Arsip Kategori: Ulasan Film

Frantz Fanon, Luce si Murid Unggulan, dan Sekolah Merdeka

 

Belum lama ini, saya baru saja menonton Luce (2019), film drama yang lumayan membingungkan dikarenakan menyisipkan banyak tanda tanya di hampir setiap adegannya. Mimik muka, intonasi suara, gerak tubuh, dan tentu juga dialognya, adalah hal-hal detil yang mesti diperhatikan lebih seksama untuk  memahami jalan cerita film besutan Julius Onah ini.

Luce dari sudut tertentu adalah film tentang pendidikan—atau berlatar kehidupan sekolah yang menyorot kehidupan siswa siswi di sekolah tingkat atas: kegiatan belajar, konflik, ambisi siswa, solidaritas kelompok, persahabatan, kehidupan asmara, dan relasi murid-guru.

Luce bercerita tentang anak cerdas kulit hitam di sekolah menengah atas, yang dikhawatirkan akan berbuat ”sesuatu” pasca Harriet Wilson (Octavia Spencer), seorang guru sejarah dunia, menugaskan murid-muridnya menulis esai tentang tokoh sejarah.

Luce Edgar (Kelvin Harrison Jr.)—seorang siswa cerdas dan bintang sekolah—menulis esai tentang Frantz Fanon, filsuf sekaligus tokoh revolusioner Pan-Afrika, yang mengangkat gagasannya terutama ide-ide pemberontakan Fanon mengenai kekerasan yang dinyatakan dapat menjadi pengendali dalam tatanan dunia.

Esai ditulis Luce itu membuat cemas Harriet, yang mengkhawatirkan gagasan pemberontakkan ala Fanon tengah bersemayam di benak Luce.

Bagi, Harriet, esai itu bukan sekadar tugas biasa, yang ditulis seorang bintang sekolah, melainkan suatu penanda bahwa suatu ide-ide radikal bakal mempengaruhi cara pandang orang seperti Luce.

Luce sebelum diadopsi pasangan suami istri Amy Edgar (Naomi Watts) dan Peter Edgar (Tim Roth)—yang merawatnya seperti anak sendiri dengan memberikan kehidupan dan pendidikan terbaik bagi Luce— adalah anak yang lahir dan tumbuh berkembang di Eritrea suatu tempat yang disebut sedang dilanda konflik dan perang berkepanjangan.

Kemiskinan dan kehidupan anak-anak liar adalah dua hal yang membentuk Luce sejak kecil: sulit diatur, denial, dan asosial. Dengan latar belakang demikian, Harriet berkeyakinan ”sesuatu” bakal terjadi dengan Luce, dan itu akan merusak masa depan Luce yang cemerlang. Ya, Luce diproyeksikan sebagai murid percontohan sekolah, ia bahkan menjadi murid favorit guru-gurunya, dan mendukungnya untuk belajar sampai ke tingkat lebih tinggi.

Kecurigaan, atau lebih tepatnya ketakutan Harriet semakin menjadi-jadi pasca ia menemukan kembang api ilegal berdaya ledak besar di loker Luce—ia mengambilnya tanpa sepengetahuan dengan cara menggeledah loker Luce, yang berarti melanggar privasi, sesuatu yang sangat dijunjung tinggi di negeri semacam Amerika Serikat.

Dari sini konflik bermula yang melibatkan kecurigaan, prasangka, dan emosi, antara Harriet dengan Luce, dan antara Luce dengan kedua orangtuanya—setelah Harriet memanggil Amy, ke sekolah, khusus menceritakan kecurigaan dan temuan kembang api Luce.

Konflik ini praktis menjalar kemana-mana, merongrong kepercayaan Amy dan Peter Edgar terhadap Luce, yang terkejut dengan sisi misterius Luce setelah kasus esai dan kembang apinya, dan kemudian membuat Luce terlempar ke titik asing dan ganjil di hadapan kedua orangtuanya.

Karena film ini berlatar kehidupan sekolah, terutama konflik antara guru dan murid (orangtua), maka refleksi-refleksi atas film ini—menurut saya—dapat dihubungkan dengan isu-isu pendidikan  terutama jika dilihat dari kacamata critical pedagogy (pendidikan kritis).

Harmoni dan perubahan

Term harmoni, untuk tulisan ini, lebih tepat diganti stabilitas, jika itu dipandang dari sudut pandang Harriet, guru yang mengkhawatirkan Luce bakal terpengaruh gagasan pemberontakan Frantz Fanon. Dalam hal ini, Harriet mendukung paradigma kehidupan yang lebih mementingkan stabilitas dari pada perubahan, meskipun itu belum tentu bakal mengancam tatanan yang sudah ada.

Dari kacamata critical pedagogy, Harriet mewakili kemapanan sekolah, yang melihat Luce sebagai ancaman, terutama ketika Luce menulis esai dengan mengangkat tokoh sekaliber Frantz Fanon.

Itu artinya, kemerdekaan berpikir dan kebebasan mengutarakan gagasan, yang menjadi inti pendidikan liberal, yang dilakukan Luce, kontraproduktif dengan pandangan pendidikan sekolah yang mengutamakan stabilitas dan kemapanan.

Anda boleh menulis apa saja, tapi jangan menyasar hal ihwal yang bisa mengganggu kemapanan sekolah, begitu kira-kira aturan main tersembunyi dalam benak Harriot.

Perubahan (social change) bagi tatatanan yang mengandalkan keharmonisan, akan dianggap menganggu dan anomali. Dalam konteks pendidikan atau sekolah tempat Luce belajar, itu berarti gagasan Fanon yang ditulis Luce adalah hal berbahaya bagi tatanan. Sekolah dalam hal ini, dapat dikatakan institusi yang ikut mengekalkan status quo masyarakat. Ia menjadi lembaga, yang boleh jadi mewakili pandangan kelas tertentu, agar ide-ide perubahan tidak mengubah kepentingan yang sudah lebih awal disepakati.

Rasialisme

Penting untuk juga menyorot Luce dan Harriet, sebagai orang kulit hitam yang mewakili suatu kaum, dan kedua orangtua Luce yang berlatarbelakang kulit putih. Sepintas akan kelihatan bahwa film ini tidak ada masalah dengan rasialisme dengan mengangkat latar belakang keluarga Peter Edgar dan Amy Edgar yang mengadopsi Luce, seorang anak kulit hitam.

Dari segi ini, patut memerhatikan detil adegan atau cara pandang DeShaun (Brian Bradley) saat ia terlibat pertengkaran dengan Luce, mengenai di mana keberpihakan Luce apakah membela Deshaun— teman Luce yang dihukum karena kedapatan mengonsumsi ganja—yang notabene murid kulit hitam, atau mengedepankan prestasinya yang dipuja sekolah, yang dinilai representasi masyarakat kulit putih.

Meski adegan itu cukup sepintas dan seolah-olah hanya pertengkaran antara dua remaja anak SMA, refleksinya dapat ditarik dari pandangan pasca-kolonialisme. Luce bisa dikatakan mengalami dilema identitas antara latar belakangnya sebagai kulit hitam dengan kehidupan barunya yang lebih mewakili kebiasaan, cara berpikir dan merasa, melalui pengasuhan dan dididikan berdasarkan keluarganya yang berlatar masyarakat kulit putih.

Ini sama dengan apa yang dikatakan Fanon sendiri melalui bukunya: Black Skin, White Mask, tentang gejala alienasi akibat superioritas masyarakat kulit putih saat memandang rendah masyarakat kulit hitam yang mengakibatkan orang kulit hitam mesti melihat dirinya dari kacamata masyarakat kulit putih.

Kesalahan mengidentifikasikan diri ini, tidak saja berlaku pada kegiatan berdimensi politik, dan ekonomi, melainkan besar pengaruhnya pada dimensi kebudayaan, yang dalam konteks film ini dapat dikerucutkan pada aspek pengasuhan melalui keluarga dan pendidikan sekolah.

Luce adalah contoh—jika dapat mewakili bangsa-bangsa kolonial—mengenai bisa langgengnya suatu penjajahan disebabkan kekuasaan atas nama ras atau bangsa, dapat berlangsung dengan waktu yang lama dan tidak disadari melalui penciptaaan situasi ketergantungan (hegemoni) terhadap bangsa yang lebih superior melalui pendidikan dan kebudayaan.

Refleksi

Institusi pendidikan berupa sekolah atau perguruan tinggi, melalui critical pedagogy dilihat sebagai institusi yang berdiri dan beroperasi atas tuntutan imperatif ideologi dominan. Itu artinya intitusi pendidikan bukan lembaga yang kebal dari tarik ulur kekuasaan dalam dimensi politik dan ekonomi.  Ia, menurut analisis Bourdieu dan Foucault, senantiasa menjadi medium kepentingan elite tertentu dan kekuasaan untuk menciptakan situasi normal demi mendukung kepentingan bersangkutan.

Di tanah air, selain dari pada kemiripan di atas—kampus dan sekolah yang mewakili pandangan kekuasaan—juga menjadi lembaga yang mengalami liberalisasi dan swastanisasi, yang menyebabkan pengelolaan keduanya menjadi korporasi. Imbasnya, kegiatan pembelajaran, penyusunan kurikulum, penelitian, seminar, pengabdian masyarakat, kegiatan organisasi, dan pengambilan kebijakan, berubah orientasinya yang semula mengarah ke pengembangan peserta didik dan ilmu pengetahuan, menjadi sekadar pencarian profit material belaka.

Dalam suasana demikian, ketika pendidikan dikapitalisasi dan dipolitisasi, wacana atau gagasan yang bermuatan politis, atau berdimensi perubahan sosial, akan dideteksi sebagai ancaman bagi stabilitas institusi pendidikan. Di kampus, kontrol atas wacana, kegiatan organisasi, peredaran buku-buku kritis, dan seminar-seminar berorientasi perubahan akan dicap sebagai kegiatan ilegal. Dosen atau mahasiswa yang terlibat dengan kegiatan serupa akan diidentifikasi sebagai ancaman yang perlu dihambat karier dan studinya.

Di sekolah-sekolah, penggambarannya lebih mengerikan lagi. Murid-murid dilatih membaca dan menulis sesuai intruksi guru yang berposisi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Murid akan dianggap menyimpang jika menunjukkan gejala berlainan apabila ditemukan melakukan improvisasi atau pengembangan pendekatan dalam memecahkan suatu soal. Sistem dikte yang masih ditemukan di sekolah saat ini, merupakan metode kontrol pikiran agar murid dapat digolongkan ke dalam satuan-satuan yang seragam dan serupa.

Dari kacamata pasca-kolonial, sekolah sangat berpotensi melanggenggkan pandangan inferior sebagai bangsa terjajah. Sekolah atau perguruan tinggi, jika tidak segera mengembangkan sendiri pandangan filosofi dan pendekatan pembelajarannya, yang berangkat dari kesadaran mandirinya, akan selamanya menjadi alat tidak langsung dalam mentransmisikan pandangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang mengkultuskan Barat sebagai kiblat kemajuan.

Sekolah-sekolah dengan posisi seperti itu akan terus melahirkan generasi berkepribadian kerdil dan terasing, dikarenakan diajarkan dan dididik dengan cara sesuai pandangan, perasaan, dan hasrat pihak penjajah. Dengan kata lain, merdeka belajar atau kampus merdeka, yang sering kita dengarkan sekarang hanyalah menjadi slogan politik semata apabila masalah mengenai ”kepribadian” sebagai bangsa  berdaulat belum dituntaskan dari awal.

 


Sumber gambar: http://www.thrivecollective.org/la-lucha-continua/

Bala: Melawan Ideologi Ketampanan dan Hidup Otentik Meski ”Botak Tengah”

 

”Tapi Anda jangan berkecil hati. Anda tidak mampu mengubah ideologi ini (ideologi kecantikan). Yang bisa Anda lakukan adalah mengubah warna kulit Anda.”

 

TAHUN 2000 ketika Timnas Inggris tampil di Piala Eropa, David Beckham muncul dengan gaya rambut baru. Saat itu berbeda dari model ”belah tengah-nya”, Beckham  berlari-lari di lapangan bergaya rambut mohawk yang menuai kritik, termasuk dari Sir Alex Ferguson, pelatihnya saat masih berkostum Manchester United.

Saat itu gaya rambut mohawk biasanya menjadi gaya pemain bola berdarah Afrika, tapi Beckham adalah Beckham. Kritik bukan masalah bagi dirinya. Toh, pada akhirnya gaya rambutnya itu menjadi trend dunia.

Sudah menjadi pengetahuan umum, Beckham bukan saja bintang di lapangan sepak bola, tapi juga menjadi model ternama dari beberapa merk baju, minyak wangi, dan sepatu. Apapun yang ia lakukan dengan gaya busana dan gaya rambut bakal diikuti banyak orang. Ia selain ditunjang dengan wajah charming juga memiliki model rambut blonde kesukaan banyak wanita.

Rambut bagi sebagian lelaki sama pentingnya seperti kulit putih bagi wanita. Ia menjadi penopang penampilan sekaligus pendongkrak rasa percaya diri. Bagi orang seperti Beckham, mengubah gaya penataan rambut bukan jadi soal.

Lantas, bagaimana jika seseorang memiliki tipe rambut yang sulit diatur, atau bahkan mengalami ”botak tengah”?

Nah, jika Anda ingin melihat pergulatan identitas seseorang akibat mengalami kebotakan dini, maka tidak ada salahnya Anda menonton Bala (2019) karya arahan Amar Kaushik ini.

Bala dibintangi Ayushmann Khurrana berperan sebagai Balmukund “Bala” Shukla, bercerita tentang kehidupannya yang berbalik 180 derajat setelah tumbuh dewasa. Kehidupannya yang menikung turun tiba-tiba berubah hanya karena persoalan rambut.

Semasa bersekolah Bala adalah bintang kelas dalam arti siswa yang pandai merebut perhatian konco-konconya. Ia pandai meniru akting pemain-pemain film Bollywood semisal Amitabh Bachchan sampai Sahrukh Khan.

Di sekolah ia bisa bertindak begitu karena mencintai dan merasa percaya diri memiliki rambut hitam nan tebal. Saking percaya dirinya, sekali tempo dengan maksud mengejek ia menggambar kepala gundul gurunya di atas papan yang membuat seisi kelas menertawakan gurunya.

Kelak, nasibnya bakal berubah ketika ia tumbuh dewasa. Satu persatu bulu rambutnya rontok seperti hutan yang gundul akibat serangan pembalak liar.

Korban Ideologi Kecantikan dan Galau karena kebotakan

Bisa dibilang kehidupan dewasa Bala dipenuhi obsesi untuk menumbuhkan rambutnya seperti semula. Rasa percaya dirinya pupus seiring berhelai-helai rambutnya yang jatuh berguguran saat disisir.

Seribu satu cara ia lakukan demi menumbuhkan kembali rambutnya. Mulai dari membeli sampo khusus hingga ramuan tidak masuk akal berupa kotoran bercampur sperma banteng.

Pelan-pelan kekhawatiran Bala atas nasib kepalanya ikut membuat keluarganya prihatin oleh oleh sebab kegundulan dini dialami Bala membuat dirinya semakin terperosok ke dalam kegalauan akut. Sehari-sehari karena tidak percaya diri, kemana-mana ia mesti menggunakan topi sekaligus kacamata hitam demi menyembunyikan identitasnya.

Rambut adalah mahkota. Begitu adagium yang menandai keistimewaan rambut sehingga ia kerap diperlakukan khusus. Di dunia iklan, tidak sulit menemukan produk khusus perawatan rambut. Di mal-mal kerap juga menemukan salon-salon khusus penataan rambut.

Bahkan, semakin ke sini, salon-salon khusus laki-laki menjadi gampang ditemukan, menandai perkembangan gaya rambut tidak saja dikhususkan bagi perempuan, melainkan juga kaum laki-laki.

Dandanan rambut, seperti juga cara berpakaian, bentuk tubuh, dan cara berbahasa merupakan satu paket untuk menunjang gaya hidup. Dalam masyarakat konsumeristik, semua itu kerap dipelantang melalui iklan untuk menciptakan hegemoni budaya berkaitan dengan idealisasi kebudayaan tertentu.

Theodor Adorno dan Max Horkheimer, dua pemikir kebudayaan marxis melalui The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception membaca hubungan fenomena iklan dan gaya hidup merupakan inisiasi ideologi kapitalisme dalam menciptakan budaya massa.

Budaya massa adalah budaya versi dunia periklanan yang manipulatif, rendahan, dan massif, sekaligus bersifat permukaan yang banyak digandrungi banyak orang. Budaya massa yang menurut Adorno dan Horkheimer adalah bagian dari industri kebudayaan, dalam praktiknya banyak merambah kawasan negara dunia ketiga untuk memberikan efek hegemoni sekaligus timbal balik keuntungan.

Gaya atau model rambut, dalam hal ini dengan kata lain bagian dari ideologisasi masyarakat konsumeristik demi melanggengkan budaya massa. Gaya rambut, sebagaimana ia bagian dari gaya hidup merupakan hasil konstruksi dari industrialisasi budaya kapitalistik untuk mendulang keuntungan. Di balik semarak iklan, film, majalah, dan internet, bersembunyi kepentingan pasar.

Bala, seperti banyak ditemui pada pria-pria kiwari, merupakan orang yang tidak lepas dari pengaruh ideologisasi kecantikan (ketampanan). Seperti juga kulit putih bagi perempuan, memiliki gaya rambut seperti trend masa kini merupakan kemestian bagi Bala.

Itu sebab, di sepanjang film kita akan menyaksikan usaha mati-matian Bala demi mendapatkan rambut yang ideal. Satu-satunya dasar eksistensi dirinya ia temukan hanya melalui rambut tebalnya. Seperti umumnya pria yang memandang gaya rambut adalah tanda sosial, maskulinitas, kesuburan, dan kekuatan, bagi Bala rambut adalah segalanya

Namun, apa boleh buat, rambutnya yang semasa kecil demikian lebat, entah mengapa tiba-tiba sulit tumbuh ketika ia menjadi seorang pemuda. Yang terjadi malah sebaliknya, gugur satu persatu tanpa tumbuh seribu.

Rambut dan Ideologi

Rambut adalah representasi nilai, tradisi, dan pandangan dunia tertentu. Sebelum Tiongkok pecah karena revolusi hijaunya, kaum pria Cina memandang status sosialnya dari dandanan rambut panjang yang dikuncir. Harga diri laki-laki Cina terletak ketika memiliki rambut berekor panjang. Bahkan, secara politik, gaya rambut berekor merupakan tanda kesetiaan kepada dinasti yang berkuasa saat itu.

Di masa Orde Baru, rambut bahkan menjadi demikian politis, karena dianggap tanda kepatuhan kaum muda kepada kekuasaan Soeharto. Dalam Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an, dijelaskan bahwa melalui narasi anti rambut gondrong, Orde Baru Soeharto berusaha mengontrol kritisisme kaum muda.

Selain mengubah terma ”pemuda” menjadi ”remaja” karena kata ”pemuda” memiliki konotasi aktivitas politik, anak-anak muda di seluruh Indonesia dinarasikan sebagai ”anak-anak pembangunan” selama sikap dan perilakunya taat kepada ”Bapak Pembangunan”, yang salah satunya adalah memiliki rambut cepak ala militer.

Kelompok subkultur Punk mengartikan ideologi perlawanan juga dari cara mereka menata rambut. Ketika kali pertama muncul di Inggris, Punk merupakan kelompok anak muda anti kemapanan, anti kelas, dan anti pemerintahan.

Menurut Setyanto dalam  Makna dan Ideologi Punk, Jurnal Desain Komunikasi Visual & Multimedia, gaya rambut Mohawk yang diambil dari suku Mohican Indian Kuni dilambangkan sebagai perlawanan kaum tertindas terhadap kekuasaan di luar dari diri mereka.

Bala walaupun mengedepankan unsur komedi, tetap menarik perhatian karena diset sedemikian rupa demi menggambarkan relasi rambut dengan kehidupan sosial masyarakat tertentu.

Dalam konteks kehidupan Bala, kebotakan bagi kaum pria bukan saja ada hubungannya dengan derajat penampilan, melainkan melibatkan suatu cara pandang berkaitan gaya hidup ideal seperti yang dipelantang ideologi-ideologi kecantikan/ketampanan.

Seperti juga masyarakat dunia ketiga yang mengalami gegar budaya luar, di dalam film, gaya rambut seperti ditunjukkan para pesohor bintang iklan, penyanyi, ataupun aktor film adalah simbol gaya hidup yang menjamin eksistensi seseorang.

Itu artinya tidak mudah bagi orang seperti Bala menempatkan dirinya di tengah situasi masyarakat yang memuja ukuran gaya hidup tertentu, oleh sebab jika berpenampilan tidak sesuai cara pandang dominan, ia bakal menghadapi bullying dari lingkungan sosialnya.

Kehidupan inautentik

Pagi hari Bala bekerja sebagai sales promotion boy ”Pretty Girl”, produk kecantikan pemutih kulit. Di waktu malam ia sering tampil menjadi comica di café-café. Uniknya, dua profesi ini merupakan dua bidang kerja yang bertolak belakang.

Selama menjadi salesman, sehari-hari ia dituntut perusahaan menjual produk pemutih kulit agar laris terjual. Bala sering mengumpulkan perempuan-perempuan berkulit gelap untuk ia ceramahi tentang betapa pentingnya perempuan memiliki kulit mulus dan putih.

Di ujung persentasi itu, menggunakan bahasa dan strategi pemasaran yang hiperbolis, ia akan menawarkan solusi pemutih kulit produk yang dijualnya.

Sementara saat menawarkan produk kecantikan, dalam arti Bala menjadi agen kebudayaan massal, berbeda saat Bala menjadi comica. Di atas panggung ia malah menjadi pribadi yang lebih bebas. Kelak ketika ia mulai menerima kebotakannya, saat melakukan stand up itulah ia mendeklarasikan kebebasan dan keotentikannya menjadi manusia merdeka.

Puncak konflik Bala ketika ia menikahi Pari Mishra (Yami Gautam), seorang model dari produk kecantikan yang dijual Bala. Namun, masalahnya baru muncul karena selama memadu kasih Bala tidak berterus terang bahwa ia memiliki kepala botak, sesuatu yang tidak diharapkan Pari, istrinya.

Semua usaha Bala menyembunyikan kebotakanya menjadi hancur setelah Latika Trivedi (Bhumi Pednekar) datang ke rumahnya dan membongkar semua aib yang disembunyikan Bala.

Sejak saat itu, baru di hari pertama menjalani kehidupan suami istri, Pari pergi meninggalkan Bala hanya karena ia tidak bisa menerima kebotakan dialami suaminya.

Antitesa Bala ada pada Latika, perempuan bekas teman sekolah Bala yang tidak sama sekali pusing dengan warna kulit gelapnya. Dalam tilikan otentik tidak otentik, Latika adalah pribadi yang percaya diri dengan warna gelap kulitnya.

Latika tidak memiliki akun media sosial dan jarang membeli prioduk kecantikan. Ia sering terlibat pertengkaran dengan Bala hanya karena urusan produk kecantikan dijual Bala yang dianggap Latika adalah pembodohan bagi perempuan.

Salah satu pesan film Bala ada pada figur Latika ini. Ia adalah figur yang melawan cara pandang dominan. Posisinya sebagai perempuan memberikan bobot lebih dikarenakan ia kukuh berpendirian di saat banyak perempuan di sekitarnya terbuai produk kecantikan pemutih kulit.

Jika sehari-hari Bala hidup di dalam kepalsuan dengan memanipulasi identitasnya, Latika sebaliknya memiliki kesadaran melampaui warna kulit gelap yang ia miliki. Ia di titik tertentu rela menerima eksistensi diri apa adanya tanpa mesti diombang-ambing embel-embel opini publik.

Satu hal yang juga perlu diperhatikan adalah Pari, istri Bala. Sebagai seorang model iklan, ia hidup bertaut dengan ideal-ideal estetika massal seperti ditunjukkan dari kehidupan media sosial ala selebritisnya.

Pari merupakan representasi perempuan-perempuan yang kerap menjadi korban iklan kecantikan. Memiliki kulit putih, rambut tergerai panjang, hidung mancung, dan memiliki laki-laki idaman berambut stylish adalah cita-citanya.

Keterangan Film:

Genre: Comedy, drama

Sutradara: Amar Kaushik

Skenario: Niren Bhatt & Ravi Muppa

Pemain: Ayushmann Khurrana, Bhumi Pednekar

Yami Gautam

Liris: November 2019

Durasi: 133 Menit

Studio: Film Maddock

Negara: India

Bahasa: Hindi

 


 

Sumber gambar: english.newstracklive.com

 

 

The Professor and The Madman: Ketika Kegilaan Melahirkan Kamus

“Aku bisa terbang dari tempat ini dengan buku. Aku sampai ke ujung dunia dengan sayap kata. Saat aku membaca, tak ada yang mengejarku. Saat aku membaca, akulah yang mengejar… mengejar Tuhan”

Dengan suara ditekan, kalimat maaf itu diucapkan Dr. W.C  Minor (Sean Penn) kepada Nyonya Merrett (Natalie Dormer) , perempuan janda yang ditinggal mati suaminya.

Pertemuan mereka bukanlah kali pertama terjadi ketika Eliza Merrett datang membawa buku mengunjungi Doktor Minor di dalam penjara khusus orang gangguan jiwa. Ini adalah kunjungan kesekian setelah Eliza memberanikan diri mendatangi orang yang telah membunuh suaminya.

Halaman demikian lapang dengan rumput hijau terawat baik, dan tembok pagar bangunan penjara mengelilingi mereka. Suasana yang tidak sama sekali mencerminkan bahwa di tempat itu adalah pusat rehabilitasi sekaligus penjara khusus orang gangguan mental, membuat percakapan itu kian ganjil.

Bukan lain sebab selain kunjungan itu sebenarnya pertemuan antara si gila pembunuh dan istri korbannya. Pertemuan belakangan intens itu tak dinyana menimbulkan perasaan mendalam satu sama lain.

The Professor and The Madman (2019) bukan kisah ”cinta” antara Dr. Minor dan Eliza Merrett. Selingan pertemuan mereka hanyalah secuplik kisah yang memberikan narasi romantisme bagi sosok Dr. Minor.

Sosok Dr. Minor, digambarkan pribadi psikopat. Kepribadiannya diliputi halusinasi akut terhadap sosok misterius yang datang dari sejarah kelam saat ia menjadi dokter bedah saat masa perang.

”Ia muncul dari dalam tanah, dan tiba-tiba menyerangku”, begitu pendakuannya tentang sosok halusinatif yang kerap menghantuinya kepada sipir penjara. Salah satu klimaks kegilaan Dr. Minor ditunjukkannya ketika ia dirundung perasaan bersalah demikian mendalam terhadap Eliza Merrett.

”Mr. Coleman…! Teriak Dr. Minor setelah membobol pintu selnya.

”Tolong panggilkan klinik, saya melukai diriku sendiri”.

Dr. Minor mengangkat kedua tangan berlumuran darah yang sebelumnya menjepit putus kemaluannya menggunakan sebilah plat kawat.

Pekerjaan ”gila”

The Professor and The Madman diangkat dari novel karangan Simon Winchester, penulis cum mantan jurnalis surat kabar The Guardian, Inggris, yang meramunya dari kisah nyata. Melalui pendekatan narasi non-fiksi, karangannya ini mengisahkan sejarah suatu proyek ambisius pencipataan kamus Oxford English Dictionary oleh dua orang bernama Profesor James Murray (Mel Gibson) dan Dr. Minor (Sean Penn). Ajaibnya pekerjaan ini dilakukan oleh dua orang yang sama-sama berlatarbelakang ”gila”.

James Murray, bukanlah professor dalam arti sebenarnya—kelak ia mendapatkan gelar prestisiusnya setelah hasil kerjanya diakui oleh komunitas ilmuwan dan kerajaan Inggris. Ia bahkan tidak lulus sekolah karena diusia 14 tahun mesti membantu keluarganya mencari nafkah. Tapi, penguasaan ilmu leksikograf dan ilmu filologi membuat takjub Dewan Penerbitan Oxford saat itu.

Dikutip dari wikipedia.org, dalam suatu surat di tahun 1861 kepada Thomas Watt, penjaga buku cetak di British Museum, Murray mengaku sebagai polyglot yang menguasi lebih dari sepuluh bahasa bangsa-bangsa dan bahasa daerah disertai logat khasnya masing-masing. Beberapa di antaranya adalah bahasa Latin dan Yunani,  Romawi, Italia, Spanyol, Prancis, Catalan, Portugis, Vaudois, Provencalen, Jerman, Belanda, Denmark, Flemish.

Tidak saja itu, ia mengaku menaruh minat spesialisasi kepada bahasa Anglo Saxon dan Moeso Gothic, Rusia, Syiria, Bahasa perjanjian lama dan Peshitta, Aram, Arab, Koptik dan Fenisia.

Pekerjaan Murray bisa dibilang pekerjaan ”kegilaan”. Sejak  Maret 1879 disahkan Dewan Penerbitan Oxford sebagai kepala tim penyusun kamus, ia mesti mengumpulkan dan mendefenisikan makna seluruh kata bahasa Inggris baik bahasa pakem yang masih digunakan hingga arkais ke dalam satu tabulasi berdasarkan sejarah penggunaannya, asal usul, cara penyebutan, perubahan dan peralihan kata, serapan, serta kutipan konteks kata-kata itu digunakan.

Proyek “gila” nan revolusioner itu diprediksi membutuhkan waktu satu abad.  Tapi dengan usulan Murray sendirilah kamus itu dapat disusun bertahap kurang dari satu abad dengan melibatkan seluruh pemakai bahasa Inggris melalui korespondensi surat menyurat.

Pekerjaan ”seumur hidup” itu berhasil diselesaikan 10 tahun dengan mencatat 414.825 kata yang didefinisikan dan 1.827.306 kutipan digunakan untuk menggambarkan artinya, yang terdiri dari 12 volume ketika kali pertama diterbitkan pada tahun 1928.

Dari proyek ”borongan” terbit persahabatan

Dalam film, Professor Murray adalah sosok dingin sekaligus ambisius yang setiap pagi memulai rutinitas tanpa menyapa rekan kerjanya terlebih dahulu. Ia memiliki desktop khusus tempat ia bekerja. Di meja itu ia bakal duduk seharian ditumpuki gulungan kertas, buku-buku, dan berkarung-karung surat, menepekuri berlapis-lapis pagina yang berisi ribuan kata.

Di ruangan itu pula bersama tim yang dibentuknya, setiap hari menyigi kata-kata satu demi satu sesuai abjad. Kertas-kertas kerja digantung mengelilingi ruangan yang sepenuhnya beralaskan almari berisi ribuan jilid buku. Ruangan itu nampak seperti perpustakaan yang sempit kehilangan ruang spasialnya dan tiga orang pekerja kata yang bergerak nyaris tanpa obrolan.

Tanpa mereka sadari, pekerjaan yang mereka alami dilakukan juga seorang bergangguan jiwa di suatu sel kamar Broadmoor, sebuah rumah sakit untuk para penjahat psikopat paling gila. Si gila ini, yang bernama Dr. Minor, pada mulanya tidak sengaja membaca iklan dalam koran yang diinisiasi “tim kamus” untuk mencari relawan agar orang-orang memberikan kutipan dan contoh penggunaannya untuk digunakan dalam kamus.

Tanpa berpikir panjang pasca membaca ”iklan kamus” Dr. Minor menemukan kegairahan baru. Setelah membaca buku membuat kesadarannya mengalir bebas, menulis membuat akal sehatnya ”memelar”. Ia meminta sebanyak-banyaknya tinta dan kertas kepada sipir penjara.

Selama kurang sepuluh tahun sel tempatnya dikurung berubah menjadi seperti kantor pemimpin kantor pos dengan sebuah meja tempatnya menulis seluruh kata yang ia ketahui dan dikirimkan kepada alamat di mana kali pertama ia melihat ”iklan kamus”. Kurang lebih sepuluh ribu kata berhasil ia sumbangkan kepada kamus Oxford melalui hasil kerjanya dari dalam sel penjara.

Korespondensi Minor membuat Murray takjub dengan hasil kerjanya. Kata-kata yang disumbangkan Dr. Minor diakuinya memangkas waktu kerja yang dibutuhkan bertahun-tahun lebih lama. Berkat sumbangan kerja Dr. Minor membuat mereka berdua akrab dan menjalin persahabatan sejak kali Murray mengunjunginya dan kaget bahwa orang yang selama ini mengirimi surat berisi ribuan kata adalah si gila Minor yang psikopat dari dalam penjara.

Bahasa dan kegilaan

Perbatasan bahasa dan kegilaan demikian tipis sampai-sampai ia mampu mengambil jalan tengah melalui sastra ataupun tradisi sufisme. Batas sains dan kegilaan  juga demikian rumit sebab oleh seorang filsuf  bernama Paul Feyerabend menyatakan justru hal-hal tak terduga, berbau irasional, dan mitos lah yang kerap mendasari berdirinya suatu disiplin ilmu.

The Professor and The Madman dalam konteks ini berusaha memperlihatkan tegangan  antara keduanya, bahwa kegeniusan dan kegilaan seringkali tidak membutuhkan perbatasan untuk dibedakan. Ia bahkan mampu menerbitkan rasa ambisius, rasa marah, emosi, galau, harapan, dan kekecewaan sama seperti orang-orang normal.

Kerja kolaboratif antara Murray dan Minor, dalam film ini di sisi lain memberikan pengertian bahwa kejeniusan dan kegilaan memiliki kemungkinan yang setara dalam hal bagaimana menciptakan suatu dunia kreatif dan dinamis.  Bahkan lebih dari itu, dalam semesta kreatifitas, kegilaan mungkin adalah kejeniusan yang belum didefinisikan.

 

Keterangan Film:

Genre: Drama

Diarahkan oleh: Farhad Safinia

Ditulis oleh: John Boorman, Todd Komarnicki, Farhad Safinia

Pemain: Mel Gibson, Sean Penn, Natalie Dormer,  Jennifer Ehle, Stephen Dillane

Di Bioskop: 10 Mei 2019 Terbatas

Pada Disk / Streaming: 13 Agustus 2019

Runtime: 125 menit

 


Sumber gambar: screentune.com

The Sea of Trees: Keinginan Bunuh Diri dan Pencerahan di Aokigahara

Konon semakin tua, pilihan hidup seseorang semakin sedikit. Umumnya, di usia muda sesorang memiliki segudang keinginan: ingin sekolah ke luar negeri, ingin berpetualang ke tempat-tempat terpencil, traveling mengabadikan pemandangan eksotis, melancong ke kota-kota bersejarah, atau menjadi seorang volunteer di kegiatan-kegiatan sosial.

Tidak lama umur bertambah ia akan menginginkan pekerjaan tetap, kendaraan pribadi dan jaringan pertemanan yang luas. Di waktu ini ia juga akan mencari seorang pasangan hidup. Setelah dirasa sedikit mapan ia ingin memiliki hunian sendiri, dan anak-anak dari rahim istrinya. Bertahun-tahun menyekolahkan anak-anaknya, hingga akhirnya pilihan hidupnya hanya tinggal dua: hidup tenang menikmati hari tua dan menunggu kapan kematian menjemputnya.

Kematian dari siklus demikian sering menjadi pilihan terakhir bagi kehidupan orang-orang normal. Bahkan, ia sebenarnya tidak pernah dimasukkan ke dalam daftar panjang keinginan. Dalam hal ini kematian hanya menjadi sesuatu yang dibiarkan alami. Terjadi begitu saja tanpa dipikirkan apalagi direncanakan. Toh, siapa pula yang berencana mati.

Tapi, bagaimana jika kematian justru menjadi sesuatu yang diinginkan. Dengan kata lain, kematian adalah satu-satunya harapan yang mesti segera ditunaikan?

The Sea of Trees adalah film yang berangkat dari pernyataan di atas. Si tokoh yang pergi jauh ke Jepang dari Amerika tempatnya tinggal hanya untuk bunuh diri. Uniknya, ia berkeinginan bunuh diri di dalam hutan yang terkenal angker. Hutan yang memang populer sebagai tempat orang-orang mengakhiri hidup: Aokigahara.

Film ini dimulai dengan Arthur Brennan ( Matthew McConaughey) yang membeli tiket sekali jalan menuju Tokyo tanpa membawa apa-apa, bahkan koper sekalipun. Tujuannya hanya satu yakni langsung ke Aokigahara, hutan di kaki Gunung Fuji.

Tiba di dalam hutan ia menenggak resep obat untuk mengakhiri hidupnya. Tepat di saat inilah ia melihat Takumi Nakamura (Ken Watanabe), pria lain yang bunuh diri yang tampaknya berubah pikiran mencari jalan keluar dan ingin kembali ke tempat aman setelah tersesat selama dua hari. Di titik inilah film ini mulai masuk ke dalam inti cerita.

Pertemuan Arthur dan Takumi  juga sekaligus menjadi titik balik cerita yang di awal diperkirakan akan mengakhiri hidup mereka masing-masing. Justru pertemuan mereka mengarahkan cerita untuk keluar dari Aokigahara. Satu hal yang tiba-tiba bertolak belakang dari premis awal film ini.

Dari sini, Arthur berkeinginan membantu Takumi menemukan jalan keluar dan segera mendapatkan pertolongan. Tapi, yang namanya hutan, jika tidak memiliki keahlian mengetahui letak arah angin maka akan menjadi masalah tersendiri. Arthur dan Takumi akhirnya tersesat, dan secara tidak sengaja di saat mencari jalan keluar itulah mereka berdua menjadi lebih dekat.

Jalan cerita yang berubah dari premis awal sang tokoh, nampaknya menjadi perhatian utama Gus Van Sant sebagai sutradara untuk tidak ingin masuk ke dalam cerita mengenai bagaimana dan seperti apa proses kedua tokoh menuju kematian. Justru porsi utama ada pada dimensi mengapa kedua tokoh ingin mengakhiri hidupnya?

Di sinilah tema tentang depresi, kesepian, cinta, dan harga diri dieksplorasi ke dalam jalinan cerita flash back si tokoh Arthur.

Arthur adalah seorang ilmuwan berprofesi sebagai dosen yang menjalani rumah tangga yang bermasalah. Hal ini diperlihatkan dari Joan Brennan (Naomi Watts), istri Arthur yang mempermasalahkan pendapatan suaminya sebagai dosen. Tapi ibarat gunung es, simptom utamanya adalah kasih sayang yang meregang di antara mereka berdua.

Dalam konteks keluarga, dapat ditelusuri persoalan utama mengenai kasih sayang adalah salah satu masalah utama masyarakat Barat. Eksplorasi kasih sayang yang diangkat dari pasangan Arthur dan Joan dengan kata lain merupakan salah satu jualan film ini, apalagi mengingat minimnya kasih sayang dalam banyak kasus menjadi salah satu penyebab depresi yang mendorong orang bunuh diri.

Walaupun begitu, dalam film ini seperti nanti terkuak, faktor utama yang mendorong si tokoh berkeinginan bunuh diri adalah depresi akibat rasa bersalah yang kian akut. Ya, Arthur menjadi pribadi yang berbeda setelah istrinya divonis tumor otak. Ia mulai kehilangan konsentrasi dan gagal fokus. Hingga ketika istrinya meninggal dunia, hidup Arthur diliputi keputusasaan dan penyesalan tiada tara.

Lain hal dari Arthur, Takumi malah lebih merepresentasikan budayanya sebagai orang Jepang. Sebagai pekerja kantoran, ia terdorong mengakhiri hidup lantaran hilang harga diri setelah turun jabatan. Seperti yang ia katakan kepada Arthur, turun jabatan artinya kehilangan peluang memberikan makan layak kepada keluarganya. Jika itu terjadi sama halnya ia hilang kehormatan sebagai seorang kepala rumah tangga.

Sosok Takumi jika dikontekskan ke dalam data-data kasus bunuh diri di Jepang, mewakili kebiasaan para pekerja kantoran yang memilih bunuh diri setelah pulang bekerja dari kantor. Selain stres akibat tuntutan kerja, besar kemungkinan hal itu dipicu oleh motif yang sama seperti diperlihatkan Takumi.

Lalu mengapa Aokigahara yang dipilih? Bukankan kalau mau mengakhiri hidup bisa di mana saja dan dengan cara apa saja. Misalnya, meloncat dari gedung tinggi, gantung diri, menenggak racun mematikan, atau menabrakkan diri di rel kereta api. Bukankah terlihat aneh jika hutan menjadi tempat bunuh diri?

Dari pertanyaan demikian, menurut hemat saya bahwa film ini memiliki visi untuk mengkampanyekan anti bunuh diri yang memang banyak terjadi di Aokigahara. Di Jepang sendiri menurut catatan resmi, terdapat 21.897 orang yang meninggal dunia akibat bunuh diri pada 2016. Dari semua itu Aokigahara menjadi tempat paling “favorit” untuk melakukan bunuh diri.

Itulah sebabnya di suatu adegan, Arthur yang sudah tenggelam dalam putus asa mencari tempat paling baik untuk mengakhiri hidup via internet. Dan seperti disampaikan sebelumnya hutan Aikogahara menjadi destinasi paling teratas muncul di mesin pencari.

Berdasarkan visi itulah film ini bertolak dengan pentingnya pencarian makna hidup yang menjadi sebab mendasar dari umumnya orang bunuh diri. Klimaks dari itu terdapat di dalam percakapan di tengah malam yang mengantarkan Arthur dan Takumi secara tidak langsung mendapatkan secercah cahaya pencerahan. Di scene ini, sangat terasa bahwa masalah utama dari keduanya –dan juga orang-orang yang mengalami kekosongan sampai depresi—adalah soal bagaimana seseorang menemukan rekan yang tepat untuk saling menguatkan.

Di bagian ini pula, kehilangan orang yang dicintai bukan berarti orang yang meninggal benar-benar hilang dan lenyap begitu saja, melainkan ia tetap ada dan dekat walaupun berbeda alam dengan orang yang masih hidup. Pandangan filosofis inilah yang keluar dari mulut Takumi sekaligus mengentakkan Arthur mengenai makna kehidupan pasca kematian. Sesuatu yang sebelumnya tidak dipercayai Arthur mengingat profesinya sebagai profesor di bidang matematika.

Twist di akhir cerita yang kontras dari premis awal film ini akan membuat sebagian penonton merasa tertipu. Bagaimana tidak jika justru Arthur menjadi orang yang berhasil keluar dan terselamatkan berkat usahanya bertahan hidup. Pasca itulah sebelum kredit film, Arthur kembali menata hidupnya dengan melakukan hal-hal yang disenangi istrinya semasa ia hidup. Semua itu dilakukannya demi cintanya kepada Joan istrinya. Sesuatu yang menjadi kekuatan untuk melanjutkan kehidupannya. Juga, sesuatu yang belakangan baru ia sadari.

Data Film

Sutradara: Gus Van Sant

Penulis skenario: Chris Sparling

Genre: Drama misteri

Pemain: Matthew McConaughey, Ken Watanabe, Naomi Watts

Durasi: 110 menit

Produksi: Gil Netter Productions Waypoint Entertainment

Tanggal rilis: 2016

Rating: 6,0/10 (IMDb)

Sumber gambar: imdb

 


sumber gambar: amazon.com

Bagaimana Alvaro Menulis Karangannya: Ulasan atas El Autor

Tulisan ini merupakan naskah awal sebelum dikirim ke situs resensi buku dan ulasan film Karepe.com dengan judul The Motive: Cara Busuk Menjadi Penulis. Ini versi spoilernya.

Alvaro, suami dengan istri seorang penulis best seller memutuskan hidup sendiri di flat sederhana di suatu sudut kota Sevilla. Ia mengambil keputusan itu pasca memergoki Amanda (María León), istrinya, bercinta di atas mobil bersama rekan kerjanya. Namun selingkuh hanyalah kedok. Ia minggat karena ingin merealisasikan hasrat terpendamnya: menjadi penulis terkemuka.

Menjadi penulis terkemuka bagi Alvaro dilakukan dengan menciptakan karangan yang ia sebut “sastra tinggi”. Karangan yang ia nilai akan menjadi penanda pencapaian fenomenalnya.

Lantas apa itu “sastra tinggi” dalam imajinasi Alvaro? Apalagi dalam suatu pertengkaran dengan Amanda, tersampir dialog-dialog yang menjurus kepada suatu pengertian mengenai “sastra tinggi” dan yang mana dianggapnya “sastra rendahan”. Anehnya, dari jalan pikiran Alvaro –seperti tersurat dari dialog cekcok mulut mereka– “sastra tinggi” bukan tipe sastra seperti karangan istrinya yang berhasil meraih penghargaan best seller, karangan yang disebutnya pasaran dan melangit-langit.

Dari sudut pandang demikian, jalan pikir Alvaro seolah-olah mendudukkan dirinya sebagai orang yang vis a vis melawan arus sastra maenstream. Setidaknya saat ia menilai pencapaian sastra di negerinya, yang menganugerahkan istrinya sebagai pengarang terbaik sebagai keputusan yang mengada-ngada.

Apabila mencerna isi pengertian sastra menurut Alvaro, mengingatkan saya mengenai perdebatan ideologi kepenulisan sastra di negeri sendiri yang sampai hari ini banyak memengaruhi perkembangan sejarah sastra di tanah air.

Kembali ke ke tokoh kita. Scene awal yang menunjukkan air muka Alvaro begitu serius hingga matanya berkaca-kaca saat mendengarkan kata-kata inspiratif di seminar penulisan, mengisyaratkan betapa tokoh kita ini sangat mencintai dunia tulis menulis. Saking cintanya, di waktu bersamaan, ia rela mengorbankan menghadiri malam penganugerahan kepenulisan istrinya di tempat berbeda.

Namun, setelah ditelepon berkali-kali, datang juga ia di malam penganugerahan. Walaupun demikian, apa lacur, selama kedatangannya, di dalam diri sang tokoh kita ini terpendam hasrat mendalam untuk menjadi penulis hebat. Di dalam pikirannya, penghargaan yang diraih Amanda bukanlah apa-apa.

Dari sisi ini sudah dapat ditebak walaupun tidak punya bakat menulis, Alvaro sosok yang ambisius. Terbukti, selain bekerja sebagai notaris, Alvaro menghabiskan banyak waktunya mengikuti kelas menulis sastra yang dibimbing Profesor Juan (Antonio de la Torre), si guru menulis. Tidak tanggung-tanggung sudah tiga tahun ia mengikuti kelas ini. Di kelas inilah, ia melipatgandakan hasratnya agar dapat melahirkan karya monumental yang dirasanya akan melampaui pencapaian istrinya.

Namun, seperti penyakit purba setiap penulis, Alvaro terserang mental block. Idenya kering seperti raib ditelan obsesinya sendiri. Dia sebenarnya hanya butuh kalimat pembuka sebagaimana penulis-penulis andal memulai karangannya. Tapi apa? Dengan cara apa agar inspirasi ibarat tarikan nafas yang datang berkali-kali dengan ringan? Justru yang terjadi adalah setiap kali ia ingin memulai proyek monumentalnya, yang ada hanyalah layar kosong komputer beserta kesunyian kamarnya.

Untuk mensiasati keadaannya Alvaro mencari segala jenis cara agar dapat menelurkan sebiji ide. Dimulai dengan cara berlari berkeliling di rumahnya sampai mau tidak mau mengikuti saran Profesor Juan dengani trik konyol bin aneh dari Ernest Hemingway: menulis berdiri dalam keadaan telanjang dengan kemaluannya diganjal di atas meja.

Sepertinya, di momen ini Alvaro menunjukkan suatu kenginan besar melakukan revolusi penulisan dari karya yang ia rencanakan. Ia seperti mengafirmasi perkataan Gabriel Garcia Marques penulis One Hundred Years of Solitude: “cara terbaik yang membuat seseorang dapat menjalankan revolusi adalah menulis sebaik yang dapat ia lakukan.” Namun, seperti apakah cara terbaik yang dilakukan Alvaro agar menelurkan karya yang disebutnya “sastra tinggi”?

Nah, di sinilah aturan sederhana yang dari awal dikemukakan berlaku: menulis apa yang dilihat dan apa yang di dengarkan. Dengan rumusan sederhana ini, Alvaro melalukakan cara yang ia anggap paling baik sekaligus paling elementer: mendudukkan pengamatannya sebagai sumber pengetahuan. Ia menjadi seorang penganut filosofi empiris.

Melalui cara itu ia menghidupkan masukkan Profesor Juan agar menjadikan kenyataan sebagai basis karangan. Dalil pernyataan ini didasarkan dari pengakuan gurunya karangan sastra yang unggul mesti mengandung elemen kebenaran. Dengan kata lain, karangan mesti ditimba dari kenyataan yang sebenarnya agar realistis dan seolah-olah memang pernah terjadi. Dengan premis inilah, yang juga dijadikan pernyataan pamungkas Alvaro ketika bersilat lidah dengan istrinya, menjadi tinta semangat karangan novelnya.

Selain menjadi seorang empiris, Alvaro bertindak sekaligus sebagai seorang behavioris dengan memanipulasi kejadian-kejadian di sekitarnya. Di sinilah kepicikan Alvaro sekaligus dikatakan “berbahaya”.

Demi mengembangkan alur ceritanya terutama agar dapat terjadi konflik, ia mendengungkan dan menerapkan bunyi teori perilaku yang ada dalam disiplin psikologi dengan cara mengeksperimenkan jalan hidup tetangganya.

Pertama, ia memanipulasi perilaku dan perasaan Portera (Adelfa Calvo), seorang perempuan paruh baya bertubuh gempal yang miskin kasih sayang dengan mengajaknya bercinta. Melihat bagaimana gelagat dan sikapnya ketika pasca ditiduri, mencatatnya sebagai bahan salah satu karakter novelnya.

Kedua, ia menyusun skenario bersama Portera agar dapat masuk ke kehidupan Montero (Rafael Téllez), seorang pria uzur bekas tentara yang tertutup dan memiliki pistol tua yang ia sembunyikan di berangkas rahasianya.

Ketiga, ia menggunakan keahliannya sebagai seorang notaris untuk pura-pura membantu masalah keuangan Irene (Adriana Paz) dan Enrique (Tenoch Huerta), sepasang suami istri imigran dari Meksiko.

Kepada mereka semualah, di balik kamar apartemennya, Alvaro seperti seekor elang mengawasi seluruh gerak-gerik tetangganya pasca menciptakan motif yang memengaruhi jalan kehidupan tetangganya. Mencatat setiap detil informasi semisal, karakter tetangga-tetangganya, pekerjaan, jenis makanan, posisi berangkas uang si tua Montero hingga masalah percintaan Irene dan Enrique. Dari semesta macam itulah, Alvaro meliuk-liukkan jemarinya menyusun cerita di atas tuts komputernya.

Film yang ikut Festival Film Toronto 2017 dengan judul asli El Autor ini berhasil membawa Javier Gutiérrez dan Adelva Calvo meraih penghargaan aktor terbaik dan aktris pendukung terbaik pada Goya Award 2018, suatu ajang penghargaan film nasional utama di Spanyol. Menurut hemat saya ganjaran yang diraih keduanya cukup sepadan karena akting mereka yang total dan “berani”.

Jadi, jika Anda ingin menjadi penulis dengan cara picik, saya sarankan bergegas menonton film besutan Manuel Martín Cuenca ini. Film ini menyediakan trik busuk sekaligus “berbahaya” ketika Anda kehabisan ide cerita. Rumusnya sederhana: cukup menulis setiap kejadian dari apa saja yang Anda lihat dan dengarkan di sekitar Anda.

 

Data Film

Sutradara: Manuel Martín Cuenca

Penulis skenario: Manuel Martín Cuenca, Alejandro Hernández

Genre: Komedi, Drama

Pemain: Javier Gutiérrez, María León, Antonio de la Torre, Adriana Paz, Tenoch Huerta, Bald Adelfa, José Carlos Carmona

Durasi: 112 menit

Produksi: Icónica Producciones

Tanggal rilis: 2017

Rating: 6,8/10 (IMDb), 60% (Rotten Tomatoes)