Arsip Kategori: Uncategorized

Ini Sulhan Yusuf, Bukan Syekh Yusuf

Kurang lebih sepekan lalu kami kedatangan tamu yang telah dinanti berhari-hari sebelumnya. Beberapa buah kardus berisi buku “Gemuruh Literasi” beriring-iringan masuk ke tengah ruangan toko, mencari tempat ternyaman untuk mengaso. Rupanya lantai yang berposisi di bawah kipas angin menjadi tempat aman untuk beristirahat. Sembari menanti tangan-tangan pembeli datang meminangnya.

Senyum paling lebar tentu saja datang dari sang pemilik buku. Ia yang sedianya hendak beristirahat siang, sontak terbangun, rela menunda kenyamanannya demi menyambut kehadiran sang pujaan hati. Soal kecintaannya pada karya buku berlaku pula pada karya siapa pun, khususnya terbitan-terbitan Liblitera, lembaga penerbitan yang telah bekerja sama dengan Paradigma Institute dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini. Terlebih lagi, jika proyek-proyek perbukuan yang selama ini dikerjakan, diampu ramai-ramai, melibatkan seluruh anggota keluarga. Semisal untuk karyanya kali ini, yang menyuntingnya adalah pasutri, putri dan menantu kami, Nurul Aqilah Muslihah dan Ikbal Haming, sementara perancang covernya, putri kedua kami, Nabila Az-Zahra yang memang mengambil spesifikasi keahlian dalam bidang desain grafis.

Dari balik jendela ruang tamu rumah kami, diam-diam saya mengamati seraya membatin, semestinya buku saya pun sudah datang. Namun apa boleh buat, karena ketidakseriusan saya menggarap naskah yang sebenarnya sudah ada, buku saya harus rela antri diterbitkan belakangan. Perkara ini sudah sering diperbincangkan dan jadi candaan, buku siapa yang nantinya akan terbit lebih dulu. Alhasil saya kalah cepat.

Hal lazim dalam rumah, orang-orang saling berebut ide, judul tulisan, memilih diksi, sampai pada rebutan mencari judul buku. Bersyukurnya semua perkara rebut-rebutan, sindir-sindiran, sarkas-sarkasan, hingga ledek-ledekan berujung tawa lepas tanpa ada ketersinggungan ataupun sakit hati. Iklim santai begini tidak muncul dalam kurun setahun dua tahun, tetapi melaui tahun-tahun panjang yang sarat pembelajaran. Sehingga siapa pun diharapkan mampu merasakan kepekaan terhadap apa yang nyaman dan tidak nyaman dilakukan antar satu dengan lainnya.

Sulhan Yusuf, pasangan saya, hingga hari ini telah jauh melampaui saya khususnya di dunia perliterasian. Jelas saja, ialah pembuka jalan bagiku bisa tetap menekuni jalan kepenulisan. Ia yang mendorong saya untuk menuangkan semua pengetahuan kepengasuhan saya yang masih minim pada awal kami menikah dalam bentuk tulisan. Yang akhirnya berhasil dimuat di harian lokal kala itu. Ia pula yang rajin memantau dan memotivasi saya hingga mau terus menulis saat semangat sedang turun. Dan, bahkan pada siapa pun yang ia temui, ia akan dengan senang hati bercerita dan membukakan jalan bagi orang tersebut mau bergerak untuk menulis. Sesederhana apa pun jenis karyanya. Ia motivator sekaligus inspirator bagi beberapa kalangan. Semangat orasinya saat masih aktif di kemahasiswaan, tak sadar ia ‘lampiaskan’ dalam obrolan dengan siapa saja yang bersemuka dengannya. Sering saya berseloroh, “Berilah kesempatan orang-orang yang bertandang ke rumah untuk turut mengambil peran dalam perbincangan.” Biasanya ia akan menjawab, “Biar sajalah. Mereka datang kan memang mau dengar saya bicara.” Disambung tawa lebarnya. Waduh, pe-de nya sudah tingkat dewa.

Ibarat petani yang rajin menabur dan merawat bibit yang disebar, maka wajar saja dalam perjalanan perliterasiannya, ia sudah menuai hasil. Kumpulan tulisan yang ia tabung hari demi hari akhirnya menjelma jadi buku-buku yang menjadi penanda kesetiaan dan konsistensinya bergerak di jalur literasi. Buku “Gemuruh Literasi” ini adalah buku kelimanya. Bahkan tulisan-tulisan saya yang berhasil dihimpun jadi dua buku pun semua lahir dari ide dan prakarsanya.

Geliat kami di jalan kepenulisan dan perbukuan pada akhirnya sangat mewarnai kualitas dan cara kami bercakap-cakap. Baik antar kami berdua, ataupun kami dengan anak-anak. Terkadang terdengar sangat baku, sesekali ada yang melontarkan sebuah istilah yang tidak umum didengar ataupun ditemukan dalam perbendaharaan sehari-hari. Yang lain kemudian diminta untuk menebak artinya. Hal seru jika satu sama lain saling mengoreksi penggunaan kata atau frasa yang kurang tepat dalam sebuah percakapan. Ujung-ujungnya semua akan tertawa ramai-ramai.

Satu keunikan yang menjadi ciri khas dalam setiap tulisannya, ia kerap melakukan kritik sosial dengan cara mengolok-olok dirinya sendiri. Sebagaimana salah satu judul esainya yang termuat dalam buku Gemuruh Literasi, berjudul “Ini Sulhan Yusuf, Bukan Syekh Yusuf”. Ia yang sangat terobsesi dengan tokoh ulama, Syekh Yusuf yang memiliki karamah mampu menggandakan diri, berada di dua tempat pada waktu bersamaan. Keinginannya ini ia utarakan sebagai sebentuk hasrat besarnya melakukan dan menghadiri dua kegiatan di dua kota berbeda pada waktu yang bersamaan. Syekh Yusuf dalam riwayat dan legenda Makassar-Bugis adalah seorang tokoh ulama penentang kolonial Belanda yang kuburannya konon bisa ditemukan di tiga tempat. Di Afrika Selatan, Pulau Jawa, dan di Kabupaten Gowa (Sulawesi Selatan).

Sulhan Yusuf telah berhasil menunjukkan konsistensi dan persistensinya bergelut di jalan literasi. Buku ini salah satu penandanya. Selama 13 tahun ia telah berjibaku dengan segala keruwetan aturan dan ragam karakter orang-orang, berjalan dan menjalin kerja sama dengan berbagai latar status dan sosial, hingga mampu menerabas dinding-dinding birokrasi di Butta Toa, Bantaeng. Walaupun belum sepenuhnya berjalan sebagaimana yang diinginkannya. Maka tindakan terbijak, yakni memberi ruang pada segala hal yang belum bersesuaian dengan harapan dan keinginan. Sambil tak henti bergerak melakukan pendampingan pada mereka yang membutuhkan.

Tetaplah menjadi Sulhan Yusuf, bukan Syekh Yusuf.

Pesona Sari Diri Sang Maestro

Baskara mulai tenggelam. Namun, turbulensi di alam akal mulai terbit, lantaran demonstrasi si ‘suntuk’ tak bisa kubungkam. Ia nyata beringas mengganggu akalku. Pukul empat lima puluh dua terdengar, “kriiingg…”, bunyi ponselku jua mengusik pergolakan di alam akalku. Aku buka pesan di WhatsApp. Rupanya Bung Andi mengirimkan sebuah pesan berupa pamflet perihal mengikuti kelas menulis di Boetta Ilmoe, Bantaeng.

Lantaran lokasinya di kabupaten Bantaeng yang jaraknya lumayan jauh dari kota Bulukumba. Aku pun diselimuti kebimbangan. Aku berseliweran di wajah cermin memaksa akal bekerja, “apakah aku harus ikut atau tidak”, pikirku. Walhasil, setelah membatin lebih lama kunyatakan bahwa aku siap mengikuti kelas menulis itu.

Minggu, 06 Februari 2022. Aku dan Bung Andi pun bertandang ke Bantaeng. Mencantumkan nama di kertas putih yang tersedia sebagai peserta dalam kelas menulis itu. Di lokasi, hanya ada dua orang yang kutemui tempo hari.

Orang pertama, seorang pria bertubuh semampai, tinggi kira-kira seratus tujuh puluh sentimeter, tampilannya good looking, bisa membuat kaum Hawa histeris manakala mereka menengok ketampanan pria itu yang senyatanya mirip artis Korea. Barangkali memang ia anak negeri Korea berdomisili ke Indonesia.

“Ikbal Haming”, yah, begitulah bibir dan lidahku melafalkan namanya. Dia salah satu cenayang wanita yang jua berperan sebagai mentor buana literasi. Jika Kucing Bisa Bicara, salah satu masterpiecenya yang sampai detik ini, tak jua ia bersedekah kepada diriku.

Pria kedua yang kutemui tempo hari, tampil dengan kaus pendek berwarna putih dikombinasikan sarung bak kiai kampung yang sering kutemui di pelataran masjid. Ia berkepala plontos, berkacamata, ukuran tubuhnya mungil, namun, gagasannya raksasa. Sulhan Yusuf, yah begitulah aku mengenalnya. Itulah kali pertama aku melihatnya. Suaranya terdengar pelan ketika separuh mendengarkan pembicaraan penting perihal esai.

Tanpa berlama-lama, kelas pun dimulai. Aku terkagum-kagum mendengar penjelasan Sulhan Yusuf. Rupanya, di balik kepala plontosnya, ternyata tersimpan ribuan bahkan jutaan diksi-diksi indah yang membuat akalku jua kian bertambah liar mencari tahu siapa dirinya. Mungkin saja ia tak meletakkan songkok di kepala bukan untuk memamerkan kinclongnya. Barangkali, ia menganggap songkok itu menghalangi pengetahuan tembus masuk ke otaknya.

Selepas temu perdana ini, kami pun kembali di kediaman masing-masing. Karena jarak Bantaeng ke Bulukumba agak jauh, jua membuatku jenuh, aku mencoba melihat fenomena sekitar, lalu, menampungnya sebagai bahan dan tema yang akan kugoreskan di kertas menggunakan pena pujangga Bung Andi.

Sampai di rumah, tanpa menghela napas dengan baik, aku pun mencoba merangkum pelbagai ide-ide yang telah terpikirkan sepanjang perjalanan tadi. Ternyata ide-ide, menyapa di momen tertentu, hingga, pikiran pun memerkosa kata-kata, lalu pembaca mencumbui karya dengan serakah. Yah, tak apa, sebab serakah karena pengetahuan itu berfaedah.

Aku pun mulai menggoreskan pena di atas kertas. Mencoba menuliskan tentang laut, beberapa paragraf telah kususun, namun, tak  bisa kutemukan ide-ide dan diksi-diksi indah. Sebab otakku mulai buntu, akhirnya tulisan pun buntung. Aku mencoba lagi menuliskan tentang pesona Pantai Marina. Rupanya, beberapa kalimat telah terurai membuat aku jenuh. Lantaran tak tahu pena ini mau menggoreskan sesuatu apalagi. Walhasil, otak buntu, tulisan pun buntung.

“Laki-laki pantang menyerah dan rapuh”, gumamku. Kucoba menggunakan seluruh kemampuan intelektualku menuliskan apa-apa yang ada di sekitarku. Namun, yang kutemui di balik goresan-goresanku hanya tulisan ilmiah yang kaku. Walhasil, lagi, lagi, dan lagi,  otak buntu, tulisan pun buntung.

“Ya Tuhan, serumit ini menuliskan gagasan dengan bahasa yang sederhana”, keluhku. Rupanya, sesuatu yang tampak sederhana di pelupuk mata, ternyata terselip kata “sulit” di baliknya. Yah, “sederhana tapi sulit”.

Aku pun mulai melahap pelbagai tulisan-tulisan Sulhan Yusuf di Kala Literasi. Aku tak pernah ingin tahu siapa dia sebenarnya, seolah ada dinding menghalangiku untuk masuk dalam pikirannya. Namun, kecewaku pada kata “sederhana”, membuatku ingin tahu si botak jagoan itu.

Perlahan-lahan, tulisan-tulisannya membuat semangatku makin membara setelah menyaksikan pelbagai tulisannya bertebaran di jagat maya. Aku makin liar mencari tahu siapa dirinya. Bahkan di pencarian mesin Google Chrome aku menuliskan namanya. Baru kali ini, aku benar-benar penasaran terhadap seseorang hingga menuliskan namanya di mesin pencarian om Google. Tulisan-tulisannya bak sirkus, diksi-diksinya penuh atraksi, sangat lihai menata kalimat. Aku pun mulai tahu bahwa “waima, baskara, anggitan”, ternyata bukan nama orang.

Setelah teramat rakus membaca karyanya, aku pun berpikir bahwa, “yang mahal dari seorang penulis adalah proses kreatif mewujudkan ide-ide yang masih di alam akal menjadi karya nyata dalam bentuk tulisan”.

Sulhan Yusuf dalam tulisan-tulisannya, berupaya menggambarkan suasana, menemukan sudut pandang, gagasan, pemikiran, dan lainnya dalam bentuk esai. Metode ini tak hanya melibatkan pergulatan fisik, walakin jua pergulatan batin. Demikian adanya, sudah pasti kita butuh kata. Kata dalam esai, kata dalam hidup penulisnya. Pekerjaan memindahkan perasaaan dalam bentuk kata-kata, lalu menyata berupa tulisan, bukan hal yang mudah. Itulah harga yang harus dibayar seorang penulis.

Melalui tulisan-tulisannya, Sulhan Yusuf berhasil mengemas kebahagiaan, kekecewaan, kebimbangan, ketakutan, amarah, dan luka menjadi bait-bait dengan diksi yang menyentuh sekaligus menendang. Esai-esainya sedari awal membuatku terkagum-kagum dengan struktur penulisan esai yang runut dan sistematis. Aku meyakini, Sulhan Yusuf tahu cara menyicil warta lalu meremasnya dalam satu hentakan.

Memang esai kerap kali menjadi pintu masuk bagi “orang-orang baru” dari rumah besar kesusastraan. Esai tak selalu “tentang apa yang diceritakan”, tetapi jua tentang “bagaimana menceritakan”. Tak sedikit dari mereka melirik sastra, bermula dari membaca, lalu menulis pelbagai tulisan di sosial media. Mereka menyukainya, mereka bersulang bir merayakannya, senada dengan perkataan Sulhan Yusuf tempo itu, “seorang penulis berpeluang menjadi pembaca, dan seorang pembaca yang rakus, berpeluang menjadi penulis”.

Orang-orang akan menganggap bahwa pekerjaan menulis segampang menggerakkan jemari, lalu, mengetik status di WhatsApp. Oh tidak bestie. Tetapi, tak ada yang salah dengan anggapan itu. Hal-hal yang sulit, tak apa di kesampingkan terlebih dahulu. Lambat laun, kamu bakal mengerti bahwa di tubuh seorang penulis, terdapat banyak organ yang mesti kamu pelajari habis-habisan.

Inilah Esai, anggitan Muhidin M. Dahlan, memberitahu kepada kita bahwa esai lahir dari suatu pertemuan antara dunia imajinasi dengan dunia nyata yang melebur dalam diri seorang maestro literasi. Esai sejatinya hadir untuk mengubah cara berpikir, cara bertindak, dan cara mengolah rasa. Manakala engkau berani menuangkan lemak di pikiranmu menjadi esai, maka, engkau akan menemukan kesejukan dan harmoni dalam keseimbangan bahasa dan rasa.

Citayam Fashion Week: Kelakar Para Makar

Awal muncul penuh cibiran, lambat laun dapat dukungan, pada akhirnya menjadi kenangan, karena Indonesia hanya senang dengan konten musiman

Malam teramat sulit dijinakkan, mata susah berdamai dengan kantuk, saya dan Puang Lolong pun membuka ponsel masing-masing. Seperti biasa, Puang Lolong membuka aplikasi TikTok yang menjadi ritualnya sebelum ia mengakhiri malam lalu hanyut dalam mimpi. Ia menatap ponselnya dengan pandangan khusyuk tanpa menoleh sedikit pun. Lalu, saya iseng memantau apa yang ditonton Puang Lolong.

Terlihat, konten TikTok itu mempertontonkan dua anak remaja, sedang diwawancara perihal asmara dan harga pakaian yang mereka kenakan. Dalih-dalih mereka mengundang gelak tawa bagi saya, lantaran mereka adalah bocil-bocil ingin menunjukkan kepercayaan dirinya dengan busana yang aneh, tetapi dengan harga murah. Walhasil, saya mencoba menggerakkan jemari menggeledah warta fenomena itu.

Tak butuh waktu lama saya menemukan konten itu. Rupanya, konten yang disaksikan Puang Lolong adalah fenomena Citayam Fashion Week yang mengundang perhatian sejagat maya.

Citayam Fashion Week ini dianggap sebagai kreasi anak bangsa +62, ajang adu konten, ajang adu fashion. Di balik ajang mereka, tentu kelihaian sang kreator dan desainer turut mengada dan menghiasi panggung lucu ini.  Kreator dan desainer berjalan beriringan, berkarib demi keuntungan, dan saling melengkapi kekurangan. Desainer selalu diterjang kalimat, “seberapa mampu menghasilkan produk berkualitas yang laku dijual”. Namun, kiwari, justru dengan sokongan bala tentara sang kreator memunculkan wacana,  “seberapa mampu menghasilkan konten yang laku dijual”. Baju, celana, tas, dan aksesoris lainnya, yah, bisa terjual melalui pertolongan sang kreator.

Citayam Fashion Week bermula dari seorang remaja bernama Abdul Sofial Lail, akrab disapa dengan sebutan Ale, senang dengan trend fashion Jepang yang lagi viral di pusat perbelanjaan Harajuku. Hingga, ia pun membuat konten dengan jumlah viewers dan subscribe melimpah ruah menjadi pundi-pundi rupiah.

Sontak, membuat Ale tercengang. Ia pun menyuarakan bahwa Indonesia saat ini, membutuhkan banyak anak muda untuk bisa berkarya, dan pemerintah perlu menyediakan wadah bagi para remaja untuk menyalurkan hobi mereka. “Mungkin disediain ajang atau event fashion week biar anak-anak di sini terorganisir, tujuan mereka ke sini enggak Cuma nongkrong doang. Tapi lebih ke hal yang positif,” pungkasnya. Itulah suara-suara generasi milenial yang berkarya dengan versi mereka. Konten yang dibuat tak perlu berupa informasi yang memperkaya wawasan, tapi cukup dengan konten yang menghibur para peminatnya.

Benar saja, dilansir dari Kompas.com, Anis Baswedan bertutur, “negara itu tidak mengatur lewat doorstop, negara itu tidak diatur lewat komentar, negara itu diatur lewat regulasi. Selama tidak ada regulasinya, berarti tidak ada larangan”. Tak lupa pula, Ridwan Kamil di akun Instagramnya tampak ikut lenggak-lenggok tebar pesona di panggung anak muda ini. Kelihatannya, itu juga sikap dukungan beliau.

Beberapa batang Surya tercabut dari wadahnya. Kujepit di sela-sela jemari sembari merenung. Saya pun menduga bahwa fenomena ini adalah petanda tatkala anak muda tidak menemukan ruang oleh budaya mainstream yang sering dikuasai oleh para elite penguasa yang punya debut di media massa atau ruang publik yang mewah. Pesona busana selama ini dikemudikan oleh artis papan atas dengan tampilan good looking, dan sponsor perusahaan. Kini, berusaha diubah oleh fenomena ini.

Kreativitas mereka berbusana nyentrik, tanpa adanya merek-merek ternama, mengingatkan saya kepada filsuf, Antonio Gramsci dengan teori hegemoninya. Bagaimana negara mampu merekayasa sedemikian rupa untuk menciptakan pemikiran bahwa semua berjalan dengan alami tanpa ada rekayasa.

Fungsi pakaian yang awalnya dirancang untuk perlindungan diri malah berubah menjadi petualangan mencari jati diri. Fashion menciptakan kelas sosial di tengah hiruk-pikuk masyarakat global. Fashion adalah hegemoni kultural yang ditanamkan melalui institusi masyarakat, seperti keluarga, pendidikan, agama, media massa, budaya populer dan sebagainya. Semua ini bentuk kesuksesan kapitalis dengan slogannya “Food, Fun, Fashion”.

Mengaitkan pendapat dari Gramsci. Belakangan ini, Citayam Fashion Week, bukan lagi jadi ajang adu gaya bagi kafilah dekil. Walakin, jadi ajang adu bisnis kaum borjuis. Mereka melirik dengan tatapan keserakahan, menilai bisa menjadi target pasar yang luas. Ada potensi bisnis yang bisa mendongkrak kekayaan, sehingga para kaum kapitalis mengincar dan memberikan tutur manis semanis madu, dengan kalimat pamungkas, “kami bagian dari kalian, kami ingin membantu kalian”. Di sinilah, praktek hegemoni dimainkan, merayu tetapi sebenarnya memaksa secara halus.

Perusahaan pun memproduksi model-model pakaian yang nyentrik dengan harga murah, kendati dengan kualitas bahan seadanya, meninabobokkan remaja agar hanyut dalam angan-angan pada ranah hiburan negeri ini. Benar saja, salah seorang artis tanah air, melihat peluang ini sebagai pasar dalam mengembangkan perusahaannya. Ia pun mendaftarkan merek Citayam Fashion Week ke Kemenhukam. Tentu saja, ia mendapat respon tak sedap dari netizen. Ahh, netizen kok dilawan, slebew. Itu baru dari seorang artis, belum lagi sekelas kapitalis handal yang sudah lihai memainkan irama ini.

INGAT! kapitalis tidak hanya bermain dengan perusahaan besar, jika melihat potensi keuntungan di kaum proletar, ia pun tampil bersandiwara di depan layar. Namun, di balik layar, mereka berkelakar dengan para makar. Manakala Citayam Fashion Week sudah dikuasai oleh para kaum elite, maka panggung ini, bukan lagi ajang adu fashion. Tapi, jadi ajang adu bisnis bagi kaum kapitalis, dan hanya meninggalkan sebuah kenangan, Citayam Fashion RIP.

Sumber gambar: https://lifestyle.kompas.com

Tapak Tilas Pedamping Desa Di Tengah Bencana Raya

Bila engkau bekerja dengan cinta itu berarti engkau menabur dalam kelembutan, memetik dengan sukacita, seakan kekasihmu sendiri yang menikmatinya di meja perjamuan ” (Kahlil Gibran)

Hampir sewindu sudah kami mendampingi desa, desa tempat kami lahir, dibesarkan, dibuai hingga menjadi dewasa, desa tempat asal kehidupan, tempat para pemimpin negeri ini lahir. Desa menyimpan cerita-cerita indah masa kanak-kanak silam, mandi di sungai, memanjat gunung, bermain mengitari sawah dan banyak cerita indah lainnya.

Kiwari ini, desa sudah mengalami kemajuan yang pesat, pemerintah pusat memberikan perhatian khusus kepada desa, dahulu desa kurang mendapat perhatian. Seingat saya, semenjak negeri ini merdeka, baru Kali ini pemerintah  membentuk kementerian desa, tugasnya memberikan perhatian terhadap desa, khususnya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Pedamping desa sebagai anak kandung dari kementerian desa, mempunyai andil besar terhadap maju dan mundurnya desa, ada baiknya bila saya tabalkan saja tugas dan fungsi pedamping desa. Pertama, membantu menetapkan pengelolaan kewenangan lokal berskala desa dan kewenangan berdasarkan hak asal usul. Kedua, membantu menyusun, menetapkan peraturan desa yang disusun secara partisipatif dan demokratis. Ketiga, membantu mengembangkan kapasitas pemimpin desa untuk mewujudkan peminpin yang visioner dan demokratis

Keempat, melakukan demokratisasi dan kaderisasi desa. Kelima, melakukan pembentukan dana pengembangan pusat kemasyarakatan di desa dan antar desa. Keenam, melakukan penguatan kewarganegaraan serta pelatihan dan advokasi hukum. Ketuju, memfasilitasi desa sebagai subjek pembangunan, mulai dari tahapan perencanaan, pembangunan dan evaluasi pembangunan desa yang dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.

Pekerjaan seorang pedamping desa bukan hal mudah, selain harus memenuhi syarat dan ketentuan formal, lebih dari itu, yang paling esensial ialah sebuah panggilan jiwa. Menurut seorang happines inspirer, Arvan Pradiansyah, di dalam bukunya I Love Monday, ada tiga paradigma melakoni pekerjaan. Pertama, melihat pekerjaan sebagai job, pekerjaan ini beralaskan kewajiban bukan pilihan, umumnya seorang yang berada di lingkungan ini sedang menjalankan skenario orang lain atau sedang menjalankan keinginan si pemberi kerja, sehingga bagi mereka, yang terpenting hanya bekerja dan mendapatkan imbalan. Mereka bekerja tanpa inisiatif, tanpa, inovasi, tanpa kretivitas.

Kedua, melihat pekerjaan sebagai sebuah karier, jika yang pertama melihat pekerjaan atas dasar pemberi kerja, maka karier sebaliknya, melakukan sesuatu yang kita pilih sendiri, definitnya melakukan skenario kita sendiri, dengan begitu memilih pekerjaan sendiri kita sudah hidup sesuai dengan fitrah kita dan itulah yang membuat kita bahagia.

 Ketiga, melihat pekerjaan sebagai calling (panggilan), di sini, kita bukan lagi menjalankan skenario kita sendiri, melainkan menjalankan skenario yang maha besar (Tuhan), dengan menyadari bahwa kita sesungguhnya adalah utusan Tuhan yang dikirimkanNya ke dunia ini karena maksud tertentu. Penemuan ini merupakan harta yang paling indah dari segala harta yang bisa anda temukan di dunia, sebab pekerjaan sesungguhnya bukanlah sekadar sebuah upaya mencari keuntungan, melainkan sebuah panggilan suci untuk menyejahterahkan umat manusia.

***

Filosofi pekerjaan seorang  pedamping desa tergambar dalam semboyan “Holopis Kultul Baris” artinya bekerja dengan gotong royong, semboyan ini pertama kali dipopulerkan oleh Bung Karno, untuk mengajak masyarakat, bahu-membahu saling membantu. Dalam konteks pedampingan desa, sikap saling membantu merupakan prinsip pertama nan utama. Dengan berlapik prinsip tersebut, pedamping desa diharapkan mampu membaur ke tengah-tengah masyarakat, mengawal partisipasi warga agar terlibat aktif dalam pembangunan desa.

Perjalanan mendampingi desa, di sebuah kota kecil, berjuluk Butta Toa , Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, kota yang berjarak 120 kilometer dari Ibukota Makassar, memberi pengalaman tersendiri bagi kami tenaga ahli pemberdayaan desa. Wilayah dengan jumlah 46 desa dan seabrek potensi yang dimilikinya, menjadikan Kabupaten ini sebagai contoh baik dalam pelaksanaan pembagunan desa, bagaimana tidak, di tahun 2020-2021, berdasarkan indeks pembangunan desa (IDM), jumlah desa mandiri meningkat menjadi 11 desa, 27 desa maju  dan sisanya 8 desa berkembang. Selain itu pula di tahun 2020 Kabupaten Bantaeng menajadi satu-satunya Kabupaten dengan penyaluran dana desa tercepat di Sulawesi Selatan.

Tatkala memasuki tahun 2020, si pegebluk Korona mengobrak-abrik sekotah bumi, tak terkecuali negera kita, seingat saya,  pendemi itu pertama kali menyata di bulan maret 2020, saat presiden Jokowi secara resmi mengumumkan kasus pertama di Indonesia, sontak saja pendemi itu membuat masyarakat takut dan resah dibuatnya. Semenjak Korona menghidu seantero negeri, membuat kondisi tidak menentu, sektor kehidupan yang paling terdampak, ialah  sektor kesehatan dan ekonomi. Makin lama pendemi makin banyak menelan korban, sebab virus ini sangat cepat penyebarannya dan berbahaya, sehingga pemerintah dengan cepat melakukan langka-lang taktis dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 82, Tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) Dan Pemulihan Ekonomi Nasional.

Menghadapi kenyataan itu, Kementerian Desa menindaklanjuti dengan sejumput aturan, mulai dari peraturan menteri desa tentang protokol normal baru desa, protokol dana desa pencegahan Covid 19, dan prioritas penggunaan dana desa, hal ini diupayakan keras oleh pemerintah pusat, sebab desa dianggap benteng terakhir dalam penyelamatan kondisi krisis yang terjadi. Saat pemerintah menganjurkan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, termaksud stay at home bagi seluruh warga negara, namun, tidak dengan kami pedamping desa di Kabupaten Bantaeng,  justru makin mengeliat di luar rumah, guna  mengawal kebijakan pemerintah pusat, agar pemerintah desa serius menjalankan program prioritas nasional yang sesuai dengan kewenangan desa.

Makin lama, pendemi makin memuncak, melalui urita,  satu persatu para pedamping desa seantero nusantara gugur dalam pegabdiannya. Untuk mengusir rasa takut dan resah, kami pedamping desa di Bantaeng, sering berkelakar satu dengan lainnya di sekretariat, menyeruakkan joke-joke, apalagi bila joke itu menyinggung ikhwal sexulitas, bakal ramai jadinya, setidaknya hal itu sebagai self hiling untuk menjaga dan meningkatkan imunitas tubuh dari serangan virus Korona.

Dalam situasi pendemi,  kiwari itu, kami pedamping desa konsen betul menjalanankan tugas mengawal kebijakan pemerintah, bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten Bantaeng membentuk gugus tugas aman Covid 19 hingga di pelosok desa, setiap sepekan sekali kami melakukan konsolidasi, guna mengsingkronkan laporan dan data-data dari relawan desa aman Covid 19 yang dibentuk oleh pemerintah desa.

Sesuai dengan arahan pemerintah pusat saat itu, tahun 2020, mendorong agar penggunaan dana desa diarahkan untuk pencegahan dan penanganan Covid 19, oleh karena itu, disetiap desa kami membentuk tim relawan lawan Covid 19 , tim ini sebagai garda terdepan melakukan aksi-aksi pencegahan dan penanganan pendemi, misalnya mendirikan posko pengamanan, penyemprotan cairan pembasmi wabah, menjaga mobilisasi warga keluar masuk desa, mendirikan ruang isolasi bagi warga yang terjangkit virus, dll.

Selain kegiatan aksi tim relawan desa, kami juga pedamping desa memfasilitasi desa melakukan perubahan anggaran APBDesa, seingat saya, tiga kali kami melakukanya, hal itu kami lakukakan berdasarkan arahan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, agar pemerintah desa memberikan bantuan sosial berupa uang tunai (BLT) bagi warga yang terdampak Covid 19 , dan upaya pemulihan ekonomi berupa program padat karya tunai desa.

***

memasuki tahun 2021 , baru saja si pegebluk Korona merayakan ulang tahunnya yang pertama, si pegebluk itu belum juga modar, alih-alih kondisi menjadi baik, malah virus itu makin merebak dan membentuk varian baru, varian itu namanya Delta, belakangan ditemukan lagi varian baru, Omicron namanya. Secara subtansi pengunaan dana desa di tahun 2021 tidak banyak berubah, sebagaimana arahan Presiden Jokowi, dana desa harus dirasakan seluruh warga desa, terutama golongan terbawah, juga harus berdampak pada peningkatan ekonomi dan SDM desa.

Ada baiknya saya tabalkan saja prioitas penggunan dana desa tahun 2021. Pertama, pemulihan  ekonomi nasional sesuai kewenangan desa. Misalnya pegembangan dan revitalisasi BUMDesa/BUSDesma, penyedian listrik, pengembangan usaha ekomi produktif. Kedua, program prioritas nasional sesuai kewenangan desa, yaitu pendatan desa, pemetaan potensi dan sumber daya pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, kemudian pengembangan desa wisata, penguatan ketahanan pangan dan pencegahan stunting di desa dan desa inklusi. Ketiga. Adaptasi kebiasaan baru, yakni desa aman Covid 19-19.

Pada prinsipnya, penggunaan dana desa tahun 2021 mengacu pada road maap pembangunan desa, yakni SDGs desa. Secara garis  besar SDGs desa meliputi desa tanpa kemiskinan dan kelaparan, desa ekonomi tumbuh merata, desa peduli kesehatan, desa peduli lingkungan, desa peduli pendidikan, desa ramah perempuan, desa berjejering dan desa tanggap budaya. Definit termuat pada 18 poin SDGs Desa.

Secara umum pedampingan desa di Kabupaten Bantaeng berjalan baik, jika ditinjau dari dimensi pengeleloaan dana desa tahun 2021, maka perencanaan pembangunan desa di Kabupaten Bantaeng sudah mereplikasikan prinsip akuntabilitas sosial, sebagaimana telah tertuang dalam peraturan Bupati tentang  teknis penyusunan rencana pembagunan desa, ini berarti di Bantaeng telah menerapkan program desa inklusi terlih dahulu

Sedangkan tahap pelaksanaan pembangun desa, telah berjalan sesuai dengan panduan penggunaan dana desa, yakni sesuai dengan kewengan desa, dikerjakan secara swakelola dan dikerjakan dengan metode padat karya tunai (PKTD). Adapun penyaluran Bantuan langsung tuani (BLT) bejalan baik hingga tahapan terakhir, begitu juga penggunan dana desa pada kegiatan PPKM desa sebesar delapan persen pun berjalan dengan baik, bahkan salasatu desa di kecamatan Eremerasa, Desa Mamampang, didapuk menjadi desa terbaik penggunaan anggaran PPKM.

Sejalan dengan kemajuan yang saya beberkan di atas, bukan berarti tanpa aral melintang, misalkan saja progres penginputan data SDGs yang belum selesai sampai hari ini, begitu juga revitalisasi BUMDesa yang belum optimal adanya.

Di penghujung tahu 2021, secara sama-sama dengan pemerintah Kabupaten Bantaeng, mengeliatkan kembali program vaksinasi dalam rangka menciptakan  herd imunity, apatagi secara faktual desa dapat menganggarkan belanja operasional pelaksanaan vaksinasi melalui belanja kegiatan PPKM.

Walakhir kami pedamping desa, juga anak langsung kementerian desa hanya bisa berharap, sebagai orang tua kandung, seyogianya memberikan perhatian khusus bagi masa depan kami, agar selanjutnya  menjadi bagian kemeterian desa secara totalitas. Entah bagaimana jalannya, kami serahkan sepenuhnya kepada kementerian desa. 

Stoikisme Memandang Persoalan Hidup: Esai Anti-Galau

Stoikisme muncul pada abad ke-3 di Yunani dan Romawi kuno, ditemukan oleh filsuf Yunani bernama Zeno. Selanjutnya dikembangkan oleh sederet filsuf Romawi seperti Seneca, Epictetus sang budak, dan Marcus Aurelius seorang kaisar Romawi. Suatu kelangkaan bahwa seorang budak dan seorang kaisar bisa bertemu lalu bersama-sama mengimani satu tradisi pemikiran atau sebuah falsafah hidup, padahal Epictetus maupun Marcus Aurelius memiliki pengalaman hidup yang sangat jauh berbeda.

Secara sederhana stoikisme menganut prinsip bahwa kehidupan ini harus disikapi secara rasional. Stoikisme mengandaikan bahwa secara keseluruhan alam semesta ini adalah kosmos; sebuah tatanan sehingga segala sesuatunya tidak mungkin mengalami kekacauan. Apabila terjadi kekacauan maka itu hanyalah penampakannya saja. Seperti kekacauan seolah-olah yang ketika diteliti lebih mendalam, menyimpan keteraturan, susunan yang simetris, tatanan yang harmonis dan terkelola secara rasional.

Inilah yang menjadi dasar bagi stoikisme dalam ajaran etikanya. Misalnya saat menyikapi penderitaan dengan menggunakan sudut pandang “dari kejauhan” yang oleh Marcus Aurelius diistilahkan “memandang bagaikan burung di angkasa”. Penderitaan dianggap sebagai sesuatu yang jauh, berada di luar diri kita dan tidak semestinya mempengaruhi ketenangan diri kita. Kita adalah yang memandang diri kita dari kejauhan. Demikian juga dalam berelasi, seorang stoik memandang orang lain dan segala sesuatu terhimpun dalam satu logos yang seharusnya hidup berdampingan dengan selaras.

Diantara aliran-aliran filsafat, stoikismelah yang paling lama berjaya yaitu sekitar 500 tahun dan dianut mulai kalangan budak sampai aristokrat. Stoikisme dianggap sangat berguna dalam keseharian karena menuntun manusia untuk senantiasa stabil, damai, terutama ketika menghadapi situasi paling rumit sekalipun dalam hidup. Stoikisme memandang penting penguasaan diri karena dengan menguasai diri, kita menjadi mudah mengelola emosi dan tahan mental. Salah satu prinsip stoikisme adalah kita hanya bisa mengendalikan apa yang berada dalam kendali kita, seperti pikiran dan tindakan kita.

Sedangkan segala yang di luar dari pikiran dan tindakan sendiri adalah di luar kendali. Kita tidak memiliki kesanggupan mengontrol sesuatu yang bukan bagian dari wilayah kerja pikiran kita. Dan karena itu, yang bisa dilakukan atau yang bisa dikendalikan hanyalah penilaian kita terhadap segala yang ada di luar diri kita. Perihal eksternal atau segala yang ada di luar diri kita di antaranya adalah keseluruhan situasi, peristiwa, perilaku, tindakan, dan persepsi orang lain akan diri kita.

Stoikisme yang menekankan dimensi internal (batin) manusia, sangat berguna dalam kehidupan terutama saat berhadapan dengan penderitaan. Maka suatu kewajaran ketika di zaman modern ini stoikisme menjadi dasar psikoterapi terutama untuk kasus depresi. Di sisi lain, stoikisme menjadi sebuah filosofi praktis atau konsep hidup yang bagi manusia bisa dilatih, digunakan, dan diterapkan dalam keseharian. Yang kita bisa uraikan menjadi beberapa langkah :

Pertama, melatih kemalangan. Pada dasarnya semua manusia takut mengalami penderitaan, apa dan bagaimanapun bentuk penderitaan itu. Maka manusia perlu melakukan latihan-latihan atas apa yang paling ditakutkan lalu kemudian melakukan simulasi. Para stoik menyarankan, untuk melatih ketangguhan menghadapi penderitaan, bisa dengan cara membayangkan atau mempraktekkan secara langsung skenario-skenario terburuk yang bisa menimpa manusia. Hal tersebut untuk melatih manusia, agar bisa dalam kondisi baik-baik saja ketika ditimpa kemalangan.

Filsuf stoik, Seneca memberikan contoh. Dalam setahun sebanyak 2 kali menerapkan perilaku sederhana seperti menanggalkan pakaian bagusnya, lalu memakai baju kumal dan kotor. Menggunakan lantai yang kasar untuk tidur, memakan roti yang sudah keras dan meminum air dari mangkuk hewan peliharaannya. Melalui contoh tersebut, Seneca ingin menempatkan diri dalam situasi dan kondisi yang tidak nyaman untuk membentuk stabilitas dan keseimbangan mentalnya. Demikian juga bagi kita, bisa melatih kemalangan dengan cara hidup yang sangat sederhana atau membayangkan secara detail keadaan paling parah yang bisa menimpa kita. Berupaya mencari solusi, apa saja yang akan dilakukan ketika harus menghadapi kemalangan itu. Dengan latihan kemalangan, bisa menjadikan kita selalu dalam ketenangan meski kemalangan benar-benar datang dalam hidup kita. Seneca mengatakan; “kemalangan yang tidak terduga seringkali yang paling menyakitkan. Karena itu, orang yang bijak sudah memikirkan kemalangan itu lebih dahulu.”

Kedua, dikotomi kendali. Stoikisme menganut prinsip dasar bahwa manusia tidak seharusnya melawan sabda alam. Manusia harus selaras dengan alam dan fokus pada apa yang bisa dikendalikan. Oleh karena itu, dalam memandang realitas kita harus bisa membedakan apa yang mampu kita ubah dan yang tidak mampu diubah; apa yang mampu kita pengaruhi, dan yang tidak mampu dipengaruhi. Misalnya ketika kita menginginkan untuk dihargai orang lain, hal yang bisa dilakukan hanyalah bagaimana membentuk diri kita sebaik mungkin, menjalin relasi yang damai, membangun cinta kasih dan sejenisnya. Tidak perlu meminta terlebih memaksa orang lain menghargai kita karena sekeras apapun itu dilakukan, persepsi orang lain sudah bukan dalam wilayah kendali kita. Kita hanya membuang-buang waktu ketika memaksakan mengubah persepsi orang lain. Akan lebih bermanfaat jika waktu dan tenaga kita difokuskan untuk memikirkan dan mengubah segala yang bisa dikendalikan.

Ketiga, melatih menulis. Salah satu aktivitas wajib para filsuf stoik adalah menulis. Bagi mereka menulis adalah bentuk permenungan diri untuk bisa lebih jauh mengenal diri. Dan dengan mengenal diri bisa lebih mudah mengontrol emosi termasuk apa saja yang harus dilakukan untuk memelihara keseimbangan mental. Tentang apa yang bisa ditulis dalam keseharian, para stoik menyarankan menulis apapun yang dianggap menarik; apakah itu sesuatu yang di dengar atau disaksikan langsung, hal-hal yang harus disyukuri, termasuk kemalangan atau derita yang dijumpai pada hari itu.

Keempat, melatih persepsi. Marcus Aurelius berkata, “memilih untuk tidak tersakiti, maka kita tidak akan tersakiti.” Jika kita menolak tersakiti maka kita tidak akan tersakiti. Ini salah satu mantra yang kerap didendangkan dalam stoikisme, bahwa segala kenyataan di alam raya ini bersifat netral, manusialah yang memberinya rasa. Misalnya ketika menghadapi rekan kerja yang tidak kooperatif, maka kita bisa mengendalikan diri. Jadikan momen ini sebagai motivasi dan kesempatan yang menguntungkan.

Kelima, memandang sesuatu dari kejauhan atau perspektif luas. Ketika menemui kemalangan, cobalah berhenti atau mundur selangkah. Langkah tersebut membuat kita bisa mengamati kemalangan dalam konteks yang lebih luas dan memastikan diri tetap tenang. Ibarat seorang astronot yang mengamati bumi dari kejauhan, menyadarkan betapa kecilnya manusia dengan segala permasalahan-permasalahan hidupnya. Filsuf stoik, Pierre Hadot mengatakan; “memandang dari atas mengubah penilaian kita pada sejumlah hal; kemewahan, kekuasaan, perang dan sejumlah kekhawatiran kita dalam kehidupan sehari-hari jadi terlihat konyol.”

Keenam, tidak ada yang kekal, semuanya fana. Pada dasarnya kita semua telah memahami tentang kefanaan hidup. Tentang semua pencapaian hidup seperti identitas, prestasi, reputasi, kepemilikan barang atau manusia, semuanya tidak ada yang permanen dalam hidup kita. Maka yang perlu difokuskan menurut para stoik adalah kehidupan sekarang. Pikirkan untuk membangun diri menjadi pribadi yang baik, jalin tali kasih dan lakukan segala yang benar untuk mengisi keseharian kita.

Ketujuh, mengingat hari kematian. Marcus Aurelius mengatakan, “kita bisa meninggalkan hidup ini kapan saja, maka jadikanlah ini penentu apa yang kita lakukan, katakan dan pikirkan.” Tidak ada yang tidak gentar di hadapamn kematian. Memikirkan kematian tentu melahirkan kecemasan bahkan depresi bagi manusia. Oleh karena itu, para stoik menyaranakan kematian perlu ditafsir ulang untuk mendapatkan pemahaman yang lebih menenangkan. Para stoik memandang, memikirkan atau memahami kematian seharusnya melahirkan kerendahan hati, dan membangun semangat dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna.

Kedelapan, mencintai takdir. Filsuf stoik, Epictetus yang juga seorang budak mengalami kelumpuhan permanen, dalam hidupnya menghadapi kesulitan berkepanjangan. Ia mengatakan, “jangan berharap sesuatu terjadi seperti yang kau inginkan, sebaliknya berharaplah apa yang terjadi, terjadi sebagaimana mestinya, maka itu kau akan bahagia”. Cobalah menerima apapun yang terjadi dalam hidup kita; seberapa pun menantangnya keadaan itu, bahkan cintailah situasi itu untuk memudahkan mengubahnya menjadi motivasi dan peluang. Raih sebanyak mungkin peluang, fokus pada bagaimana membangun diri yang lebih baik.

Penderitaan, kemalangan, cemas, gelisah dan sebagainya memang mutlak dirasakan oleh semua yang bernyawa terutama manusia. Tetapi saya maupun Anda tentu tidak menginginkan kehidupan di bawah bayang-bayang derita yang berlarut. Dengan akal kita bisa memikirkan cara apa yang dilakukan sehingga hidup bisa lebih berwarna, damai dan produktif. Menjalani terapi atau meditasi telah banyak dilakukan, atau bisa juga memilih menganut filosofi praktis seperti stoikisme ini. Filosofi ini akan menuntun manusia mudah mengendalikan emosi, sehingga segala derita yang ada lebih mudah dicegah atau setidak-tidaknya berkurang. Tentu tidak mudah mengamalkan filosofi ini, tetapi dengan kesabaran dan ketekunan semoga bisa membantu dan stoikisme bisa menjadi langkah bagi Anda merasa lebih tenang dan bahagia. Selamat mencoba..!!