Kiwari, hampir-hampir kita tidak bisa hidup tanpa gawai. Pagi, siang, sore dan malam kita habiskan dengan menatap layar ponsel pintar. Seakan-akan, kita tak bisa hidup jika tak ditemani oleh gawai. Olehnya, kita lebih sering marah dan kesal jika kehabisan baterai ponsel, dan tidak sedang membawa kabel cas, atau tidak ada colokan.
Padahal, jika dipikir-pikir, apa yang membuat kita berlakon seperti itu? Apa yang sebenarnya diinginkan, atau dibutuhkan dari segenggam ponsel itu? Jawabannya sederhana: kecanduan. Kita adalah masyarakat candu yang mengonsumsi banyak informasi, tapi minim kemampuan mengolah informasi: memilah yang baik/buruk, salah/benar, etis/tidak etis.
Makanya, tak heran, jika Jean Baudrillard menamakan masyarakat era sekarang, sebagai masyarakat konsumsi. Apapun dikonsumsi: informasi, agama, budaya, politik, ekonomi, fesyen, makanan, dan masih banyak lainnya.
Akan Tetapi tidak dengan, sebuah keluarga yang terdiri atas: Ayah dan enam orang anak: dua laki-laki, dan empat perempuan. Keluarga itu ditayangkan dalam sebuah film dengan tajuk Captain Fantastic.
Film itu menampilkan kisah hidup sebuah keluarga yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota. Ya, keluarga itu hidup di tengah hutan belantara. Tak ada gawai, internet, pusat perbelanjaan yang megah, restoran mewah, sekolah keren dan fasilitas canggih, serta tidak tahu-menahu soal tren, fesyen, dan kecendrungan narsistik lainnya.
Namun, salah besar jika kita menganggap hidup keluarga itu tak bahagia. Meski tak memiliki gawai dan internet, mereka memiliki banyak koleksi buku. Artinya, waima mereka tak bersekolah di sekolah formal, mereka tetap bisa belajar. Dengan koleksi buku yang banyak, mereka puas untuk melahap buku apa saja dan berapapun jumlahnya.
Soal makan, mereka juga tak pusing-pusing amat. Mereka dapat berburu hewan liar yang aman untuk konsumsi. Hal ini dengan gamblang ditayangkan pada sepuluh menit awal jika film itu diputar. Dengan esprit de corps mereka bahu membahu, mulai dari menangkap seekor rusa gemuk, hingga menyajikannya menjadi sebuah makanan.
Selain itu, untuk menghibur diri, selain membaca buku, mereka rutin berolahraga, dan bermain musik. Jenis olahraga yang dimainkan memang tidak seperti umumnya yang dilakukan oleh banyak orang. Bahkan, Ben, sang Ayah, melatih anak-anaknya bertarung, duel satu lawan satu, dengan alat peraga yang mematikan. Lengkap dengan trik, dan jurus untuk menghilangkan nyawa lawan tanpa buang waktu banyak.
Mungkin, bagi sebagian orang, cara hidup seperti itu sangat kolot dan konyol. Untuk apa tinggal di tengah hutan, jika perkotaan bisa jadi tempat yang nyaman dan lebih modern? Untuk apa repot-repot membaca buku jika dengan satu gerakan jari tangan pada gawai, bisa membikin kita tahu apapun? Untuk apa susah-susah berburu dan membuat makanan sendiri, jika semuanya sudah tersedia di pusat perbelanjaan dan restoran cepat saji?
Justru, “kelainan-kelainan”, ketakterbiasaan, dan pilihan-pilihan melawan arus utama itu yang hendak disampaikan oleh film tersebut. Setelah menonton film ini, saya mendiskusikannya dengan kawan sejawat. Kami sepakat, meski bergenre komedi, film ini juga mengusung tema pascamodernisme.
Jean Francois Lyotard, seorang pemikir asal Prancis, mewedarkan bahwa, pascamodernisme adalah sebentuk hal (baca: bisa perilaku, bisa pemikiran) yang menolak Narasi Besar. Tetapi, sebelum melangkah lebih jauh, melalui buku Postmodern, J.F Lyotard memaknai modernisme sebagai: “…pengetahuan ilmiah apapun yang melegitimasi dirinya sendiri dengan mengacu pada semacam metadiskursus (meta-discourse) yang secara eksplisit menyandarkan (appeal) diri pada suatu Narasi Besar…”
Lebih lanjut, saya tuliskan secara verbatim apa yang dimaksud Narasi Besar dalam buku yang sama: “… seperti dialektika Roh, hermeneutika makna, kemerdekaan subjek rasional atau subjek kerja, dan penciptaan kesejahteraan…”. Sederhananya, Narasi Besar adalah sesuatu yang bersifat arus utama.
Sedangkan, Yasraf Amir Piliang, dalam buku Semiotika dan Hipersemiotika, mengartikan pascamodernisme sebagai kondisi yang dipenuhi oleh “titik balik”: kemajuan yang mengarah kepada kemunduran, moralitas yang dipapas tapal batasnya oleh abnormalitas dan semacamnya. Selanjutnya, pada buku yang sama, Piliang mendedahkan bahwa, era pascamodernisme tak hanya melulu mengenai wacana-pemikiran. Melainkan, juga dapat diterapkan pada seni. Termasuk seni visual atau film.
Secara sederhana, perbedaan antara seni modern dan pascamodern terletak pada sifat seni itu sendiri. Pada seni modern, seni masih terikat oleh konvensi sosial yang ada pada sebuah struktur masyarakat. Olehnya, seni modern bersifat terikat dan tidak bebas dalam mengekspresikan sesuatu. Sebaliknya, seni pascamodern, tidak lagi terikat oleh konvensi sosial yang ada dan bersifat terbuka dalam mengekspresikan sesuatu.
Hal di atas juga dapat disaksikan pada film Captain Fantastic tersebut. Ini terbukti melalui sebuah scene ketika si Ayah menjadi duda, dan si anak menjadi piatu. Seperti biasanya, sebuah kematian anak adam-hawa, dialami secara sedih dan pilu oleh anak adam-hawa lainnya yang masih hidup.
Tetapi, tidak dengan yang ditunjukkan pada keluarga itu. Pada film tersebut, keluarga itu merayakan kehilangan justru dengan aura kebahagiaan. Berbeda dengan pelayat lainnya, dengan menggunakan pakaian serba hitam-hitam disertai dengan suasana kedukaan, mereka justru datang dengan pakaian warna-warni dan bersuka-ria.
Jika ditelisik menggunakan pendekatan aliran seni pascamodern, scene tersebut menganut aliran parodi. Berikut saya tikkan secara langsung apa yang dibilangkan parodi oleh Yasraf Amir Piliang: “…suatu hasil karya yang digunakan untuk memelesetkan, memberikan komentar atas karya asli, judulnya, ataupun tentang pengarangnya dengan cara yang lucu atau dengan bahasa satire…”
Selain menampilkan wacana dan aliran seni pascamodernisme, film itu juga menyuguhkan sebuah konsepsi republik ideal a la Plato, filsuf terkemuka Yunani Klasik: sebuah republik yang dihuni oleh pemimpin dan rakyat yang keranjingan membaca buku, hobi bermain musik, serta gemar berolahraga.
Meski disajikan dengan humor, film itu layak untuk dijadikan sebagai bahan refleksi bagi manusia “modern”. Manusia yang kian hari kian cerdas, tapi krisis kepribadian. Makhluk berakal yang makin tergerus moralnya. Pencinta segala yang instan dan serba cepat, waima meminggirkan sebuah proses.
Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/153052087319900509/
Ahmad Nurfajri Syahidallah. Aktif sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Asia Barat. Selain aktif di bidang akademik, juga aktif di beberapa Lembaga kemasiswaan. Siswa di Kelas Literasi Paradigma Institute