Arsip Kategori: Ulasan Film

The Wind Will Carry Us: Manusia itu Bukan Apa-Apa

“Death is the worst. When you close your eyes on this world, this beauty, the wonders of nature, it means you’ll never be coming back”

Kali ini The Wind Will Carry Us (1999) lebih memberikan ”ruang”  yang besar kepada perempuan, dan lebih banyak mengedepankan peluang pembacaan yang lebih feministik jika dibandingkan dengan Taste Of Cherry (1997), film besutan Abbas Kiarostami yang lain, yang sama-sama beride sentral kematian. Judul The Wind Will Carry Us diambil dari penggalan puisi Forough Farrokhzad penyair sekaligus aktivis progressif feminis Iran yang mati muda akibat kecelakaan mobil pada 1962. Dengan mengambil penggalan penyair beride politik feminis sebagai judul filmnya, apakah Kiarostami sedang menyatakan ide-ide kritisnya terkait dengan paham politiknya, atau itu juga berarti menandai suatu pesan eskatologik di dalam filmnya?

Dengan pertanyaan seperti ini akan sesuai dengan nuansa umum film Kiarostami yang lebih sering mengundang beragam pertanyaan, sehingga akan membuat penontonnya lebih banyak berpikir laiknya seorang filosof. Tapi, untuk mengatakan film-film Kiarostami tidak berdampak eksistensial kepada penikmatnya merupakan kesalahan fatal. Meski senantiasa berangkat dari premis sederhana, film-film garapannya lebih mengedepankan kompleksitas kemanusiaan.

The Wind Will Carry Us telah mengulang adegan pembukanya persis seperti Taste of Cherry, yaitu scene sebuah mobil berjenis Land Rover yang meliuk-liuk di antara bebukitan dikelilingi sabana, sementara angin terlihat membuatnya bergoyang-goyang seperti sedang dipandu untuk menyatakan gerak alam yang memukau. Dengan tekhnik long-shot, mobil ini meliuk-meliuk di antara jalanan tak beraspal, menandai bahwa film ini banyak menyediakan ruang filosofis bak jalan pikiran seorang penikmat ide-ide filsafat.

Tapi, film ini tidak sepenuhnya film tentang itu, melainkan kita akan dibawa kepada pergulatan perasaan, tarik ulur yang melibatkan ambisi manusia dan dari apa yang tidak dapat ia jangkau: ajal, alam, dan takdir. Dalam hal ini, ini terkait waktu, medan enigmatik antara kesementaraan dan keabadian, seperti dalam penggalan puisi yang menjadi bagian penting dalam film Kiarostami ini: “Bulan merah dan gelisah… Awan menunggu lahirnya hujan… Satu detik, dan kemudian tidak ada.”

Melalui Behzad Dourani, seorang reporter bersama dua krunya, kita akan menuju Siah Darreh (Lembah Kegelapan), sebuah kampung Kurdi udik yang berasal dari masa silam terletak 400 mil dari Teheran, Iran. Rumah-rumah mereka berdiri di atas tebing-tebing bebatuan, saling menempel, berjejal, dan tumpang tindih mengikuti gaya bangungan Pueblo yang terbuat dari lumpur keras, suatu kesan yang kontras dengan konteks zaman kekinian.

Maka jadilah Behzad bersama rombongannya dengan tipikal orang kota, yang kemudian mengalami sesat alamat ketika memasuki wilayah desa yang sepenuhnya hanya dikelilingi bukit-bukit maha luas. Beruntung rombongan ini dipandu oleh Farzad, bocah lelaki lokal yang akan menyanggupi seluruh keperluan mereka selama tinggal di desa ini.

Lalu untuk apa mereka melakukan perjalanan jauh sampai ke tempat yang signal handpone saja sulit? Rupanya karena seorang perempuan tua bernama Nyonya Malek yang  telah berusia 100 tahun. Mereka tinggal di Siah Darreh demi menunggu ajal Nyonya Malek, dan akan membuat film dokumenter mengenai ritual kematian yang dilakukan berdasarkan kebiasaan lokal masyarakat setempat. Sesuatu yang membawa nilai eksotisme dan spiritual bagi masyarakat kota seperti diwakilkan melalui kehadiran Behzad.

Selama menunggu Nyonya Malek sakaratul maut, tidak sekalipun kamera Kiarostami mewakili harapan penonton untuk dapat melihat langsung nenek misterius yang berusia satu abad itu. Ia hanya muncul melalui percakapan antara Behzad dan Farzad, melalui bingkai jendela biru sebuah rumah yang di dalamnya diketahui sedang terbaring seorang nenek sekarat—sesuatu yang juga berlaku kepada dua kru Behzad yang sama sekali tidak pernah tampak di depan kamera selain hanya mendengarkan dialog mereka dengan Behzad sebagai fokusnya.

Namun rencana tinggal rencana. Mereka makin lama makin frustasi dikarenakan tidak ada tanda-tanda ajal bakal menjemput Nyonya Malek. Dari hari ke hari Nyonya Malek makin membaik, yang karena itu membuat  mereka tidak akan dapat membuat film dokumenter seperti yang direncanakan sebelumya.

Eksotisme dalam Kamera

Peradaban modern merupakan konsepsi kehidupan yang terlampau rasionalistik, terukur, dan cepat. Tentu kegamblangan ini ditampakkan Kiarostami melalui adegan-adegan dilakukan Behzad saat berkomunikasi dengan atasannya menggunakan telepon genggam yang sama sekali tidak berfungsi, kecuali jika Behzad keluar mencari jaringan sampai di atas bukit kuburan. Ini satu tema yang mencolok mengenai problem modernitas ketika diperhadapkan dengan keadaan-keadaan yang belum dapat ia identifikasi sebagai bagian dari dirinya.

Tapi problem kebudayaan yang eksplisit dalam film ini tentu saja mengenai cara pandang masyarakat modern kepada hal-hal yang bernuansa eksotis dan spiritual. Itu sebab dahaga itu dimunculkan melalui motif dokumentasi yang sejak awal menjadi kepentingan jurnalistik Behzad. Ritual kematian dalam hal ini, apalagi masih dibalut dengan tradisi lokal, sudah tentu merupakan rangkaian upacara yang akan menjadi komoditas ekonomi melalui kemasan media massa. Sesuatu hal yang di masa sekarang menjadi bagian dari ekonomi pariwisata, dan dikukuhkan melalui program pemerintah untuk menjual eksostisme kepada dunia internasional yang notabene sangat menginginkan hal-hal yang berbau local wisdom.

Domestifikasi dan Paradoksnya

Formulasi pengambilan gambar Kiarostami bergerak di antara alam bebas, rumah-rumah bergaya Pueblo, dan sedikit karakter yang lebih banyak hanya diisi oleh Behzad. Seringkali Kiarostami memberikan perspektif yang luas melalui alam bebas; bukit, tanah lapang, dan siluet pegunungan dengan cakrawala luas permainan panoramik yang dinamis, dan di satu sisi kembali menyorot lebih dekat kehidupan domestik komunitas yang lebih banyak mengungkapkan kehidupan statik.

Di antara perpindahan dua landscape itulah perempuan tanpa disadari menjadi wacana yang tidak bisa diabaikan dalam film ini.  

Perempuan komunitas masyarakat Kurdi menjadi representasi gagasan tentang stigma beradab-abad mengenai kedudukan perempuan di tengah masyarakat. Makanya peralihan scene demi scene, perempuan menjadi sosok domestik dalam ruang lingkup kehidupan komunitas yang lebih banyak diperlihatkan melalui sorot pengambilan gambar Kiarostami—yang paling vulgar adalah scene saat Behzad mengambil susu sapi dengan memasuki area gelap berupa dapur (atau kandang), dengan sosok perempuan muda di dalamnya yang tidak sama sekali ditampakkan wajahnya; suatu permainan representatif menyangkut posisi perempuan yang mengalami domestifikasi atas dasar tradisi.

Sementara di sisi lain, tidak sekalipun ditemukan aktifitas mencolok mengenai peran laki-laki selain diceritakan lebih banyak menggunakan waktunya di ladang-ladang persawahan. “Penundaan” kehadiran laki-laki dalam cerita Kiarostami mengindikasikan signifikansi kekuasaan dan wewenang laki-laki yang meski sangat jarang tampak, tapi cukup menentukan terkait segala apa yang menjadi bagian dari wilayah keputusan, seperti yang selama ini terjadi melalui budaya patriarki.

Dengan indikasi semacam ini, tidak berlebihan jika dikatakan justru melalui keberadaan sosok Behzad yang berambisi dapat mendokumentasikan kematian sesosok perempuan tua, memperlihatkan sisi paradoksal dikarenakan dalam melakukan tugas jurnalistiknya, ia juga didesak oleh seorang perempuan melalui komunikasi via telepon yang tidak sama sekali terlihat sosoknya. Meski demikian, keberadaan sosok perempuan ini di sepanjang penceritaan sangat berpengaruh kepada keberadaan Behzad di desa itu.

Berlalu bersama Angin

Menjelang akhir, Behzad disadarkan mengenai kedudukannya sebagai makhluk fana—setidaknya seperti yang saya tangkap berkenaan dengan pergulatannya atas waktu. Di hadapan semua itu, setiap rencana yang berasal dari ambisi dan harapan, tidak dapat digdaya. Dialog-dialog ditunjukkan Behzad dengan seorang dokter kampung jelang pupusnya ambisinya, menjadi perangkat kesadaran bagi penonton yang sejak awal mulai memahami bahwasannya di dalam waktu segalanya akan bergerak berdasarkan hukumnya sendiri.

Dalam arti ini, manusia sebagai makhluk yang kerap berposisi superior atas keinginan-keinginannya mau tak mau akan dikembalikan kepada ruang negoisasi di dalam dirinya. Dengan kata lain, apalah arti semua harapan, cita-cita, apalagi ambisi, jika di luar dari itu masih banyak hal yang tidak dapat dikendalikan olehnya, termasuk di dalamnya: takdir, atau ajal, atau yang lebih substansial dari itu, misteri ego!

Bulan merah dan gelisah… Awan menunggu lahirnya hujan… Satu detik, dan kemudian tidak ada.”

Directed byAbbas Kiarostami
Written byAbbas Kiarostami
Produced byAbbas Kiarostami
StarringBehzad Dorani
CinematographyMahmoud Kalari
Distributed byNew Yorker Films (USA)
Release date6 September 1999 (Venice Film Festival)
Running time118 minutes
LanguagePersian

Roti dan Bunga: Kekecewaan, Harapan, Revolusi

Pernahkah kau terima hutan seperti aku terima hutan, sebagai rumah tinggal, bukan istana,

Pernahkah kau buat rumput jadi ranjang dan berselimutkan luasnya ruang, merasa daif di hadapan yang kelak, dan lupa akan waktu silam yang hilang

(Fairouz, Penyanyi Lebanon)

Belakangan ini Iran menjadi sorotan dunia internasional, terutama setelah kematian Mahsa Amini, seorang perempuan Kurdi yang bukan siapa-siapa diduga meninggal dibunuh, 16 September lalu, —tapi rekaman CCTV menunjukkan ia terjatuh di ruang pembinaan. Ia mengalami serangan jantung. Tidak sedikit media memberitakan Mahsa Amini meninggal akibat kekerasan aparat keamanan. Reaksi internasional, terutama dari golongan feminis dan pejuang demokrasi dan HAM, menjadikan kematian Amini sebagai tonggak untuk mereformasi Iran, yang sejak 1979 menerapkan Islam sebagai undang-undang negara.

Saat ini, perempuan Iran mengalami desakan formalisasi syariat untuk mengenakan jilbab di ranah publik, terutama pasca revolusi 1979 dan jika tidak, akan ditindak oleh Gasht-e Ershad, satuan polisi moral yang dibentuk sejak masa Mahmud Ahmadinejad, dengan tugas khusus menegakkan aturan negara di kehidupan publik Iran. Mahsa Amini, satu di antara perempuan Iran terjaring, diimbau, dan disosialisasi agar memperbaiki cara ia berpenampilan sesuai hukum Islam. Tapi, ia meninggal, dan seperti yang terjadi setelahnya, beritanya diblow up dengan massif, terutama media-media Barat kontra Iran.

Sekarang, Iran tengah menghadapi tantangan internal yang terbilang kompleks. Gelombang protes umumnya berasal dari generasi kedua Iran, generasi muda Iran abad 21 yang tidak mengalami masa-masa sulit seperti dialami orang tua mereka. Alih-alih mengalami masa ideologis sebelum dan sesudah revolusi 1979, mereka saat ini dapat menikmati kebebasan, mempelajari demokrasi, terhubung dengan internet, dan mampu berbicara menggunakan ide-ide Barat. Mereka tidak hidup di masa perang Iran-Irak, tidak melewati masa berat revolusi, dan sudah pasti tidak menginternalisasi nilai Islam seperti cara bagaimana generasi masa lalu berjuang untuk mendirikan suatu negara yang menjadi idaman revolusi lima dekade lalu.

Dalam konteks itulah, saya cukup dapat merasakan pesan disampaikan Mohsen Makhmalbaf tentang posisi kaum muda di antara irisan masa lalu dan masa sekarang melalui A Moment of Innoncence (1996), atau Nūn o Goldūn (Roti dan Bunga), sinema semi auto-biografi sutradaranya sendiri di masa empat tahun jelang revolusi republik Islam Iran, 1979.

Nūn o Goldūn  merupakan rekam ulang peristiwa Mohsen Makhmalbaf muda ketika ide-ide pemberontakan merekah untuk menggulingkan pemerintahan. Ia pemuda militan anti Shah, yang mengambil keputusan bersama seorang gadis muda, mendedikasikan dirinya untuk perubahan fundamental Iran. Saat itu demonstrasi makin eskalatif, yang dalam sejarah Iran sendiri digerakkan seorang ulama kharismatik, Imam Khomeini, untuk menentang pemerintahan Iran yang pro Barat. Terdorong imajinasi pembebasan, Makhmalbaf muda yang masih 17 tahun melakukan tindakan kriminal menikam polisi dengan melucuti senjatanya, dan berencana merampok bank kemudian uangnya akan ia sumbangkan untuk perjuangan revolusioner. Tapi, skenarionya kacau balau. Ia ditangkap dan baru dibebaskan ketika Iran telah berhasil menggulung pemerintahan Shah.

”Saya dijatuhi hukuman mati. Saya telah mencoba membunuh raja Iran (Mohammad Reza Pahlavi), Tapi, karena berusia di bawah 18 tahun, saya kemudian diputuskan terlalu muda untuk mati”, ungkap Makhmalbaf seperti dikutip Post Magazine, 2015.

Dua puluh tahun pasca insisden, Makhmalbaf memutuskan mengangkat ulang peristiwa itu ke layar sinematik. Ia memutuskan mencari polisi yang pernah ia lukai: dalam film, ia seorang pria berseragam jaket hitam, jangkung dengan rahang nyaris persegi, berambut ombak, dengan sorot mata berat di bawah alis tebal menyerupai ulat bulu. Ia datang ke rumah sang sutradara setelah membaca ”iklan” Makhmalbaf mengenai ide pembuatan filmnya. Nelson Kim melalui resensinya, A Moment of Innocence dibuat Makhmalbaf  untuk “menangkap kembali masa mudanya dengan menggunakan kamera.”

Itulah scene pembuka film ini, yang diketahui bahwa sang polisi pensiun dini paska kejadian itu. Ia lalu ditugaskan mencari sosok pemuda yang dapat menjadi dirinya saat menjadi polisi pada 1974. Demikian juga Makhmalbaf mencari seorang pemuda lain yang akan memerankan dirinya saat melakukan aksi penikaman. Kedua pemuda secara terpisah diberikan skenario singkat, latihan, dan narasi latar belakang terkait konteks masa lalu si polisi dan Makhmalbaf. Dengan bekal mereka bakal memahami motivasi, merekontruksi ulang kejadian yang menjadi inti narasi film ini, yakni momen yang mempertemukan dua eksponen dalam arus sejarah perubahan Iran: barisan revolusioner pengikut Khomeini dan antek-antek Shah Pahlevi.

Tapi, bidikan kamera tidak sanggup sepenuhnya menangkap masa lalu, apalagi jika dihadirkan kembali. Akan selalu ada tegangan antara kemampuan kemera dalam menangkap objek kekinian, dan masa lalu yang coba ia reka ulang. Karena itu kalau tidak cukup membingungkan, film ini sedang bermain-main di antara dokumenter dan fiksi, kesalahan dan penyesalan, masa lalu dan masa kini, serta rasa muak dan kebencian dari apa yang pernah dialami di masa slogan-slogan revolusi menjadi pekik sehari-hari yang mengisi kehidupan publik masyarakat Iran. Bahwa masa lalu merupakan wilayah yang tidak bisa diubah hanya karena semuanya telah terjadi, dan masa depan hanya bisa diakses melalui perubahan yang dilakukan di masa sekarang.

Tapi, di situlah tragisnya, meski dalam film ”intervensi” sama-sama dilakukan Makhmalbaf dan pensiunan polisi agar skenarionya dapat terjadi seperti di masa 20 tahun silam, rekontruksi peristiwa yang diinginkan tidak berjalan seperti harapan. Pemeran polisi muda dan Makhmalbaf muda tidak melakukan adegan seperti yang terjadi sesungguhnya di masa lalu. Di situlah ”momen kepolosan”, dalam arti terjadi tumpang tindih persepsi antara dua generasi yang terpaut jauh, yang dirasakan si pemeran, yang tidak sama untuk mewakili bagaimana generasi masa lalu mempersepsi perasaannya, harapan, cita-cita, bahkan emosi yang mendorong sikap mereka saat berada dalam aliran besar perubahan Iran.

Dengan kata lain, setiap generasi memiliki cara pandangnya sendiri, terutama saat mereka berhadapan dengan sejarah bangsanya, dan itu secara tidak langsung menandai betapa setiap persepsi antara generasi tidak mudah untuk dicopy, dan digandakan.

Kalau skenarionya berjalan sesuai masa silam, cerita akan diketahui berahkhir aksi penikaman. Tapi, yang terjadi dengan kehendak kreatif, pemeran muda polisi dan Makhmalbaf mengubah plot akhir dengan mengganti pisau menjadi roti, dan senjata pistol menjadi bunga. Perasaan dan cara pandang mereka, jika tidak berubah, tentang masa lalu berbeda; perdamaian. Sebuah pesan bahwa generasi muda meski ia dibawa ke masa lalu, tidak akan sama cara mereka merespon lingkungan seperti bagaimana generasi sebelum mereka hidup.

Nūn o Goldūn, karena itu merupakan cara Mohsen Makhmalbaf melihat hubungan masa lalu dan masa kini, antara semacam kesadaran masa muda yang polos berubah total melalui satu tindakan, sehingga setelah kejadian itu mengubah total takdir kehidupan satu generasi. Terlebih lagi terhadap masa depan Iran, alih-alih masa lalu menjadi lebih dominan untuk menentukan perasaan dan pemikiran generasi mudanya, justru melalui Nūn o Goldūn, kekecawaan dan hilangnya kepercayaan terhadap revolusi bukan menjadi masalah selama masa depan Iran ikut menjadi tanggung jawab kelompok mudanya.

Sutradara     Mohsen Makhmalbaf
Produksi  Abolfazi Alagheband
Pemain Mirhadi Tayebi, Mohsen Makhmalbaf, Ali Bakhsi
Sinematografi Mahmoud Kalari
Musik Madjid Entezami
Produksi  Produksi          : MK2 Production
Tanggal rilis     : 13 Agustus 1996 (Festival Film Locarno), 9 April 1997 (Prancis) 13 Agustus 1996 (Festival Film Locarno), 9 April 1997 (Prancis)
Durasi   78 menit
Negara Iran
Keterangan Film

Sumber gambar: www.facebook.com/186896518706041/photos/a.186897422039284/186897402039286/

Squid Game: Permainan Sabung Nyawa demi Kenikmatan Homo Festivus

Tidak ada yang saya ingat dengan baik dari masa sekolah dasar, kecuali saat kami bermain di sebuah bangsal yang di sebelahnya tumbuh pohon trambesi raksasa. Jika pengalaman buruk menyangkut hapalan perkalian dan pembagian tidak dimasukkan, saya rasa di masa inilah saya mengalami masa paripurna sebagai homo ludens. Bermain sepak bola, galasin, dan bentengan, semuanya dilakukan di atas bangsal berlantai semen halus itu. Di bawah atap bangsal inilah, pelajaran olah raga menggunakan matras—yang mengingatkan saya dengan kasur-kasur di atas kapal— juga jauh lebih mengasyikkan ketika hanya dilakukan di bawah terik matahari. Pohon trambesi raksasa, yang kulitnya coklat tua seperti sudah hidup puluhan tahun, menambah suasana menjadi lebih teduh seolah-olah sekolah kami tidak pernah merasakan sinar matahari dalam jangka waktu yang lama. Di bawah pohon ini pula, seorang kakak kelas pernah seperti terkena santet karena terserang bengkak dan gatal amat sangat, setelah ketiban ulat bulu saat kegiatan Persami (Perkemahan Sabtu-Minggu).

Hidup adalah permainan bukan petitih omong kosong, dan arti sebenarnya tidak akan Anda temukan selain di masa ini, karena di masa inilah hampir tiap orang betul-betul menggunakan semua energinya agar dapat menggerakkan seluruh otot-ototnya untuk bermain. Saat Anda anak-anak, makanan yang Anda telan akan berubah menjadi energi dan itu tidak sepenuhnya untuk otak, melainkan agar otot Anda menjadi kuat sehingga tumbuh dengan baik. Para ahli neurosains menyebut bahkan otak bayi belumlah sempurna saat ia kali pertama dilahirkan, sehingga membutuhkan waktu berbulan-bulan agar ia berkembang untuk dapat digunakan sebagai pusat kendali manusia kelak.

Sementara orang dewasa mengerahkan sebagian besar energinya untuk memutar otak agar ia bisa berpikir, kemudian memanfaatkannya untuk menjalani kehidupannya. Di saat ini, otot-ototnya yang lain tidak lagi ia fungsikan sampai ada satu dua otot yang mengkisut seperti tomat busuk. Saya rasa di sinilah perbedaan anak-anak dengan orang dewasa. Orang dewasa makan demi mengerahkan kemampuan berpikirnya, sementara anak-anak makan agar ia dapat berenergi saat menikmati kebebasannya.

Jadi, tidak usah dipikirkan apa artinya ”hidup adalah permainan” jika Anda tidak bisa mengingat kembali kapan terakhir kali Anda memainkan permainan anak-anak.

Agama menyatakan hidup hanyalah persinggahan dan itu adalah senda gurau belaka, tapi anehnya orang-orang dewasa senang memanfaatkan pikirannya untuk menciptakan sistem-sistem yang ia sendiri tidak memahaminya. Beribu-ribu tahun setelah api ditemukan, membuat manusia memiliki banyak waktu saat tengah malam untuk memikirkan langit-langit di atasnya, dan membayangkan gerangan benda apa yang dapat melayang-layang tanpa pernah jatuh jika malam tiba. Saat siang, mereka melihat matahari yang bisa membakar dedaunan dan mampu memanaskan tubuh sehingga membuat mereka menyembahnya. Sangat panjang masanya sampai orang-orang menemukan konsep baru tentang benda yang patut mereka sembah selain matahari, dan semakin panjang lagi bagi kehidupan manusia agar mereka menemukan sistem berpikir canggih sampai mampu meneliti makhluk-makhluk tak kasat mata dengan menggunakan mesin bertekhnologi canggih.

Sekarang, dengan tekhnologi  yang sama, orang-orang dewasa membuat banyak anak-anak tidak lagi dapat merasakan permainan anak seperti generasi orangtua mereka. Setiap kebudayaan menciptakan jenis permainannya sendiri, sama seperti kehidupan masa lalu menciptakan beragam permainan; galasin agar anak-anak dapat berlari lebih tangkas dan waspada; bentengan agar memiliki rasa setia kawan; kelereng untuk melatih ketepatan dan konsentrasi; congklak agar pandai menghitung…

Omong-omong soal permainan anak, saya belakangan tengah menikmati sajian serial drama Squid Game yang jadi obrolan banyak orang di Netflix saat ini. Tidak terlalu mengesankan bagi saya, jika film ini tidak menyuguhkan permainan anak-anak sebagai bagian serial ceritanya. Sama seperti The Hunger Games atau Batle Royal, drakor ini menceritakan adegan bunuh-bunuhan melalui permainan anak demi mendapatkan uang puluhan milyar.

Di dunia ini banyak orang yang pernah mengalami masa buruk sehingga berdampak traumatis di masa akan datang. Tapi, tidak ada yang pernah memiliki pengalaman buruk saat memainkan salah satu permainan di masa ia kecil dulu. Permainan masa kecil bukan demi mencari siapa kuat siapa lemah, siapa menang siapa kalah, melainkan kegembiraan berkumpul sebagai anak-anak. Letak kemenangan permainan anak-anak adalah keriangan itu sendiri dan tepat jika dilakukan oleh anak-anak.

Di Squid Game, saat Anda memainkan tarik tambang misalnya, yang kalah akan jatuh terlempar ke lantai dasar dan mati seketika. Bermain “lampu merah lampu hijau”, yang menang akan selamat dan berhak melanjutkan permainan ke babak selanjutnya, sementara yang masih bergerak saat berlakunya lampu merah akan ditembak mati. Bagaimana dengan yang tidak mampu menyelesaikan permainan? Sama saja. Didor timah panas.

Squid Game mengubah permainan anak-anak menjadi ajang tanding kekuatan demi bertahan dari kematian. Keriangan yang menjadi konsep penting dalam permainan anak hilang ketika dimainkan orang dewasa di film ini. Pemainnya adalah orang-orang kalah dalam kehidupan yang memiliki kesamaan latar belakang karena terlilit utang. Saya satu dua kali berutang, tapi tidak membutuhkan kata ”melilit” untuk menggambarkan betapa susahnya hidup Anda hanya karena ingin membeli sekaleng minuman. Di Squid Game, semua pemain terlilit hutang bukan dalam jumlah nominal ecek-ecek sehingga lamanya usia kerja tidak akan ada yang bisa menebusnya.

Dalam sains modern, Charles Darwin memperkenalkan satu temuan mengenai kemampuan organisme hidup yang menjadi hukum alam, bahwa yang memiliki kemampuan adapatasi lah yang akan bertahan dari pergolakan perubahan alam. Jadi bukan siapa yang terkuat dengan tenaga serupa dinosaurus yang mampu melewati silih bergantinya musim, sama seperti bagaimana seekor kecoak bisa bertahan dari zaman karbon yang banyak membuat punah beragam flora dan fauna.

Semakin kesini, episode Squid Game memperagakan teori Charles Darwin ini, dan memperlihatkan siapa yang bakal menjadi kecoak paling adaptatif keluar dari kengerian permainan.

Banyak film drakor, bisa ditafsirkan mendakik-dakik bahwa sebagiannya menceritakan dinamika kelas masyarakat seperti segregasi antara kelas kaya dan kelas melarat. Bahwa fim ini itu sedang mengetengahkan situasi masyarakat kontemporer yang ditipu tengkulak kapitalis, dimanfaatkan elite politisi busuk, dan dibodoh-bodohi kaum intelektualnya. Tapi, Squid Game memang sedang menyatakan itu meski itu tidak usah ditulis segamblang dalam ulasan para pengkritik film. Warna-warna pastel yang mencerminkan kegembiraan masa anak-anak adalah ironi bagi jalan cerita para pemain yang sedang di masa susah, sehingga tidak ada pilihan lain selain sukarela mengikuti permainan berbahaya ini karena menawarkan hadiah menggiurkan.

Jadi memang terdengar familiar gagasan film ini, sama seperti kebanyakan kehidupan orang-orang sekitar yang rela mengambil risiko meski ia harus bertaruh nyawa demi menyambung kehidupan melaratnya. Sementara segelintir kaum kaya dengan uang melimpah bebas melakukan apa saja asalkan menemukan kesenangan demi menutupi lubang eksistensi dalam jiwanya.

Sejak tekhnologi kian mengukuhkan manusia sebagai makhluk berpikir (homo sapiens), tiba masa tekhnologi mutakhir menyeret sebagian orang rela melakukan apa saja untuk mengekspresikan citranya sebagai makhluk yang senang hura-hura dan berpesta pora. Sebagiannya lagi malah lebih radikal menjadi homo festivus yang suka melakukan selebrasi berlebihan di muka umum memamerkan kebesarannya untuk meraih kesenangan berupa pengakuan. Kadang kala seseorang menyukai mengoleksi buku-buku dan senang memamerkan kepandaiannya di depan orang-orang dengan istilah mendakik-dakik, dan di lain waktu berubah menjadi seperti orang-orang Stoa dari Yunani antik, dengan menulis kalimat-kalimat super bijak disecarik screen diimbuhi namanya sebagai tanda kepandaian dan tidak sedang mengutip siapa-siapa.

Namun, homo festivus lebih dari sekedar pameran isi pikiran, karena tidak banyak dari Anda yang ingin diingatkan dan menjadi objek kepandaian orang-orang cerdik pandai di depan umum. Mereka lebih suka mengkhayalkan agar dapat merasakan kehidupan super melimpah dari sebagian orang yang setiap hari memamerkan harta bendanya, rumah mewahnya, dan pakaian super branded di depan umum seakan-akan hanya dengan cara itu kesenangan dunia dapat dibeli dengan uang.

Nah, di Squid Game homo festivus inilah yang asyik-asyik saja berjudi demi kesenangan melihat kelas melarat saling bunuh membunuh di arena permainan anak. Demi merekalah permainan terkutuk ini dilaksanakan. Seperti para raja dan elite bangsawan Roma menjadi penikmat para gladiator, yang dipertontonkan di arena sabung nyawa bernama koloseum. Memanipulasi ketakutan, rasa horor, kesedihan, dan kerisauan orang-orang ambyar menghadapi maut karena tidak ada jalan lain selain menghadapi permainan, yang sewaktu-waktu menjadi gerbang kematiannya.

Tapi, sadar tidak sadar kitalah para elite itu yang digiring menjadi penonton kematian, merah darah, brutalitas, dan kenaifan, yang menginginkan salah satu pemain menjadi wakil kenikmatan kita agar menjadi juara. Bedanya, salah dua di antara kita masih punya tunggakan utang sana sini demi  menyambung kehidupan. Dan itu bukan main-main, loh. Duh!


Sumber gambar: journal.sociolla.com/editors-review/review-series-squid-game

5 Centimeter Per Second: Cinta yang Tak Diperjuangkan, Tak Akan Pernah Dimenangkan

“Kenikmatan akibat cinta sekejap; derita akibat cinta berlangsung selamanya.” Begitu kata Jean Pierre Claris de Floriam, seorang sastrawan berkebangsaan Prancis. Mungkin itu pulalah yang dirasakan oleh Takaki Kono, dalam anime 5 Centimeter Per Second.

Film yang disutradarai oleh Makoto Shinkai ini, menjadi anime kedua yang saya tonton setelah Naruto. Dan sialnya, saya menyesal. Monontonnya pukul 22.00 malam, berhasil membikin saya beralih ke mode melankolis, karena kasihan dengan Takaki—dan diri saya sendiri. Hingga saya susah terlelap, dan mesti berkali-kali membolak-balikkan tubuh di atas kasur, macam ikan bakar di Warung Pangkep. Untuk urusan mengaduk emosi penonton, film ini sungguh keparat.

Di kacamata saya, film ini memang bagus—meski saya benci karena tidak happy ending. Selain karena durasinya yang pas, hanya 63 menit. Menontonnya, saya juga merasa disuguhkan potongan-potongan kisah dan kasih. Membaca larik-larik puisi. Ditambah musik yang melingkupi tiap adegan, makin menambah elegi tokoh-tokohnya. Film ini dibagi dalam tiga episode, yang dikisahkan dengan apik oleh Shinkai: cherry blossom, cosmonaut, dan 5 centimeter per second.

Di episode pertama, dikisahkan bagaimana perasaan Takaki Kano dan Akari Shinohara bersemi. Mereka bersama sejak SD di Tokyo, karena punya sifat dan sikap yang sama. Tubuh yang kecil dan sakit-sakitan, menjadikan mereka lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan, tinimbang di lapangan. Inilah yang mendekatkan mereka satu sama lain. Menjadi teman baik.

Takaki dan Akari terus bersama, hingga kemudian takdir memisahkan mereka. Selepas SD, Akari harus pindah ke Tochigi karena pekerjaan orangtua. Meski begitu, mereka tetap berkirim surat; menanyakan kabar; berkisah tentang musim-musim yang dilalui; bercerita potongan rambut baru Akari; tentang pohon sakura yang indah;  tentang apa saja.

Sayangnya, Takaki pun harus pindah ke Kaghosima. Menjadikan hamparan jarak di antara mereka semakin jauh. Sebelum pindah, mereka berjanji bertemu, Takaki akan mengunjungi Tochigi, demi menuntaskan rindu. Juga membawa surat cintanya untuk Akari.

Perjalanan kereta yang panjang, melelahkan, dan ditambah musim salju yang ganas, membikin jadwal kereta berantakan. Pertemuan yang dijadwalkan pukul 19.00 itu, sepertinya akan gagal. Dari stasiun ke stasiun, kereta sudah terlambat berjam-jam. Sialnya, surat Takaki pun jatuh dan hilang. Sesampai di stasiun tujuan, betapa terkejutnya Takaki melihat seorang perempuan, sendirian, menunggunya dengan sabar di sisi perapian. Itulah Akari.

Mereka menghabiskan malam bersama, makan, mengobrol, dan mencuri ciuman di bawah pohon sakura. Di sini Takaki membatin, “Aku merasa sangat sedih, karena aku tak tahu bagaimana harus bersikap atas jiwa dan kehangatan Akari. Aku jadi tersadar bahwa kami tak bisa terus bersama. Beban hidup terlalu berat, dan waktu yang tak menentu terbentang di depan kami.” Takaki menyadari, ada hal-hal di antara mereka yang tidak bisa dipaksakan.

Pagi sekali, di stasiun kereta, mereka pun berpisah. Tapi Takaki tak berkisah tentang suratnya yang hilang. Akari pun sepertinya ragu memberikan surat cinta, beramplop merah muda di dalam tasnya pada Takaki. Akhirnya, mereka tak menjelaskan apa-apa. Perasaan itu terpendam. Dalam sekali. Sungguh sayang, perasaan yang tak diungkapkan, berarti tak diperjuangkan. Mereka sebenarnya sedang tak baik-baik saja.

Di episode kedua, cerita berpusat pada sudut pandang Kanae Sumida. Perempuan sekelas Takaki yang menyukainya. Dia melihat Takaki sebagai laki-laki yang beda dari yang lain. Alasannya klise memang, hampir semua orang jatuh cinta bilang begitu: dia “berbeda”.

Setiap hari Kanae selalu berusaha untuk dekat dengan Takaki, seperti bersembunyi di tembok dekat parkiran sekolah, lalu muncul tiba-tiba setelah melihat Takaki, seolah pertemuan mereka kebetulan, hingga bisa pulang bersama. Waima demikian, Takaki tetap bersikap dingin, dia masih mencintai Akari, walau jarak membentang, meski kabar tak pernah lagi datang. Ya, mereka “lost contact”—tepatnya tak saling berkomunikasi. Meski kesempatan itu ada. Takaki mungkin lupa, yang memisahkan itu bukan jarak, tapi keengganan dekat dengan saling mengabari.

Pesan-pesan yang ditulis Takaki di HP-nya hanya menumpuk di draft. Tak bisa menemukan alamat tujuan. Tak pernah menjumpai penerima: Akari, sang pujaan hati. Kanae pun menyadari hal itu, dia merasa Takaki selalu melihat ke belakang, ke tempat yang jauh dan tak tersentuh, padahal dia sendiri selalu berada di depannya. Namun, Takaki tak pernah sama sekali memperhatikannya.

Takaki memang tetaplah Takaki, hanya dan masih mencintai perempuan di masa lalunya, yang rajin mengiriminya surat; menunggunya dengan tabah di stasiun kereta; yang memberikannya ciuman hangat di bawah pohon sakura. Meski kini mereka tak pernah lagi saling menyapa.

Kanae pun gagal mengutarakan perasaannya. Dia tak bisa. Merasa akan sia-sia saja, karena sikap Takaki yang memang tak memberinya harapan sama sekali. Kanae mencoba realistis.

Di episode terakhir, Takaki yang sudah dewasa dan bekerja, lebih banyak merenung. Menjadi burung malang yang kehilangan sayap. Dia tak bisa terbang ke mana-mana. Sayapnya patah oleh tajamnya pisau kenangan. Perempuan yang dicintainya itu tak pernah lagi terdengar kabarnya. Takaki tenggelam dalam air mata kesedihan. Mencoba bekerja keras di kantor, untuk melupakan Akari, yang tampaknya sia-sia belaka. Memang sesulit itu melupakan cinta pertama. Sangat sulit.

Takaki melukiskan deritanya dengan amat puitis, “Aku hanya menjalani hidup, tetapi kesedihan terus menumpuk. Di seprei yang kujemur, di sikat gigi di westafel, dan di ponselku.”

Saya melihat Takaki tak cukup berjuang. Hingga tak punya peluang. Dan akhirnya terbuang. Menguap bersama kenangan di masa lalu, dan angan-angan di masa depan. Takaki, cinta yang tak diperjuangkan, tak akan pernah dimenangkan. Andai sejak awal kau berani mengungkapkan perasaanmu pada Akari. Mungkin surat dan pesan Akari masih kau terima. Sayangnya tidak. Kau lemah, kalah oleh dirimu sendiri, kalah oleh jarak, kalah oleh waktu, kalah oleh pikiran dan keraguanmu, akhirnya kau merasakan kekalahan itu selamanya.

Takaki mungkin masih mengira, Akari akan menunggunya, seperti di stasiun kereta di musim salju yang ganas itu. Tapi tidak, Akari yang kesepian, tak kunjung menerima kepastian, akhirnya memutuskan untuk menikah dengan lelaki lain. Begitulah, dalam hubungan, perempuan selalu butuh kepastian, sedang lelaki butuh keberanian.

Eric Form dalam The Art of Loving mendakukan hal yang sama, bahwa cinta sejati menuntut adanya keberanian untuk berkorban, serta menyongsong risiko untuk sesuatu yang dianggap berharga. Jika kau melihat cintamu sebagai sesuatu yang berharga, maka kau dituntut untuk rela berkorban dan menanggung risiko apa pun: waktu, tenaga, dan pikiran. Takaki tak melakukan itu, dan memilih untuk tenggelam dalam laut keraguannya: takut tak bisa membahagiakan Akari, karena jarak yang jauh dan beban yang berat. Seperti kata-katanya, di bawah pohon sakura saat berciuman itu.

Takaki berantakan, dia berhenti kerja—dan mungkin—menjadi bohemian. Entah. Filmnya berakhir di situ. Ditutup dengan soundtrack sentimental “One More Time One More Chance”dari Masayoshi Yamazaki:

Kapan pun, di mana pun, kucari sosokmu

Di persimpangan jalan

Di dalam mimpi

Meski kutahu kau tak di situ

Kang Bok Soo: Tidak Pintar itu Bukan Berarti Tersesat Dalam Hidup

Sebenarnya saya adalah salah satu orang yang tidak mau –bukan tidak suka, menonton drama korea. Menurut saya, menonton drama korea membutuhkan effort yang cukup menguras tenaga. Selain episodenya yang sangat panjang, berkisar 15 sampai 20 episode, alur ceritanya pun tak jarang memainkan emosi. Dalam satu judul drama korea saja, fluktuasi rasa terkadang sangat sulit untuk dihindari. Pada episode pertama masih menyuguhkan emosi yang santai, pada pertengahan episode, mulai berekspansi pada ranah yang biasa kita sebut fase berbunga-bunga dan pada akhir episode, tibalah semua emosi melebur dan akhirnya cukup membuat swing mood untuk beberapa jam atau bahkan berhari-hari setelah menontonnya.

Beberapa hari yang lalu, saya telah selesai menonton drama korea yang berjudul My Strange Hero. Saya menonton drama korea tersebut awalnya hanya coba-coba (hehe), karena cuplikan dari dramanya selalu lewat diberanda aplikasi joget-joget yang saya akses. Cuplikan demi cuplikan membuat saya penasaran dan walhasil saya pun mengunduh 16 episodenya. Satu hal yang ingin saya tekankan sebelum mengulas sedikit tentang drama korea ini adalah setiap orang memiliki point of view dalam melihat sesuatu, sama halnya dengan menonton drama korea. Mungkin kita menonton drama korea yang sama, tapi alur cerita yang kita highlight bisa saja berbeda.  Seperti yang saya katakan sebelumnya, My Strange Hero adalah salah satu drama korea yang tidak hanya memuat satu alur cerita. Selain alur cerita romantisme percintaan, My Strange Hero juga memberikan gambaran tentang romantisme pendidikan.

Soelsong High School adalah nama sekolah dimana scene dalam drama ini banyak dilakukan. Kepala sekolah Soelsong High School adalah seorang perempuan yang bernama Lim Se Gyong yang menggambarkan karakter perempuan cerdas, ambisius dan licik. Ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan kehormatan, termasuk  menekan anaknya, Oh Se Ho agar selalu menjadi yang terbaik di sekolah. Oh Se Ho menggambarkan karakter anak yang kesepian, tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya. Ia hanya mendapatkan pressure dari Ibunya untuk selalu berada pada peringkat pertama di sekolah, bagaimanapun caranya. Hingga akhirnya frustasi dan melakukan percobaan bunuh diri. Oh Se Ho tidak sendirian, sembilan tahun setelah tragedi percobaan bunuh diri Oh Se Ho, Chee Min pun mengalami hal yang sama. Chee Min adalah seorang anak dari keluarga terpandang yang dituntut untuk selalu menjadi yang terbaik dalam segala aspek dan akhirnya pun sama, mengalami frustasi dan mencoba untuk bunuh diri.

Beralih ke sang hero pada drama ini, Kang Bok Soo. Kang Bok Soo berkarakter ceria dan apa adanya. Meskipun Ia terkenal sebagai siswa yang memiliki nilai rendah dalam akademik, namun karena Ia sangat peduli pada setiap masalah yang dialami oleh teman-teman dan suka membantu, maka Ia termasuk siswa yang banyak dikagumi dan disenangi oleh teman-temannya. Kang Bok Soo berpidato dalam pemilihan ketua kelas:

Aku mungkin bukan yang paling cerdas, tetapi aku tidak pernah mengabaikan seorang teman yang membutuhkan. Aku mungkin bukan yang paling cerdas, tetapi aku tidak akan mengabaikan ketidakadilan. Aku mungkin bukan yang paling cerdas, tetapi aku memiliki hati yang hangat. Aku seseorang yang dapat membuktikan bahwa tidak pintar itu bukan berarti kau tersesat dalam hidup. 

Dari pidatonya, saya merasa Kang Bok Soo sedang ingin menyampaikan pada kita bahwa kecerdasan itu tidak hanya dinilai dari satu aspek saja. Manusia memiliki beragam kecerdasan, bukan hanya kecerdasan logic-matematis (berkaitan dengan angka) tapi juga kecerdasan verbal-linguistik (berkaitan dengan kata-kata), visual-spasial (berkaitan dengan warna-gambar), musical (berkaitan dengan music), kinestetik (berkaitan dengan ekpresi tubuh), interpersonal (berkaitan dengan cara bersosialisasi) dan lain-lain. Howard Gardner, seorang tokoh pendidikan dan psikologi berkebangsaan Amerika menyebutnya sebagai multiple intelligences. Menurut Howard Gardner, semua kecerdasan dimiliki manusia dalam kadar yang tidak persis sama. Semua kecerdasan dapat dieksplorasi, ditumbuhkan, dan dikembangkan secara optimal. Terdapat banyak indikator kecerdasan dalam tiap-tiap kecerdasan. Dengan latihan, seseorang dapat membangun kekuatan kecerdasan yang dimiliki dan menipiskan kelemahan-kelemahan. Semua kecerdasan yang berbeda-beda tersebut bekerjasama untuk mewujudkan aktivitas yang diperbuat manusia. Senada dengan hal tersebut, Jalaluddin Rumi juga berpendapat bahwa pendidikan bukanlah menabur benih pada dirimu, melainkan menumbuhkan benih-benih yang ada dalam dirimu. Jadi pada fitrahnya, benih-benih kecerdasan sudah ada dalam diri setiap manusia, hanya saja dibutuhkan dukungan dari lingkungan agar benih-benih kecerdasan itu bisa tumbuh dan berkembang.

Kang Bok Soo mengingatkan saya tentang inti karakter pribadi menurut salah satu tokoh pendidikan karakter, Thomas Lickona. Menurut Beliau, ada 9 inti karakter yang harus ditumbuhkan; courage (keberanian), justice (keadilan), benevolence (kebaikan hati), gratitude (rasa terima kasih), wisdom (kebijaksanaan), reflection (mawas diri), respect (rasa hormat), responsibility (tanggung jawab), dan temperance (pengendalian diri). Karakter keberanian ditunjukkan Kang Bok Soo saat Ia berani membongkar korupsi yang telah terjadi selama bertahun-tahun di sekolahnya sehingga membuat kepala sekolahnya dipenjara. Karakter pengendalian diri ditunjukkan Kang Bok Soo ketika Ia sangat marah dengan sikap semena-mena dari kelas Ivy (kelas para anak pejabat yang dianggap pintar) terhadap kelas Wildflower (kelas untuk siswa yang dianggap liar) namun tetap menahan diri agar tidak melakukan kekerasan di Sekolah. Bijaksana, baik hati dan karakter lainnya, semua dimiliki oleh Kang Bok Soo. Itulah mengapa Ia sangat dihargai oleh teman-temannya di kelas Wildflower. 

Dalam kondisi saat ini, apalagi dimasa pandemi covid 19, karakter tersebut sangatlah diperlukan agar tatanan kehidupan bisa berjalan dengan bajik dan bijak. Dilihat dari skala mikro, pertemanan misalnya, karakter kebaikan hati, tanggung jawab sampai pada pengendalian diri sangat memegang peranan penting dalam keutuhan pertemanan, apalagi jika dilihat dari skala yang lebih besar, bernegara misalnya. Tak heran jika Soekarno sangat menekankan tentang pentingnya levensinhoud dan levensrichting (isi-hidup dan arah-hidup) bagi bangsa. Soekarno berpendapat bahwa bangsa yang tidak memiliki isi-hidup dan arah-hidup (read; karakter) adalah bangsa yang dangkal, yang mengagumkan kekuasaan pentung bukan kekuasaan moril.

Dari drama korea My Strange Hero, kita bisa belajar bahwa setiap orang, setiap anak memiliki kecerdasannya masing-masing. Daya nalarnya berbeda, jadi cara mendidiknya pun harus berbeda. Albert Einstein pernah berkata “setiap anak itu jenius, tetapi jika anda menilai ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, percayalah itu adalah bodoh”. Di era digitalisasi ini, yang dibutuhkan bukan hanya hi-tech (kemajuan teknologi) tapi perlu diimbangi dengan hi-touch (penguatan sentuhan nilai karakter). Last but not least, untuk kalian yang berencana menonton drama korea ini, jangan lupa siapkan mental kalian sebab senyum Kang Bok Soo sungguh buat hati dan pikiran jadi lumerrrrrr.. hehe.


Sumber gambar: https://asianwiki.com/My_Strange_Hero