Arsip Kategori: Ulasan Film

Captain Fantastic: Pascamodernisme dan Republik Plato

Kiwari, hampir-hampir kita tidak bisa hidup tanpa gawai. Pagi, siang, sore dan malam kita habiskan dengan menatap layar ponsel pintar. Seakan-akan, kita tak bisa hidup jika tak ditemani oleh gawai. Olehnya, kita lebih sering marah dan kesal jika kehabisan baterai ponsel, dan tidak sedang membawa kabel cas, atau tidak ada colokan.

Padahal, jika dipikir-pikir, apa yang membuat kita berlakon seperti itu? Apa yang sebenarnya diinginkan, atau dibutuhkan dari segenggam ponsel itu? Jawabannya sederhana: kecanduan. Kita adalah masyarakat candu yang mengonsumsi banyak informasi, tapi minim kemampuan mengolah informasi: memilah yang baik/buruk, salah/benar, etis/tidak etis.

Makanya, tak heran, jika Jean Baudrillard menamakan masyarakat era sekarang, sebagai masyarakat konsumsi. Apapun dikonsumsi: informasi, agama, budaya, politik, ekonomi, fesyen, makanan, dan masih banyak lainnya.

Akan Tetapi tidak dengan, sebuah keluarga yang terdiri atas: Ayah dan enam orang anak: dua laki-laki, dan empat perempuan. Keluarga itu ditayangkan dalam sebuah film dengan tajuk Captain Fantastic.

Film itu menampilkan kisah hidup sebuah keluarga yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota. Ya, keluarga itu hidup di tengah hutan belantara. Tak ada gawai, internet, pusat perbelanjaan yang megah, restoran mewah, sekolah keren dan fasilitas canggih, serta tidak tahu-menahu soal tren, fesyen, dan kecendrungan narsistik lainnya.

Namun, salah besar jika kita menganggap hidup keluarga itu tak bahagia. Meski tak memiliki gawai dan internet, mereka memiliki banyak koleksi buku. Artinya, waima mereka tak bersekolah di sekolah formal, mereka tetap bisa belajar. Dengan koleksi buku yang banyak, mereka puas untuk melahap buku apa saja dan berapapun jumlahnya.

Soal makan, mereka juga tak pusing-pusing amat. Mereka dapat berburu hewan liar yang aman untuk konsumsi. Hal ini dengan gamblang ditayangkan pada sepuluh menit awal jika film itu diputar. Dengan esprit de corps mereka bahu membahu, mulai dari menangkap seekor rusa gemuk, hingga menyajikannya menjadi sebuah makanan.

Selain itu, untuk menghibur diri, selain membaca buku, mereka rutin berolahraga, dan bermain musik. Jenis olahraga yang dimainkan memang tidak seperti umumnya yang dilakukan oleh banyak orang. Bahkan, Ben, sang Ayah, melatih anak-anaknya bertarung, duel satu lawan satu, dengan alat peraga yang mematikan. Lengkap dengan trik, dan jurus untuk menghilangkan nyawa lawan tanpa buang waktu banyak.

Mungkin, bagi sebagian orang, cara hidup seperti itu sangat kolot dan konyol. Untuk apa tinggal di tengah hutan, jika perkotaan bisa jadi tempat yang nyaman dan lebih modern? Untuk apa repot-repot membaca buku jika dengan satu gerakan jari tangan pada gawai, bisa membikin kita tahu apapun? Untuk apa susah-susah berburu dan membuat makanan sendiri, jika semuanya sudah tersedia di pusat perbelanjaan dan restoran cepat saji?

Justru, “kelainan-kelainan”, ketakterbiasaan, dan pilihan-pilihan melawan arus utama itu yang hendak disampaikan oleh film tersebut. Setelah menonton film ini, saya mendiskusikannya dengan kawan sejawat. Kami sepakat, meski bergenre komedi, film ini juga mengusung tema pascamodernisme.

Jean Francois Lyotard, seorang pemikir asal Prancis, mewedarkan bahwa, pascamodernisme adalah sebentuk hal (baca: bisa perilaku, bisa pemikiran) yang menolak Narasi Besar. Tetapi, sebelum melangkah lebih jauh, melalui buku Postmodern, J.F Lyotard memaknai modernisme sebagai: “…pengetahuan ilmiah apapun yang melegitimasi dirinya sendiri dengan mengacu pada semacam metadiskursus (meta-discourse) yang secara eksplisit menyandarkan (appeal) diri pada suatu Narasi Besar…”

Lebih lanjut, saya tuliskan secara verbatim apa yang dimaksud Narasi Besar dalam buku yang sama: “… seperti dialektika Roh, hermeneutika makna, kemerdekaan subjek rasional atau subjek kerja, dan penciptaan kesejahteraan…”. Sederhananya, Narasi Besar adalah sesuatu yang bersifat arus utama.

Sedangkan, Yasraf Amir Piliang, dalam buku Semiotika dan Hipersemiotika, mengartikan pascamodernisme sebagai kondisi yang dipenuhi oleh “titik balik”: kemajuan yang mengarah kepada kemunduran, moralitas yang dipapas tapal batasnya oleh abnormalitas dan semacamnya. Selanjutnya, pada buku yang sama, Piliang mendedahkan bahwa, era pascamodernisme tak hanya melulu mengenai wacana-pemikiran. Melainkan, juga dapat diterapkan pada seni. Termasuk seni visual atau film.

Secara sederhana, perbedaan antara seni modern dan pascamodern terletak pada sifat seni itu sendiri. Pada seni modern, seni masih terikat oleh konvensi sosial yang ada pada sebuah struktur masyarakat. Olehnya, seni modern bersifat terikat dan tidak bebas dalam mengekspresikan sesuatu. Sebaliknya, seni pascamodern, tidak lagi terikat oleh konvensi sosial yang ada dan bersifat terbuka dalam mengekspresikan sesuatu.

Hal di atas juga dapat disaksikan pada film Captain Fantastic tersebut. Ini terbukti melalui sebuah scene ketika si Ayah menjadi duda, dan si anak menjadi piatu. Seperti biasanya, sebuah kematian anak adam-hawa, dialami secara sedih dan pilu oleh anak adam-hawa lainnya yang masih hidup.

Tetapi, tidak dengan yang ditunjukkan pada keluarga itu. Pada film tersebut, keluarga itu merayakan kehilangan justru dengan aura kebahagiaan. Berbeda dengan pelayat lainnya, dengan menggunakan pakaian serba hitam-hitam disertai dengan suasana kedukaan, mereka justru datang dengan pakaian warna-warni dan bersuka-ria.

Jika ditelisik menggunakan pendekatan aliran seni pascamodern, scene tersebut menganut aliran parodi. Berikut saya tikkan secara langsung apa yang dibilangkan parodi oleh Yasraf Amir Piliang: “…suatu hasil karya yang digunakan untuk memelesetkan, memberikan komentar atas karya asli, judulnya, ataupun tentang pengarangnya dengan cara yang lucu atau dengan bahasa satire…”

Selain menampilkan wacana dan aliran seni pascamodernisme, film itu juga menyuguhkan sebuah konsepsi republik ideal a la Plato, filsuf terkemuka Yunani Klasik: sebuah republik yang dihuni oleh pemimpin dan rakyat yang keranjingan membaca buku, hobi bermain musik, serta gemar berolahraga.

Meski disajikan dengan humor, film itu layak untuk dijadikan sebagai bahan refleksi bagi manusia “modern”. Manusia yang kian hari kian cerdas, tapi krisis kepribadian. Makhluk berakal yang makin tergerus moralnya. Pencinta segala yang instan dan serba cepat, waima meminggirkan sebuah proses.


Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/153052087319900509/

Serious Men, Anak, dan Ambisi Orangtua

Kalau Anda pecinta film India, Serious Men, tak boleh Anda lewatkan. Film bergenre drama tragedi dengan sedikit komedi garapan Neflix ini, saya temukan ketika sedang sibuk-sibuknya bertengkar dengan diri sendiri. Pasalnya, di usia yang sematang semangka, saya masih saja bermain-main dengan kehidupan. Semua-muanya bermain-main dan akhirnya dipermainkan perempuan. Canda kisanak.

Serious Men dialamatkan pada orang-orang yang menghabiskan hidupnya bekerja keras, dan melakukan aktivitas yang sama setiap harinya. Karena sibuk bekerja, akhirnya mereka tidak memahami arti kehidupan. Begitulah kira-kira gambaran pertama yang saya dapat dari film tersebut. Seolah-olah bakal menyajikan kepada kita, bagaimana makna kehidupan yang sebenarnya.

Hasilnya, benar saja. Film tersebut menyajikan realitas kehidupan yang sedang dialami kebanyakan orang. Hidup dalam lingkaran kemiskinan. Tinggal di tempat kumuh. Tersekat oleh sistem kelas. Bercokolnya kaum privilege. Kualitas pendidikan yang rendah. Politik, penipuan, dan kebohongan. Intinya, tontonan ini sarkas dan sarat kritik. Indonesia bangetlah!

Pada pembukaan film, kita bakal mendengar lagu India dengan lantunan musik yang asyik sekali. Iramanya bisa membuat Anda menari dan merasakan kemalangan sekaligus. Setelahnya, lebih wow, tapi intim. Skip saja jika tak berkenan.

Namun, itulah potret kebutuhan primitif manusia dari masa ke masa. Sebuah kebiasaan yang ditabukan kebudayaan, dikeramatkan orang tua, dan mesti dihalalkan lebih dahulu di mata agama. Sayang seribu sayang, di kekinian, keintiman itu tak lagi tabu, tak keramat, dan dianggap tak perlu dihalalkan lagi bagi sebagian manusia. Akh.. sudahlah!

Film yang diperankan Nawazuddin Siddiqui tersebut, menceritakan kehidupan keluarga Ayyan Mani, asisten ilmuwan bernama Arvind Acharya. Ayyan seorang “bad genius” yang bercita-cita keluar dari lingkaran setan kemiskinan dan mendobrak sistem kelas masyarakat India. Suatu sistem yang masih subur menjulur melilit pola pikir kita di Indonesia. Padahal keberadaan Islam, telah membantah kemapanan yang dipertahankan Abu Jahal dan Abu Lahab tersebut. Bahwa manusia sama di hadapan-Nya, yang membedakan adalah tingkat ketakwaan seseorang.

Selain itu, Ayyan Mani mencoba merobohkan takhta kaum yang punya privilege dengan caranya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa masyarakat dari kelas menengah, bisa sukses dan mendapat akses pendidikan yang layak. Itulah sebabnya Ayyan melakukan rekayasa sosial yang terbilang sederhana, mendesain anaknya menjadi seorang yang genius. Bisakah strateginya bertahan? Sedangkan kekuatan tuan dan puan yang memiliki privilese itu ada dan cenderung “mutlak”?

Oh yah, sahaya tak ingin mengulik banyak tentang privilese, yang belakangan santer diperdebatkan. Waima di negara yang menganut sila berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat ini, orang-orang yang memiliki “hak isitimewa” masih memiliki posisi yang mapan. Sehingga, keadilan sosial sekadar isapan jempol semata.

Privilege yang saya maksud adalah kuatnya hak istimewa, dan mudahnya akses yang diberikan kepada mereka yang memiliki kekuasaan, jabatan, dan uang di beberapa sektor kehidupan di negeri ini. Tinimbang rakyat kecil dari kalangan buruh, tani, dan rakyat-rakyat dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Kaum privilese di negeri ini, cenderung lebih dihormati di hadapan hukum, pendidikan, pelayanan publik, dan sebagainya.

Kembali ke Ayyan Mani, si bad genius. Hal yang paling saya soroti adalah apa yang dilakukan Ayyan terhadap anaknya. Untuk meraih ambisinya, Ayyan mendesain anaknya, Adi, menjadi anak genius dengan cara yang salah. Ia memaksa Adi menghafal hal-hal rumit seperti istilah sains, astronomi, dan matematika, meski ia tak mengerti sama sekali. Maka di sekolah, Adi tampil sebagai anak di luar nalar, karena membicarakan hal-hal yang tidak umum di usianya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada guru pun demikian supernya, hingga para guru kewalahan menghadapinya.

Dalam film tersebut, semakin tidak paham seseorang dengan apa yang Anda bicarakan, maka semakin genius Anda. Begitulah jalan Adi meraih predikat anak genius di sekolah. Citra Adi sebagai anak ajaib ternyata tidak hanya di sekolah, tapi mulai terekspos oleh publik. Adi mulai sibuk menghadiri undangan pidato di mana-mana, menghadiri wawancara di media, hingga merambah ranah politik. Lebih tepatnya kegeniusannya dan ketenarannya, dimanfaatkan politisi. Hal yang lumrah dan banyak terjadi. Di mana para politisi menggunakan kaum intelektual, bahkan agama sebagai alat guna memenuhi kepentingannya.

Arkian, kegeniusan Adi mulai dipertontonkan. Setiap pertanyaan sains dari wartawan dan masyarakat, mampu dijawabnya dengan mulus. Pidato-pidatonya selevel profesor dan ilmuwan. Padahal semuanya sekadar tipu muslihat Ayyan Mani, yang memang kebetulan cerdas. Dia selalu punya trik-trik untuk meluluskan siasatnya, dengan Adi sebagai pion.

Isi pidato Adi misalnya, dikonsep oleh Ayyan dengan mengambil tema sains yang berat. Adi hanya perlu menghafalkannya dan bersandiwara di panggung. Jadi bagaimana Adi menjawab pertanyaan rumit yang diajukan?

Adi hanya tinggal mengatakan, “Aku tak bisa menghadapi pikiran primitif sepertimu”. Atau kalimat, “Jika kau paham apa yang kubicarakan, maka kau akan ada diposisiku.” Ini sekadar trik sederhana dari seorang Ayyan Mani menipu publik. Anehnya, orang-orang percaya bahwa Adi benar-benar anak genius.

Tragedi paling menyentuh terjadi ketika, kejujuran, kepolosan, dan jiwa anak-anak Adi mulai memberontak. Ia mulai tertekan dengan hafalan yang diberikan ayahnya. Pikiran dan batinnya mulai tersiksa. Ia mulai mengulang-ulang semua hafalan yang pernah diberikan kepadanya. Mulai bertingkah aneh. Marah, menangis, dan membenturkan kepalanya di tembok. Kejiwaannya mulai terganggu akibat tekanan-tekanan yang diberikan kepadanya.

Ayyan mulai ketakutan dan khawatir, melihat apa yang menimpa Adi. Ia mulai menyadari kesalahan yang dilakukan, telah menjadikan anaknya sebagai badut di sirkusnya sendiri. Fenomena inu banyak terjadi di sekitar kita. Di mana orang tua terlalu memaksakan ambisi pribadinya pada anaknya. Mereka menuntut anak-anak belajar keras, hingga mereka tak lagi memiliki waktu untuk bermain.

Banyak anak-anak merasa tertekan, karena target-target yang diberikan orang tua kepadanya. Meraka harus ini dan itu. Mendapat nilai tinggi dan mendapat peringkat. Mengikuti jadwal belajar yang ditentukan orang tua. Mengikuti les-les privat. Memaksanya masuk jurusan yang tak disukainya. Dan, menjadi seperti apa yang diinginkan orang tuanya.

Dalam Strawberry Generation, Rhenald Kasali menyebut anak-anak seperti ini sebagai burung dara yang sayapnya dikodi (diikat), sehingga mereka tak mampu terbang tinggi, diberi kandang yang sempit agar selalu dekat dengan tuannya. Padahal menurut Rhenald, sebenarnya seorang anak adalah burung rajawali yang terbang bebas di angkasa, bukan burung dara.

Para orang tua percaya, apa yang mereka konsep untuk anaknya, adalah hal terbaik bagi si anak di masa depan. Tetapi mereka lupa, bahwa ada momen tertentu di mana seorang anak merasa kelelahan, sedih, hingga depresi dengan hal-hal yang merenggut kebebasannya.

Kondisi ini jika dibiarkan, bakal berdampak buruk pada psikologi dan mematikan daya kreatif sang anak. Senada dengan Rhenald Kasali, Arvind Acharya, ketika menasihati Ayyan Mani, menabalkan, “bahwa anak-anak itu seperti bunga. Dia akan mekar atau mati. Tetapi kita harus terus menyirami bijinya. Jika kau membiarkannya, dia akan hancur.”

Orang tua tak boleh lupa, bahwa anak-anak adalah anak-anak. Mereka butuh berkembang dan banyak belajar. Mereka harus bermain dan berkawan. Bersosialisasi dengan masyarakat. Biarkan mereka menikmati masa kecilnya. Mengeksplorasi potensinya. Percayalah, kelak, mereka akan mengubah dunia.

Walakhir, teruntuk kita semua, para orang tua, sahaya ingin sitirkan petuah Khalil Gibran. “Anak kalian bukanlah anak kalian. Mereka putra-putri kehidupan yang merindu pada dirinya sendiri. Berikan kepada mereka cinta kalian, tapi jangan gagasan kalian, karena mereka memiliki gagasan sendiri. Kalian boleh membuatkan rumah untuk raga mereka, sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan. Yang tidak bisa kalian kunjungi, sekalipun dalam mimpi.”

Sumber gambar: nowrunning.com

The White Tiger: Kemiskinan itu Menjengkelkan dan Karena itu Harus Dilawan

”Jalan raya adalah hutan rimba. Pengemudi yang baik harus mengaum untuk maju!”

(Kutipan dialog The White Tiger)

Kemiskinan adalah keadaan yang menjengkelkan, dan karena itu membuat setiap orang ingin sesegera mungkin meninggalkannya.

Siapa yang ingin jadi kuli seumur hidup dan hanya sanggup tidur beralaskan tikar selamanya, sementara sebagian lainnya tanpa harus banyak membuang keringat dapat tidur menggunakan kasur permadani. Siapa yang mau putus sekolah, sementara banyak juga orang dengan mudah melanjutkan pendidikannya sampai ke luar negeri. Siapa juga mau, dipandang remeh selamanya jika ada orang yang tidak berbuat apa-apa tapi mendapatkan kehormatan selama tujuh generasi.

Dalam studi ilmu-ilmu sosial, kemiskinan sering dilihat dan disebabkan faktor struktural dan kultural. Faktor struktural memandang kemiskinan adalah realitas ciptaan struktur ekonomi dan kekuasaan. Masyarakat miskin tidak dengan sendirinya miskin karena sengaja dimiskinkan.

Sedangkan faktor kultural menyatakan sebaliknya, kehidupan ini baik-baik saja, sehingga kemiskinan ini soal mental. Banyak orang terjerat kemiskinan karena mereka memang malas dan enggan bekerja.

Balram Halwai, dalam The White Tiger adalah tipikal orang yang tidak mudah putus asa. Ia bukan orang bemental malas, kurang bersih, tidak disiplin, dan bodoh, suatu karakter masyarakat miskin tipikal pandangan yang mengatakan kemiskinan adalah melulu masalah kultural.

Ya, The White Tiger bisa dibilang film berlatar kehidupan masyarakat miskin India dengan nuansa satir, yang membantah dengan cara mempermainkan persepsi mengenai kemiskinan seperti yang jadi keyakinan kelas elite selama ini.

Kemiskinan selama ini bukan keadaan yang terbentuk secara alami, sama seperti terbaginya kelas masyarakat menjadi dua kelas utama: si kaya dan si miskin, yang dalam The White Tiger, gamblang dinarasikan melalui si narator, yakni Balram Halwai sendiri.

Di India, kemiskinan bisa lebih parah lagi dikarenakan keadaan ini dikukuhkan melalui sistem kasta yang telah berlaku berabad-abad lamanya. Jika konsep ketuhanan menjadi tolok ukur hirarki masyarakat, di India terdapat 36 juta dewa-dewi yang berarti sebanyak itu pula derajat kasta dalam masyarakat India.

Kisah The White Tiger merupakan perjalan kehidupan Balram Halwai, yang semula adalah bagian dari masyarakat miskin di desa Laxmangarh, dan selanjutnya melakukan tindakan kriminil yang membuatnya menjadi juragan taksi hanya dalam jangka waktu tiga tahun.

Tindakan kriminil apa yang dilakukan Balram, yang membuatnya seketika kaya raya, yang otomatis membuatnya menjadi buronan, meski akhirnya itu tidak betul-betul terjadi?

Di sinilah saya sarankan Anda segera menonton dan merasakan sendiri, bagaimana kemiskinan, seperti yang dirasakan Balram, bisa berubah menjadi balas dendam kelas, yang membuatnya bertindak di luar dugaan dengan melegitimasi kelakuan itu sebagai haknya untuk merebut kesejahteraan yang selama ini dirampas kaum kaya.

Kemiskinan kandang ayam

Bocoran saja, white tiger adalah sematan seorang pejabat distrik di desa Balram kepada dirinya saat menyaksikan kecerdasan Balram membaca tulisan berbahasa Inggris di atas papan tulis. Ia satu-satunya murid yang bisa membaca di kelas tanpa bangku dan meja itu, dan hanya beralaskan tanah.

Disebut harimau putih karena dari sekian generasi harimau, hanya ada satu harimau putih yang akan dilahirkan alam. Dan di desa Balram, dialah White Tiger-nya, satu anomali di antara realitas kemiskinan yang mengepungnya.

Sayang, meski dijanjikan beasiswa melanjutkan pendidikan di luar dari desanya, Balram gagal menggunakan kesempatan emas itu lantaran masalah finansial. Jadilah ia kuli di warung kopi sebagai pemukul bahan bakar berupa arang hitam.

Kemiskinan masyarakat India dalam narasi Balram sama seperti kandang ayam yang memenjarakan masyarakat miskin di dalamnya. Masyarakat miskin India adalah ayam potong, dan seekor ayam potong sampai kapan pun tidak akan bisa keluar dari takdirnya. Dikurung bersama ayam-ayam lainnya dan akan mati diujung pisau tukang sembelih. Ini hanya masalah waktu saja.

Balram tidak ingin menjadi satu di antara jutaan ayam-ayam yang hidup di dalam kandang kemiskinan, dan akan siap dilumat oleh kaum kaya yang menikmati darah dan keringat mereka.

Dan kesempatan itu datang setelah ia melamar menjadi sopir pribadi anak tuan tanah di desanya. Menjadi pelayan setia, sehingga di tengah cerita menjadi pribadi yang cerdas tapi lumayan licik mengubah nasibnya. Di saat inilah kelak, ia akan menjadi harimau putih, dengan melumat majikannya, tuan yang menganggapnya jinak dan setia.

Perpaduan Taxi Driver, Joker, dan Parasite

The White Tiger selain dibintangi Adarsh Gourav yang berperan sebagai Balram Halwai, juga diperankan Rajkummar Rao sebagai Ashok, dan Priyanka Chopra sebagai Pinky. The White Tiger disutradarai dan ditulis oleh sineas Iran-Amerika Ramin Bahrani dan diadaptasi dari novel berjudul serupa karya Arvind Adiga, dan menjadi film pembuka tahun 2021 bagi Netflix.

Sejak awal, narator yakni Balram sendiri, sudah mengetengahkan nuansa mengejek kepada kaum kaya yang selama ini menganggap diri sebagai kelas mapan, yang dalam kacamata Balram kerap mengambil keuntungan melalui tindakan korup. Intonasi dan gaya berceritanya menyiratkan penekanan bahwa kaum miskin tidak selamanya dapat diperlakukan semena-mena meskipun mereka tidak memiliki apa-apa. Kaum miskin tidak sebodoh anggapan kelas elite, begitu singkatnya.

Plot demi plot melalui jalan hidup Balram menyiratkan gaya bercerita yang sama seperti Travis Bickle, seorang sopir taxi dalam Taxi Driver (1976) yang diperankan Robert De Niro. Tapi, dengan aura marah dan kecewa terhadap kehidupan yang umumnya dibangun di atas korupsi, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial, yang berhasil ia balaskan dendamnya, juga lebih mirip dengan nuansa satiris yang ditemukan dalam sosok Arthur Fleck di film Joker yang sukses dibintangi Joaquin Phoenix 2019 lalu.

Kemiskinan, kekalahan, depresi, dan seluruh masalah yang ditimbulkan peradaban yang membagi masyarakat menjadi berkelas-kelas mendorong Balram melakukan pembunuhan dengan menggelapkan uang majikannya.

Bagaimana mungkin, selama menjadi supir, ia malah sering mengantar majikannya melakukan transaksi politik demi melancarkan urusan bisnis, dan di saat itu hampir tiap hari ia melihat uang dalam jumlah besar bertas-tas yang dipakai sebagai uang pelicin. Di titik ini kemiskinan dan politik menjadi demikian berjarak, dan itu dilihat Balram sebagai kenyataan pahit.

Dari sisi ini, penonton diam-diam diajak memahami tindakan Balram yang tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Balram, seperti juga Joker, adalah bisa bertindak di luar dugaan dikarenakan disituasikan melalui kehidupan yang tidak berpihak kepada mereka.

Kecerdasan dan kelicikan yang diramu Balram, dan membuatnya dapat memanfaatkan situasi untuk keluar dari jerat kemiskinannya, mengingatkan juga kepada keluarga Kim Ki-taek dalam Parasite (2019). Dengan memanipulasi kehidupan majikannya, keluarga Kim Ki-taek menggunakan segala macam cara demi mengubah keadaan ekonomi keluarganya. Tidak jauh berbeda dengan itu, Balram melakukan cara yang lebih radikal lagi dengan membunuh majikannya.

Anti kolonialisme

Dari beberapa ulasan  mengenai film ini, ada yang menurut saya luput dinyatakan, yakni isu anti kolonialisme di negara-negara dunia ketiga. Padahal, sejak awal narasi yang diceritakan Balram sudah menyindir ini dan menjadikan hal ini sebagai background narasinya. Masa depan dunia bukan lagi milik kaum kulit putih, melainkan kaum kulit kuning dan cokelat. Yang dimaksud Balram dalam hal ini adalah negeri-negeri di kawasan Asia, dan itu adalah India dan Cina.

Jadi dapat dirasakan bagaimana narasi kemiskinan yang melekat dalam kehidupan Balram dan berjuta-juta masyarakat India (begitu juga di negeri belahan dunia ke-3) merupakan dampak tak terhindarkan dari sistem ekonomi global yang sering disebut kapitalisme.

Memang tidak ada kata kapitalisme dalam film berdurasi 127 menit ini, melainkan sosialisme yang menjadi latar seorang tokoh politisi. Tapi hubungannya bukan dengan itu, karena itu hanya dijadikan scene latar di desa Balram dan ketika ditampilkan adegan yang menyangkut itu, malah si tokoh sosialis ini main serong juga dalam politik elektoral.

Isu kapitalisme versus sosialisme tidak begitu tampak untuk mengatakannya tidak ada dalam film ini. Dan memang film ini tidak gamblang dan tidak berbicara dalam konteks tentang itu, meskipun itu akan keluar juga jika para penonton lebih duluan akrab dan melihatnya dari sudut pandang studi-studi kritik ideologi ala marxian.

Tapi, ketika Balram gamblang di awal-awal menyebut isu warna kulit, dan pada bagian ini lumayan kental unsur pertentangannya, maka dapat juga film ini membawa penontonnya untuk memasuki suatu perbincangan mengenai isu-isu anti kolonialisme.

Dari perspektif ini, dapat diartikan pula siapa sesungguhnya harimau putihnya, yakni India itu sendiri dengan segala pencapaiannya saat ini, yang bakal menerkam balik dunia global dan memimpin perekonomian dunia.

Informasi film:

Genre: Drama

Produses: Ramin Bahrani, Mukul Deora

Penulis naskah: Ramin Bahrani

Pemain: Adarsh Gourav, Rajkummar Rao, Priyanka Chopra Jonas, Vedant Sinha

Tanggal rilis (Streaming): 22 Januari 2021

Durasi film : 2 jam 6 menit

Perusahaan produksi: Lava Media, Netflix


Sumber gambar: www.republicworld.com/entertainment-news/web-series/priyanka-chopra-jonas-and-rajkummars-the-white-tiger-becomes-rotten-tomatoes-best-movie.html

Serious Men: Dendam  Kesumat Melawan Takdir Kasta Melalui Akal Bulus Pendidikan

 

Di India, jika Anda terlahir dari keluarga kasta rendah sudah pasti hidup anda bakalan nahas. Peluang hidup sejahtera, terlebih lagi bahagia, besar kemungkinan tidak bakal Anda alami.

Di sekolah, anak Anda kesulitan belajar karena berkasta Sudra, sama seperti betapa susahnya Anda memperbaiki tangga nasib hanya karena sehari-hari Anda bekerja sebagai tukang bersih-bersih. Kehidupan ekonomi Anda tidak kunjung membaik karena kasta Anda bukan Vihara yang berprofesi sebagai pedagang. Bukan pula para Ksatria yang mengisi jabatan strategis di pemerintahan, apalagi bisa menjadi kaum Brahman yang dibekali kesanggupan intelektual untuk hidup bijaksana.

Anda tidak sendirian sebab di luar, sistem kasta ini masih berlaku sama persis seperti hukum gravitasi. Ia hukum besi meski Anda pada nantinya telah tiada. Tukang becak, kuli bangunan, supir bajai, dan cleaning service tidak bisa bertukar tempat menjadi politisi, guru, atau bermimpi menjadi kelas intelektual bijak bestari. Kasta adalah harga mati. Nasib Anda sudah dipastikan dari awal bahkan sebelum anda lahir.

Begitulah nasib dialami Ayyan Mani, dalam Serious Men (2020), film berisi humor kelam yang menyentil sentimen kelas ningrat langsung melalui kelas paling tidak diuntungkan. Sama seperti Parasite (2019), Serious Men tanpa ampun mengangkat strategi hidup masyarakat lapisan akar rumput yang cerdik tapi sekaligus licik memanipulasi peluang-peluang yang bisa membuat kehidupannya menjadi lebih baik.

Ayyan Mani adalah seorang pria miskin, tapi bekerja di tengah-tengah ilmuwan India berkasta Brahman di sebuah lembaga riset nasional di Mumbai. Sudah bisa diduga, bagaimana posisi Mani sebagai kelas terendah dalam sistem sosial masyarakat India yang bekerja di antara kaum Brahman: tidak berharga, kerap diacuhkan, dan diberlakukan seperti binatang.

Sehari-hari Mani berpenampilan klimis berkemeja dan berdasi meskipun ia adalah bagian dari ribuan keluarga miskin India yang hidup super minimalis di sebuah rumah susun. Kehidupan yang demikian mengenaskan sebagai warga rumah susun akan ia kompromikan ketika bekerja sebagai asisten seorang ilmuwan antariksa. Ia mengejek para ilmuwan di tempatnya bekerja sebagai serious men, orang yang disebut jenius hanya karena seluruh perkataannya tidak dimengerti orang.

Ayyan Mani, seperti leluhurnya yang hidup miskin sejak dari lahir adalah keluarga dari kasta Dalit, yakni kasta yang lebih rendah dari Sudra. Dalam hirarki kasta Hindu, kasta Mani adalah kasta di lapisan paling bawah sampai-sampai orang-orang dari kasta ini tidak bernilai sama sekali.

Sebagaimana takdir yang kejam memberlakukan Mani, kehidupannnya tak kunjung membaik sekalipun ia berusaha mengubahnya sampai tujuh generasi setelahnya. Sistem kasta membuat kehidupannya tidak kunjung berubah dan seperti hidup di lingkaran setan.

Hingga akhirnya ia memiliki seorang anak dan menumpaskan dendam kesumatnya menyangkut takdir kastanya. Setelah mencapai usia sekolah, Adi anaknya, ia masukkan ke sekolah yang berisi biarawati dengan tekad melalui pendidikan anaknya, ia bakal mengubah nasib buruk keluarganya. Bukan cuman itu, meskipun anaknya seorang tunarungu, ia memanipulasi kecerdasan anaknya sehingga terkenal seantero negeri dan menjadi ikon sebagai anak jenius.

Lalu, bagaimana cara Mani memanipulasi kecerdasan anaknya? Caranya sederhana, setiap malam ia menyuruh anaknya menghapal kata-kata bermaksim tinggi untuk mengesankan ia anak jenius. Kata-kata yang tidak dipahami orang adalah tanda seseorang itu jenius. Di sekolah, trik ini berhasil karena setiap Adi bertemu gurunya, ia berakting seolah-olah seperti Albert Einstein, yang sedang terpukau dengan sinar matahari dan segera berteori tentang proses fotosintesis, teori kekekalan energi, hukum phytagoras, dan sekelumit pernyataan-pernyataan keilmuan yang membuat gurunya menganga.

Di titik ini, Serious Men mengangkat sekelumit masalah mengenai kecerdasan manipulatif yang dirasakan Mani ketika berada di tengah-tengah para ilmuwan, yang notabene adalah para kaum Brahman. Ejekan ”serious men” yang jadi olok-olokkan Mani kepada para ilmuwan, bukan sekadar sindiran kepada ilmu pengetahuan yang berpihak kepada kelas ningrat belaka, melainkan juga sebutan bagi jenis kebodohan lain dikarenakan para ilmuwan seperti manusia planet yang berbicara dengan bahasanya sendiri tanpa mengerti konteks kehidupan tempat mereka hidup.

Di sisi lain, dalam pendidikan menyangkut pola asuh orangtua kepada anak. Hubungan Mani dan anaknya, terkuak jauh lebih kompleks tidak sebatas hubungan orangtua-anak ala kadarnya, melainkan dilapisi ego, dendam, rasa marah, kecewa, kasih sayang, benci, dan putus asa kepada kenyataan yang memberlukan mereka secara tidak adil, yang mengikat sejumlah harapan Mani atas anaknya.

Atas semua kekalahan hidup itulah, seperti rindu mesti dibayar tuntas, dendam tujuh turunan Mani ia tuntaskan di wilayah paling beradab: dunia pendidikan. Tidak tanggung-tanggung ia mengeksploitasi anaknya untuk memungkasi pembalasan atas takdir kastanya yang membuat orang-orang sepertinya mesti hidup jadi alas kaki kelas ningrat.

Bukan saja guru, politisi, dan sekelompok ilmuwan yang berhasil ia tipu, istrinya yang sekamar dengannya tidak ia beri tahu mengenai akal liciknya itu. Bersama anaknya ia menipu dunia dengan cara menggunakan ilmu pengetahuan. Dan, terlebih lagi mengubah nasib melalui ilmu pengetahuan: kebijaksanaan tertinggi bagi kaum Brahman, satu titik yang ia jadikan olok-olok bersentimen kelas.

Jelas kelihatan dari ambisi Mani yang ingin mengubah dan melawan takdir kemiskinan yang disebabkan sistem kasta yang telah berlaku berabad-abad lamanya, meskipun dilakukan dengan cara membuat anaknya persis seperti badut pendidikan.

Ayyan Mani diperankan Nawazuddin Siddiqui yang berperan baik menjadi seorang ayah yang terjepit nasib hidup miskin, dengan sekelumit kecerdasan ditambah superego memanipulasi bukan saja kehidupan anaknya, tapi juga seantero warga rusun yang ia jadikan tumbal melalui kontrak politik elektoral. Sementara Aakshath Das meskipun memerankan seorang anak jenius tidak menghilangkan kepolosan sebagai seorang anak yang menjadi korban ambisi-ambisi orangtuanya.

”Film itu melihat dunia melalui matanya (Ayyan Mani). Dia mencoba untuk menyerap, mempelajari apa yang tidak Anda berikan padanya. Dia mengambil kesempatan yang tidak diberikan kepadanya dan memberikannya kepada putranya.” Ungkap Sudhir Mishra sebagai sutradara seperti dikutip dari Firspost.

Dengan beberapa scene yang mengambil lanskap kehidupan Mumbai sebagai kota padat, bisa dinyatakan film ini juga sedang menyatakan ulang menyangkut masalah pembangunan yang menyingkirkan kaum marginal ke dalam jaringan masyarakat miskin. Begitu juga sebelumya mengenai pengistimewaan kelas, isu pendidikan, dan parenting, jelas film ini bukan sekadar film yang menjual isu kemiskinan.

To only show them as this crawling, earnest people who look up to others, crying slowly as they drown in some quick sand, wasn’t what I wanted to do. That’s the bad art film you drink wine and discuss at film festivals,” tegas Misrha seperti dinyatakannya melalui  Firspost.

Sejak 2 Oktober lalu, film ini dapat disaksikan di Netflix.

 

Data Film:

Directed by Sudhir Mishra

Produced by Sudhir Mishra, Bhavesh Mandalia, Sejal Shah

Written by Bhavesh Mandalia, Abhijeet Khuman

Based on Serious Men by Manu Joseph

Starring: Nawazuddin Siddiqui, Indira Tiwari, Nassar, Aakshath Das, Shweta Basu Prasad, Yogesh Yadav

Music by Karel Antonin

Cinematography  Alexander Sukala

Edited by Atanu Mukherjee

Production company: Bombay Fables, Cineraas Entertainment

Distributed by Netflix

Release date 2 October 2020

Running time: 114 minutes

Country: India

Language: Hindi

 


Sumber gambar: Indozone.id

Waiting For The Barbarians: Mitos Identitas dan Siasat Kolonialisme

Kata peradaban dalam sejarah umat manusia, kerap diwarnai dengan tindak tanduk kolonialisme. Demi nama peradaban, Barat datang menganeksasi Timur, memperkenalkan cara pandangnya, dan di waktu bersamaan menancapkan pengaruh demi kejayaan negerinya.

Relasi dunia Barat dan Timur, dua spektrum dunia tidak saja berbeda tetapi saling bertolak belakang, menyebabkan bias di mana-mana, terutama bagi Barat yang memandang tanpa dasar mengenai stereotip yang ia lekatkan kepada Timur. Atas itu, kata peradaban, yang diprakarsai Barat, tidak berarti kata tanpa konotasi kolonialisme, yang sebenarnya adalah berisi siasat kebudayaan yang berkiblat di Barat. Barat selalu diandaikan segalanya: ia superior, lebih maju, rasional, dan lebih beradab, sementara Timur, negeri koloninya, senantiasa dinarasikan berdasarkan Barat melihatnya: terbelakang, tidak beradab, dekaden, dan barbarian.

Dua variabel inilah, yakni tegangan antara Barat dan Timur, yang kental, bahkan menjadi gagasan paradigma dalam Waiting for the Barbarians (2020), film yang diisi aktor-aktor ternama semisal Mark Rylance, Johnny Deep, Robert Pattinson, dan Gana Bayarsaikhan. Di luar dari cerita dan para pemainnya, film ini layak diperhitungkan mengingat ia digarap sutradara asal Kolombia Ciro Guerra, diadaptasikan dari novel pemenang nobel sastra tahun 2003, J. M. Coetzee, dan diarahkan  sinematografer berkelas macam Chris Menges yang berhasil menyabet Oscar di kategori “Best Cinematography” untuk film The Killing Fields dan The Mission.

Waiting for the Barbarians, termasuk film dengan tempo lambat dengan jalan cerita yang berisiko membuat bosan penontonnya, terutama mengenai apa alasan dan di bagian apa kelompok yang disebut barbar bakal datang. Sepanjang film ini, kita dibuat bertanya-tanya dan menantikan mengenai peristiwa paling ditunggu itu, dan  nyatanya, arti dari judul film ini akan terkuak di bagian akhir ceritanya, yang merupakan penghabisan adegan sebelum kredit film ini naik tayang.

Tidak disebutkan di mana latar belakang film ini, bercerita tentang suatu benteng kota perbatasan yang dikelilingi gurun pasir mahaluas, yang menjadi bagian dari suatu imperium. Adalah seorang magistrat tua (Mark Rylance) sebagai pemimpin kota itu, yang diperlihatkan sebagai kepala kota berperangai lembut, humanis dan berbudi mulia. Di bawah kepemimpinannya kota itu menjadi medan pertemuan terbuka warga lintas etnis, egaliter, dan membuat angka kriminalitas nyaris nol.  Sekalipun di balik tembok kota itu beredar kabar mengenai suatu kaum disebut barbarian, yang  konon kejam dan bengis hidup di hamparan keganasan padang pasir luas, membuat Sang Magistrat tidak percaya dengan prasangka berbau kolonial ini. Sang Magistrat mengyakini, selama mereka hidup tak saling mengganggu, keamanan dan kerjasama antara mereka bukan hal utopis.

 

Genre: Drama Sutradara: Ciro Guerra Penulis: J.M. Coetzee (novel) Skenario: Niren Bhatt & Ravi Muppa Pemain: Mark Rylance, Johnny Deep, Robert Pattinson, dan Gana Bayarsaikhan Liris: Agustus 2020 Durasi: 122 Menit Produksi: Iervolino Entertainment, Ithaca Pictures

 

Kota tenang itu seketika mencekam pasca utusan imperium bernama Kolonel Joll (Johnny Deep) dengan kacamata unik datang menyelidiki potensi pemberontakkan suku-suku barbarian. Polisi utusan imperium ini miskin kata-kata tetapi dingin, kejam, dan tanpa ampun. Ia tanpa belas kasihan melakukan pemeriksaan dengan metode penyiksaan fisik sampai membuat tahanan mati. Berbeda dengan pandangan sang magistrat, Kolonel Joll mewakili imperium yang berpandangan bangsa apapun di luar dari peradaban mereka adalah kelompok barbarian, berbahaya dan berpotensi mengancam kedaulatan imperium. Meski hanya sebentar, kedatangan Kolonel Joll cukup signifikan menanamkan ketakutan dan kekhawatiran warga kota mengenai penduduk di luar dari peradaban mereka.

Prasangka kultural

Selama adegan film ini berputar, inti yang menggerakkan ceritanya adalah dua sudut pandang yang saling bertolak belakang antara Sang Magistrat dan Kolonel Joll. Sang Magistrat, di sela-sela waktunya, kerap mendalami benda-benda, bahasa, dan budaya masyarakat asli tempat kota itu berdiri. Ia bahkan mengoleksi manuskrip-manuskrip berkaitan dengan kebudayaan lain di luar imperium, dan berusaha terbuka dengan kebudayaan yang hidup di luar jauh perbatasan kota. Ia singkatnya, berpandangan siapa pun dan kelompok apapun, meski itu merupakan kelompok nomaden, mesti diperlakukan  berdasarkan prinsip-prinsip kedamaian dan kemanusiaan.

Sementara Kolonel Joll adalah simbol bangsa penjajah, yang dingin, kaku, dan militeristik. Ia tidak segan-segan melakukan berbagai cara demi membenarkan cara pandang kulturalnya yang penuh prasangka negatif. Atas dasar superioritas itulah, bahkan, ia mesti menggunakan pendekatan kekerasan saat mengintrogasi penduduk nomaden yang ia katakan barbar.

Perbedaan pandangan ini, oleh sutradara Ciro Guerra dibuat bernama kontemplatif tanpa menyuguhkan secara langsung kekerasan baik dari Kolonel Joll, atau suku barbarian, yang dipersangkakan bengis dan tanpa perasaan. Di titik ini, prasangka yang mewakili pandangan Kolonel Joll, dibiarkan tanpa dasar acuan dan fakta empiris berupa benar salahnya pandangan kebudayaan yang dinyatakan barbarian. Lama kelamaan, tanpa sekalipun ada bukti mengenai apa yang disangkakan Joll, membuat cara pandang ini layak dipertanyakan.

Dengan cara itu, meskipun bertempo lambat, di waktu inilah penikmat film ini diberikan peluang untuk merefleksikan siapa sebenarnya yang bertindak barbar, Joll bersama pasukannya–yang suka menganiaya tahanan dan menangkap suku barbar, atau suku-suku yang dipersangkakan sepihak oleh peradaban yang diwakilkan melalui film ini.

Tidak dinampakkannya secara langsung kekerasan, semisal model penyiksaan dilakukan Kolonel Joll, dapat dianggap cara Ciro Guerra memainkan peran imajinatif penonton  merekontruksi sendiri bagaimana kekejaman Joll saat melakukan interogasi demi mencari kesaksian perencanaan pemberontakkan suku barbarian, yang sebenarnya hanya rumor imperium belaka.

Kenyataan sehari-hari

Amin Maalouf, sastrawan Lebanon mengatakan, ketimpangan dan ketidakadilan atas nama budaya, yang menyebabkan kolonialisme Barat atas Timur, disebabkan karena hanya soal identitas belaka. Agama, ras, dan suku adalah identitas semata, yang bagi Maalouf tidak dipahami dengan baik sehingga karena itu masih sering membuat orang menumpahkan darah hanya demi pengakuan.

Identitas adalah identik bagi dirinya sendiri sehingga tidak ada satupun menyerupai dirinya. Meskipun ada namanya atas nama keluarga, klan, suku, budaya, agama, dan nasionalisme tertentu, tetap saja itu tidak menghapus keragaman identitas yang hidup bersama-sama.

Identitas tiap individu, dan juga nama yang lebih luas dari itu, dalam kenyataannya dibentuk dari ramuan berbagai unsur. Dengan kata lain, catatan resmi berupa kartu tanda penduduk, tidaklah cukup untuk ”mendefinisikan” suatu identitas dikarenakan keterikatannya yang kompleks kepada ikatan-ikatan tradisi, keluarga, cara pandang politik, komunitas religius, profesi, atau ke dalam suatu institusi tertentu.

Itu artinya, di dalam dunia harian, identitas lebih masuk akal diterima sebagai alih-alih pemberian genetik, melainkan merupakan lebih sebagai hasil kreasi relasi sosio-kebudayaan. Dengan cara ini, identitas justru merupakan pakem-pakem yang dinamis dan mudah berubah ketimbang mengyakininya sebagai ikhwal yang ajeg dan final.

Barat dan Timur, atau Utara dan Selatan, dua nama dua identitas sampai hari ini masih mewarnai percaturan global. Persaingan budaya, ekonomi, dan politik, adalah medan-medan dua identitas ini bertempur dan saling merebut pengaruh dan nama. Tidak jarang, atas nama peradaban masing-masing, peperangan di antaranya tidak bisa dielakkan.

Mungkin karena itu, tidak sekalipun dalam Waiting for the Barbarians menyebut nama bangsa, tempat, waktu, dan lokasi kota dan imperium Sang Magistrat dan Kolonel Joll berasal. Ini bisa diartikan lebih jauh, kolonialisme bisa berasal dari mana saja dan siapa saja selama ia mengagungkan membabi buta itu yang namanya identitas. Sekelabat memang sering ditampilkan atribut-atribut identitas berupa bendera, logo kerajaan, seragam militer, dan arsitektur kota dalam film ini, tetapi tetap saja itu dibiarkan anonim tanpa mencantol identitas dari mana-mana.  Identitas, dalam film ini memang nyaris tidak ada, yang bisa berarti seperti dinyatakan di atas.

Syahdan, adegan paling ditunggu dan mengundang tanya ada di bagian akhir, saat dari benteng kota nampak di kejauhan abu pasir naik ke udara seperti sedang terjadi badai, yang sebenarnya itu akibat deru ratusan atau ribuan kaki-kaki kuda pasukan suku ”barbarian”, saat datang menyerbu kota akibat ulah Kolonel Joll. Kota sudah amburadul dan kosong ditinggal Kolonel Joll dan pasukannya setelah dipukul mundur, dan tinggallah Sang Magistrat bersama penduduknya seorang diri menunggu kedatangan serbuan pasukan yang mirip pasukan Jengis Khan itu.

 


Sumber gambar: Youtube