Arsip Kategori: Teori

Eksistensialisme Ali Syariati: Tafsir Kebebasan Manusia di Era Kenormalan Baru

(1)

JEAN Paul Sartre, salah satu tokoh filsafat eksistensialisme, dalam tulisannya Existensialism is Humanism, merumuskan apa itu filsafat eksistensialisme. Eksistensialisme bukan ajaran yang menganjurkan pesimisme, tidak bermutu, dan tidak bertanggung jawab, seperti yang kerap dituduhkan kepada filsafat yang berkembang pasca Perang Dunia Ke- 2 ini. Buku pembelaannya itu, yang sebenarnya merupakan tanggapan atas tuduhan yang berkembang saat itu, dapat dipadatkan ke dalam suatu frase: eksistensi mendahului esensi. Prinsip ini, Sartre kemukakan berkenaan dengan apa yang ia jelaskan sebelumnya mengenai apa itu subjektivitas.

Subjektivitas sangat penting di dalam filsafat eksistensialisme. Masih dari buku  yang sama, Sartre memberikan ilustrasi apa itu subjektivitas, melalui contoh pisau pemotong kertas yang berelasi secara esensialis dengan si pembuatnya—yang ia analogikan juga seperti Tuhan dengan ciptaannya—yang sebelum menentukan seperti apa penampakan pemotong kertas, sudah memiliki daftar konsepsi di dalam perencenaannya berupa apa, bagaimana, dan untuk apa gunting pemotong kertas itu diciptakan. Melalui ilustrasi ini, Sartre ingin mengatakan bahwa otonomi dan kemandirian gunting pemotong kertas sangat tergantung dari tujuan dan nilai guna yang sudah dirumuskan terlebih dahulu oleh pembuatnya. Andaikata dalam contoh ini, gunting pemotong kertas diganti dengan manusia, maka manusia menjadi pihak yang tidak memiliki kebebasan dalam menentukan arah dan tujuan hidupnya. Selamanya, tujuan manusia serta-merta sudah dirumuskan di dalam perencanaan Tuhan yang sama sekali tidak melibatkan manusia di dalamnya.

Terlalu cepat agaknya, tapi pemahaman umum dapat dipetik dari bagaimana Sartre merumuskan subjektivitas, yang ia andaikan sangat khas dimiliki manusia, yakni suatu kemampuan bebas manusia dari kekuatan-kekuatan yang mengatur eksistensinya.

Meminjam pendakuan Martin Heidegger, Sartre menempatkan subjektivitas manusia di dalam kehidupan ini seperti bagaimana Heidegger mengonseptualisasi Dasein (konsep manusia menurut Heidegger) yang ada di dunia dengan cara berada yang tidak sama sekali terkait dengan entitas spiritual, seperti misalnya, dalam kejadian penciptaan manusia.

Subjektivitas manusia, dengan kata lain, menurut Sartre adalah kemampuan otonom manusia yang didasarkan kepada hakikat dirinya sendiri sebagai makhluk yang tidak sama sekali berhubungan dengan Tuhan. Itu artinya, bernuansa sama dengan konsep Dasein Heidegger, manusia adalah makhluk bebas dan merdeka tanpa embel-embel teologis (A strong emphasis on the individual).

Lalu, apa arti eksistensi mendahului esensi?

”Seorang eksistensialis memandang dirinya sebagai eksistensi yang tidak dapat didefenisikan karena ia tahu ia memulai hidup atau eksistensinya dari ia yang bukan apa-apa. Ia tidak akan menjadi ’apa-apa’ sampai ia menjadikan hidupnya ’apa-apa’.”

Eksistensialisme dalam hal ini membalikkan asumsi filsafat yang menekankan esensi; konsep; forma; gagasan; roh atas pembedaan sesuatu dengan yang lain, sebagai entitas utama dari pada eksistensi; aktualitas; keberadaan, yang dianggap entitas kedua. Penekanan eksistensi dalam hal ini adalah suatu titik tolak yang lebih konkret karena mengada di dalam ruang dan waktu, tidak seperti esensi sebagai kategori pikiran yang abstrak dan teoritik.

Itu artinya, gagasan tidak lebih utama dari keberadaan, ide tidak lebih signifikan dari tindakan, konsep tidak lebih penting dari perbuatan. Esensi tidak lebih penting dari eksistensi. Yang lebih utama, dengan itu berarti bukan defenisi-defenisi, gagasan-gagasan, atau konsepsi abstrak menyangkut sesuatu itu, melainkan ”sesuatu” itu sendiri sebagai titik tolak keberadaannya.

Menyangkut ini, Sartre pernah mengajukan semacam trik untuk menantang orang-orang, dalam hal bagaimana ia menjelaskan apa itu eksistensi dengan cara mengajukan pertanyaan, bagaimana cara Anda menggambar dua objek berupa ”kucing” dengan ”kucing yang ada”. Di level wacana, struktur bahasa seolah-olah mampu menjelaskan eksistensi kucing melalui kalimat: (kucing)+(Ada) dengan kata ”kucing” itu sendiri.  Tapi, bagaimana jika Anda berusaha menggambarkannya di atas secarik kertas? Bagaimana Anda menjelaskan perbedaan ”kucing” dan ”kucing yang ada”  melalui penggambaran Anda?

Itulah sebabnya, eksistensi menurut eksistensialisme bukan struktur pemaknaan yang mampu dirumuskan  ke dalam konsep atau bahasa. Eksistensi, karena itu, tidak bisa digambarkan dengan cara seperti bahasa menyatakannya, melainkan hanya dengan pengalaman konkret lah eksistensi itu dapat dijelaskan.

Atau dengan kata lain, eksistensi itu ada sejauh manusia mengalaminya.

Atas dasar inilah, dapat dimengerti eksistensialisme sangat menekankan tindakan manusia sebagai medium atau modus beradanya. Berbeda dengan tradisi filsafat tradisional, dalam hal ini aliran idealisme, atau materialisme, yang berfilsafat di seputar kata-kata ”cogito”, ”kesadaran”, ”ide”, ”materi”, ”Tuhan”, ”gerak”, ”ruh”, dlsb., filsafat eksistensialisme justru masuk ke jantung kehidupan manusia itu sendiri sebagai bidang refleksi filsafatnya.

Dengan model berfilsafat yang langsung dari jantung eksistensi manusia, maka tekanan besar eksistensialisme ke dalam dimensi ini adalah kebebasan manusia. Eksistensialisme, jika diamati dari bagaimana cara Sartre merumuskan kebebasan, terpaut dengan kesadaran sebagai eksistensi yang menjadi bagian dari jenis keberadaan ”ada untuk dirinya” (being-for-itself), yang berbeda dari jenis keberadaan ”ada dalam dirinya” (being-in-itself).

Syahdan, kesadaran hanya ada pada keberadaan being-for-itself, yakni manusia yang secara fenomen berbeda dengan eksistensi benda-benda yang disebut keberadaan being-in-itself. Kesadaran karena dia senantiasa menyadari dirinya sendiri (sadar menyadari atas kesadarannya), dan atas sesuatu yang lain (sadar menyadari atas ”sesuatu”), maka ia otomatis mengetahui bahwa dirinya bukanlah sesuatu itu sendiri.

Jadi, sebagai misal ketika saya menyadari ”buku”, berarti dengan sendirinya muncul kesadaran bahwa saya juga bukan ”buku’ itu. Kesadaran atas buku dan bukan buku itu hanya bisa jika ada jarak, dan dengan sendirinya memberikan peluang untuk berkata ”aku bukan buku”. Itu artinya di saat menyadari ”buku”, di saat yang sama berlaku prinsip negasi atas yang lain. Saya menyadari ”gelas” yang berarti ”saya bukan gelas”, saya menyadari ”kopi” yang berarti ”saya bukan kopi”, saya menyadari ”rokok” yang berarti ”saya bukan rokok”.

Filsafat eksistensialisme dengan cara seperti itu, yakni manusia sebagai being-for-itself, bisa menjadi apa saja tepat karena ia bukan apa-apa. Filsafat eksistensialisme dengan karakter berfilsafat seperti itu dikatakan juga filsafat negasi, yakni mentidakkan sesuatu atas sesuatu. Nah, di dalam proses penegasian inilah kebebasan dimungkinkan, sebab hanya kebebasanlah yang memberikan ruang gerak bagi manusia agar bisa memilih dengan menolak menjadi bukan sesuatu.

Melalui uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa hal berkaitan dengan filsafat eksistensialisme. Pertama, filsafat eksistensialisme, adalah filsafat manusia, dalam arti bahwa eksistensi manusia merupakan titik tolak ontologisnya. Dalil ini merupakan suatu tantangan yang kuat terhadap filsafat tradisional dengan segala bentuknya, sebab filsafat tradisional mengarahkan obyek filsafatnya ke dalam refleksi dan peremenungan filsafat yang abstrak dan jauh dari hakikat pengalaman manusia.

K. Bertens, menyebutkan dalam Sejarah Filsafat Kontemporer Prancis, basis ontologis eksistensialisme yang menaruh pengalaman manusia sebagai dasar utamanya, menjadikan ontologi eksistensialisme sebagai antropologi.

Kedua, eksistensialisme adalah gerakan protes terhadap konsep-konsep berupa ”akal/kesasaran” dan ”alam/kosmologi” yang menjadi titik tekan filsafat Abad Pertengahan hingga era Rene Descartes. Muhammad Nur Jabir, pegiat pemikiran Jalaluddin Rumi, karena itu dalam suatu kesempatan menyebut filsafat eksitensialisme memiliki wacana berbeda dari tradisi pemikiran filsafat lainnya berupa pendekatan non historical approach. Pendekatan filsafat ini berarti suatu tradisi pemikiran yang keluar dari ”rantai pemikiran” filsafat yang sudah terbangun antara satu filsafat dengan aliran filsafat lainnya, dalam rentang waktu berabad-abad.

Ketiga, eksistensialisme dapat disebut sebagai filsafat pemberontakan, yang ditandai oleh dua hal, yakni pertama, penekanan yang besar atas kebebasan manusia, yang kerap berkonfrontasi dengan lingkungan yang membatasi dan menghambat tindakan manusia. Kedua, ditandai dari pemberontakan terhadap alam industri modern atau zaman teknologi yang menghilangkan secara impersonal kepribadian otentik manusia, serta pemberontakan massa yang melenyapkan individu atas nama  totalitarianisme, fasisme, dan komunisme.

Keempat, kebebasan sebagai ciri khas manusia membuat dirinya lebih bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Kebebasan di sini bukan berarti tanpa dasar sama sekali, yakni seolah-olah kebebasan versi alam bebas, melainkan kebebasan yang dipelopori kesadaran sebagai acuan subjektivitasnya. Menurut Sartre, manusia yang sadar adalah manusia yang bertanggung jawab dan memikirkan masa depan, inilah inti ajaran utama dari filsafat eksistensialisme. Bila manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bukan berarti ia hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri, tetapi juga pada seluruh manusia.

 

(2)

ALI Syariati menyatakan, problem kemanusian tidak dapat tidak, hanya bisa dipecahkan melalui penafsiran yang komprehensif menyangkut makna kedaulatan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Melalui bundelan kuliah-kuliahnya bertitel Man and Islam—yang diterjemahkan Amien Rais menjadi Tugas Cendekiawan Muslim—Ali Syariati menguraikan otonomi manusia dengan meninjau konsep tujuan penciptaan manusia seperti yang dinarasikan di dalam al Qur’an.

Sebagai seorang pemikir denial, Ali Syariati mesti menguraikan terlebih dahulu kedudukan manusia di tengah perspektif sempit konsep kemanusiaan materialistik yang menempatkan manusia hanya sebatas wujud material belaka, dan konsep manusia sufistik yang mengedepankan askestisme pasif tanpa uraian tanggung jawab sosial yang melingkupinya.

Melalui konsep humanismenya yang khas, akan terlihat proyek raksasa Ali Syariati yang sebenarnya, yakni menyediakan dasar-dasar Islam kemanusiaan yang kompatibel dengan zaman, tanpa mesti meninggalkan ajaran intinya, yakni Tauhid, sebagai sumber inspirasi dan tindakan manusia.

Hal ini akan terurai lebih rinci setelah ia menjelaskan apa arti manusia dalam Islam, dan bagaimana Ali Syariati mendedah empat rintangan yang mengkofigurasi produk kebudayaan manusia ke dalam situasi situasi batas yang disebut the four prisons of man (empat penjara manusia).

Dengan demikian, pandangan dunia Tauhid lah yang bakal menjadi medium pembebasan manusia beserta komunitasnya, setelah sebelumnya mengalami proses dehumanisasi dan alienasi oleh sistem pemikiran sekuler dan kapitalistik, dengan cara mendudukkan rausyan fikr sebagai representasi manusia merdeka dan teriluminasi atas sipirit ruhaniah di bawah panji-panji Tauhid.

Di bab-bab awal Man and Islam, diuraikan dengan gamblang bagaimana manusia diciptakan melalui sintesis yang unik dari tanah lumpur dan spirit (ruh) Allah. Narasi penciptaan manusia dalam al-Qur’an, oleh Ali Syariati dinyatakan sebagai rumusan simbolik mengenai manusia sebagai makhluk dua dimensi (bidimensional). Konsep manusia yang dua dimensi ini dinyatakannya memiliki maksud tertentu yang bertujuan tinggi dan mulia lebih dari sekadar tujuan-tujuan materialistik dan idealistik, yakni spiritualistik sebagaimana manusia yang menjadi bagian dari spirit Allah.

Atas ulasan itu, Ali Syariati mengemukakan tiga karakteristik khas manusia: berpengetahuan (kesadaran), iradah (kehendak bebas), dan daya kreasi (daya cipta). Karakteristik yang pertama digambarkan Ali Syariati melalui peristiwa pasca penciptaan Adam yang diajarkan nama-nama (asma-asma) oleh Allah secara langsung sebagai bagian identifikasi Adam atas segala sesuatu yang terhampar di atas muka bumi. Proses ini, dimaknai Ali Syariati sebagai bagian penting bagi Adam yang menjadikan Allah sebagai guru pertamanya, yang berarti pertalian pengetahuan antara Adam atas segala sesuatunya di muka bumi, hanya mungkin ketika  melibatkan Allah sebagai pemberi ilmu pengetahuan.

Dalam kaitannya dengan dimensi pengetahuan manusia, para  filsuf menyatakan kesadaran yang paling fundamental adalah kesadaran manusia atas dirinya. Melalui kesadaran ini, manusia “memperluas” kesadarannya dalam mempersepsi dunia dan hubungan kesadarannya dengan dunianya. Kesadaran diri, dengan kata lain adalah “kesadaran pertama” yang menjadi dasar manusia ketika membangun pemahamannya terhadap realitas apa saja yang dipersepsi dan dipikirkannya.

Konteks nama-nama yang dinyatakan Ali Syariati diajarkan langsung dari Allah, berarti pula pengetahuan filosofis menyangkut kesadaran manusia atas dirinya. Tanpa ini, secara epistemologis, dalil-dalil ilmu pengetahuan, termasuk nama-nama yang diajarkan Allah akan kehilangan dasar pijakannya. Dengan dasar ini pula, capaian-capaian ilmu pengetahuan berkembang dinamis dan pesat.

Kedudukan manusia atas capaian ilmu pengetahuan inilah yang dinyatakan Ali Syariati menjadi sebab mengapa para malaikat bersujud di hadapan Adam. Jadi, menurut Ali Syariati, keunggulan manusia atas peristiwa itu menandai suatu penghargaan Islam atas keluhuran ilmu pengetahuan, dan bukan dari keunggulan ras dan golongan  seperti yang diharapkan iblis saat memprotes tujuan penciptaan Adam.

Manusia yang memiliki unsur ilahiat di samping unsur tanah, berpotensi mendorong pencapaian kejiwaannya sampai ke ranah yang lebih tinggi, atau bahkan sampai ke level realitas ketuhanan. Karena demikian, manusia menurut Ali Syariati dikaruniai kebebasan seperti salah satu sifat Allah itu sendiri.

Sebagaimana kesadaran, kehendak bebas adalah potensi yang hanya dimiliki manusia. Tiada makhluk selain manusia yang memilikinya. Kehendak bebas memberikan peluang manusia untuk berkemampuan dalam menentukan pilihannya. Letak keistimewaan kehendak bebas adalah kemampuannya dalam menentukan pilihan yang berbeda, dan mampu melawan kecenderungan-kecenderungan biologis, alam, masyarakat, maupun dorongan psikologisnya. Dengan kemampuan yang dimiliki dari kehendak bebaslah yang ketika digunakan akan mampu mentransformasikan manusia tidak sekadar benda-benda, melainkan mampu melewati kebiasaan-kebiasaan yang telah menjadi kecenderungannya.

Eksistensi manusia dengan demikian, dinyatakan Ali Syariati sebagai eksistensi yang berpeluang besar mengalami lonjakan-lonjakan kualitatif secara spiritual sebagaimana yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Setelah manusia menolak dorongan-dorongan instingtifnya, khalifah dalam hal ini, dengan kata lain, tidak serta merta diartikan sebagai wakil tuhan semata, melainkan di atas muka bumi, ia turut membawa kualifikasi-kualifikasi ketuhanan yang menjadi bagian perangkat kemanusiaannya.

Meski demikian, kebebasan yang dimiliki manusia tidak serta merta membuatnya berhak menerobos batas-batas eksistensi dan kedudukannya sebagai khalifah. Dalam hal ini, implikasi imperatif dari iradah manusia adalah tanggung jawabnya sebagai khalifah untuk memikul tugas-tugas khusus yang diamanahkan kepadanya. Dalam hal ini, Ali Syariati menyebutkan, di antara seluruh eksistensi makhluk di jagad semesta, hanya manusia lah yang suka rela menerima amanat penciptaan, setelah Tuhan menawarkannya kepada kalangan binatang, tumbuh-tumbuhan, bahkan jin.

Atas amanat itu, penciptaan manusia melahirkan kualitas internal yang terpatri menjadi daya kreasi. Dengan daya kreasi, manusia bisa menciptakan apa saja: mulai dari hal-hal sederhana sampai teknologi canggih masa kini. Peradaban bisa sampai pada wujudnya sekarang akibat dari daya kreatif manusia dalam mengeksplorasi temuan-temuannya, dan mengembangkannya sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Pencapaian-pencapaian yang sudah dimiliki manusia melalui seni dan kebudayaan, misalnya, tidak lain merupakan cipta karsa daya cipta yang bertujuan memenuhi kebutuhan spiritual manusia.

Tiga kualifikasi kualitatif dimiliki manusia ini, akan mengalami dinamika berkepanjangan selama dua kutub, yang disebutkan sebelumnya, yakni kutub tanah-lumpur, dan kutub spirit Tuhan masih mengalami tarik menarik secara berkelanjutan. Kecenderungan yang nyatanya tiada akhir ini, bakal tergopoh-gopoh di antara sisi—memakai terminologi Al Qur’an—basyar dan sisi insan.

Di bagian sebelumnya, konfigurasi dan lanskap kehidupan manusia di dalam kenyataan sosial kebudayaannya, menjadi medan eksistensi yang mengamputasi manusia. Dalam hal ini, Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa ikut menentukan ikatan-ikatan sosialnya. Hubungan manusia dengan sesamanya dalam kurun waktu tertentu akan membentuk kebiasaan-kebiasaan, tradisi, kemudian menjadi budaya. Selama kurun waktu itu pula manusia beserta masyarakatnya mengalami ruang dan beragam waktu, dan pada akhirnya menemukan dirinya sebagai makhluk yang mengalami sejarah. Alam tempat manusia hidup, memiliki hukum-hukum kausalistik yang sering disalahartikan manusia. Akibat manusia tidak mampu “memanfaatkan” hukum-hukum alam, manusia bisa terjebak di dalam silih bergantinya situasi alam. Ego, sebagai hasrat bawaan manusia, ibarat kuda liar yang mesti diarahkan jika ingin melihatnya berkembang secara normal.

Untuk itu perlu dijelaskan apa saja empat hal yang membentuk situasi batas bagi manusia, yang kerap menghantui, membuatnya hanya sekadar sebagai makhluk pasif, irrelevan, dan tidak signifikan.

Historisisme, sebagai suatu istilah yang menggambarkan mazhab pemikiran dan penjara pertama manusia, bertolak dari perspektif manusia sebagai produk sejarah. Dalam hal ini, sejarah menjadi kekuatan imperatif yang menentukan karakteristik, perkembangan, dan tujuan manusia. Manusia dengan kata lain, tidak dapat bergerak leluasa oleh sebab di dalam sejarah hubungan satu kejadian dengan kejadian sudah dideterminasi melalui sebab musabab yang statis dan tertutup.

Secara panjang lebar Ali Syariati membahas historisisme dalam Man and Islam, tiada lain karena gamblang Ali Syriati menolak perspektif materialistik yang dikandung di dalam marxisme. Marxisme, singkatnya, memandang manusia tidak berkemampuan keluar dari batas-batas eksistensinya, selain hanya dibentuk oleh hukum besi tahapan hitoris masyarakat ke dalam tahap-tahap berjenjang, berupa tahap primitif, tribalisme, feodalisme, kapitalisme, dan komunisme.

Kedua sosiologisme. Sosiologisme, dinyatakan Ali Syariati menjadi kecenderungan demikian mencolok ketika kolektivisme masyarakat menenggelamkan aspirasi, kehendak bebas, dan identitas manusia tanpa menghargai hak-hak individualnya. Sama halnya di dalam historisisme, manusia yang terdesak ke dalam penjara sosiologisme, tidak dapat mengandaikan dirinya sejauh hanya disituasikan oleh kelompoknya, corak produksinya, tradisi, pertukaran ekonomi, hubungan antar kelas sebagai kekuatan aksiomatik yang dominan.

Kekuatan sosiologisme yang demikian kuat, akan menjatuhkan manusia ke dalam level hina dan tanpa cita-cita untuk menentukan takdirnya sendiri, setelah lama ia terkurung pembatasan-pembatasan sosial dan tradisinya.

Ketiga biologisme. Biologisme, atau pandangan alam naturalistik, merupakan cara pandang yang menyatakan manusia hanya sekadar makhluk fisik belaka. Struktur fisiologis manusia yang demikian, adalah hasil dari kerja alam yang berlangsung cukup lama sebagaimana manusia menjadi pula bagian dari alam itu sendiri yang sedang berevolusi. Perspektif naturalistik melihat alam berserta hukum-hukumnya bekerja secara otomatis dan menghilangkan unsur kreatifitas yang dimiliki manusia.

Sekalipun naturalisme mengandaikan manusia terbebas dari determinisme metafisikal yang mengatur kehidupannya, tetap saja biologisme menempatkan manusia di dalam suatu posisi yang tidak jauh berbeda sebagai makhluk fisiologis dan biologis ke dalam determinisme alamiah. Itu artinya, meskipun manusia adalah makhluk dengan pencapaian-pencapaian luar biasa, seperti juga wujud selain dirinya, ia masih mengalami keterikatan dan keterlibatan yang mekanik dan materialistik di dalam hukum-hukum alam.

Penjara yang keempat adalah egoisme atau psikologisme, yakni penjara yang dikatakan Ali Syariati penjara yang paling buruk dari tiga jenis penjara sebelumnya. Ia menyebutnya sebagai the dark recesses of his lower self.  Suatu kekuatan yang menawan manusia sampai ke tingkat paling rendah: lumpur yang busuk.

Jika tiga jenis penjara bekerja secara determinis, mekanistik, dan materialistik menciptakan situasi batas di luar dari diri manusia, egoisme justru bekerja sebaliknya dengan cara menawan manusia dari dan di dalam dirinya sendiri.

Ali Syariati mengungkapkan, egoisme, walaupun dikatakan penjara paling buruk, kebangkitan manusia dari jenis penjara ini adalah suatu model perjuangan yang paling menantang dan terjal. Pengandaian tiga penjara sebelumnya, dikatakan Ali Syariati  dapat serta merta dikendalikan, dilihat, diraba, dan ditentukan karakteristiknya karena sifatnya berada secara eksternal di luar diri manusia, suatu hal yang cenderung mudah dan dapat teratasi melalui capaian ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sebaliknya, egoisme, bukanlah tipe penjara yang mudah dan gampang diatur dikarenakan ia sulit diketahui, sulit diraba dan tidak bisa dikarakteristikkan ke dalam kategori-kategori kepastian. Ego, meskipun sangat dekat dengan diri manusia, justru adalah tipe penjara yang paling signifikan menentukan kejatuhan manusia ke dalam situasi batas yang teramat pedih dan dalam.

Selain itu kesulitan manusia menundukkan ego, ditengarai juga oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang ikut bersama manusia terperanjat ke dalam penjara egio itu sendiri. Jika bagi tipe penjara sebelumnya ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi jalan pembebasan atas determinisme alam, sejarah, dan masyarakat,  kali ini, tidak berlaku di dalam penjara ego. Bersama dengan keterasingan manusia yang sulit mengendalikan egonya, keakuan manusia juga berpotensi menjadikan ilmu pengetahuan dan pencapaian teknologi tidak berarti apa-apa sama sekali.

Syahdan, kata Syariati ego adalah tipe penjara yang penjara dan tawanannya adalah satu kesatuan dan sulit dibedakan. Ia bersama manusia dan ada di sepanjang hidup manusia

 

(3)

DAWAM Rahardjo mengungkapkan, dimensi pemikiran Ali Syariati multi fased—berdimensi banyak, sehingga siapa pun yang menggali gagasan-gagasannya, bakal menemukan inti sari yang beragam, sesuai sudut pandang dan tema apa yang melatarbelakangi suatu permasalahan. Itulah mengapa tidak seperti cendekiawan lainnya, Ali Syariati tampil sebagai seorang pemikir yang denial mampu mengulas suatu problem dengan beragam cara analisis yang menjadi salah satu kekuatan intelektualnya.

Dari sisi lain, keunikan Ali Syariati sebagai seorang pemikir, ditandai dari cara kita mengakses pandangan dunia, pemikiran, dan sikap keberpihakannya, yang tidak menemukannya secara utuh di dalam satu buku yang padat. Menurut Ali Rahmena dalam Ali Syariati Biografi Politik Intelektual Revolusioner, di sepanjang kehidupannya, hanya ada dua tulisan atau pemikiran Ali Syariati yang ia rangkum dan dituliskan demi menjadi sebuah buku, yakni Kavir dan Hajj (Haji), untuk yang terakhir ini adalah sebuah buku yang ditulisnya setelah pulang dari ibadah haji di sekitar  1969 dan 1970.

Haji adalah buku yang khas dan benuansa berbeda dari kebanyakan ulama, ketika membicarakan makna ritual haji hanya melalui pendekatan legal-formal. Somayah dan Yasser, penterjemah buku ini mengungkapkan, perbedaan Syariati terlihat dari keunikan ucapan dan istilah-istilah yang rumit tapi bernuansa khas yang digunakannya saat mengekspresikan pemikirannya.

Steve Benson, seorang penyair Amerika, menyebut buku ini sebagai ”a mystical handbook for revolusionaries”, yang  membuat seorang muslim dapat berpartisipasi aktif dan penuh di dalam kehidupan modern, dengan pencampuran kombinasi mistik dengan kesadaran sosial dan kebebasan individunya.

Implikasi kepadatan pemikiran Syariati yang tidak ditemukan di dalam satu buku utuh, membuat tema pikiran-pikirannya, terutama yang berhubungan dengan eksistensialisme, agak sulit diidentifikasi, karena tidak pernah sekalipun Syariati memproklamirkan diri sebagai pemikir eksistensialis. Meskipun demikian, jika kita meneropong perjalanan intelektualnya, beserta dua buku dan kompilasi ceramah-ceramahnya dalam Man and Islam dan Hajj, akan ditemukan eksplanasi-eksplanasi Syariati yang menyerupai pemahaman eksistensialisme.

Selain George Gurwitsch, sosiolog Prancis yang memperantai pemikiran Syariati ke dalam wacana marxisme, saat ia menjalani studi selama di Sorborne, Prancis, Ali Syariati juga membangun kontak dengan tokoh pemikir-pemikir semisal Louis Massignon (orientalis Prancis), Jasques Barque (sosiolog Prancis dan ahli bahasa Arab), serta Franz Fanon (tokoh revolusi Aljazair). Selain tokoh-tokoh yang disebutkan sebelumnya, Ali Syariati juga terlibat dalam percakapan intens dengan Jean Paul Sartre, yang kala itu tengah menjadi sosok intelektual paling populer di Prancis karena mengusung dan memproklamirkan suatu jenis filsafat yang berbeda dari tradisi filsafat sebelumnya, yang disebut dengan nama eksistensialisme.

Dalam Man and Islam, pertemuan Ali Syariati dengan eksistensialisme bukan dalam bentuk konfirmasi atas pemahaman-pemahaman pokok eksistensialisme. Seperti juga perlakuannya terhadap marxisme, eksistensialisme terutama eksistensialisme Sartre, diberlakukan dengan kritis dan konfrontatif oleh Ali Syariati. Ia menyebutkan kendati Sartre berprinsip eksistensi mendahului esensi, atau mengutamakan tindakan manusia bebas daripada ditentukan oleh kategori-kategori esensial berupa konsep, gagasan, dan tujuan, adalah suatu ajaran yang berujung kepada kehampaan cita-cita luhur manusia itu sendiri.

Dari sisi ini, secara ambivalen, humanisme yang diprakarsai Sartre melalui eksistensialismenya, digugat dengan menunjukkan bahwasannya kehidupan manusia di muka bumi ini, tidak serta merta hidup bebas dengan konsekuensi terapung-apung tanpa makna dan tujuan, melainkan mengemban amanah penciptaan seperti yang ia utarakan lebih dulu melalui penjelasannya menyangkut hakikat penciptaan Adam (manusia).

Eksistensialisme, seperti juga diakui Sartre sendiri dalam Existensialism is Humanism, terbelah ke dua jenis orientasi, yakni eksistensialisme religius dan eksistensialisme atheistik. Seperti juga Heiddegger, Sartre menyandarkan konsep kebebasan manusianya di alam terbuka yang telah dibersihkan sebelumnya dari campur tangan kehendak tuhan. Itu berarti, ketika poros kehidupan yang bertumpu ke dalam wujud mutlak Tuhan, dilucuti dan diambil alih oleh manusia, membuat manusia itu sendiri sebagai makhluk yang bebas tanpa beban moril normatif, nilai-nilai, dan teologis, yang menyebabkan tindakan-tindakannya jauh lebih otonom dan dinamis.

Seperti dijelaskan sebelumnya, kebebasan bagi Sartre hanya berlaku kepada keberadaan yang disebut being-for-itself, bukan being in it self, yang ada begitu saja tanpa melekat predikat-predikat semacam aktif-pasif, positif-negatif, hidup-mati, dan sejenisnya, yang  mensinyalemenkan keadaan yang dapat bergerak dan berubah. Manusia sebagai kategori being-for-itself, adalah keberadaan yang bukan sekadar ada tapi juga mampu menyadari keberadaannya dalam ruang lingkup kesadarannya yang berhubungan dengan keberadaan yang lain. Atas dasar inilah, maka kesadaran menjadi prasyarat bagi manusia untuk mengatakan ”saya ada dan sekaligus bukan ‘gelas’” yang membuatnya mampu menentukan cara beradanya di dunia.

Ali Syariati, sangat jelas menolak konsep manusia yang semacam itu, yakni dalam ruang lingkup ketika manusia diartikan sebagai ada yang ada terlempar begitu saja di dunia (lihat konsep Dasein menurut Heidegger). Model manusia seperti ini mengimplisitkan bahwa ada, sejak awal tidak berhubungan dengan suatu proses atau sebab mengapa ia ada begitu saja. Pandangan religius Syariati serta merta menolak maksud demikian, dikarenakan telah ia uraiakan di dalam Man and Islam, bahwa manusia setelah diciptakan (ada), memiliki tujuan khusus untuk menjadi khalifah Allah di atas muka bumi ini. Atas konteks penciptaan inilah, Ali Syariati membagi dua jenis ada, yang mana satu di antaranya merupakan manusia yang hidup dengan suatu amanah langsung dari Allah.

Ali Syariati memilah dua jenis keberadaan, yakni keberadaan planeter yang dijelaskannya tidak mampu mengemban amanah penciptaan dari Allah sebagai wujud materil (basyar), serta wujud dinamis, yakni manusia sebagai makhluk spiritual (insan).

Basyar dan insan, adalah dua termin Al Qur’an yang digunakan Syariati dalam mengemukakan keberadaan statis (being) dan keberadaan dinamis (becoming). Sepadan dengan konsep being-for-itself Sartre, manusia menurut Syariati adalah jenis keberadaan yang memiliki kemampuan berada (mode of being), dengan daya ”menjadi” (becoming).

Kemampuan ”menjadi” ini bagi Syariati adalah kualitas yang tidak dimiliki oleh benda-benda, binatang, dan tumbuhan yang hanya sekadar ada. wujud-wujud planter ini, karena itu tidak memiliki kebebasan untuk bergerak menuju suatu titik aktual yang menjadi tujuan kesempurnaannya.

Bagi Syariati, manusia yang ”menjadi” inilah yang disebut insan, dan bukan sekadar ada, yang merupakan sisi statis dari basyar manusia. Itu artinya, manusia yang bergerak dari titik material-biologisnya (basyar) menuju tujuan kesempurnaan dirinya lah (insan) yang layak disebut khalifah.  Sebaliknya, manusia yang hanya berdiam diri tenggelam dalam dimensi basyarnya belaka tanpa “menjadi” insan, akan berderajat rendah lebih buruk dari wujud-wujud planeter.

Lalu, kemanakah manusia mengerahakan kemampuan  menjadinya? Atau dengan kata lain, kemanakah gerak arah insan yang menyempurnakan dirinya? Di sinilah letak fundamental sekaligus kritik Syariati terhadap Sartre yang merumuskan kebebasan tindakan manusia (menjadi) tanpa arah dan tujuan. Di titik ini, bukan saja Sartre, Syariati juga secara tegas mengkritik filsuf lainnya yakni Nietzsche, dengan mengemukakan bahwa tujuan kemenjadian manusia itu adalah Allah itu sendiri.

Meski mengandaikan suatu tujuan kepada Allah, Syariati tidak sependapat dengan pandangan sufistik yang menjadikan Allah sebagai titik final kesempurnaannya. Ayat innalillah wa inna ilaihi rojiun, bagi Syariati, tidak bisa diartikan suatu perjalanan ”ke dalam Allah”. Kata ilaihi, diterjemahkan Syariati sebagai ”kepadaNya”, bukan ”di dalamNya” seperti penafsiran konvensional ulama. Arti dari ini dinyatakan Syariati bahwa kesempurnaan manusia tidak berada di dalam suatu titik, suatu pusat, yang mengandaikan titik akhir, tetapi suatu proses perjalanan terus menerus di dalam alam ketuhanan maha luas dan tak terpemanai. Itulah makna khalifah, wakil tuhan yang senantiasa menunda titik akhir.

Perjalanan manusia menuju kesempurnaan bukan tanpa hambatan sebelumnya. Manusia sebagai proses menjadi khalifah, seperti diungkapkan di bagian sebelumnya, mesti melawan sekaligus membebaskan dirinya dari empat penjara yang mensituasikan manusia ke dalam situasi batas. Tanpa pernah melangkah keluar dari situasi batas empat penjara ini, maka selamanya manusia akan teralienasi dan terdehumanisasi dari amanah yang diberikan kepadannya.

Sampai di sini, penolakan Ali Syariati atas konsep dasar eksistensialisme Sartre berupa ada (being-in-itself dan being-for-itself), serta manusia dan kebebasannya, dengan sendirinya memasukkan Ali Syariati ke dalam eksplorasi wacana eksistensialisme yang menempatkan dirinya sebagai wakil tokoh eksistensialisme Islam, meskipun ia sendiri tidak pernah mengakuinya.

Wacanan eksistensialisme Ali Syariati, sampai di sini akan terasa lebih jelas jika kita mendedah buku Haji, yang sudah disebutkan di atas, yang di dalamnya menyiratkan pemahaman evolusi manusia melalui ritual haji, seperti ditumakan di dalam eksistensialisme Barat. Selain itu, jika kita menyandingkan gagasan Syariati dengan tokoh eksistensialisme lainnya, terutama Soren Abye Kierkegaard, maka akan banyak kemiripan di antara keduanya, terkhusus tujuan paling dasar manusia beserta tiga wilayah eksistensi manusia yang diperkenalkan Kierkegaard.

 

(4)

ERA kenormalan baru (new normal) tidak sepenuhnya adalah situasi yang kita harapkan. Malah, akibat pandemi berkepanjangan ini, mengkerucutkan pengalaman hidup manusia ke dalam situasi-situasi batas yang membuat manusia kehilangan ruang geraknya. Secara global, meski telah memasuki kehidupan normal baru, pandemi korona memaksa peradaban mesti bertindak hati-hati dikarenakan ada empat kecenderungan yang tengah terjadi. Mengutip Martin Suryajaya dalam esainya, Membayangkan Ekonomi Dunia Setelah Korona Atau Cerita Tentang Dua Virus, empat kecenderungan dunia itu adalah: de-industrialisasi, de-finansialisasi, diskoneksi fisik, dan pelokalan global.

Gejala de-industrialisasi dibayangkan Martin merupakan suatu keadaan di mana indsutri manufaktur padat karya mengalami kekeroposan. Industrialisasi berserta skema kerja dan distribusi barangnya menemukan jalan buntu ketika seluruh modal, bahan dasar, tenaga, dan mesinnya berhenti bergerak. Hal ini menyebabkan terjadinya kelangkaan barang, pasar ditutup, meluasnya penggangguran berskala besar, dan kerugian finansial yang tidak main-main.

Kehancuran industrialisasi ini, berimbas ke wilayah kehidupan masyarakat yang mesti melakukan semuanya dari dalam rumah. Sebagai benteng terakhir, dunia industrial beserta derivasi kehidupan ekonominya, tidak terjamin lagi keamanannya, dan mengharuskan orang mesti tinggal di dalam rumah sebagai satu-satunya tempat yang masih mendapat jaminan langsung dari penghuninya.

Kematian kehidupan publik yang meluas ini, menandai dan berefek langsung kepada tiga kecenderungan lainnya, yaitu kemerosotan dunia finansial berupa pasar saham anjok, pendapatan negara turun drastis, investasi terhenti, dan nilai tukar mata uang yang tak pasti; yang mengakibatkan negara-negara mengalami krisis kehidupan berupa terjadinya diskoneksi fisik di bidang-bidang pariwisata, pusat-pusat kebudayaan, pasar modern, tempat-tempat hiburan, dan pusat-pusat peribadatan.

Puncak dari itu akan membawa kehidupan manusia ke kecenderungan ketiga berupa pelokalan global, yakni suatu keadaan ketika suluruh aktifitas manusia hanya bisa dilakukan dalam ruang lingkup yang terbatas. Tidak bisa dibayangkan seluruh koneksi peradaban masyarakat yang selama ini telah mencapai skala global, pada akhirnya dimundurkan kembali ke suatu bentuk interaksi sederhana seperti dalam model masyarakat tradisional.

Apa yang dibayangkan Martin Suryajaya, cukup menarik untuk ditelaah dan dilihat kemungkinan-kemungkinannya, terutama ketika terjadi peralihan dari kehidupan terisolasi menuju kenormalan baru, apakah kehidupan akan kembali seperti sediakala, dalam arti tidak ada upaya antisipasi untuk menanggulangi kerusakan dan kehancuran sendi-sendi kehidupan akibat pandemi korona, dan membiarkan kehidupan ini berjalan apa adanya, ataukah ada semacam kewaspadaan baru yang menimbulkan keantisipasian berupa strategi kehidupan, agar seluruh dimensi peradaban masyarakat ini dapat terselamatkan.

Meski masalah yang diajukan Martin Suryajaya cukup mendasar, tapi masih ada satu problem mendesak yang dirasa perlu juga untuk diberikan perhatian, yakni kebebasan manusia di saat seluruh bidang kehidupan mengalami disrupsi. Dalam hal ini, wacana yang diajukan Martin, merupakan suatu eksposisi yang memproblematisir kehidupan eksternal manusia dengan mempermasalahkan disrupsi yang terjadi di bidang sosial, terutama dimensi perekenomiannya.

Masalah-masalah yang coba diterangkan Martin memang sudah dirasakan sebelumnya, dan berdampak serius bagi kehidupan manusia. Meski demikian, masalah kebebasan manusia yang tiba-tiba terbatasi oleh keadaaan, juga membawa dampak lumayan serius, yakni depresi, stress berkepanjangan, kemarahan, dan bahkan jauh lebih dalam, yakni kecemasan yang menjadi problem eksistensial manusia.

Dengan kata lain, seluruh ekspresi masyarakat di hampir semua bidang kehidupan mengalami situasi batas yang menyebabkan semakin terasingnya manusia ke dalam kehidupan isolatif dan depresif. Ini tiada lain, merupakan masalah di wilayah internal manusia. Masalah tersendiri yang langsung mendekam di kedalaman diri manusia yang berefek besar jika tidak segera diidentifikasi dan dipecahkan.

Karena itu, menarik ditelusuri apakah kebebasan manusia masih mungkin diberikan posisi yang cukup signifikan dalam era kenormalan baru ini, atau tidak sama sekali, mengingat hidup bebas seperti sebelum korona tidak mungkin sama sekali dan cukup berisiko jika diaktualkan. Jika tidak, apakah keadaan saat ini mengancam eksistensi manusia, terutama saat ia kehilangan medan ekspresi atas tindakan-tindakannya di ranah kehidupan yang saat ini sedang berubah?

Manusia dikatakan filsafat eksistensialisme hanya dapat dikatakan eksis jika ia memiliki ruang agar dapat bertindak otentik sesuai kebebasan dan jati dirinya. Dalam hal ini, apakah kenormalan baru menjadi situasi batas baru sebagaimana ruang publik sebelumnya yang mengalami pembatasan besar-besaran, memberikan cukup ruang kebebasan agar manusia dapat mengaktualisasikan tindakan-tindakannya?  Apakah kenormalan baru, dengan begitu, membuat kehendak bebas manusia saat ini  mesti diatur sedemikian rupa, agar manusia tidak kehilangan orientasi kehidupannya?

Salah satu risiko yang banyak dituai dari kebebasan bertindak selama ini adalah kematian. Kematian sebagai situasi batas yang tidak bisa dilampaui manusia, menjadi masalah besar bagi saat ini dikarenakan betapa banyaknya nyawa hilang begitu saja oleh sebab-sebab yang tidak mampu ia kendalikan. Sistem-sistem kendali yang tak bisa dijangkau manusia itu sendiri, menjadi semakin berbahaya karena penanganan yang juga serampangan dan terlambat.

Negara, dalam hal ini pemerintah, menjadi salah satu sistem yang selama ini menangani korona dengan cara serampangan dan asal kerja, dan tidak memiliki rencana besar sama sekali. Sistem negara yang selama ini diandalkan, sama guyahnya dengan sistem pemakanaan dari budaya dan agama yang kelihatan melihat pandemi ini dengan kacamata fatalistik. Budaya dan agama, yang seharusnya menjadi sumber inspirasi dan sumber pemakanaan, nyatanya menjadi biang kerok pengecer paradigma yang menganggap rendah kebebasan manusia dan kematian itu sendiri.

Dikarenakan situasi masyarakat yang dibawa ke dalam kawah kematian dan keserbaterimaan nasib, maka perlu untuk merevitalisasi ulang cara manusia bertindak. Tepat di titik inilah, sumbangsih eksistensialisme yang sedikit banyak sudah kita bahas di atas, cukup relevan dikemukakan.

Tapi, mengapa mesti eksistensialisme, terkhusus eksistensialisme Ali Syariati, dan bukan eksistensialisme dari pemikir lainnya? Setidaknya ada dua sebab utamanya, mengapa eksistensialisme Ali Syariati yang paling tepat untuk ditelaah dan diajukan sebagai alternatif, demi memberikan pemaknaan ulang menyangkut kebebasan, tindakan, dan cara berpikir masyarakat, terkhusus di bangsa ini.

Pertama, terkhusus konteks di tanah air, saat korona kian nyata, muncul respon ekstremis dari sebagian kelompok keagamaan, yang menawarkan sudut pandang fatalistik saat menghadapi korona. Bagi kelompok ini, manusia sebagai penerima nasib, mesti memasrahkan diri kepada takdir Tuhan yang menciptakan korona sebagai batu ujian keimanan. Bentuk kepasrahan fatalistik ini mengenyampingkan kehendak bebas manusia  untuk merespon lingkungan kehidupannya yang berubah, sehingga menempatkan manusia hanya sebagai selaiknya boneka di atas panggung kehidupan. Akibatnya, kepasrahan negatif ini membuat kelompok ini cenderung sinis kepada upaya pencegahan meminimalisir penyebaran korona. Mereka serta merta tidak mengindahkan imbauan pihak berwenang agar menjaga diri dari peluang kecepatan dan kemassifan penyebaran korona.

Kasus pertemuan akbar beberapa waktu lalu di Gowa, Sulawesi Selatan, yang mengumpulkan  ribuan jamaah tabligh, masjid-majid yang tetap dibuka, pertemuan ibadat gereja di NTT, adalah beberapa contoh betapa berbahayanya pandangan berterimaan nasib negatif ini.

Kelompok-kelompok keagamaan semacam ini, selain fatalistik, juga deterministik di dalam melihat rangkaian peristiwa yang disertai korona. Kematian yang semakin banyak jumlahnya, tidak sama sekali mengubah pandangan mereka mengenai nasib yang dianggap sudah diatur melalui rentetan hukum besi yang tidak sama sekali bisa diubah.

Kedua, agama bagi kehidupan bangsa ini salah satu faktor yang berpengaruh kuat bagi masyarakat. Agama masih menjadi sumber dan acuan nilai masyarakat dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Meski demikian, tidak sepenuhnya agama berkontribusi positif bagi banyak pihak. Meluas dan ditemukannya kelompok-kelompok konservatif dan radikal dalam menafsirkan agama secara serampangan dan semena-mena, menjadi tantangan tersendiri untuk merekontekstualisasikan ajaran agama agar lebih humanis, spiritualis, dan dinamis.

Dalam hal ini, jenis pandangan keagamaan fatalistik dan deterministik di atas, ditopang oleh suatu struktur teologi negatif, yang mendehumanisasi peran manusia hanya sebatas makhluk alamiah saja. Perspektif seperti ini, sama fatalnya dengan pandangan naturalistik, bahwa seluruh ekspresi manusia, dideterminasi oleh hukum mekanik alam semesta. Hanya saja, jika naturalisme mengandaikan manusia sebagai makhluk fisis semata, dan diatur melalui sebab-sebab determinan lingkungan alam, maka bagi pandangan teologi kelompok ini menganggap manusia sebagai wujud pasif yang tidak sama sekali memiliki kualitas pengetahuan dan daya cipta yang menjadi kualifikasi kemanusiaannya.

Lalu, bagaimanakah meletakkan makna eksistensialisme Ali Syariati ke dalam konteks kenormalan baru? Satu-satunya cara adalah dengan menjadikannya sebagai cara pandang alternatif di dalam menyikapi keadaan saat ini. Atau dengan kata lain, penting untuk merefleksikannya ke wilayah eksistensial diri kita, sehingga mampu menjadi inspirasi dan sumber acuan baru dalam berpikir dan bertindak. Itu berarti, mungkinkah menjadi seorang eksistensialis dengan di saat bersamaan, melalukan kritik kepada paham religius yang membekukan agama sebatas ajaran ritual formal semata? Dengan kata lain, mungkinkah menjadi seorang muslim sekaligus bertindak eksistensialis dengan cara bertindak bebas demi menemukan kepribadian yang otentik, meskipun sedang mengalami kenormalan baru? Kebebasan manusia macam apakah yang diharapkan mampu eksis saat dunia sedang melawan pandemi berkepanjangan ini?

 

(5)

Eksistensialisme Ali Syariati adalah kesegaran baru yang cukup relevan di keadaan kenormalan baru. Konsep subjektivitas ala eksistensialis yang dijelaskan melalui termin insannya, dapat mengajak individu agar tidak kehilangan orientasi hidup di masa pandemi ini. Situasi serba tidak terkendalikan, bukan faktisitas yang serta merta mesti diratapi, melainkan medan kehidupan tempat manusia merealisasikan tindakannya.

Keadaan pandemi tanpa arah ini, akan membuat sebagian orang kehilangan orientasi hidupnya, dikarenakan hanya bergerak sekadar ada (basyar) saja, sehingga terombang-ambing tanpa kepastian. Selain menjadi tawanan empat penjara, manusia yang bergerak atas dimensi basyarnya belaka, juga akan mengalami kekeringan maknawi dan spiritualitas. Berbeda dengan itu, manusia yang ”menjadi” (insan) akan senantiasa memandang setiap keadaan yang dihadapinya sebagai bagian dari tahapan kesempurnaan eksistensinya.

Eksistensialisme Ali Syariati dengan begitu menjadi sebuah pilihan paling mungkin di antara isme-isme dunia yang mendangkalkan manusia hanya sekadar makhluk satu dimensi dan materialistik. Senada dengan itu, keyakinan religius yang berpasrah diri secara fatalistik, dan memandang manusia sebagai makhluk deterministik, juga tidak dapat menjadi pilihan dikarenakan hanya memberikan eskapisme seolah-olah agama adalah candu.

Dengan tiga atribut berupa kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas, manusia menjadi makhluk yang tidak serta merta berpasrah diri menerima takdir alam, ataupun takdir Tuhan itu sendiri. Ketiga atribut yang dimiliki manusia, bukan berarti kualifikasi kemanusiaan yang berhadapan langsung dengan kehendak Tuhan, melainkan dari tujuan penciptaannya, justru tujuan manusia dihadirkan di muka bumi merupakan bagian dari rencana Tuhan demi menciptakan kebaikan dan kemakmuran bagi masyarakat.

Inti eksistensialisme Ali Syariati, adalah pemikiran yang membangun proyek pembebasan dari dehumanisasi dan materialisasi manusia. Tidak sama seperti isme-isme lainnya, terutama juga eksistensialisme Barat yang menyebabkan diri manusia terasing dan kehilangan orientasi, eksistensialisme Ali Syariati justru adalah suatu jalan transendensi diri dari tindakan dan tanggung jawab manusia menuju kesempurnaan wujudnya, sekalipun itu melewati dunia kematian

Syahdan, kematian dan masalah-masalah eksistensial berupa kecemasan, kegelisahan, kebebasan, dan keterasingan, bukanlah soal-soal fundamental bagi seorang insan. Dalam Man and Islam, Ali Syariati menyebutkan penawar dari agar mampu keluar dari situasi batas empat penjara manusia: cinta. Hanya cintalah kekuatan kreatif dan dinamis yang mampu membuat seorang insan dapat ”menjadi” sebagai agen bebas dan bertanggung jawab. Hanya cintalah, hatta, kematian sekalipun, faktisitas yang otomatis bukan rintangan bagi seorang khalifah, untuk menuju kesempurnaan dengan bahagia dan terbuka pasca kematian mendatangi dan  meninggalkan dunia ini.

 

 

 

 

Filsafat Kebahagiaan Platon

Sejak dahulu, pembahasan mengenai pertentangan internal dalam diri manusia antara hasrat (nafsu) dan akal budi telah menjadi tema penting dalam ajaran kearifan dan agama-agama kuno. Sanatana Dharma dalam ajaran Hindu mengajarkan memperoleh kebijaksanaan abadi dengan mengendalikan nafsu yang kerap menghambat jalan dharma. Ajaran Buddhis lebih ekstrem dengan menegaskan bahwa sumber penderitaan adalah hasrat, dan untuk mencapai kebahagiaan adalah dengan membebaskan jiwa dari penjara hasrat melalui 8 jalan. Ajaran kearifan Timur tersebut mengingatkan akan bahayanya nafsu bagi pencapaian kebahagiaan sejati manusia.

Tak lama berselang, masih lebih kurang 24 abad silam, dari bumi Athena seorang pemikir besar bernama Platon berpendapat bahwa setiap manusia memiliki ragam keinginan dan hasrat yang saling berkonflik satu sama lain, serta bahwa manusia harus mengatur semua hasrat yang bergejolak di dalam dirinya tersebut. Meski pandangan tentang hal ini telah didapati dalam rekam jejak ajaran  peradaban-peradaban kuno Mesopotamia maupun Hindu kuno, namun Platon adalah orang yang pertama kali mengajukan pertanyaan ini dan berusaha menjawabnya secara sistematis.

Platon membahas soal kebahagiaan manusia dengan memulainya dengan membahas tentang jiwa. Menurut Platon, jiwa manusia memiliki tiga bagian, yakni bagian akal budi, semangat, dan nafsu-nafsu rendah, dan ketiga bagian ini saling berlomba untuk mengatur keseluruhanmanusia. Jika bagian akal budi menang, maka ia akan menjadi manusia yang rasional, jika bagian semangat yang menang, maka ia akan menjadi orang yang berani, dan jika bagian nafsu-nafsu rendah yang menang, maka ia akan menjadi orang yang diperbudak  nafsu-nafsu rendahnya, seperti nafsu seks berlebihan, nafsu makan, dan nafsu kekuasaan.

Kebahagiaan adalah soal mengatur hasrat dan keinginan yang beragam di dalam diri manusia, sehingga semuanya bisa terarah pada satu tujuan yang bisa membuatnya bahagia. Tentang ini Aristoteles pernah berkata, bahwa lepas dari keberagaman kriteria dan isi dari apa yang membuat orang bahagia, ada satu hal yang sama, yakni bahwa kebahagiaan mencakup aktivitas jiwa manusia yang didasarkan pada keutamaan.

Jadi lepas dari segala perbedaannya, kebahagiaan itu selalu terkait dengan sifat dan sikap hidup yang baik, yang disebutnya sebagai keutamaan. Keutamaan itu adalah sikap rendah hati, jujur, toleran, dan sikap-sikap baik lainnya. Orang yang bisa hidup dengan berdasarkan keutamaan pasti akan berpeluang besar untuk meraih kebahagiaan.

Kembali kepada Platon, Kebahagiaan pada hakekatnya adalah upaya manusia untuk menata beragam hasrat, dorongan, dan keinginan yang beragam di dalam dirinya, sehingga ia bisa mencapai kondisi harmonis, serta mulai mengarahkan hidupnya untuk mencapai tujuan yang bermakna bagi dirinya. Inilah inti pandangan Platon tentang kebahagiaan. Orang yang mencapai kebahagiaan adalah orang yang telah berhasil mencapai harmoni antara tegangan antara jiwa luhur dan hasrat-hasratnya. Ia tidak membiarkan keinginannya tumpang tindih, selalu tertata, kuat secara pribadi, dan dalam semuanya itu ia menjadi orang yang utuh serta bersahaja.

Platon menyebut sebuah istilah ‘rumah penjara’ (prison house), yakni suatu kondisi di mana diri (self) manusia dipenuhi oleh hasrat dan keinginan tidak teratur, seperti kerakusan, kesombongan, dengki, dan iri hati. Kondisi ini akan bermuara pada terciptanya keadaan tirani ketidakbahagiaan (tyranny of unhappiness). Jika sudah seperti itu, kebahagiaan akan semakin jauh dari genggaman tangan. Hal ini terjadi karena akal budi belum menjadi tuan atas diri manusia.

Akal budi masih dipengaruhi dari nafsu dan hasrat sesaat untuk meraih kenikmatan. Artinya, akal budi belum menjalankan fungsi normalnya, yakni sebagai penata berbagai hasrat dan keinginan yang bergejolak di dalam diri manusia. Akal budi belum menjadi sumber harmoni kehidupan. Kegagalan akal budi untuk menjadi tuan atas diri manusia ini disebut juga sebagai irasionalitas. Maka searah dengan pendapat Platon, kita tidak dapat memahami kebahagiaan, selain sebagai harmoni antara berbagai hasrat dan keinginan di dalam diri manusia.

Kesimpulannya, kebahagiaan bukanlah soal memenuhi semua keinginan yang sifatnya materil. Dan jika orang malas berpikir,serta memilih untuk hidup menuruti kemauan sesaatnya saja, kebahagiaan justru jauh dari genggaman tangan. Platon pernah berpendapat bahwa individu yang baik adalah individu yang hidup dalam harmoni, baik di dalam dirinya maupun dalam dunia sosialnya. Individu tersebut utuh dalam arti bagian-bagian kepribadiannya berfungsi secara normal dan membentuk kesatuan jati diri yang jelas. Tanpa kesatuan itu orang akan terpecah kepribadiannya dan tak akan pernah meraih kebahagiaan dalam hidupnya.

Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhiratihasanah wa kinna azabannar.

Tuhanku berikan kami kebahagiaan di dunia dankebahagiaan di akherat dan bebaskan kami dari siksa api neraka.

Postmodernisme dan Fenomena Kebudayaannya

Charles Jencks, seorang arsitek sekaligus pemikir, mengklaim bahwa postmodernisme lahir pada tanggal 15 Juli 1972, pukul 15.32 bersamaan dengan diruntuhkannya kompleks perumahan untuk orang-orang berpenghasilan rendah, yaitu, Pruitt-Igoe di St. Louis, Missouri, yang baginya merupakan lonceng kematian bagi arsitektur modern. Kompleks perumahan tersebut di desain oleh Minoru Yamasaki, yang juga mendesain gedung WTC (dan kini pun sudah ambruk). Arsitektur adalah sebuah titik awal yang cukup bagus untuk mulai membicarakan tentang postmodernisme, karena istilah modernisme pun lahir dari bidang arsitektur. Awalnya adalah Suger, seorang kepala biarawan, yang merekonstruksi basilika St. Denis pada tahun 1127, yang kebingungan untuk menyebut apa gaya arsitektur baru yang didesainnya tersebut, karena merupakan suatu “penampakan baru” untuk masa itu. Maka dia pun mencomot istilah Latin, yaitu opus modernum, yang artinya “sebuah karya modern”. Kata modern sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu modo yang artinya “barusan”.1

Jencks, dalam sebuah artikel singkat di surat kabar, pernah menjelaskan bahwa istilah postmodern sebenarnya telah dipakai pada tahun 1870 oleh seniman Inggris, John Watkins Chapman, dan pada tahun 1917 oleh Rudolf Panwitz. Namun, apa arti dari istilah modernisme dan juga postmodernisme biasanya malah baru mendapat penjelasan yang tajam dan detail justru setelah beberapa abad berlalu. Lucunya, di era modern Franco Moretti pernah menyebut istilah Modernisme sebagai “istilah tanpa arti dan jangan terlalu sering digunakan”, namun di kemudian hari, kamus The Modern-Day Dictionary of Received Ideas malah mendefinisikan Postmodernisme sebagai “Kata ini tak punya arti. Gunakan saja sesering mungkin.”2 Namun, meski pun demikian, Bambang Sugiharto menjelaskan bahwa apa arti dari postmodernisme itu bisa  bermacam-macam: (1) Berbagai sikap kritis atas pola pikir dan mentalitas Modern (cakupannya luas, aliran pikirannya sangat beragam); (2) Babakan zaman baru dengan gejala budaya baru yang cakupannya global, pada milenium ketiga ini; (3) Aliran filsafat tertentu (Lyotard, Derrida, Foucault, dsb), yang hingga kini sangat kontroversial; (4) Style tertentu dalam dunia seni dan arsitektur.3 Postmodernisme—walau belum bisa dikatakan sebagai suatu era tersendiri—setidaknya bisa dilihat fenomenanya dalam tiga ranah dengan cirinya masing-masing, yaitu, filsafat, seni dan sosial budaya yang, bagaimana pun, memang memperlihatkan suatu perubahan drastis dari ciri-ciri modernisme secara umum.

Modernisme yang Justru Memicu Postmodernisme

Modernisme merupakan konsep yang umumnya sering dikaitkan dengan fenomena dan kategori kebudayaan, khususnya estetika atau gaya, sedangkan modern seringkali dikaitkan dengan penggal sejarah atau periodisasi, sementara, konsep modernitas digunakan untuk menjelaskan totalitas kehidupan. Benih modernisme setidaknya mulai bersemi di Eropa bersamaan dengan awal gelombang Renaissance. Era Baru yang, salah satunya, terlahir dari luka atas dominasi gereja yang memenjara manusia dalam dogma dan pikiran hidup untuk mati (momento mori). Luka tersebut, di kemudian hari, akan melahirkan antara lain moralisme sekuler, humanisme, individualisme, rasionalisme dan kepercayaan akan progresivitas atau kemajuan sejarah. Awal dari dunia modern seringkali dinisbatkan kepada Renaissance yang dianggap sebagai awal dari perkembangan sains dan teknologi, perluasan dan ekspansi perdagangan, perkembangan wawasan modern tentang humanisme; sebagai tantangan terhadap kepercayaan keagamaan Abad Pertengahan juga sebagai sebentuk pendayagunaan rasionalitas dalam pemecahan masalah-masalah manusia. Semangat Renaissance jelas sekali diwakili oleh pemikiran Rene Descartes, dan melalui wawasan humanismenya yang menjadikan manusia—dengan segala kemampuan rasionalnya—sebagai aku (subjek) yang sentral dalam pemecahan masalah dunia.

Descartes menyulut api Renaissance di Eropa, menyibak Abad Kegelapan, melalui metode “Dubium Methodicum” (Metode Keraguan). Bahwa pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang memiliki kepastian, namun untuk memperoleh kepastian maka kita harus meragukannya dulu. Jangan takut. Ragukan semuanya, hingga yang tersisa adalah sesuatu yang pasti, yaitu keraguan itu sendiri. Bahwasanya ada satu yang tak bisa diragukan, yaitu ‘aku yang meragukan semuanya’, karena untuk meragukan harus ada yang ‘berpikir’, dan untuk berpikir harus ada aku yang berpikir, sehingga dengan demikian, aku ada. Maka lahirlah adagium ‘cogito ergo sum’, ‘aku berpikir maka aku ada’. Dengan itu, maka Descartes menjadikan subjek yang berpikir (yang di kemudian hari nanti dikenal sebagai subjek cogito) sebagai pijakan atau titik tolak bagi filsafatnya. Wawasan humanisme  Cartesian, dalam hal ini, bersifat sangat mekanistis, dalam pengertian rasionalitas dijadikan sebagai ukuran tunggal kebenaran, dan mesin dijadikan sebagai paradigma, dalam mewujudkan mimpi-mimpi utopis manusia modern akan kekuasaan. Bambang Sugiharto menjelaskan bahwa yang dimaksud “modernisme” di bidang filsafat adalah gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang pada awalnya diinspirasikan oleh Descartes, dikokohkan oleh gerakan Pencerahan (Enlightenment/Aufklärung), dan mengabadikan dirinya hingga abad keduapuluh melalui dominasi sains dan kapitalisme.4

Pengertian subjek dalam wawasan humanisme-rasional Cartesian ini, menurut David Michel Levin, sebenarnya penuh dengan kekaburan dan paradoks oleh karena di satu pihak penyanjungan  kemampuan akal budi manusia, yang menjadikan manusia sebagai subjek yang merdeka, self-determination dan self-affirmation; merupakan awal dari keterputusan manusia dari Tuhan; di lain pihak, konsep rasional ini justru diandalkan oleh Descartes sebagai perangkat untuk membuktikan eksistensi Tuhan itu sendiri. Dan bila dikaitkan dengan eksistensi manusia di dalam ruang dan waktu, Heidegger menjelaskan bahwa apa yang disebut dengan periode modern, “…dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa manusia menjadi pusat dan ukuran dari semua ada (beings).”5

Apa yang disebut dengan Pencerahan (Aufklärung) dalam diskursus filsafat modern, sebenarnya adalah suatu proses penyempurnaan secara kumulatif kualitas subjektivitas dengan segala kemampuan objektif akal budinya dalam mencapai satu tingkatan sosial yang disebut dengan kemajuan. Keterputusan dari nilai-nilai mitos, spirit ketuhanan, telah memungkinkan manusia modern untuk mengukir sejarahnya sendiri di dunia—suatu proses self-determination, di mana manusia menciptakan berbagai kriteria dan nilai untuk perkembangan diri mereka sendiri sebagai subjek yang merdeka. Keterputusan dari nilai-nilai dan spirit yang lama, telah memungkinkan manusia modern untuk hidup di dunia baru, dunia modern. Hegel menyebut dunia baru ini sebagai zaman baru (new age), dengan spirit yang baru. Seperti yang dikemukakannya bahwa: “Zaman kita adalah sebuah zaman kelahiran dan periode peralihan menuju satu era baru. Spirit telah terputus dari dunia yang sebelumnya dihuni dan diimajinasikannya, dari pikiran yang telah menenggelamkannya di masa lalu, dan ia dalam proses transformasi. Spirit tidak pernah diam di tempat, akan tetapi selalu dalam proses bergerak ke depan…ketidakstabilan dan kebosanan yang mengguncang orde yang mapan, ramalan samar-samar tentang sesuatu yang belum diketahui di depan, semuanya ini adalah petanda dari perubahan yang tengah menjelang…”6 Hegel, dalam hal ini, melihat periode modern sebagai satu periode di mana manusia sebagai subjek, menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria-kriteria dalam kehidupannya di dunia. Baginya, tidak ada landasan lain yang dapat menopangi subjek yang merdeka selain dari akal budi sang subjek itu sendiri—akal budi yang mencari kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Baginya adalah ilmu pengetahuan yang menjadi mahkota dari apa yang disebutnya Kebenaran Ideal (Spirit), menggantikan mitos, legenda, atau wahyu.

Namun, di masa berikutnya, gambaran dunia yang dibangun oleh modernisme ini melahirkan berbagai konsekuensi negatif bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya. Bambang kembali memaparkan setidaknya enam konsekuensi negatif pada taraf praksis, yaitu: pertama, pandangan dualistik yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual-material, manusia-dunia dan lain sebagainya, telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Kedua, pandangan modern yang bersifat objektivis dan positivitis akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin sehingga cenderung menjadi tidak manusiawi. Ketiga, dalam modernisme, ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi sehingga nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya, akibatnya terjadi disorientasi moral-religius yang meningkatkan pula kekerasan, keterasingan, depresi mental. Keempat, materialisme ontologis, bahwa materilah yang dianggap sebagai kenyataan terdasar, yang bergandengan dengan materialisme praktis, yaitu bahwa hidup adalah keinginan yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Kelima, militerisme, yaitu ketika kekuaaan yang menekan dengan ancaman kekerasan dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mengatur manusia, bahkan religi pun menjadi sama koersifnya ketika dihayati secara fundamentalistis. Keenam, bangkitnya kembali Tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri.7

Dunia modern sendiri tampaknya lebih mirip sebagai sebuah dunia yang kontradiktoris. Marshall Berman menggambarkan bahwa menjadi modern adalah menemukan diri manusia di dalam sebuah lingkungan yang menjanjikan petualangan, kekuasaan, suka cita, pertumbuhan, perubahan diri manusia sendiri dan dunia—dan pada saat yang sama, mengancam untuk menghancurkan segala sesuatu yang manusia punyai, segala sesuatu yang diketahuinya, segala sesuatu dari diri manusia sendiri. Ini dikarenakan masyarakat modern, di satu pihak, membutuhkan moralitas, tetapi di pihak lain ia membuatnya mustahil. Dunia modern memunculkan pemahaman-pemahaman tertentu tentang moralitas, tetapi juga menghancurkan dasar-dasar untuk menganggap serius pemahaman tertentu. Sampai sejauh ini perdebatan seputar permasalahan tersebut masih menjadi bahan pembicaraan.8

Postmodernisme dan Seni

Ada semacam antagonisme dialektis antara “dulu” dan “kini” dalam perjalanan sejarah Barat yang senantiasa berpacu dalam ketidaksukaannya terhadap segala yang lama, dalam penolakan kepada pendahulu terdekat sebelumnya yang tampaknya selalu diturunkan secara naluriah. Hal lainnya adalah bias kesejarahan budaya Barat yang sangat kuat, suatu kepercayaan bahwa sejarah menentukan cara bagaimana sesuatu itu semestinya, yang bisa terlihat dalam pemikiran dialektika dari Hegel dan juga materialisme dialektik dari Marx. Konsep Geist (Ruh) dari Hegel menjelaskan konsep orde universal yang diidentifikasikan sebagai kehendak Tuhan yang menjelma di dunia. Ilmu pengetahuan itu sendiri—sebagaimana subjek yang mencarinya—tidaklah sempurna dari awalnya. Ruh dan subjek selalu berada dalam proses menjadi sehingga subjek selalu berada dalam proses dialektik pembaharuan secara konstan karena ketidakpercayaannya terhadap ruh dan hukum alam.9 Perubahan yang dihasilkan dari proses bergerak ke depan dan proses menjadi inilah yang oleh subjek modern itu sendiri yang dinilai sebagai kemajuan, dan hal ini paling mudah terlihat dalam sejarah seni.

Di Abad Pertengahan, segala hal dalam kehidupan manusia harus senantiasa menjadi pelayan bagi agama, seperti filsafat, sebagaimana ditegaskan olehThomas Aquinas, adalah ancilla theologiae, pelayan bagi teologi. Demikian pula berbagai seni sebelum lahirnya seni modern, dituntut untuk menjadi hiburan dan pendorong bagi yang hidup serta menyampaikan pesan dan ajaran agama serta mengingatkan akan hari akhirat. Abad Pertengahan bisa dikatakan sebagai abad teosentris, karena segala hal selalu diarahkan kepada Tuhan, dan manusia cenderung diabaikan, sebab Kehendak Yang Maha Kuasa di atas segala-galanya, baru pada masa Renaissance terjadi perubahan kepada manusia, sehingga seni pada zaman ini hingga menjelang abad 20 bisa dikatakan bersifat antroposentris. Namun, di masa-masa tersebut belum muncul sesuatu yang bisa dikatakan sebagai seni modern, karena prinsip naturalisme dalam lukisan masih mendominasi teknik melukis saat itu, hanya temanya saja yang berubah-ubah, hingga kemudian ditemukannya kamera foto.

Penemuan ini mengakhiri otoritas seni untuk mereproduksi realitas dan mendadak gaya naturalis menjadi ketinggalan zaman. Seniman seperti mendapat saingan berat; apabila realitas natural bisa diabadikan dalam sekejap dengan jauh lebih baik, tepat, akurat dan benar oleh kamera foto, maka di mana lagi tempat bagi seniman. Maka para seni pun harus mengubah arahnya, dari mereproduksi realitas menjadi merepresentasikan yang tak terhadirkan. Maka mulailah muncul gaya seni impresionisme yang menitikberatkan pada perubahan cahaya dan cuaca di sepanjang hari; bahwa melukis suatu pemandangan di pagi hari akan berbeda warnanya dengan melukisnya di sore hari. Bahkan pergeseran posisi seniman dalam melukis pun akan menghasilkan kesan dan warna yang berbeda dari objek lukis yang sama. Seniman yang dikenal di aliran ini adalah Claude Monet, Eduard Manet, Edgar Degas, Aguste Renoir, Camille Pissaro, dan Alfred Sesley. Kemudian dilanjutkan oleh neo-impresionisme yang melukis dengan petak-petak kecil warna, hampir merupakan titik-titik, sehingga disebut juga sebagai pointilisme, yang tujuannya untuk membuat efek cahaya yang kuat. Seniman yang dikenal di aliran ini adalah George Seurat, Paul Signac, Paul Cezanne dan Paul Gauguin. Berikutnya, muncul aliran realisme yang mencoba melukiskan realitas sebagaimana adanya, kenyataan sehari-hari tanpa ‘dibungai-bungai’ oleh perasaan romantis yang malah menutupi realitas dari kepahitan hidup, seperti kehidupan para pekerja kasar, orang-orang miskin , kesibukan kota dan pelabuhan. Seniman yang dikenal di aliran ini adalah George Hendrik Breitner dan Rodin, seorang pematung.

Kemudian gaya tersebut dilampaui kembali dengan lahirnya gaya ekspresionisme yang mencoba melukis dengan mencurahkan jiwa dan perasaan sang seniman seutuhnya saat melukis; yang ingin dilukiskan adalah segala yang dipikirkan maupun dirasakan sang seniman terhadap objeknya. Seniman yang dikenal di aliran ini adalah Vincent van Gogh, Paul Gaguin, dan Ernast. Namun, karya seni yang bisa dikatakan benar-benar merepresentasikan semangat modern dan benar-benar baru, karena berbeda dari gaya seni sebelumnya, adalah Kubisme yang mencoba melukis objek lukisannya dengan bentuk-bentuk geometris, bahkan manusia pun disederhanakan menjadi bentuk-bentuk geometris, tak ubahnya arsitektur. Seniman yang dikenal di aliran ini adalah Pablo Picasso, G. Braque, dan Paul Cezanne. Gaya ini pun kemudian coba dilampaui oleh gaya Abstrak yang dalam melukis mencoba menghilangkan semua referensi representasional untuk menghapuskan semua “jejak” realitas  dari (re)presentasi apa-apa yang tak tergambarkan, sesuatu yang sublim. Seniman yang paling dikenal dari aliran ini adalah Piet Mondrian. Lalu muncul juga gaya Surrealisme yang mencoba membebaskan seniman dari kontrol kesadaran dan masuk ke ketaksadaran, menginginkan kebebasan seperti orang bermimpi dan mencoba menghadirkan mimpi tersebut. Seniman yang paling terkenal dari aliran ini adalah Salvador Dali. Lalu muncullah gaya Ekspresionisme Abstrak yang seperti mengakhiri peran seni lukis dalam menghadirkan dan mereproduksi realitas, untuk kemudian beralih mencoba menghadirkan yang tak terhadirkan, yaitu sesuatu yang sublim dan emosi serta ekspresi sang seniman. Seniman paling terkenal dari aliran ini adalah Jackson Pollock.

Sampai di sini, kita menyaksikan perkembangan dan percepatan gaya seni rupa yang masih berada di atas kanvas. Di tengah perubahan gaya yang senanatiasa bersikap antagonis kepada gaya sebelumnya, penolakan untuk mengulang gaya yang sudah ada, seni lukis seperti ‘tumpah ke luar dari kanvas’ yang mulai dilakoni oleh Dadaisme, sebuah nama yang diambil dari ucapan bayi tak bermakna “da da da da…” sebagai suatu aliran seni yang muncul dari proses terhadap mekanisasi lini perakitan mesin pembantai di Perang Dunia I serta eksploitasi teknologi modern untuk prang dan saling membunuh antar manusia. Sebentuk gaya seni yang justru anti seni dan anti ekspresi, dengan menggunakan berbagai barang jadi sebagai karya seni. Seniman yang dikenal dari aliran ini adalah Hans Arp, Francis Picabia, Marcel Duchamp, Ruigi Russalo dan Severini.

Gaya ini pun kemudian dilampaui lagi oleh gaya berikutnya. Bukannya menghadirkan karya seni, namun yang diangkat dan belum pernah diolah gaya dan seniman sebelumnya adalah aura sang seniman itu. Aura dan otonomi karya seni dipindahkan kepada sang seniman, seperti yang dilakukan dua seniman London, Gilbert dan George, yang memamerkan diri mereka sendiri sebagai “patung hidup”. Kemudian, ini pun dilampaui oleh seniman berikutnya, yang juga tidak menghadirkan karya seni atau pun mengolah aura sang seniman, tapi mengolah peristiwa sebagai karya seni, seperti yang dilakukan oleh Yves Klein dengan memerintahkan dua perempuan telanjang yang dilumuri cat biru untuk bergulingan di sekeliling kanvas di atas lantai sambil diiringi simponi bernada tunggal sebagai latar belakangnya. Gaya ini pun kemudian dilampaui kembali oleh Josef Beuys yang membuat karya instalasi, yang menggeser kekuatan aura dari objek seni, dari aura sang seniman ke peritiwa dan kini ke tempatnya itu sendiri, yaitu ke galeri atau museumnya itu sendiri. Dan akhirnya, ini pun coba dilampaui lagi dengan Seni Konseptual yang bahkan membuang sama sekali proses estetika dalam karya seni, sebentuk protes dan penghinaan atas seni yang telah dikooptasi oleh pengobralan karya seni dan elitisme yang tercemar. Contohnya adalah Piero Manzoni yang mengawetkan kotorannya sendiri serta menjualnya dengan diberi judul “100% Pure Artist Shit” atau Damien Hirst memamerkan seekor domba mati dalam akuarium formaldehida, atau bahkan air seni dari seniman itu sendiri. Lalu, hendak ke mana seni akan melangkah ketika seni mengambil jalan pembaharuan terus menerus yang malah berujung pada peniadaan seni itu sendiri?

Yasraf Amir Piliang menjelaskan hal tersebut sebagai berikut: “Dalam perkembangan dan pengalaman estetika modernitas, penggunaan konsep referensi diri (self reference) menjadi sangat akut. Sang seniman modern mempunyai kesadaran tentang dirinya dan karyanya dalam rentang sejarah sebagai mengalami pengalaman temporalitas yang abadi. Setiap proses berkarya sama artinya dengan proses mencari lagi landasan, paradigma, referensi, dan kriteria-kriteria baru, dan membuat sang seniman semakin menjauh dari konvensi dan kode-kode sosial, budaya, bahasa dalam kehidupan sehari-hari.”10 Obsesi modernisme dalam seni akan kebaruan dan autentisitas karya, menurut Habermas, sifatnya tak lebih dari “…pemenuhan sementara  terhadap kerinduan yang abadi akan keindahan”11 karena pencarian kebaruan tersebut secara terus menerus untuk mencapai ‘keindahan Absolut’ merupakan “…tanda yang mencolok dari karya-karya yang disebut modern adalah sesuatu yang baru, yang segera dikuasai dan dijadikan usang melalui kebaruan gaya yang berikutnya.”12

Terkait ini, Jean-Francois Lyotard menyatakan: “Lantas, apa itu postmodern?… Tak diragukan lagi ia adalah bagian dari modern. Semua yang telah diterima, sekali pun kemarin… harus disangsikan. Ruang macam apa yang diragukan Cézanne? Ruangnya para impresionis. Objek macam apa yang diserang Picasso dan Braque? Objeknya Cézanne. Anggapa macam apa yang telah dipatahkan oleh Duchamp pada 1912? Anggapan yang mengatakan seseorang harus membuat sebuah lukisan, sekali pun itu Kubis. Dan (Daniel) Buren mempertanyakan anggapan lain yang diyakininya tak disinggung dalam karya Duchamp: tempat presentasi dalam karya tersebut. Dengan percepatan yang mengagumkan, generasi tersebut memacu dirinya sendiri. Seuah karya dapat menjadi modern hanya jika ia pertama-tama adalah postmodern. Postmodernisme, dengan demikian, bukanlah akhir modernisme, tapi keadaan awalnya, dan keadaan ini konstan.”13 Namun, seperti yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard, obsesi dan pacuan kecepatan untuk mencipta kebaruan sebagai prinsip dalam wacana modernisme ini pun secara “Tiba-tiba tampak sebuah tikungan jalan, sebuah titik balik. Di suatu tempat, panorama nyata menghilang, panorama di mana Anda masih mempunyai aturan bermain dan pegangan tempat bergantung.”14

Sebelumnya seni memang sering diidentikkan dengan dekorasi, ornamen, dan kepuasan, namun meski pun kini hal itu dianggap kuno, toh ketiga hal tersebut masih bisa ditemukan, misalnya di kalangan desainer (sense of beauty). Di ujung evolusi dan percepatan perubahannya tersebut, kini seni seringkali tak lagi menampilkan keindahan. Pada titik ini, menurut Clive Bell, seni lebih tepat disebut sebagai bentuk bermakna (significant form), dan seniman adalah “tukang utak-atik bentuk” guna memberi makna pada pengalaman sebagai sebentuk reflektivitas.15 Paul Ricoeur, yang mengolah konsep Sigmund Freud tentang ketaksadaran dan kesadaran, mengajukan bahwa ketaksadaran itu berupa berbagai imaji (seperti video), yang dibekukan ke dalam kesadaran oleh kata/konsep/verbal (seperti fotografi). Namun, bagi Benedetto Croce, dalam tahap awal apresiasi seni, kedua hal ini tak terdiferensiasi karena dicerap oleh totalitas diri secara fisikal (individual physiognomy). Menurutnya, mengapresiasi seni merupakan tindakan intuitif.16

Dengan berbagai bentuknya, kini seni lebih merupakan persoalan kebenaran eksistensial atau kenyataan (das Sein). Kebenaran di sini bukanlah kebenaran moral atau persoalan idealitas (das Sollen), dan bukan pula kebenaran ilmiah seperti rumus atau pola. “Seni adalah kebohongan yang memungkinkan kita menyadari kebenaran”, begitu cetus Pablo Picasso. Kebenaran eksistensial tersebut disampaikan melalui olah bentuk, sehingga nilai karya seni terletak pada kesadaran baru yang ditimbulkannya. Karya seni bermutu hanya menyiratkan berbagai kemungkinan, bukan menyuratkan atau menerang-jelaskan, jarang sekali mendikte.

Ini terkait juga dengan estetika, namun bukan dalam pengertian yang dicetuskan oleh Baumgarten sebagai “filsafat keindahan”. Estetika diserap dari bahasa Yunani, aisthetikos, yang artinya persepsi atau kesadaran. Kata aisthanomai artinya saya menyadari atau mencerap sesuatu. Justru pengertian dasar dalam bahasa Yunani inilah yang kini lebih tepat untuk memaknai estetika terkait dengan kebenaran eksistensial dan kesadaran baru dalam seni. Berbeda dengan seni pramodern—yang merupakan bagian dari ritual dan agama—seni modern—dan juga postmodern—menjadi otonom dari apa pun (art for art sake). Bahkan Immanuel Kant menyatakan bahwa apresiasi seni ditandai oleh sikap tanpa kepentingan (disinterestedness). Setelah agama “terdepak” dari kancah kebudayaan, kini wilayah batin manusia modern lebih sering diisi oleh seni. Namun, salah satu konsekuensinya, seni kontemporer seringkali menampilkan kebenaran eksistensial berupa kesakitan, kecemasan, absurditas, dsb. Carl Gustav Jung banyak membahas hal ini.

Seni murni maupun terapan merupakan pengenaan dimensi batin pada benda, peristiwa, sikap, gerak, bunyi, dsb, secara karikatural atau melebih-lebihkan agar perkara esensial yang diusungnya tertampilkan. Karena dari perspektif seni, kelebihan manusia bukanlah pada nalar atau akal budi, tetapi pada reflektivitas atau kontemplasi yang merupakan perpaduan nalar, rasa dan imajinasi. Dalam seni ada ekspresivitas atau pergumulan batin ketika mengolah bentuk. Ciri khas seni zaman ini adalah hibrid, kolase, intertektualitas, seperti new media art, namun karakternya tetap sama, yaitu, berkomunikasi melalui olah bentuk. Susan Sontag menegaskan bahwa yang terpenting dalam seni adalah the erotics of art, bentuk yang tak terterjemahkan namun mempunyai efek berupa penikmatan berbagai sensasi inderawi. Bahkan kini seksualitas dianggap sebagai jalan masuk ke wilayah tersembunyi dan paling rumit dalam kehidupan manusia. Demikianlah setidaknya wajah seni di ujung perjalanan sejarahnya yang malah meniadakan dirinya sendiri, yang menjadi kabur dan nyaris tak berbeda dengan ‘hidup sehari-hari itu sendiri’.

Postmodernisme dan Budaya

Dengan memandang perbedaan antara budaya dan alam, Rolland Barthes melihat ada dua kesalahan besar dalam masyarakat modern yang berpikir bahwa kebiasaan intelektual dan institusi secara umum disebut sebagai sesuatu yang alami, kemudian kesalahan kedua adalah memandang bahasa sebagai satu fenomena alami ketimbang seperangkat kesepakatan sosial. Barthes mengatakan ia ingin menghancurkan ide bahwa tanda itu alami—hampir dalam seluruh karyanya Barthes ingin menunjukkan perbedaan antara budaya dan alam tersebut. Bagi Barthes adalah sesuatu yang alami apabila kita makan, tidur, berbahasa dan sebagainya akan tetapi apa yang kita makan, kapan kita tidur, kata-kata apa yang kita gunakan merupakan konstruksi sosial yang diberikan kepada kita dalam hubungan kita dengan manusia lainnya serta merujuk kepada dan hanya bermakna dalam masyarakat dan kelas di mana kita berada.17

Pembedaan antara alam dan budaya ini juga sering dipakai untuk membongkar segala hal yang dianggap sakral dan terberi. Biasanya kita beranggapan bahwa budaya hadir setelah alam, dan di bangun di atas alam; bahwa budaya adalah resistensi terhadap alam. Namun, menurut Richard Harland, kini kalau kita berpikir lagi, justru alam yang merupakan konstruksi kultural, dan bahkan merupakan konstruksi yang justru bisa dibilang relatif baru, karena alam masuk ke dalam realitas humaniora melalui kebangkitan ilmu alam pada abad ke tujuh belas. Sama seperti halnya alam, kita beranggapan bahwa masyarakat hadir setelah ada individu, di tata di antara individu-individu. Namun, individualitas justru hanyalah konstruksi kultural yang relatif baru, masuk ke dalam realitas manusia melalui etika individualisme kaum borjuis pada abad ke tujuh belas.18

Budaya menjadi kata kunci karena ada kebutuhan untuk mengontrol atau menguasai dan merekayasa identitas. Dalam artian merumuskan “jiwa” kelompok atau “kepribadian” atau habitus. “Jiwa” kelompok ini adalah “style” atau gaya pengulangan/dominasi (sistem prioritas nilai atau ideologi) serta hegemoni sistem nilai. Ini bisa dilihat salah satunya dalam bidang desain dan arsitektur yang secara langsung bersentuhan dan membentuk gaya hidup dan budaya. Secara umum, istilah desain di masyarakat awam seringkali diidentikkan dengan mode pakaian atau kegiatan artistik. Dalam hal ini, desain adalah materialisasi nilai-nilai melalui unsur-unsur visual yang bisa berbasiskan metode ilmiah, intuisi atau keterampilan semata, dan bisa berupa dua maupun tiga dimensi. Bentuk visual, sebagai aspek paling fundamental dalam desain, mempunyai prinsip dasar yang bisa diidentifikasi dengan tiga tahapan perubahan. Perubahan ini berdampak terhadap bagaimana cara desain dipandang, didefinisikan, serta fungsinya di masyarakat—terutama dalam statusnya sebagai komoditi—yang akan mempengaruhi proses perkembangan kebudayaan dan peradaban. Misalnya, pada masyarakat tradisional, objek selalu dikaitkan dengan upacara, ritual, magi dan mitos; pada masyarakat industri, objek dikaitkan dengan berbagai upaya kemajuan dan transformasi; sedangkan pada masyarakat konsumer objek dikaitkan dengan kode, bahasa estetik, dan makna yang baru.

Perubahan tersebut juga mempengaruhi cara produksi, proses, dan ideologi di balik produksi dan konsumsi objek (desain). Perubahan ini sejalan dengan perubahan cara manusia memandang makna di balik suatu objek sebagai cerminan dari dirinya, bagaimana objek tersebut diterima dan ditafsirkan, serta metode penciptaan dan pendekatan dalam pemahamannya. Jean Baudrillard pernah mendedahkan tentang tiga tahapan perubahan penampakan (appearance) kebudayaan yang mempengaruhi desain, yaitu: (1) Counterfeit, adalah pola yang dominan pada periode klasik, dari zaman Pencerahan sampai pada Revolusi Industri, yang ditandai oleh produksi bebas tanda, fashion, model, menggantikan sistem pertandaan kasta atau iklan yang bersifat represif dan hegemonik. Dalam masa ini terjadi semacam demokratisasi dalam bagaimana manusia memilih dan menentukan penampakan dari berbagai aspek kehidupannya dan gaya hidupnya. Seorang biasa bisa saja bergaya hidup seperti seorang raja, yang pada masa sebelumnya mustahil dia peroleh. (2) Produksi, pola yang dominan pada era industri, yang ditandai dengan otomatisasi produksi dan universalisme nilai-nilai. Pola penampakan dengan pola produksi ini ditandai dengan upaya-upaya memassakan kebudayaan dan segala aspek penampakannya, disebabkan adanya pelbagai dorongan ekspansi ekonomi yang dominan (Kapitalisme). Demokratisasi kebudayaan menjadi semacam demokratisasi semu karena manusia disuguhkan berbagai pilihan penampakan, gaya dan gaya hidup, namun pilihan tersebut telah dirumuskan terlebih dahulu oleh orang-orang yang berkepentingan dalam ekonomi. (3) Simulasi, pola yang mendominasi fase sekarang yang dikontrol oleh kode-kode, yaitu fase yang didominasi oleh reproduksi dari realitas buatan—hiperrealitas. Era simulasi ditandai dengan berkembangnya demokratisasi yang ekstrim dalam dunia penampakan, di mana dunia tidak saja diberikan kebebasan dalam memilih gaya dan gaya hidup, akan tetapi justru diberi peluang yang besar untuk menciptakan penampakan berbagai simulasi dari penampakan dirinya sendiri atau penampakan kebudayaan materi di sekelilingnya.19

Dalam perubahan prinsip desain tersebut, terlihat bagaimana tanda dan kode telah merembes ke hampir segenap komoditi (kesenangan, status, simbol), bahkan dianggap mempunyai daya pesona (fetisisme). Baudrillard melihat bahwasanya permainan tanda seperti itulah yang didambakan dan dibeli, ketimbang nilai guna atau nilai utilitas seperti yang diidealkan oleh Marx. Baudrillard melihat bahwa makna atau petanda adalah sesuatu yang menjadi beban masalah saat ini, dan kecenderungan barunya adalah permainan bebas penanda (tanpa makna) yang disebut juga sebagai postmodernisme. Bagi Baudrillard, penanda—dalam wujud simulasinya—tak lebih dari duplikasi, copy atau faksimili dari petanda; sebuah penanda murni. Acuan referensinya adalah dirinya sendiri, bukan realitas di luar dirinya.

Dalam kaitannya dengan relasi pertandaan postmodern ini, Baudrillard membuat sebuah perbandingan semiosis yang menarik antara karya Bauhaus (wakil modernisme) dengan karya postmodernisme. Bauhaus, menurut Baudrillard, di dalam setiap ungkapan karyanya memberikan satu formula yang diasumsikan bersifat universal, bahwa pada setiap objek ada satu petanda atau makna yang bersifat determinan dan objektif, yakni fungsi. Bagaimanapun beraneka ragamnya bentuk, elemen, khasanah kata dan pengkombinasiannya, semuanya pada akhirnya akan bermuara pada makna tunggal, yaitu fungsi. Sebaliknya, pada karya-karya postmodernisme, apa yang disebut tanda itu bersifat sangat mendua, dan mempunyai hubungan yang tidak harmonis dengan fungsi—ia bisa merupakan bentuk ironis dari fungsi; merupakan penopengan, pemutarbalikkan, pelecehan, pelesetan dari fungsi. Oleh karena sifatnya yang mendua, ironik dan kontradiktif ini, maka Baudrillard lebih cenderung mengatakan, bahwa “penanda itu sudah mati” di tangan postmodernisme, disebabkan keterpesonaannya pada permainan penanda (misalnya ornamentasi), yang oleh modernisme dianggap sebagai parasit dari fungsi—berlebihan, sampah, aneh, ornamentasi, mubazir, kitsch.20

Era Prinsip Relasi Pertandaan
Klasik/Pramodernisme Form Follows Meaning penanda/makna ideologis
Modernisme Form Follows Function penanda/fungsi
Postmodernisme Form Follows Fun penanda/penanda (makna ironis)

Secara umum, diskursus “desain” pada era pramodern dapat digambarkan melalui prinsip form follows meaning, karena bentuk (penanda) selalu mengacu pada makna ideologis atau spiritual. Misalnya, pada Abad Pertengahan, sangat lazim dijumpai bentuk-bentuk objek “desain” yang dipenuhi ikon, ornamen atau motif yang merepresentasikan pesan-pesan Alkitab. Bisa dikatakan bahwa “desain” merupakan representasi mimesis dari realitas/alam, sebagaimana yang dikemukakan Platon; sebuah paham idealisme dalam “desain”. Bentuk merupakan manifestasi kualitas-kualitas spiritual, jiwa terdalam, dan makna esoterik, karena dalam era pramodern umum berkembang konsep bahwa manusia dan alam seakan saling mencerminkan; mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta). Pendekatan era pramodern terhadap gaya adalah menganggap gaya sebagai satu ungkapan jiwa yang bersifat transenden, yang melingkupi kediriannya yang sejati. Pada masyarakat pramodern, sistem sosialnya belumlah sekompleks era modern dan postmodern dengan kapitalisme dan rasionalitas sebagai arus besarnya. Hal itu membuat objek “desain” yang dibuatnya tidak terjamah pengaruh komersialisme. Cara berpikir yang dominan pada masyarakat pramodern adalah sapienza poetica, bukan rasionalitas yang instrumentalistik dan materialistik.

Di dalam era modern, khususnya pada desain modernisme, makna-makna ideologis atau spiritual seperti di era pramodern ditolak; melepaskan diri dari mitos, tradisi, kepercayaan, konvensi sosial. Sebagai relasi pertandaan, desain modernisme mengajukan prinsip form follows function, yaitu setiap ungkapan bentuk (penanda) akan mengarah kepada aspek fungsi. Istilah fungsi di dalam desain mengacu pada nilai utilitas yang dapat diberikannya. Bahkan Adolf Loos, seorang pentolan modernisme, menyatakan “ornamen was crime”. Kualitas-kualitas fungsional, rasional, efisiensi menjadi hal yang paling dijunjung tinggi dalam prinsip desain modernisme. Hal ini terlihat jelas dalam pernyataan Nikolaus Pevsner, pendukung modernisme lainnya, bahwa “Gerakan modern dalam arsitektur, agar menjadi ekspresi yang sepenuhnya dari abad ke dua puluh, harus memiliki….kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, pada ilmu pengetahuan sosial dan perencanaan rasional, dan pada kepercayaan romantis pada kecepatan dan deru mesin.”21 Pendukung modernis meyakini bahwa cara mengartikulasikan ungkapan estetik hanyalah melalui penerjemahan elemen-elemen fungsi pada bentuk sehingga terjadilah penyeragaman estetik. Sebagaimana dinyatakan oleh John Thackara, bahwa praktik modernisme “…memperlakukan semua tempat dan semua orang dengan cara yang sama, sebuah pendekatan yang dianggap mengancam identitas individual dan tradisi lokal.”22

Pada desain postmodernisme—dibandingkan dengan era pramodern dan modern—relasi pertandaan bersifat lebih ironis; selain tidak mengacu pada makna ideologis konvensional, ia juga menolak fungsi sebagai referensi dominan, dan lebih menyukai permainan bebas penanda. Postmodernisme mengembangkan satu prinsip baru pertandaan dalam desain, yaitu form follows fun. Nilai-nilai formal dan fungsional tidak lagi menjadi prinsip dalam desain postmodernis, sebagai gantinya ia lebih cenderung kepada makna majemuk (polysemy) dan bukan makna tunggal (monosemy). Salah satu contoh desain postmodern adalah gaya Memphis yang diprakarsai oleh Ettore Sottsass di Milan, suatu gerakan anti-estetik yang menentang pendekatan fungsionalisme dalam desain. Atau seperti slogan yang termuat dalam Swatch Catalogue: 1983-1991, yaitu “Ambil estetika ‘form-follows-function’ Bauhaus yang efisien, dan beri ia sebuah pelesetan besar. Kini, ‘form-follows-function-follows-fun’’”. Postmodernisme mempermainkan keseriusan ekplorasi formal, dan estetika produksi-massa yang baku, dan sekaligus menolak label genius pada sang desainer—plesetan, humor, kritik. Tak jarang, postmodernisme mengambil dan mengaduk-aduk gaya dari masa lalu, bahkan Venturi, Brown dan Izenour menyatakan, “…tidak saja kita tidak terbebas dari bentuk-bentuk masa lalu, dan dari tersedianya bentuk-bentuk ini sebagai model-model tipologis, akan tetapi, bahwa, jika kita beranggapan bahwa kita terbebas darinya, kita akan lepas kendali terhadap sektor imajinasi dan kekuasaan untuk berkomunikasi dengan orang lain yang paling aktif.”23

Di bagian awal tadi telah diperlihatkan bagaimana arsitektur menjadi bidang yang mencetuskan istilah ‘modern’ dan, dalam pengertian tertentu, juga istilah ‘postmodern’. Hal yang menjadi permasalahan dalam desain dan arsitektur modern adalah: manusia sebagai subjek direduksi hanya menjadi fungsi dan ukuran ergonomi. Kompleks perumahan Pruitt Igoe yang awalnya diperuntukkan untuk kehidupan yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah malah berubah menjadi tempat kumuh dan sarang kriminalitas. Jencks menunjuk bahwa itulah kegagalan dari estetika mesin modern yang digadang-gadang oleh Bauhaus, dan terutama sebagaimana yang dicetuskan oleh Walter Grophius dalam Manifesto dan Program Bauhaus (1919): “Mari kita berhasrat bersama, menyusun dan menciptakan struktur masa depan yang akan merangkul arsitektur, seni patung, dan seni lukis dalam satu kesatuan yang suatu hari akan bangkit menuju surga dari tangan-tangan jutaan pekerja seperti simbol kristal dari satu keyakinan baru.”24

Surga yang diimpikan oleh Grophius tersebut ternyata gagal terwujud, prinsip form follows function telah gagal dan dianggap mereduksi manusia dengan segala hasrat dan imajinasinya. Namun, yang terjadi berikutnya, semangat kebaruan dalam modernisme malah diselewengkan menjadi percepatan dan perayaan konsumerisme dan permainan tanda dan citraan dalam berbagai komoditi. Kecepatan tinggi mesin produksi (pertumbuhan ekonomi) harus diiringi oleh kecepatan tinggi arus konsumsi, dalam ajang konsumerisme. Dalam kritik politik ekonominya, ada satu kondisi yang tak dapat diramalkan oleh Karl Marx, yakni menjelmanya kecepatan sebagai kekuatan kapitalisme global. Perpacuan waktu di sebuah pabrik harus diiringi oleh perpacuan gaya dan gaya hidup di Super Mall dan perpacuan citraan dalam industri hiburan. Perpacuan waktu ekonomi menjadi paradigma perpacuan waktu sosial. Fenomena lainnya yang juga mewarnai fenomena kebudayaan postmodern adalah hiperrealitas dalam bentuk cyberspace sebagai jagat maya yang kini begitu mendominasi kehidupan manusia abad 21. Orang bisa saling terhubung satu sama lain secara virtual melalui media sosial dan jaringan virtual lainnya, namun menjadi seperti terputus dari realitas. Akhirnya, muncullah istilah click activism, ketika perubahan sosial diandaikan hanya ramai berlangsung di jagat maya tanpa tindakan konkret. Demikianlah secuplik fenomena postmodernisme dalam filsafat, seni dan kebudayaan di abad 20 dan 21. Memang, postmodernisme belum bisa dikatakan telah menjadi suatu era baru tersendiri, dan bahkan banyak usulan dan kritiknya terhadap modernisme malah gagal sebelum terwujud, seperti janin yang mengalami keguguran sebelum terlahirkan menjadi sosok yang berbentuk. Namun, meski demikian, beberapa tawaran, kritik dan fenomenanya masih bisa dipertimbangkan walau tak harus disetujui begitu saja.[]

Ilustrasi: fineartamerica.com

Catatan-catatan:

  1. Richard Appignanesi & Chris Garratt, Introducing Postmodernism, Cambridge: Icon Books, 1995, hlm. 4.
  2. Bambang Sugiharto, “Meninjau Ulang Postmodernisme” (makalah yang tidak diterbitkan), hlm 1.
  3. Ibid., hlm. 2.
  4. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 29.
  5. David Michel Levin, The Opening of Vision: Nihilism and the Postmodern Situation, London: Routledge, 1988, hlm. 3.
  6. W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, London: Oxford University Press, 1988, hlm. 7.
  7. Bambang Sugiharto, Postmodernisme, 1996, hlm. 29-30.
  8. Marshall Berman, All That is Solid Melts Into Air, London: Verso, 1982, hlm. 99.
  9. Hegel, Phenomenology…, 1988, hlm. 6.
  10. Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya Makna, Bandung: Pustaka Matahari, 2010, hlm. 75-76.
  11. Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity, Polity Press, 1990, hlm. 9.
  12. Jürgen Habermas, “Modernity – An Incomplete Project”, dalam Hal Foster (ed.), Postmodern Culture, London: Pluto Press, 1985, hlm. 4.
  13. Jean Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Manchester: Manchester University Press, 1989, hlm. 79.
  14. Jean Baudrillard, Forget Baudrillard, New York: Semiotext(e), 1987, hlm. 69.
  15. Alfathri Adlin, “Kebenaran Eksistensial”, artikel di surat kabar Pikiran Rakyat (tanggal dan tahun tak tercatat karena surat kabarnya telah hilang).
  16. Ibid.
  17. Roland Barthes, Mythologies, London: Granada, 1973, hlm. 111.
  18. Richard Harland, Superstructuralism: The Philosophy of Structuralism and Post-Structuralism, London: Methuen, 1987, hlm. 9.
  19. Jean Baudrillard, Simulations, New York: Semiotext(e), 1983, hlm. 7.
  20. Jean Baudrillard, For a Critique of the Political Economy of the Sign, New York: Telos Press, 1981, hlm. 185-203.
  21. Nikolaus Pevsner, Pioneers of Modern Design, London: Pelican Books, 1960, hlm. 118.
  22. John Thackara, Design After Modernism, London: Thames & Hudson, 1988, hlm. 11.
  23. Robert Venturi, Denise Scott Brown & Steven Izenour, Learning From Las Vegas, edisi revisi, Massachusetts: The MIT Press, 1989, hlm. 131.
  24. Walter Gropius, “Bauhaus Manifesto and Program” (1919), file pdf yang diunduh dari internet beberapa tahun silam, namun tak tercatat alamat situsnya.

Sekilas Tentang Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan Pasca Perjanjian Bongaya[1]

Pernah satu waktu saya bersua dengan saudara Erwin Djunaedi—lelaki dari Kabupaten Wajo yang berkebetulan menjadi seorang duta museum Yogyakarta—pada satu masa di bilangan Makassar, kala itu kawan saya yang alumni Ilmu Sejarah UGM itu memintaku untuk mengajaknya berkeliling Kota Makassar, mengunjungi tempat-tempat bersejarah di kota para daeng. Wal hasil saya membawanya ke sebuah tempat yang dikatakan kawasan Kota Tua Makassar, sebuah daerah yang dahulunya bekas Staatsgemente Macassar[2] yang kini bagian dari Kecamatan Ujung Tanah (di sebelah utara) hingga Kecamatan Mamajang (selatan jalan Veteran Selatan).

Singkat kata saya mengajaknya bertamasya menyusuri seluk beluk Kawasan Kota Tua Makassar, mulai dari melihat-lihat klenteng di Kawasan Pecinan Makassar[3] yang berlokasi di sekitaran Jalan Sulawesi, menyaksikan gedung-gedung tua peninggalan Belanda; seperti Kantor Walikota, Gedung Kesenian Makassar, Museum Kota Makassar, Gereja Immanuel, dan beberapa gedung-gedung tua di sepanjang jalan Ahmad Yani dan Jalan Balaikota. [4] Kunjungan hari itu diakhiri dengan menyaksikan semburat senja di Fort Rotterdam (Ujung Pandang)[5], salah satu benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo—yang setelah Perjanjian Bongaya diteken, benteng ini diserahkan ke VOC Belanda.

Perjumpaan saya dengan saudara Erwin Djunaedi tidak berakhir di situ, keesokan harinya beliau meminta kesediaan saya untuk menyambangi salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Gowa, yakni Istana Balla Lompoa yang terletak di jantung Kota Sungguminasa. Permintaan eks mahasiswa Ilmu Sejarah UGM ini pun saya amini, sebagai tuan rumah yang baik maka saya langsung mengajaknya menuju lokasi, melihat Istana Balla Lompoa yang telah berubah fungsi menjadi museum.

Syahdan, ketika berada di kawasan Balla Lompoa, Erwin Djunaedi sempat melontarkan pertanyaan seputaran Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo yang tentu saja selaku eks mahasiswa Pendidikan Sejarah UNM pertanyaan itu kujawab. Kujelaskan seksama tentang awal mula lahirnya Kerajaan Gowa dengan menarasikan mitos atau kisah Tomanurung, pun tak ketinggalan kuceritakan tentang Daeng Matanre Tumapa’risi Kalllonna, Raja Gowa ke-9 yang mengubah orientasi kerajaan dari agraris menjadi maritim. Tidak sampai di situ, saya juga menyempatkan menjelaskan tentang daerah-daerah kekuasaan dan pengaruh Kerajaan Gowa dan Tallo (Kerajaan Makassar) yang membentang luas pada Abad XVII.[6] Walaupun demikian, ada satu pertanyaan dari saudara Erwin Djunaedi yang tak bisa saya jawab, tentang kondisi politik, pemerintahan, dan wilayah serta pengaruh Kerajaan Gowa-Tallo pasca Perjanjian Bongaya.

***

Berselang beberapa masa setelah kejadian itu, ketika berkuliah di Program Pascasarjana UNM, pertanyaan Erwin Djunaedi tempo itu terulang kembali—dalam mata kuliah Sejarah Perkembangan Politik. Saat itu dosen pengampuh mata kuliah Dr. A. Suriadi Mappangara, M.Hum menugaskan kami untuk mencari tentang kondisi politik kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pasca Perjanjian Bongaya 1667. Dalam penugasan itu kami diminta untuk membaca setidaknya tiga buku, pertama Warisan Aru Palakka karya Andaya, kedua Sejarah Sulawesi Selatan Jilid I, dan ketiga Minawang : Hubungan Patron Klien.

Membaca ketiga buku tersebut, sedikit banyak memberikan informasi mengenai kondisi Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan pasca Perjanjian Bongaya. Andaya dalam bukunya Warisan Aru Palakka menyebutkan, setelah Perjanjian Bongaya penguasa Bone—dalam hal ini Aru Palakka—dan Kerajaan Bone menjadi “penguasa tunggal” di jazirah Sulawesi Selatan (bersama V.O.C tentunya). Bahkan lebih jauh lagi Andaya menjelaskan bahwa ketika penguasa-penguasa lokal di Sulawesi Selatan ingin menghadap ke-pada VOC Belanda harus melalui perantara Aru Palakka—Kerajaan Bone.[7]

Lebih lanjut dalam buku Sejarah Sulawesi Selatan jilid I dijelaskan tentang penggambaran geo-politik Sulawesi Selatan pada Abad ke-XVII, salah satunya adalah pembagian—segregasi / pemisahan—antara kerajaan-kerajaan Bugis dan kerajaan-kerajaan Makassar yang dilakukan oleh Speellman. Apa yang dilakukan sang penguasa kolonial ini sesungguhnya suatu tindakan untuk memertahankan pengaruh dan kekuasaan Belanda di Jazirah Sulawesi Selatan—di samping tetap menjaga dan menjalin persahabatan dengan Kerajaan Bone.

Adapun dua kelompok besar itu ialah Kelompok Bugis, kerajaan-kerajaan yang tergolong dalam kelompok tersebut adalah Kerajaan Bone, Soppeng, Binamu, Bangkala, dan Laikang. Keterlibatan kerajaan-kerajaan itu sehubungan dengan pemihakan mereka terhadap Aru Palakka dalam Perang Makassar.[8] Sedangkan kelompok kedua adalah Kelompok Makassar yang berada dalam kepemimpinan Raja Gowa. Kerajaan-kerajaan yang tergolong dalam kelompok ini adalah semua kerajan di Sulawesi Selatan yang berpihak kepada Kerajaan Gowa-Tallo dalam Perang Makassar yang tidak tergolong dalam Kelompok Bugis, antara lain: Mandar; Luwu; Wajo; Sidenreng; Agangnianjo; Kerajaan-Kerajaan Malussetasi, Suppa, Sawitto, Enrekang, dan Toraja.[9]

Seiring berjalannya waktu, beberapa kerajaan-kerajaan tersebut kehilangan otonominya—sebagai konsekuensi dalam Perjanjian Bongaya. Heddy Shri Ahimsa Putra dalam bukunya Minawang : Hubungan Patron Klien di Sulawesi Selaatan menjelaskan secara ringkas tentang pembagian daerah Sulawesi Selatan dalam dua bentuk, pertama kerajaan yang diperintah langsung oleh Belanda—dalam istilahnya rechtsreeks bestuurd gebied yang juga dikenal dengan istilah gouvernementslanden. Lalu apakah yang dimaksud kerajaan yang diperintah langsung oleh Belanda? Secara sederhana kerajaan yang diperintah langsung oleh Belanda ialah suatu kerajaan yang di mana pihak Belanda memiliki kuasa terhadap urusan politik, keamanan, perekonomian, dan perdagangan atas kerajaan tersebut selain itu kerajaan-kerajaan tersebut berada dalam pengawasan pegawai pemerintahan kerajaan Belanda—dalam hal ini penunjukan seorang regent, controuler, asisten countroler, resident, asisten resident.[10] Adapun daerah yang dikuasai Belanda secara langsung di Sulawesi Selatan dibagi dalam suatu afdeling-afdeling sebagai berikut: (1) Afdeling Makassar: terdiri dari Makassar[11] dan Kerajaan lama Tallo; (2) Afdeling Nooderdistricten (Wilayah distrik utara) : terdiri dari Maros, Pangkajene, Segeri, dan beberapa Bergregentschappen; (3) Afdeling Zuiderdistricten (Wilayah distrik selatan) : terdiri dari Binamu, Bonthain, dan Bulukumba; (4) Afdeling Takalar : terdiri dari Takalar dan Bangkala; (5) Afdeling Oosterdistricten (Wilyah distrik timur) : terdiri dari Balangnipa, Bikeru, dan Kajang; dan (6) Afdeling Saleier.

Dalam alinea-alinea sebelumnya dijelaskan bahwa pasca Perjanjian Bongaya beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan kehilangan otonominya, walaupun demikian tidak semua kerajaan-kerajaan kehilangan legitimasi kekuatannya. Kerajaan Gowa walaupun kalah dalam perang masih dipandang sebagai suatu kerajaan yang merdeka sejajar dengan Kerajaan Bone yang menjadi pemenang dalam Perang Makassar. Kedua kerajaan ini berstatus bondgenootschaplanden atau kerajaan sekutu, selain Kerajaan Gowa dan Bone terdapat pula Kerajaan Mandar, Luwu, Masenrempulu, Wajo, dan sebagainya—kerajaan lokal yang menjadi sekutu ini tetap dikendalikan oleh raja masing-masing dan tidak berada di bawah kekuasaan Belanda. Hubungan antara kerajaan sekutu dengan Belanda lebih bersifat hubungan kontrak atau perjanjian. Dan bagi Belanda, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone pada masa itu dipandang sebagai sekutu utama.[12]

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Andaya, Leonard Y.,(diterjemahkan oleh Nuhary Sirimorok). 2004. Warisan Aru Palakka Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17. Makassar: Ininnawa.

Anwar Jimpe Rahman (peny.) 2004.  Seri Kompilasi Tulisan Makassar Nol Kilometer (Dotcom) Jurnalisme Plat Kuning : menceritakan wajah Makassar yang lain – dari meja warkop sampai riuh festival rock. Makassar : Tanah Indie.

Majalah Imaginedhistoria edisi Februari – Mei 2016

Majalah Imaginedhistoria edisi Agustus – Desember 2016.

Palisuri, H. Udhin, dkk. 2000.  Makassar Doeloe, Makassar Kini, dan Makassar Nanti. Makassar : Yayasan Losari Makassar.

Poelinggomang, Edward L., dan A. Suriadi Mappangara (ed), dkk., 2004. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid I. Makassar: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan.

Rasyid, Darwas. Beberapa Catatan tentang Benteng-Benteng Pertahanan Kerajaan Gowa. Ujung Pandang : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Wiarawan, Yerry. 2013. Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar dari Abad ke-17 hingga ke-20. Jakarta : KPG.

 

Sumber gambar: http://3.bp.blogspot.com/-yQCubSTOI-c/VHQ9Mqu6VYI/AAAAAAAAC2s/nGt_BXrsCGk/s1600/hsntm.jpg

 

 

[1] Tulisan ini lahir ketika saya mengerjakan tugas Mata Kuliah Sejarah Perkembangan Politik—yang diampuh oleh Dr. Andi Suriadi Mappangara, M.Hum.

[2] Penjelasan terperinci mengenai “di mana kawasan Kota Tua Makassar” itu dapat dilihat secara tersirat di buku Anwar Jimpe Rahman (peny.) Seri Kompilasi Tulisan Makassar Nol Kilometer (Dotcom) Jurnalisme Plat Kuning : menceritakan wajah Makassar yang lain – dari meja warkop sampai riuh festival rock. (Makassar : Tanah Indie, 2004) Lihat juga Majalah Imaginedhistoria edisi Februari – Mei 2016 dan edisi Agustus – Desember 2016.

[3] Penulusuran tentang masyarakat Tionghoa di Makassar dapat dilihat pada karya Yerry Wiarawan, Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar dari Abad ke-17 hingga ke-20. (Jakarta : KPG, 2013)

[4] Untuk informasi mengenai bangunan-bangunan tua di Makassar dan Gedung Kesenian Makassar dapat disimak dalam kumpulan tulisan yang dikuratori H. Udhin Palisuri, dkk., Makassar Doeloe, Makassar Kini, dan Makassar Nanti. (Makassar : Yayasan Losari Makassar, 2000) Hlm. 71-78 dan Hlm 293-295.

[5] Mengenai Fort Rotterdam dapat dilihat dalam tulisan Darwas Rasyid, Beberapa Catatan tentang Benteng-Benteng Pertahanan Kerajaan Gowa. (Ujung Pandang : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional)

[6] Mengenai wilayah Kerajaan Gowa – Tallo dapat dilihat dalam salah satu peta yang termaktub dalam bukunya Abd. Razak Daeng Patunru, Sejarah Gowa dan salah satu koleksi peta milik Museum Balla Lompoa Sungguminasa.

[7] Leonard Y. Andaya, (diterjemahkan oleh Nuhary Sirimorok)., Warisan Aru Palakka Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17. (Makassar: Ininnawa, 2004)

[8] Edward L. Poelinggomang dan A. Suriadi Mappangara (ed), dkk. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid I (Makassar: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan, 2004). Hlm. 130-131

[9] Ibid.

[10] Heddy Shri Ahimsa Putra, Minawang : Hubungan Patron Klien di Sulawesi Selatan. (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press)

[11] Makassar yang dimaksud di sini mungkin sekitaran wilayah Fort Rotterrdam, yang pada perkembangan selanjutnya menjadi Staatsgemente Macassar yang terdiri dari empat distrik yakni Distrik Wajo, Distrik Makassar, Distrik Ujung Tanah, dan Distrik Mariso. Selengkapnya lihat pada Majalah Imaginedhistoria edisi Agustus – Desember 2016.

[12] Heddy Shri Ahimsa Putra, Op.,Cit. Hlm. 52-53

Waktu Senggang Perempuan di Bawah Telunjuk Kapitalisme

 

Rentang sejarah kehidupan manusia yang panjang, ada gerak perubahan yang menjadi keniscayaan dalam semesta kehidupan. Hal tersebut tak menampik timbulnya pembelahan atas waktu yakni waktu senggang dan bekerja, yang mewarnai ragam corak kehidupan manusia, terutama makhluk yang bergelar perempuan. Peristiwa ini telah diulas dengan apik oleh salah seorang Intelektual di Makassar, Muhammad Ridha dalam bukunya “Sosiologi Waktu Senggang: Eksploitasi & Komodifikasi Perempuan di Mall”.

Josef Pieper dalam Ridha, mengemukakan pemanfaatan waktu senggang yang berbeda dalam kurun waktu tertentu. Di mana waktu senggang pra industri tepatnya di era Yunani klasik, dimanfaatkan untuk produktifitas pemikiran dengan berfikir mendalam dan radikal tehadap makna filosofis dan hakiki kehidupan manusia, berlangsungnya aktivitas berdiskusi, berimajinasi soal-soal terdalam kemanusiaan. Sehingga pemanfaatan waktu senggang melahirkan banyak buah pemikiran yang cemerlang di zaman tersebut seperti Anaxigoras, Parmanedes, Plato, Sockrates, Aristoteles dan lain-lain. Tak luput juga karya-karya dari beberapa filosof perempuan yang lahir di masa itu, yang saat ini jarang disabdakan, seperti Theano yang merupakan istri Pytagoras, Diotima dari Mantinea yang diakui Plato sebagai mentor Socrates, Aspasia dari Miletus sang politikus, Hypatia dari Alexandria sebagai ahli matematika dan fisuf neo-platonis.

Pasca industri, waktu bekerja belangsung padat, pemanfaatan waktu senggang mengalami pergeseran aktivitas. Sebagaimana yang dibahasakan Ridha, waktu senggang tidak lagi bermakna kontemplatif, tetapi pada makna simbolik konsumsi. Lebih jauh diungkapkan di era industrial lahir masyarakat konsumen, di mana praktek waktu senggang sudah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dengan kerja secara jelas, yakni keduanya bisa dilakukan bersamaan dalam satu kesempatan. Waktu senggang seperti halnya waktu kerja yang dinilai sebagai aktivitas ekonomi di mana waktu senggang ini dimanfaatkan oleh industri dalam proses penjualan komoditasnya.

Pada era ini pula, gaung kebebasan bagi perempuan bergema. Perempuan menemukan momentum kebebasan dirinya untuk mengaktualisasikan diri secara terbuka di ranah publik, setelah melewati proses diskriminasi yang cukup lama. Pendiskriminasian perempuan dalam analisa penulis, telah lahir dari konstruksi sosial yang telah tertanam sejak berabad-abad, perempuan didefenisikan di bawah kekuasaaan dan kepentingan laki-laki. Sebagaimana Plato dan Rene Descartes  dalam Arivia mengungkapkan bahwa perempuan adalah makhluk yang irasional, tidak mampu dalam ilmu pengetahuan. Selain itu, Thomas Aquinas, Aristoteles, Francis Bacon mengatakan bahwa perempuan layaknya berada di dunia domestik dan berfungsi sebagai makhluk bereproduksi daripada mereka berkecimpung di dunia publik sebagai makhluk yang produktif. Pada masa Arab jahilia, perempuan juga dimaknai sebagai aib besar bagi keluarga, liang kubur menjadi rumah yang nyaring akan tangisan bayi perempuan. Jika hidupnya dipertahankan, ia hanya sebatas pelayan laki-laki.

Setelah kehadiran Rasulullah saw, melalui kehadiran buah hatinya Fatimah Az Zahrah, barulah perempuan mendapatkan tempat dalam struktur masyarakat jahilia kala itu. Fatimah Az Zahrah menjadi tonggak istimewa diakuinya eksistensi  dan hak-hak kemanusiaan perempuan. Meski demikian, kepentingan dan kekuasaan laki-laki tetap langgeng seiring dengan gerak zaman. Sejarah yang menjadi pil pahit yang harus ditelan oleh kaum perempuan juga digambarkan Frederick Engels dalam bukunya, “Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara” tentang ruang gerak perempuan yang direduksi seiring dengan perubahan dalam organisasi keluarga. Fase awal, perempuan dan laki-laki tidak memiliki ikatan dengan perempuan  dan perempuan bebas menentukan hidupnya.

Fase kedua, terjadi seleksi alam, populasi perempuan lebih sedikit daripada laki-laki sehingga banyak laki-laki yang memutuskan untuk tidak ingin melepaskan pasangannya. Sejak itu, diberlakukan aturan mengenai pasangan tetap. Pada masa ini perempuan dianggap sebagai asset. Engels mengasumsikan bahwa masyarakat ketika itu adalah masyarakat matrilineal (garis keturunan ibu) dan juga masyarakat matriarkhal (perempuan mempunyai kekuasaan ekonomi dan politik). Fase ketiga, perkembangan dan perubahan terus terjadi, aktivitas memproduksi alat-alat material rumah tangga dianggap tidak memadai lagi, aktivitas perburuan binatang kemudian menjadi mata pencaharian yang penting untuk kelangsungan hidup. Di sini pergeseran kekuasaan mulai terlihat berubah, pembagian kerja dibentuk, perempuan terkungkung di dalam pekerjaan rumah dan dianggap tidak lebih penting dari aktivitas laki-laki. Hal ini disebabkan, hasil perburuan tidak hanya untuk makan tetapi dapat dipertukarkan dengan barang lain. Sehingga hasil produksi laki-laki semakin dihargai. Atas dasar itu, laki-laki kemudian menempati posisi yang signifikan dalam kehidupan bermasyarakat.  Sampai pada akhirnya, laki-laki menggeser garis matrilineal menjadi garis patrilineal dan mengokohkan budaya patriarkhal. Engels mengatakan pada saat itulah terjadi “kekalahan sejarah terbesar bagi mereka yang berjenis kelamin perempuan”.

Pengukuhan atas identitas dan posisi perempuan dalam rentang sejarahnya yang cukup panjang ini, telah berhasil menanamkan nilai ruang yang telah dijeniskelaminkan, bahwa perempuanlah yang menjadi pemangku ranah domestik, meski gaung kebebasan tentang aktualisasi diri telah digencarkan oleh para feminisme di era industri. Ibarat gayung yang bersambut dengan wajah sistem kapitalisme yang tumbuh subur pada era ini. Peran dan kebutuhan pemangku domestik, disambut baik oleh sistem kapitalisme dengan menyediakan tempat yang nyaman dan ragam kemudahan bagi perempuan dalam mendapatkan segala kebutuhan domestik. Prinsip efisiensi dan efektifitas ini telah mendukung langkah-langkah strategis perempuan dalam melakukan aktivitas konsumsi.

Selain sebagai pelaku konsumsi, perempuan juga menjadi sasaran empuk kapitalis untuk menjadi objek pelaris. Yasraf Amir Piliang dalam bukunya “Dunia yang Dilipat” melihat keterpautan antara perempuan dan ekonomi politik tubuh. Adalah hal yang kontradiksi, perempuan yang menyatakan telah mendapatkan kebebasannya berekspresi di ranah publik atau kegiatan-kegiatan industri, namun terperangkap dalam tata tertib atau pendisiplinan tubuh melalui etiket sistem kapitalis. Di mana Yasraf mengemukakan bahwa sejarah tubuh perempuan di dalam ekonomi politik kapitalisme adalah sejarah pemenjaraannya sebagai tanda atau fragmen-fragmen tanda. Fungsi tubuh digeser dari fungsi organis biologis atau reproduktif ke arah fungsi ekonomi politik, khususnya fungsi tanda. Tubuh perempuan dimuati dengan modal simbolik ketimbang sekedar modal biologis.

Keterlibatan perempuan di ranah industri menghadirkan dua sisi yang memiliki garis impit, antara eksplorasi dan eksploitasi. Mekanisme eksploitasi tubuh perempuan agar berfungsi dan berpotensi sebagai tanda, selain di pusat-pusat perbelanjaan juga digunakan dalam media massa, sebagaimana Raditya mengungkapkan yakni nilai tanda tubuh sebagai komoditi media. Hal tersebut dapat dilihat melalui berbagai aspek. Pertama, tampilan tubuh (body apprearance), di mana tubuh ditertibkan melalui tampilan yang menekankan aspek umur, yang secara visual tubuh perempuan memiliki nilai sensualitas yang relatif tinggi. Kedua, perilaku, aspek ini menentukan relasi tanda tubuh (body sign). Dilihat dari ekspresi tubuh dengan berbagai gaya (menantang, merayu, menggoda dan lain-lain). Ketiga, Aktifitas tubuh yang menjadi penanda bagi posisi sosialnya. Diantaranya sentuhan, apakah sebatang tubuh itu pasif, aktif, lemah, dan berkuasa.

Pada posisi ini, perempuan yang tadinya telah mendapatkan kemerdekaan untuk berekspresi di ranah publik, baik dalam menikmati waktu senggangnya maupun bekerja, kembali masuk ke perangkap ketertindasan model baru, yakni melalui penjajahan atas tubuh. Bagian ini pula yang menjadi sorotan feminisme postkolonialisme, yang menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang maupun mentalitas perempuan. Melalui sistem kapitalisme, terjadi kolonialisasi terhadap tubuh perempuan, hingga perempuan tidak memiliki kuasa lagi terhadap tubuhnya.

 

Referensi:

Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan

Engels, Frederick. 2004. Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara. Kalyanamitra

Raditya, Ardhie. 2014. Sosiologi Tubuh. Yogyakarta: Kaukaba

Ridha, Muhammad. 2012. Sosiologi Waktu Senggang; Ekslpoitasi dan Komodifikasi Perempuan di Mall.Yogyakarta: Resistbook.

Piliang, Yasraf Amir. 2010. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung; Matahari.