seorang sosiolog sekaligus filsuf abad 20 pernah mengembangkan suatu penemuan ingatan yang bersifat subjektif, hakikatnya merupakan hasil panjang pergumulan interaksi masyarakat di dalamnya. Artinya, ingatan tidak mungkin bersifat individual melainkan hasil proses sosial yang melibatkan simbol-simbol kolektif. Di dalam konteks inilah, Anging Mammiri bukan sekadar ingatan subjektif penulisnya, tapi juga sebenarnya dapat ditarik menyentuh ingatan orang-orang yang mewakili Makassar tahun 80-an.

Tempat, lokasi, waktu, nama-nama jalan, warung kopi, terminal, pasar, areal pertokoan dlsb, yang diliterasikan melalui Anging Mammiri, sebagaimana dikatakan Maurice Halbwach, merupakan sarana ingatan bukan saja menjadi milik ingatan pribadi, tapi juga kepunyaan kolektif yang mewarisi nilai-nilai bersama agar terhindar dari kepunahan.

Sebagai pewarisan nilai-nilai melalui literasi, dalam konteks perubahan, Anging Mammiri bisa difungsikan sebagai pelengkap sejarah untuk mencipta ulang peristiwa masa lalu yang mengikutkan tempat-tempat, kejadian, waktu, dan moment peristiwa untuk menjadi dasar bagi masa kini, dan menjadi pijakan kepada masa depan yang lebih baik.

Walaupun Anging Mammiri bukan buku sejarah, dan dilihat dari proses kreatifnya yang dilahirkan dari dunia maya media sosial, merupakan suatu cara bagaimana kenangan dan teknologi dapat dipertemukan dan melahirkan input positif bagi generasi hari ini yang sulit lepas dari dunia digital. Cara Abdul Rasyid Idris, yang sudah menerbitkan dua buku sebelumnya, yang hampir semuanya lahir dan berbasis dunia digital, dengan sendirinya adalah jawaban bagaimana kenangan atas suatu kota, dapat dirawat dan diriwayatkan dengan memanfaatkan media sosial sebagai canvas pertamanya.

Calabai

Kurang lebih tiga pekan saya menunggu, setelah melihat wajah cantiknya di media sosial kala itu. Hati saya langsung kepincut dan coba meminangnya. Barangkali masih ada kesempatan mempersunting atau paling tidak, menjadi sahabatnya. Ia berdarah Bugis-Makassar, tapi kini masih berada di pulau Jawa, saya berharap belajar banyak darinya. Malam 21 oktober, akhirnya ia tiba di pangkuan saya. Saya pun berkenalan lebih jauh dengannya.

Namanya Calabai, anak spiritual Pepi Al-Bayqunie. Bajunya (cover) sederhana, namun sangat elegan. Bagian depan berlatar putih, memperjelas kesan ketentraman. Gambar seorang lelaki dipilih sebagai gambar sampul. Lelaki yang berbalut pakaian adat, berwarna kuning keemasan ini, terlihat sedang khusyuk membaca kitab. Meski lelaki, citra perempuan tergambar jelas. Ini sering disebut masyarakat Bugis-Makassar sebagai calabai, lelaki berjiwa perempuan.

Calabai, novel berlatar belakang sejarah. Novel terbitan Javanica ini, memiliki ketebalan sekitar 3 cm, dan kurang lebih 385 halaman. Pepi Al-Bayqunie alias Saprillah penulisnya. Ia dilahirkan tanggal 10 Februari 1977 di Cappasolo, kecamatan Malangke, Luwu Utara. Lelaki yang sangat mencintai kebudayaan lokal ini, penulis novel yang aktif. Sejauh ini sudah empat novelnya diterbitkan, Tahajjud Sang Aktivis, Kasidah Maribeth, Jejak, dan si bungsu, Calabai.

Novel Calabai, sebenarnya mengulas perjalanan pemimpin bissu, Puang Matoa Saidi. Keberadaan Puang Matoa Saidi di masa kecilnya, ditolak ayahnya karena ia seorang calabai. Berbagai penderitaan dilaluinya, hingga memaksa Saidi merantau. Tekadnya melakukan perjalanan, bermula dari mimpi aneh yang memintanya menjemput takdirnya. Hingga akhirnya, Saidi bertemu daeng Maddenring yang mengangkatnya sebagai anak dan membawa Saidi ke Segeri. Di Segeri, Saidi berjumpa Puang Matoa Saena, pemimpin para Bissu. Sebuah pertemuan yang menghantarkan Saidi, memulai kehidupan baru meniti jalan menjadi seorang Bissu.

Calabai, dalam stigma sebagian masyarakat modern tidaklah terlalu baik. Mereka kadang dianggap sebagai pembawa sial. Ditambah lagi dogma agama yang mengatakan lelaki menyerupai perempuan ataupun sebaliknya, dilaknat Tuhan. Tidak cukup sangsi individual, agama pun melarang keras mendekati mereka. Dikatakan ibadah seseorang tidak diterima selama 40 hari 40 malam jika mendekati calabai atau waria. Maka tidaklah mengherankan, sebagian masyarakat memandang sebelah mata seorang calabai.

Pepi menjelaskan kepada masyarakat, Calabai adalah jiwa perempuan yang terperangkap tubuh lelaki-tubuh yang pemiliknya sendiri kerap gagap memahaminya. Calabai mengulik sisik-melik kehidupan Bissu, ahli waris adat dan tradisi luhur suku Bugis, yang dipercaya menjadi penghubung alam manusia dan alam Dewata. Bagi orang Bugis, dunia ini terdiri dari beberapa tingkatan, dunia atas (botting langik), dunia tengah (ale kawa), dan dunia bawah (peretiwi). Diceritakan, Datu Patoto dan Datu Palinge penghuni dunia atas, mengutus Batara Guru sebagai Tomanurung di Tanah Luwu. Batara Guru membentuk kehidupan baru di bumi, hingga akhirnya diturunkan Bissu ke dunia tengah. Bissu ditugaskan menjaga Arajang dan memimpin upacara-upacara keagamaan. Selain itu diceritakan pula bagaimana Bissu bisa sampai ke Segeri, Pangkep.

Kelahiran novel Calabai, membawa angin segar bagi para calabai. Pepi Al-Bayqunie, melihat calabai dari sudut pandang kemanusiaan dan posisi sentral mereka dalam suku Bugis. Sebagai bagian sejarah yang senantiasa menjaga tradisi dan kearifan lokal. Calabai dan Bissu adalah jalan hidup, menjadi Bissu artinya menyerahkan jiwa raga, berbakti pada Dewata dan masyarakat. Bissu adalah calabai yang mendapat pammase Dewata, dan mampu mengendalikan hasratnya terhadap lelaki. Karenanya tidak semua calabai dapat menjadi Bissu, tetapi semua calabai terlahir sebagai manusia – sebagai lelaki dan perempuan sekaligus.

Mengintip Sejenak “Si Kyai Merah”

Judul: Pertarungan Islam dan Komunisme Melawan Kapitalisme: Teologi Pembebasan Kyai Kiri Haji Misbach
Penulis: Nor Hiqmah
Penerbit: Madani, 2011
Tebal: 113 halaman

“jangan takut, jangan khawatir”

  –Misbach

Siapa yang tidak mengenal Haji Misbach, mungkin banyak, mungkin juga sedikit. Tetapi itu bukan soal. Biarkan itu menjadi hipotesa sementara, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa melihat dan mediskusikan sosok “Kyai Merah” seperti Haji Misbach ini. Sebelum kita lebih jauh menelisik sosok Haji Misbach, saya ingin mengajak pembaca yang budiman untuk menyatukan presepsi, bahwa setelah rezim  Orde Lama tumbang, dan digantikan oleh zaman Orde Baru, dalam hal ini rezim Soeharto,  hampir seluruh elemen masyarakat menjadi serba bungkam, terkhusus dalam mendiskusikan tokoh-tokoh terlarang, dan peristiwa- peristiwa kelam di masa lalu, baik itu peristiwa G30S/PKI sampai pemberontakan-pemberontakan awal sebelum meletusnya peristiwa 65.

Tetapi suatu kesyukuran bagi kita semua karena setelah Orde Baru runtuh, Kran demokrasi menjadi terbuka. Hal ini ditandai dengan banyaknya peluncuran buku-buku “kiri” dari Jawa khususnya di Yogyakarta, meskipun hal ini masih menjadi hal yang sensitif, tetapi setidaknya ruang-ruang  sejarah menjadi terbuka dan bisa kita dijadikan sebagai wacana dan diskusi-diskusi akademik. Maka dari itu pada kesempatan ini saya akan mencoba mereview  tulisan Nor Hikmah yang berjudul: Pertarungan Islam & Komunisme Melawan Kapitalisme : Teologi Pembebasan Kyai Kiri, Haji Misbach. Buku ini merupakan edisi perbaikan dari yang telah diterbitkan pertama kalinya. Saya mengaku tidak Sehebat Nor Hiqmah yang menulis khusus tentang Haji Misbach, tetapi setidaknya melalui tulisan ini sedikit banyak bisa menambah wawasan kita tentang sejarah, tokoh-tokoh yang berpengaruh di masa Haji Misbach.

 

Haji Misbach dan Sepak Terjangnya

Nor Hiqmah menulis tentang Haji Misbach, mencoba menampilkan sosok Haji Misbach sebagai tokoh propagandis sekaligus tokoh penggerak kaum muda Islam. Haji Misbach lahir pada tahun 1876 di Kauman Surakarta, dari keluarga pedagang batik yang sukses,  ketika masih kecil ia bernama Achmad, lalu setelah menikah ia berganti nama Darmodipromo, dan setelah menikah untuk yang terakhir kalinya ia berganti nama Mohammad Misbach yang sampai hari ini kita kenal dengan sebutan Haji Misbach sang “Kyai merah”, karena ia hidup dalam keluarga pejabat keagamaan kraton, dengan kondisi keuangan yang cukup, maka ia disekolahkan dalam pendidikan pesantren, perlu kita ingat bahwa di masanya tidak semua pribumi bisa berpendidikan, kecuali orang-orang dari kalangan pejabat, pengusaha kaya, meskipun nantinya telah di sediakan pendidikan untuk orang-orang golongan bawah, tetapi dengan kelas yang berbeda dengan para pejabat, pengusaha yang berada di golongan atas.  Menginjak dewasa ia sempat menggeluti usaha dagang batik higga sukses, dengan watak yang revolusioner dan senang berorganisasi maka akhirnya ia meninggalkan usahanya dan memilih  bergabung di IJB (Inlandsche Journalisten Bond) yang didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914 dan bergabung dengan Sarekat Islam, disingkat SI.

Sepak terjang Haji Misbach  dimulai pada tahun 1915 ketika ia menerbitkan surat kabar Medan Muslimin, kemudian pada tahun 1917 menerbitkan surat kabar Islam bergerak, yang nantinya akan menjadi media propaganda yang sangat berpengaruh menentang kolonialisme Belanda. Nor Hiqmah sering mengutip tulisan-tulisan Haji Misbach dari surat kabar. Melakukan propaganda melalui media membuatnya dikenal dan dihormati. tidak hanya itu Haji Misbach selalu mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk mendukung tulisan dan propagandanya. Pada tahun 1920 ia sudah terlibat dalam pemogokan-pemogokan di wilayah Klaten sampai akhirnya diseret ke pengadilan dan dipenjara. Pada tanggal 22 Agustus tahun 1922 ia kembali dibebaskan dari penjara Pekalongan, kemudian bergabung dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang bergerak untuk memperjuangkan hak-hak kemanusian, membela para buruh, petani-petani miskin dan melawan kolonialisme Belanda.

Sampai di sini kita bisa melihat bahwa wajar ketika setiap gagasan Haji Misbach selalu disertai dengan kutipan-kutipan ayat Al-Quran sebab ia berlatar belakang pendidikan pesantren, tetapi yang menarik nantinya adalah dia berusaha mempertemukan wajah Komunisme dan Islam dalam satu kesatuan yang sama sekali tidak bersebrangan, dalihnya, kesamaan misi yaitu misi kemanusiaan. Setelah ia bergabung dalam organisasi partai, dia menjadi propagandis yang lebih garang. Nor Hiqmah mengganggap Haji Misbach memilih bergabung dengan partai kiri sebab organisasi-organisasi Islam tidak mampu menampung aspirasi rakyat kecil. Menurutnya organisasi Islam seperti SI di bawah pimpinan Tjokroaminoto dan Muhammadiyah dianggap mandul dan lebih bersikap kooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sebaliknya organisasi komunislah yang mampu bersikap radikal dan anti kooperatif terhadap pemerintah kolonial.

 

Pecahnya SI dan Disiplin Partai

Salah satu hal yang melahirkan perpecahan dalam tubuh SI dimulai ketika Tjokroaminoto menetapkan aturan tentang disiplin partai, hal ini yang di tentang oleh Semaun, Tan Malaka, termasuk Haji Misbach, mereka menganggap SI yang dibawah pimpinan Tjokroaminoto bergerak dan mendukung langkah-langkah pemerintah. Selain itu, iuran dan anggaran yang diperoleh SI digunakan untuk keperluan pribadi,  hal ini yang disebut Haji Misbach kapitalis Islam. Evaluasi perpecahan dalam internal SI dilakukan pada tanggal 14 Maret 1923, tetapi gagal dan tidak membuahkan hasil, tidak hanya itu, banyaknya surat kabar yang  yang menentang sikap Cokro menjadi pengaruh bagi kepercayaan pengikutnya, Tjokroaminoto pun tidak mau kalah, menurutnya langkah yang diambil disebabkan karena SI sudah terlalu banyak mengakomodir kepentingan ISDV, yang nantinya berganti nama menjadi PKI.

Akhirnya SI pecah menjadi dua, (SI putih) dibawah pimpinan Tjokroaminoto dan (SI merah) dibawah pimpinan Semaun, SI yang di bawah oleh Tjokroaminoto dianggap lebih mengarah pada gerakan moral dan bersikap kooperatif terhadap pemerintah, sementara SI Semarang yang dibawah oleh Semaun bergeser ke sosialisme kiri.

Nor Hikqmah juga menjelaskan bagaimana ketakutan Tjokroaminoto terhadap orang-orang sosialis yang dia anggap mencoba merampas orang-orang SI, sehingga menjadi wajar Tjokroaminoto mengeluarkan kebijakan tentang adanya disiplin partai. Dan disamping itu Nor Hiqmah juga menuliskan bahwa perpecahan itu disebabkan karena politik kanalisasi (adu domba) yang dilakukan oleh Dirk Fock, Gubernur Jendral baru, salah satu usahanya adalah memperketat pengawasan Algemeene Rechercheichediennst (Dinas Intelejen Umum),  terhadap seluruh organisasi-organisasi pribumi.

 

Haji Misbach dan Ayat-ayat Propaganda

Setelah kemudian Haji Misbach menjadi pemimpin di Vostenlanden, mendirikan PKI dan memimpin rapat-rapat umum. Dengan pengawasan ketat yang dilakukan oleh Gubernur Jendral polisi lebih mudah menangkap gerakan politik Misbach, akhirnya pada tanggal 1924 ia ditangkap dan dibuang ke Monokwari, sejak priode itu iya disebut sebagai tokoh komunis terkemuka. Seperti yang sebelumnya telah kita singgung, bahwa ia selalu mengutip ayat-ayat Al-Quran untuk melakukan aksi propagandanya, seperti dalam Al-Qur’an surah Al-Ma’uun ayat 1-7 yang artinya :

“Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,(yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna”. (Terjemahan Al-Qurannurkarim Surat Al-ma’uun Ayat 1-7 Oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah / Penafsir Al-Qur’an, 1971 ).

Selain itu Misbach juga orang-orang yang menggap Islam tidak hanya berbicara tentang spiritual semata tetapi, Islam juga berbicara tentang hak-hak kemanusiaan di muka bumi, Islam tidak hanya dipahami sebagai ajaran tentang keselamatan di akhirat, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana kita selamat di dunia, Misbach menyerukan kepada orang-orang untuk tidak takut dan ragu berperang melawan kapitalisme yang menghisap, menindas, dan menjadikan rakyat sengsara, seperti ayat yang dikutip Misbach:

Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, maupun anak-anak yang semuanya berdoa:”Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang dhalim Penduduknya dan berilah kami perlindungan dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau”. (Terjemahan Qur’an Surat (4) An Nisa’ Ayat 75, Departemen Agama RI 1993;131).

Misbach sebenarnya ingin menyampaikan bahwa agama Islam tidak hanya sekedar tampil sebagai doktrin spritual tetapi juga punya gagasan pembebasan. Semua agama sama menurutnya, yang membedakannya hanyalah nama dalam setiap kepemimpinan dan masa setiap Rasul yang membawa ajaran Tuhan dimuka bumi. Sintesis yang ditemukan Misbach adalah bahwa Islam dan komunisme menekan pada ajaran untuk melenyapkan kapitalisme, sebagai sumber kemiskinan dan kesengsaraan rakyat Hindia Belanda. Hal inilah yang menjadi dasar religiusitas yang dibangun dari akar sosial masyarakat pada waktu itu.

“Orang-orang yang mengaku dirinya Islam tapi menolak komunisme, saya berani katakan ia bukanlah Islam sejati”. Misbach.

Bercakap-cakap dalam Sunyi

Judul: AirMataDarah (Sehimpun Puisi)

Penulis: Sulhan Yusuf

Penerbit: Liblitera Institute bekerja sama Boetta Ilmu

Cetakan: Pertama, Maret 2015

Tebal: 178 halaman

 

Inilah buku yang menarik untuk dibaca dan didialogkan. AirMataDarah (Sehimpun Puisi) mengalir sebagaimana air, melihat sebagaimana mata, dan menghidupkan sebagaimana darah. Buku ini begitu reflektif, tidak kering, tetapi juga tidak amat-amat romantik. Ia memberikan gambaran refleksi sekaligus kritik-kritik dalam setiap bait-bait syairnya. Sebagai seorang penyair yang sejati—walaupun penulis buku ini tidak pernah disebut atau menyebut diri sebagai penyair—selalu menerjemahkan setiap fenomena itu dengan cara yang reflektif, jernih dan segar. Relektif, jernih dan segar di sini bertolak pada esensi bahwa setiap puisi pada dasarnya merupakan anak kandung dari penulis atau penciptanya. Sebagai anak kandung ia harus lahir tepat waktu, tak boleh premature, kedaluwarsa, dan tentu saja, mencitrakan kekhasan penciptanya. Tidak bolehlah ia menjadi anak tiri—berjarak dari si penciptanya. Itulah yang dimaksud dengan jernih serta segar. Sulhan merenungkan begitu banyak persoalan hidup yang dijumpainya: dari yang hina hingga terhormat, suci maupun bersimbah noda, dari yang empirik, filosofis sampai yang paling mistik. Renungan-renungan itu tergambarkan dalam syair-syairnya.

Secara umum buku sehimpun puisi ini berkisah tentang lika-liku pengembaraan penulis di jagat ruhani kata-kata. Jagat perjuangan yang sunyi, tapi menghidupkan dan mengabadi. Ya, inilah Sulhan Yusuf. Lewat magnum opus-nya, AirMataDarah, tergambarkan beragam refleksi-refleksi perjuangan sunyi dari penulis. Di puisinya yang bertajuk “Diri”, Sulhan bercerita tentang hakikat dari diri dan kehidupan yang sebenarnya. Berikut penggalan bunyi bait puisi tersebut: “Usaikan dulu pelajaran tentang diri/kemudian mulailah belajar tentang yang lainnya/sebab, insan yang telah selesai belajar tentang dirinya/akan lebih mudah mempelajari sesuatu yang beredar di luar diri/aku baru saja menyaksikan insan yang telah menempuh perjalanan/berproses untuk menyelesaikan satu mata pelajaran tentang diri di sekolah kehidupan.” (hal.61).

Puisi di atas pada dasarnya ingin mengabarkan kepada pembaca bahwa hidup adalah kerja-kerja permenungan. Sebuah kerja mendialogkan diri, yang mana dialog tersebut akan memproses kesadaran kita pada dua arah. Yang pertama, kita menjadi semakin mengenali diri kita, makin menghayati diri dan pada akhirnya akan benar-benar menyatu dengan diri dan sang pencipta. Kedua, dialog juga membawa kita kepada kesadaran baru yang keluar dari diri sendiri, lalu menuju bergerak kepengenalan kepada sesuatu yang di luar diri sendiri. Itulah serangkaian kisah perjalanan seorang pejuang sunyi yang menjadikan kata-kata sebagai medium pencerahan. Melalui bait-bait syairnya tersebut Sulhan Yusuf berkisah tentang dialog-dialognya dalam merenungkan perjalanan hidupnya.

Dalam penggalan syairnya yang berjudul “Pengkhotbah” penulis menggambarkan kritiknya pada laku para pengkhotbah. Berikut puisinya: “Dimenara maya, ia selalau berkhotbah/tentang segala macam persoalan hidup dan kehidupan yang rumit/didedahkan tentang negerinya yang karut-marut/pemimpinnya yang tidak becus/rakyatnya yang tidak kritis/birokratnya yang korup/mungkin saja isi khotbah-khotbah itu benar adanya/tetapi, seorang jamaah interupsi ‘lalu apa yang telah kau lakukan wahai sang penghotbah?’/aku sendiri sebenarnya sependapat dengan jamaah itu/lalu kutambahkan ‘selain mempromosikan diri?’.” (hal. 124). Puisi ini berceritra betapa tragis wajah keberagamaan kita saat ini. Begitu banyak pengkhotbah yang tak paham esensi dari khotbah. Sehingga khotbah-khotbahnya yang disampaikan hanya sampai di telinga, tidak menyentuh hati dari pendengarnya, menurut Sulhan hal yang demikian sama saja seperti sebuah celotehan.

Di puisinya yang lain, berjudul “Culas” penulis juga menggambarkan kegelisahannya menyaksikan tingkah para akademikus dan kaum agamawan. Kegelisahan tersebut digambarkan dengan amat pendek tetapi padat dalam puisi tersebut : “Titel akademik ada padamu/tapi picik omongmu/sorban terikat di kepalamu/namun bicaramu melilit pikirmu/sujudmu menghitamkan jidatmu/walakin ceroboh mulutmu/lelang saja titelmu/jual pula sorbanmu/lego sekalian jidatmu ?” (hal. 55).

Kegeramannya menyaksikan kekuasaan yang sewenang-wenang juga tergambar dalam puisinya yang berjudul “Kesewenangan”. Berikut puisinya: “Hasrat untuk berkuasa yang ada pada diri/sesungguhnya amat purba keberadaannnya dalam setiap jiwa/kuasa berbiak/mengikuti jalan-jalan naluri tersaji/sedianya kuasa, ibarat air mensucikan daki pada tubuh/itu jika kuasa diberi jalan kelapangan dada dikedalaman ruhani/…lambang-lambang pengetahuan/kebertumpukan harta/simbol-simbol religiusitas/dan trah kebangsawanan/kesemuanya merupakan jalan-jalan menuju pada kuasa/kekuasaan dalam genggaman/dari genggaman kekuasaanlah lahir kesewenang-wenangan/setiap diri berlomba untuk berkuasa/sebab padanya ada kewenangan/dengan memiliki kewenangan maka menjadilah diri berwenang/berwenang berarti jari telunjuk amat sangat menentukan nasib yang ditunjuk…” (hal. 90). Penggalan puisi tersebut menandakan kegeraman penulis menyaksikan laku-laku atau wajah para penguasa, penguasa politik, agama, budaya, akademik dan semacamnya. Tentu kegeraman ini menjadi bukti keberpihakan penulis terhadap mereka orang-orang yang terzhalimi oleh kesewenang-wenangan penguasa.

Sulhan, sosok yang saat  ini banyak bergiat dalam kerja-kerja pencerahan atau literasi—baik di Paradigma Intitute, Komunitas Papirus, Boetta Ilmoe­—agaknya telah memilih dengan sadar akan pilihan hidupnya. Ia paham betul dengan tanggungjawab seorang intelektual, sebagaimana yang dibilangkan oleh Ali Syari’ati dalam bukunya Ideologi Kaum Intelektual bahwa kaum intelektual harus  memimpin gerakan progresif dalam sejarah, dan menyadarkan umat terhadap kenyataan kehidupan. Ia harus memprakarsai gerakan revolusioner untuk merombak stagnasi. Sebagaimana rasul-rasul selalu muncul untuk mengubah sejarah dan menciptakan sejarah baru. Dan juga harus memulai gerakan dan menciptakan revolusi sistemik. Kesadaran  inilah yang membawa penulis buku ini, mengapa ia mau mengambil berbagai peran altruistik dalam kehidupannya.

AirMataDarah barangkali tidak seperti banyak karya-karya puisi lainnya. Buku ini tidak begitu mempedulikan segala embel-embel aturan yang menggolongkan sebuah karya sastra atau bukan, sebuah puisi atau bukan. Kombinasi latar belakang sebagai pegiat literasi, pencinta sastra, dan penganut agama yang taat serta pembaca filsafat yang baik, mengondisikannya menjadi penulis atau penyair yang unik atau berbeda dari yang kebanyakan. Menikmati satu persatu karya dalam buku ini seperti menggali atau menjelajah jauh ke dalam memori-memori aktual yang ada dalam diri penulisnya. Kadang kita disodorkan dengan kontemplasi keindahan cinta yang menghanyutkan, lalu tiba-tiba diusik oleh ironi-ironi kehidupan yang absurd. Atau masalah-masalah sepele namun menggelitik kesadaran kita.

Karya ini, sebagaimana buku puisi pada umumnya, memang masih menyisakan banyak pertanyaan, sebuah tanda yang sebenarnya sangat baik. Ya, bagi saya Sulhan Yusuf ini adalah sosok yang tidak pernah basi untuk diperbincangkan, demikian pula karya-karyanya. Sebab, ia sosok yang selalu mengajak untuk terus dan terus belajar, berefleksi dan berbagi, dalam hal apapun itu. Ia mirip-mirip seorang “nabi”. Saya kira buku ini tak cukup hanya sekadar dicecap sebagai bacaan, tapi jauh dari itu, marilah kita mendialogkan buku tersebut lalu mengaktualkannya dalam laku sehari-hari.