Arsip Kategori: Uncategorized

Novia dan Darurat Kekerasan Seksual

Kemarin, 4 desember 2021, media sosial–belakangan media massa juga–diramaikan oleh kisah seorang gadis bernama Novia Widyasari Rahayu. Tagar #SaveNoviaWidyasari dan #JusticeForNovia meluber di laman media sosial kita. Novia adalah seorang mahasiswi tingkat akhir pada sebuah kampus ternama di Kota Malang. Ia adalah korban dari seorang polisi bernama Randy Hari Bagus Sasongko, yang dikabarkan putra dari pejabat DPRD di kotanya.

Tragisnya, gadis itu mengakhiri hidupnya di atas pusara ayahnya. Gadis itu memilih, ahh rasanya kata ‘memilih’ ini seolah-olah pelaku tak bersalah. Kata ‘terpaksa’ jauh lebih tepat. Bahkan mungkin juga bukan terpaksa, tapi ‘dipaksa’ mengakhiri hidupnya.

Siapa pun yang membaca kisahnya, hatinya pasti akan terluka dan marah. Mungkin di dasar hatinya juga akan mengatakan ‘gadis itu bukan bunuh diri, tapi dibunuh’.

Gadis itu dirundung kesedihan dan duka yang bertubi-tubi. Kisahnya begitu pilu dan getir. Mungkin kita pun tak sanggup bila berada di situasinya. Membaca kisahnya saja rasanya sangat menyayat hati (baca kisahnya di akun quora, Aulia Dinarmara Putri Rahayu).

Gadis itu adalah korban dari kekasih yang brengsek, calon mertua yang bajingan, paman yang egois dan penegak hukum yang bobrok. Bagaimana tidak, kekasih dan orang tuanya tak mau bertanggungjawab, ia malah dipaksa untuk aborsi. Sialnya, gadis itu sudah pernah melaporkannya ke kepolisian, tapi ditampik dan tidak ditindaklanjuti. Barangkali korbannya mesti meninggal dulu dan viral lalu kemudian ditindaklanjuti.

Ya, beban gadis itu sungguh berat, dan ia melalui-menghadapinya sendirian, ia sakit, hancur dan menjerit. Beruntung ada ibunya, menguatkannya sesekali. Sehingga beberapa kali rencana bunuh dirinya ia urungkan. Tapi pada akhirnya ibunya pun tak kuasa menahannya. Ia wafat setelah berusaha dan berjuang untuk bertahan. Tapi ia tak sanggup lagi.

Sungguh bajingan orang-orang itu, belum genap 100 hari ayahnya meninggal, ia harus dipaksa lagi untuk kehilangan, kali ini janinnya, si calon buah hati yang amat dicintainya, namanya pun telah ia persiapkan–Aulia Dinarmara Putri Rahayu. nama yang manis.

Kini Novia telah pergi. Pergi bersama cita-citanya. Di akunnya ia menceritakan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang guru. Ia punya pengalaman pahit tentang sekolah. Dulu, ia melihat teman-temannya yang tidak mampu membayar SPP dikeluarkan dari kelas. Ia juga melihat teman-temannya yang agak bandel dan kurang pintar di mata pelajaran tertentu dipermalukan dan dihukum.

Pengalaman itu sangat melukai hatinya. Sejak saat itulah ia mulai merawat cita-citanya menjadi seorang guru–guru yang humanis.

Kini ia telah pergi, dan kisahnya menjadi pelajaran berharga bagi banyak orang. Ia telah menjadi guru–guru dalam arti yang sesungguhnya. Semoga jalannya terang dan lapang.


Kisah Novia ibarat gundukan gunung es di samudra. Di bawah gundukan itu, masih ada banyak kasus lain yang belum terungkap. Memang berat menjadi korban, karena itu ada banyak yang tak sanggup melewatinya, atau setidaknya berani speak up.

Betul bahwa ada yang mampu melewatinya, tapi tidak jarang pula yang tak sanggup, mereka terpaksa mundur dan berjatuhan, Novia adalah salahsatunya.

Sekalipun ada yang sanggup melewatinya, ia pasti akan berhadapan dengan barisan masyarakat yang sok moralis, yang akan menghakiminya sebagai perempuan tak benar, perempuan murahan, perempuan gampangan dan semacamnya. Anak yang lahir kelak pun akan mendapat hujatan dan celaan yang sama. Duh Tuhan sebrengsek inikah hidup.

Novia mungkin bukan yang pertama. Tapi kalau kita tidak serius bertindak, bisa jadi Novia juga bukan yang terakhir. Akan selalu ada Novia selanjutnya.

Ini adalah momentum untuk berbenah. Secara kultural masyarakat kita memang mesti dididik. Agar lebih menghargai tubuh dan menghargai siapa pun. Juga agar lebih ramah dan empatik terhadap korban. Pameo yang menyebut ‘jaga anak perempuanmu’, mungkin sudah waktunya untuk direvisi menjadi ‘didik anak lelakimu’. Atau lebih maju lagi, agar tidak bias gender, mungkin lebih tepat menyebut ‘jaga dan didiklah anak-anakmu’.

Secara legal-struktural ini juga adalah momentum. Momentum menggalang dukungan untuk menuntut negara. Negara tidak boleh diam. Kita menuntut, jangan hanya menindak pelakunya saja, tapi negara juga mesti berbenah. Bereskan infrastruktur dan sistem negara ini agar tak ada lagi korban. Sekalipun ada, setiap korban bisa dengan mudah dan aman untuk mengakses bantuan dan perlindungan.

Kita harus berterusterang, negara kita memang darurat kekerasan seksual. Karena darurat itulah, maka dibutuhkan tindakan extraordinary, perlu langkah cepat dan serius. Pengesahan RUU PKS adalah salahsatu dari beberapa solusinya. Haruskah kita nabung kasus dan jumlah korban dulu lalu kemudian disahkan ? sudah cukup. Sahkan segera !

Rest in power, Novia.

Ilustrasi: dnaindia.com

Membela Kontradiksi: Paraconsistent Logic dan Dialektika

Selama ini kita dicekoki logika Aristoteles (logika klasik) yang hanya memberikan dua kemungkinan proposisi: proposisi tersebut benar atau salah. Hukum bivalensi ini kemudian menghasilkan tiga aksioma logika klasik: prinsip identitas A = A, prinsip non-kontradiksi ¬(A Ʌ­¬A), dan prinsip ketiadaan jalan tengah A v ­¬A.  Dalam matematika, logika klasik digambarkan secara simbolik dalam hukum Aljabar Boolean dengan dua nilai konstanta 1 atau 0. Maka seluruh operasi aritmetika hanya memiliki dua kemungkinan kesimpulan: 1 (benar) atau  0 (salah).

Model kebenaran hitam-putih ini membuat pikiran kita sulit menerima apa yang selama ini tak diizinkan hadir dalam operasi logika klasik: kontradiksi A Ʌ¬A.  Di samping dianggap tidak bermakna, kontradiksi bagi logika klasik hanya akan menghasilkan kondisi ex contradictione quodlibet atau ledakan: dari kontradiksi kita bisa membuat segalanya menjadi benar. Contoh kontradiksi bisa ditemukan pada argumen  “paradoks pembohong”. Misalnya, pernyataan “kalimat ini salah”. Jika pernyataan ini salah, maka benar. Tapi jika pernyataan ini benar, berarti salah karena isinya menyatakan demikian. Hasilnya kontradiksi. Karena pernyataan tersebut bisa benar sekaligus salah.

Kasus tersebut juga marak ditemukan dalam matematika. Kita tahu bahwa  dalam tubuh matematika juga tertancap kuat pandangan absolutisme yang memandang matematika dapat mencapai kebenaran mutlak melalui operasi logika. Paul Ernest mengatakan, pandangan absolutis tentang pengetahuan matematika didasarkan pada dua jenis. Yakni asumsi matematika, tentang asumsi aksioma dan definisi, dan logika tentang asumsi aksioma, aturan inferensi dan bahasa formal dan sintaksisnya.1

Namun, ternyata pandangan absolutis menghadapi masalah di awal abad kedua puluh ketika sejumlah antinomi dan kontradiksi diturunkan dalam matematika. Misalnya teori Basic Law V Gottlob Frege, formulasi paling ketat dari logika matematika yang dikenal di masanya, menunjukkan suatu kontradiksi yang dibuktikan oleh Russell pada 1902. Dalam Basic Law V, suatu himpunan dapat dibuat agar suatu properti dapat diterapkan pada himpunan tersebut.  Tapi Russell menunjukkan paradoks dari teori tersebut dengan cara mendefinisikan properti “tidak menjadi elemen dari dirinya sendiri”.2

Untuk memperjelas “paradoks Russell” ini,  anggaplah R adalah himpunan yang berisi objek yang tidak menjadi elemen dari dirinya sendiri. Jika digambarkan dalam teori himpunan, notasinya seperti ini: R = {x ∣ x ∉ x}. Notasi tersebut artinya,  x adalah R jika dan hanya jika x bukan elemen dari x. Sekarang mari membuat pilihan, apakah R ∊ R atau R ∉ R. Himpunan tersebut akan menghasilkan kontradiksi jika R hendak dimasukkan sebagai anggota dalam himpunan R. Karena jika R ∊ R, maka  R ∉ R. Tapi jika R ∉ R, maka R ∊ R.

Krisis matematika tersebut membuat Ernest memunculkan pertanyaan yang patut direnungkan: “Temuan semacam itu, tentu saja, memiliki implikasi serius bagi pandangan absolutis tentang pengetahuan matematika. Karena jika matematika itu pasti,  bagaimana dengan kontradiksi di antara teorema-teoremanya?”3 Pertanyaan tersebut akhirnya memunculkan keraguan jika logika klasik tak selamanya bisa berlaku dalam semesta matematika yang pada dirinya bisa menghasilkan kontradiksi.

Paraconsistent logic atau sering pula disebut logika paradoks hadir menjawab kebuntuan tersebut, dengan menerima kontradiksi sebagai sesuatu yang valid dalam logika. Pesohor paraconsistent logic Graham Priest dalam artikelnya berjudul  What is so Bad about Contradictions? (1998) percaya jika beberapa dari kontradiksi adalah benar. Kata “beberapa” demikian kata Priest, tentu berbeda dengan kata “semua”. Membenarkan beberapa kontradiksi akan berbeda penekanannya dengan mengatakan semua kontradiksi adalah benar. “Tentu tidak rasional untuk percaya bahwa saya adalah telur goreng,” kata Priest. Sehingga tak rasional untuk percaya bahwa “saya adalah telur goreng dan bukan telur goreng”.4

Namun bagaimana pun, kontradiksi bisa diterima jika argumennya masuk akal dan tidak meledak atau absurd. Untuk kasus kontradiksi dari “paradoks pembohong” dan “paradoks Russell”, penganut paraconsistent logic seperti Priest menerimanya dengan membuat satu model kebenaran yang baru: benar sekaligus salah. Karena seperti itulah konsekuensi logisnya. Sikap cair logika paradoks terhadap kontradiksi membuat model penalaran tersebut tak melulu memandang interpretasi hanya menghasilkan benar atau salah. Logika paradoks memandang fakultas logika memiliki ruang yang lebih beragam yang bisa dilihat pada himpunan rumus berikut:

Tidak benar dan tidak salahSalah
BenarBenar sekaligus salah
Empat model kebenaran paraconsistent logic

Bagi Priest, kalimat “di luar sekaligus di dalam ruangan” benar dan logis  jika kita berada di ambang pintu dan secara simetris satu kaki berada di luar dan kaki lainnya berada di dalam ruangan. Saat berada di posisi itu, kita tidak di dalam dan tidak di luar, atau di dalam dan tidak di dalam ruangan.  Artinya pernyataan tersebut bisa dimasukkan dalam kotak kanan bawah.5 Sama halnya pernyataan, “Besok akan ada pertempuran laut”. Kalimat kontingen masa depan seperti itu tak bisa dinilai benar atau salah. Sehingga kita bisa memberi kesimpulan kalimat tersebut tidak benar dan tidak salah. Olehnya itu, ia bisa dimasukkan dalam kotak kiri atas.6

Terlepas dari banyaknya upaya untuk membantah model paraconsistent logic,  namun setidaknya, logika tersebut pelan demi pelan membuka cakrawala berpikir kita: dunia ini tak sesempit oposisi biner Aristotelian yang statis dan kaku. Masalah dari paraconsistent logic adalah jenis logika ini lebih condong mengurai masalah paradoks semantik dan tidak bekerja keras untuk membela kontradiksi dalam realitas. Namun paraconsistent logic telah memberi insight pada kita, bahwa ada kalanya kita membutuhkan logika yang berbeda pada domain yang berbeda. Untuk menelusuri kemungkinan kontradiksi dalam realitas, kita membutuhkan logika dialektis (dialektika), metode berpikir yang bisa ditelusuri dalam sistem filsafat Hegel dan Marxisme.

***

Jauh sebelumnya G.W.F  Hegel sudah dengan tegas menyatakan jika segala realitas mengandung negasinya sendiri—artinya mengandung kontradiksi. Sebagaimana yang diungkapkan Hegel dalam Science of Logic, “Tidak ada sesuatu pun di langit atau di alam atau roh yang tidak mengandung ada dan ketiadaan.”7 Jika hendak ditafsirkan,  Hegel hendak mengatakan jika setiap entitas mengandung ada dan ketiadaan, positif dan negatif, identitas dan non-identitas secara bersamaan. Melalui kontradiksi ini setiap entitas melakukan proses dialektis dengan negasinya sendiri dan  membentuk sejarah panjang alam semesta.

Hegel dalam Phenomenology of Spirit menggambarkan gerak alam yang dialektis tersebut melalui proses manifestasi diri Roh. Bermula dari Roh sebagai kesadaran diri dan substansi abstrak yang mengeksternalisasi atau merealisasikan dirinya menjadi alam semesta dan segala isinya. Roh akhirnya menyadari telah mengasingkan dirinya dan sekaligus menyadari alam semesta adalah dirinya sendiri. Hingga Roh mencapai pengetahuan tentang dirinya sendiri dan memproklamasikan dirinya sebagai Roh Absolut. Hegel kemudian membagi  realisasi diri Roh tersebut dalam tiga momen perkembangan Roh:

  1. Dalam bentuk hubungan diri: Di dalamnya memiliki cita-cita totalitas Ide, keberadaannya mandiri dan bebas. Perkembangan pertama ini disebut Roh Subjektif.
  2. Dalam bentuk kenyataan: Terwujud di dalam dunia yang diproduksi oleh Roh. Perkembangan kedua ini disebut Roh Objektif.
  3. Kesatuan Roh Objektif dan Roh sebagai idealitas dan konsep (Roh Subjektif) menghasilkan dirinya sendiri, Roh sebagai kebenaran mutlak. Perkembangan ketiga ini disebut Roh Absolut. 8

Tiga momen perkembangan Roh telah menunjukkan secara eksplisit cara kerja dialektika melalui hubungan kontradiktif antara Roh dan alam semesta. Roh Subjektif (tesis) merealisasikan dirinya sendiri dalam bentuk alam semesta atau Roh Objektif (antitesis). Hubungan timbal balik dan penyatuan antara keduanya menciptakan suatu pengetahuan baru tentang Roh. Roh Subjektif menyadari jika alam semesta adalah dirinya sendiri tapi dalam bentuk yang lain. Kesadaran ini membuat Roh mengetahui dirinya sebagai Roh Absolut karena adanya alam semesta sebagai realisasi dirinya (sintesis).

Fenomenologi Roh dari Hegel perlu dipaparkan di sini guna memperjelas maksud Hegel mengenai realitas mengandung negasinya sendiri. Jika dicermati dengan baik, alam semesta dan segala isinya identik sekaligus berbeda dengan Roh. Artinya, alam adalah Roh sekaligus bukan Roh: alam semesta mengandung negasinya sendiri. Untuk memperjelas pernyataan membingungkan ini, saya akan meminjam argumen dari pakar Hegel Indonesia, Fitzerald:

“Seluruh kenyataan ini identik dengan Roh karena kenyataan ini tidak lain dari hasil manifestasi-diri Roh; kenyataan ini pada hakikatnya adalah Roh itu sendiri, namun dalam bentuk yang lain, yakni dalam bentuk yang material atau terbatas. Roh itu sendiri immaterial dan tidak terbatas, namun ia membuat diri-Nya menjadi material dan terbatas. Itulah alam semesta dan segala isinya. Itu berarti, Roh terdapat juga dalam kenyataan ini justru karena kenyataan ini adalah hasil realisasi dirinya, seluruh kenyataan ini adalah Roh dalam bentuk yang-lain; karena itu, esensi kenyataan ini justru adalah Roh itu sendiri.”9

Pernyataan di atas tentu sangat sulit dipahami jika menggunakan operasi logika klasik. Tapi dengan menggunakan pendekatan dialektika, kita bisa menyimpulkan jika alam semesta adalah identik sekaligus berbeda dari Roh. Menariknya juga, berdasarkan pada momen perkembangan diri Roh, ternyata Roh dapat mengidentifikasi dirinya sebagai Roh jika berelasi dengan alam semesta sebagai negasinya. Hegel sendiri pernah mengatakan dalam Phenomenology of Spirit jika, “sesuatu adalah satu karena dipertentangkan dengan yang lain. Tapi sesuatu itu bukan satu ketika yang lain dikecualikan dari dirinya. Karena menjadi satu adalah hubungan universal antara diri dengan dirinya sendiri, dan fakta bahwa dia adalah satu yang membuatnya seperti yang lain, dan melalui tekadnya dia juga tidak termasuk yang lain.”10

Pernyataan Hegel tersebut tak hanya menyiratkan kontradiksi pada suatu entitas: prinsip non-kontradiksi logika klasik tak berlaku. Namun keberadaan dan identitas suatu entitas selalu mengandaikan keberadaan lain yang bukan dirinya. Sebagaimana Roh mengidentifikasi dirinya sebagai Roh Absolut karena bergantung secara konstitutif terhadap keberadaan negasinya, yakni alam semesta. Hal tersebut juga berlaku pada entitas lainnya. Misalnya gelas bisa didefinisikan sebagai gelas jika semua non-gelas terdapat pada gelas dalam bentuk negatif. Kebergantungan gelas pada non-gelas membuat gelas tak selalu sama dengan dirinya sendiri. Karena ketika non-gelas tidak mendeterminasi gelas, maka gelas tak bisa disebut sebagai gelas. Sebagaimana kata Hegel, “sesuatu itu bukan satu ketika yang lain dikecualikan dari dirinya.”. Artinya prinsip identitas logika klasik yang memandang sesuatu identik dengan dirinya sendiri tak berlaku pada realitas yang kontradiktif.

Inilah yang sering dibilangkan sebagai dialektika. Yakni, cara berpikir yang melihat segala sesuatu bersifat kontradiktif.11 Ketika logika klasik Aristotelian tidak mengizinkan kontradiksi, dialektika justru menerimanya. Sifat kontradiktif ini juga yang membuat realitas selalu berubah. Sebagaimana yang diungkapkan Martin Suryajaya: “Berdasarkan konsepsi dialektika sebagai negasi internal inilah Hegel dapat menteorikan ontologi yang memberikan peran utama pada gerak dan perubahan: oleh karena semua entitas telah mengandung negasinya sendiri maka tak ada entitas yang sepenuhnya tetap, semuanya dapat berubah begitu negasi internal tadi dieksplisitkan.”12

Hanya saja dialektika Hegel dalam sejarahnya, mendapatkan kritikan yang keras terhadap Karl Marx dan sahabatnya, Friedrich Engels. Karena gagasan tentang Roh itu, Hegel dianggap masih dibayang-bayangi oleh argumentasi kaum mistis dan dituduh sebagai seorang idealis. Karena hanya memosisikan realitas objektif sebagai penyebaran diri dari Roh. Lagi pula, dialektika Hegel tak tegas memilah-milah mana ranah epistemologi dan mana ranah ontologi. Seolah-olah makna, hakikat, dan identitas sesuatu yang dikonseptualisasikan juga berlaku pada realitas objektif . Sehingga ada kesan realitas objektif bisa diandaikan ada setelah dipikirkan oleh manusia.

Engels dalam Kata Pengantar Lama Pada Anti-Duhring (1878) mengatakan, dialektika Hegel berangkat dari pemahaman bahwa jiwa, pikiran, ide, adalah primer dan bahwa dunia real hanyalah sebuah salinan dari ide. Oleh karena itulah Engels dengan keras mengkritik dialektika Hegel dengan menyebut “konstruksi (rancang-bangun) sistem dialektika Hegel  terlalu sewenang-wenang dan mengingkari fakta.”

Selain itu, dialektika Hegel dikritik dalam hal konstruksi subjeknya. Marx, sebagaimana yang diungkapkan Balibar, berpandangan bahwa “aktivitas subjektif yang dibicarakan oleh idealisme, pada dasarnya, merupakan jejak atau denegasi (pengakuan sekaligus pengabaian) dari sebuah aktivitas yang lebih kongkret, sebuah aktivitas yang lebih ‘memiliki efek’….. yang pada suatu saat dan pada saat yang sama membentuk dunia eksternal dan sekaligus membentuk (building) atau mentransformasi diri.”13

Karl Marx yang kelak disempurnakan oleh Engels akhirnya merumuskan suatu model dialektika yang lebih organik dan realis: dialektika materialis. Sistem filsafat Marxisme ini membawa dialektika dari Roh dan ditempatkan di dunia objektif yang empiris. Hukum-hukum dialektika yang semula abstrak dan diposisikan sebagai hukum-hukum pikiran, “di-bumi-kan” menjadi hukum-hukum alam. Justru hukum-hukum dialektika alam yang menentukan hukum-hukum dialektika dalam pikiran.

Meski dialektika diformat dalam sistem materialisme, namun dialektika materialis tetap mengakui kontradiksi sebagai sesuatu yang nyata dalam realitas objektif. Justru melalui kontradiksi, realitas objektif jadi lebih hidup dan dinamis dalam gerak dan perubahan. Di sisi lain, perubahan akibat dialektika alam membuat realitas tak selalu hadir pada dirinya sendiri. Olehnya itu, hukum identitas  logika klasik tetap tak berlaku jika dihadapkan pada hukum-hukum objektif dialektika alam.

Melalui hukum dialektika itulah alam berkembang melalui relasi saling memengaruhi antar entitas. Engels menyebut alam semesta sebagai suatu sistem di mana benda-benda mulai dari bintang-bintang, atom-atom, hingga partikel-partikel saling terkait. Hubungan relasional tersebut membuat benda-benda bereaksi satu sama lain melalui daya tarik dan daya tolak. Aksi timbal balik yang saling menarik dan berlawanan ini kemudian menghasilkan gerak. Singkatnya, gerak pada realitas objektif disebabkan oleh kontradiksi antar benda.

Pun, sebagaimana yang ditekankan Engels, dialektika antar benda membuat suatu benda  dapat berubah kualitas akibat penambahan dan pengurangan kuantitas. Seperti cairan mempunyai titik beku dan titik didih jika suatu instrumen memungkinkan untuk memproduksi suhu yang diperlukan. Penjelasan ini tak hanya menunjukkan sifat kontradiktif dari realitas objektif, namun juga akibat gerak dan perubahan, setiap entitas tak pernah dalam keadaan tetap.

Itu artinya, dalam alam semesta, tak ada objek yang tetap pada dirinya sendiri. Atau prinsip identitas dalam logika klasik tak berlaku dalam realitas objektif. Sungai akan kehilangan identitas jika bertemu laut dan berubah menjadi muara. Begitu pun kertas tak bisa tetap menjadi kertas jika dilahap api. Karena kertas akan menjadi abu. Dialektika alam objektif ini dalam perspektif dialektika materialis, akhirnya membentuk struktur pikiran manusia tapi tidak secara determinan mutlak. Karena manusia juga memiliki kebebasan untuk memengaruhi perubahan realitas melalui praxis.


Esai ini pernah dimuat di LSF Discourse dan diterbitkan ulang dengan alasan pendidikan.

Catatan

1. Paul Ernest, The Philosophy of Mathematics Education: Studies in Mathematics Education, (London: Routledge), 1991, hlm 8.

2. Ibid.

3. Ibid.

4. Graham Priest, What is so Bad about Contradictions? The Journal of Philosophy, Vol. 95, No. 8 (1998), hlm 410.

5. Ibid, hlm 415.

6. Ibid, hlm 414.

7. G.W.F Hegel, Science of Logic, Diterjemahkan oleh George Di Giovanni (Cambridge University Press), 2010, hlm 45 

8. G.W.F Hegel, Hegel’s Philosophy of Mind: Translated From The Encyclopaedia of The Philosophical Sciences, diterjemahkan oleh William Wallace, M.A, LL.D (Oxford: At The Clarendon Press, 1894), hlm 8

9. Fitzerald Kennedy Sitorus, Allah dan Trinitas: Sebuah Pendasaran Dialektis-Filosofis Hegelian, Jurnal STFT Vol VII, No 1, 2019, hlm 9

10. G.W.F Hegel, Phenomenology of Spirit, diterjemahkan oleh A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), hlm 72-73

11. Fitzerald Kennedy Sitorus, op.cit, hlm 10

12. Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis: Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer (Yogyajarta: Resist Book), 2012, hlm 61 

12. Etienne Balibar, Anti Filsafat: Metode Pemikiran Marx, diterjemahkan oleh Eko P. Darmawan (Yogyakarta: Resist Book, 2013) hlm 46

Baik dan Buruk itu Tidak Memiliki Inti pada Dirinya Sendiri

”…Baik dan buruk itu tidak memiliki inti pada dirinya sendiri… Suci dan tidak Suci adalah kata-kata kosong. Sebelum semuanya muncul, yang ada hanya kosong dan sunyi…”

Au adalah bahasa orang dawan (Suku Timor, NTT). Au Artinya, Aku. Au adalah usaha untuk memahami dan menyadari siapa diri kita sebenarnya. Siapa saya? Atau, siapa aku? Aku yang dimaksudkan ini adalah aku sebelum agama,teologi, atau sekumpulan pengetahuan yang harus dipercaya buta. Au juga bukan filsafat. Au ini sama dengan zen dalam tradisi Buddha. Au atau zen adalah sebuah jalan kuno untuk menyadari jati diri kita yang sebenarnya, sebelum semua konsep dan pikiran muncul. Dengan kesadaran itu, kita bisa hidup dengan jernih dari saat ke saat, dan membantu semua makhluk. Inilah jantung hati “Aku” atau “Au”.

Siapa Aku?

Beberapa hari lalu, dua orang sahabat saya: Fendy dan Edward mengajukan pertanyaan. Mereka berkata bahwa mereka pernah ditanyakan oleh salah seorang senior. Senior itu bertanya kepada mereka tentang: siapa aku?

Pertanyaan itu adalah pertanyaan mendasar yang diajukan bukan kepada orang lain, melainkan kepada diri kita sendiri. Selain pertanyaan itu, ada pertanyaan lain yang mendasar dan selalu diajukan oleh umat manusia. Pertanyaan itu seperti, mengapa kita lahir ke dunia ini? Mengapa kita harus meninggal? Mengapa segala hal yang kita raih tidak bisa memberikan kita kebahagiaan yang sejati? Mengapa semuanya harus kita lepas, ketika kita meninggal? Ingat, mayat tidak memiliki kenangan dan pengetahuan dibadannya.

Semua orang pasti pernah bertanya tentang hal itu. Setiap agama berusaha mengajukan jawaban. Setiap ajaran filsafat dan ilmu pengetahuan mencoba menggali penjelasan tersebut.
Namun, tidak ada satupun yang bisa memberikan jawaban untuk semua orang. Apa itu kesadaran? Mengapa kita ada? Mengapa kita harus lahir, dan kemudian mati? Memang, ilmu pengetahuan telah berkembang amat pesat. Agama-agama besar juga bertumbuh dan berkembang di berbagai belahan dunia.

Namun, semua itu tidak pernah bisa sungguh menjawab pertanyaan mendasar berikut: Siapa aku sebenarnya?

Filsafat dan ilmu pengetahuan mengandalkan akal budi manusia.
Ketika kita bertanya, siapa aku sebenarnya, akal budi kita terhenti. Kita pun lalu mencerap keadaan batin, sebelum segala pikiran muncul. Ini adalah keadaan batin kita yang asli, sebelum semua agama, filsafat dan konsep.

Jati diri kita yang asli tidak memiliki nama. Ia tidak memiliki bentuk. Ia tidak datang, dan ia tidak pergi. Tidak ada yang muncul, dan tidak ada yang hilang. Ia bukanlah benda, dan bukanlah tempat. Ketika kita menamainya, kita sudah jatuh dalam kesalahan.

Kita bisa menyadari jati diri kita dengan bertanya, siapa saya? Mengapa kita hidup di dunia ini? Sejuta pertanyaan kehidupan
berakhir pada pada pertanyaan ”siapa saya sebenarnya”.

Saat Ini

Kita perlu untuk melihat ke dalam diri kita sendiri. Kita perlu bertanya, ”Siapa ini yang sedang membaca tulisan ini? Siapa ini
yang sedang bernafas?” Ketika ditanyakan secara serius, pertanyaan tersebut menghentikan pikiran kita. Semua analisis konseptual secara alamiah berhenti.

Yang muncul adalah kesadaran akan gerak nafas kita. Kita berakar di keadaan di sini dan saat ini. Kita tidak lagi menilai keadaan sekitar kita. Kita melepaskan semua pikiran konseptual,dan kembali ke kesadaran akan telinga, nafas, tubuh dan lidah kita. Inilah keadaan alamiah kita sebagai manusia. Semua kata dan konsep berhenti.

Ketika ini terjadi, kita bergerak dari ranah pikiran ke ranah sebelum pikiran. Ini bisa disebut kesadaran akan  ”kekosongan dan kesunyian ”, atau ”pikiran pemula”, atau ”jati diri alamiah”. Pada titik itu, kita adalah diri kita sendiri, sekaligus kita adalah siapa pun.

“Siapa aku?” Adalah sebuah pertanyaan mendasar yang menyatukan semua makluk. “Aku”, tak memiliki nama dan identitas. Aku adalah kekosongan dan kesunyian. Aku adalah segalanya.

Sumber gambar: https://riaurealita.com/

Mengapa Kita Tidak Bisa Bersatu?

Hujan semakin menderas di luar sana, butiran hujan bersetubuh dengan kaca jendela kedai kopi ini. Ada pula rintik hujan jatuh menghunjam atap dan genting, sepersekian detik kemudian memunculkan suara khas. Aspal di luar sana telah basah dan menghasilkan aroma tersendiri, menyeruak dan menusuki penciuman, merangsang syaraf-syaraf untuk mereduksi ingatan di masa lalu.

Tepat dua tahun lalu, Arya Asnur, lelaki dengan tinggi 175 cm ini mendapatkan penolakan dari calon ayah mertuanya—Ghaza.

“Saya tidak bisa menerimamu  sebagai menantu,” sahut Ghaza. Sedangkan, anak gadisnya, Maharani hanya menangis tersedu, ia tak menyangka ayahandanya menolak niatan baik kekasihnya, Arya. Padahal sebelumnya, ayahnya senang bukan kepalang karena anak gadisnya akan dilamar sang kekasih.

“Kenapa Om menolak lamaran ini?” Arya memelas, Ghaza sejenak memandang perempuan cantik berwajah oriental di depannya, yang tak lain adalah ibunda Arya.

“Mari kita pulang,” sahut Ghaza kepada anaknya, ia berlalu meninggalkan Arya dan ibundanya. Sedangkan lelaki berkulit putih itu tertunduk lesu, ada beningan mata yang akhirnya tidak terbendung, jatuh memenuhi pipinya. Sedangkan ibundanya hanya mengelus punggunng Arya mencoba menguatkan Arya.

“Silakan, mau pesan apa, Kak?” seorang pramuria datang menghampiri Arya, di dadanya tertera nametag. Tiara. Arya memesan cappuccino, kopi yang memiliki komposisi ¼ espresso dan ¾ susu dan buih. Tak berselang lama, seorang lelaki berkacamata dengan wajah datar menghampirinya, di dadanya tertera nametag Ade Rahim. “Ini pesanannya, Kak,” sahutnya dengan nada yang teramat datar.

Arya mencicipi cappuccino itu, aromanya membawa ingatannya ke masa lalu, sebuah masa kala ia telah berumur 17 tahun.

“Ibu, jujur deh, ayah itu mana sih? Kenapa ibu selalu menghindar kala saya bertanya siapa ayahku?” memang benar, ketika SD, SMP, dan hingga SMA, Arya tak mengetahui gerangan ayahnya, bagaimana rupanya, ia hanya mengetahui bahwa ayahnya bernama George Enos Surya, itupun karena di biodata rapornya tertera demikian. Hingga pada akhirnya, ibunda Arya tak kuasa menahan rasa penasaran anaknya, dan malam itu, untuk pertama kalinya, Arya melihat ibundanya menangis tersedu-sedu.

Arya kembali mencicipi cappuccinonya, ia memandang seorang lelaki yang berdiri di atas panggung, di belakangnya berdiri dua orang perempuan dan dua orang lelaki. “Selamat sore pengunjung kedai kopi sekalian, hari ini kami mencoba menghangatkan sore yang hujan ini dengan suguhan musik. Sebelumnya perkenalkan kami dari Good-Name Band, sekumpulan siswa-siswi SMA yang hoby mengamen dari kedai kopi ke kedai kopi, saya Agym sebagai vokalis, Dhea pada instrumen gitar, sedangkan yang cantik itu bernama Indy tukang pukul drum, Fauzan dan Iqbal pada bass dan saxophone. Di sore yang sendu ini, kami akan membawakan lagu dari Hindia-Secukupnya…”

Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?
(Renggang)
Tak perlu memikirkan tentang apa yang akan datang
Di esok hari

Arya memerhatikan seksama penampilan band tersebut, sesekali matanya mencuri  pandang pada sesosok gadis yang memainkan gitar, sang vocalis begitu apik membawa lagu tersebut. Alam pikiran Arya kemudian berkelana ke masa lalu, ke masa kala ibundanya menangis tersedu-sedu.

“Maafkan Bunda, karena selama ini telah berbohong kepadamu, sebenarnya….”

Arya tertunduk lesu, ia seakan ingin menghapus memori itu, tapi memori itu begitu melekat diotaknya, ia merasa dunia tidak begitu adil baginya. Kala fakta itu terungkap, ibundanya adalah seorang Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan kala huru-hara 1997-1998, huru-hara menjelang kejatuhan Soeharto. Ibundanya menceritakan pengalaman mengerikan itu, kala ia masih gadis sedang pulang dari sekolah, menuju rumah, dan saat itu kawasan pertokoan dan pemukiman tionghoa dijarah, termasuk kediamannya. Ia berlari menuju rumuahnya yang atapnya dilahap si jago merah, belum sempat ia menggapai rumah yang dilahap si jago merah, ia secara tak sengaja menubruk seorang lelaki yang cukup muda, wajahnya teduh tapi tatapan matanya seperti elang yang hendak membunuh mangsanya.

Wisata masa lalu
Kau hanya merindu
Mencari pelarian
Dari pengabdian yang terbakar sirna
Mengapur berdebu
Kita semua gagal
Ambil s’dikit tisu
Bersedihlah secukupnya

Apakah satu kebetulan? Tapi memang demikian nyatanya, hujan yang sendu dan musik dengan lirik tajam mengena tepat dijantungnya. Arya mengambil tisu sebagaimana lirik lagu tersebut, namun ia tak mampu bersedih secukupnya. Lelaki yang bersedih itu meminum secangkir cappuccino, lalu mereduksi ingatannya di masa lalu, masa kala ia kuliah bersama kekasihnya, Maharani.

“Oke, saya sudah bagi kelompok yah, tugas kalian sederhana, sebagaimana yang ibu jelaskan,” sahut Ibu Vivi—dosen cantik yang dikenal ahli dalam Sejarah Tionghoa dan Sejarah Sosial Politik.

“Syukur kita bisa  satu kelompok, Maharani,” Arya menggoda kekasihnya. Sang kekasih menunjukkan ekspresi menggemaskan. “Tahu aja nih, Bu Vivi kalau kita kasmaran,” sahut Arya. Mereka mengerjakan tugas dari Ibu Vivi, sebuah tugas untuk mengurai peranan mahasiswa dalam menjatuhkan Soeharto.

“Wah asyik nih, sepasang kekasih satu kelompok, hei Maharani, hati-hati dengan Arya, wajahnya saja innocent, tapi kelakuannya bejat,” sahut Galuh yang tentunya dibalas Arya dengan tamparan tepat di kepala.

“Brisik lu!” seru Arya.

“Sudah, guys. Kamu bisa bantu saya kan Arya, tugas saya dari Ibu Vivi untuk mengungkapkan korban kerusuhan tahun 1998, terutama yang dialami masyarakat Tionghoa, kalau mengandalkan si brengsek Galuh ma’ itu perbuatan sia-sia” sahut Anugrah Yemima.

Sesaat raut wajah Arya berubah, ada rasa kekesalan yang terpatri di wajahnya, bukan karena omongan Galuh, namun permintaan tolong dari Yemima untuk membantunya mencari bahan papper tentang kekerasan yang dialami masyarakat Tionghoa di akhir masa kejatuhan Soeharto.

“Nanti biar saya bantu,” sahut Maharani kemudian menggenggam jemari Arya.

Semua yang sirna ‘kan kembali lagi
Semua yang sirna ‘kan nanti berganti

Sang vocalis dengan apik menyanyikan lagu Hindia berjudul Secukupnya, sedangkan cappucino di cangkir yang digenggam Arya sisa seperempatnya, hujan di luar juga mulai mereda. Arya masih tidak habis pikir mengapa ayah Maharani menolak lamaran itu, padahal kala pacaran, ayah Maharani, Ghaza sangat respect dengannya, lelaki yang sorotan matanya mirip elang itu sangat menyukainya, bahkan ia pernah berujar ingin memiliki menantu yang baik seperti Arya. Demikian pula dengan Ibunda Arya, ia sangat senang dengan perangani Maharani. “Wah calon menantu ibu cantik sekali,” sahut Ibunda Arya kala Arya membawanya ke kediaman ibundanya.

Tapi Arya tak habis pikir, ketika para orang tua bertemu, ketika ayah Maharani bersua dengan Ibunda Arya, penolakan pun muncul. Sungguh sebuah sikap yang berkebalikan.

Hujan kini telah reda, lagupun telah habis, demikian pula dengan secangkir cappucino yang telah dipesan. Arya berjalan lunglai ia yakin, Maharani juga merasakan hal yang sama dengannya, perasaan bingung atas penolakan yang tak beralasan.

***

Di tempat lain, Ghaza mendatangi kuburan istrinya, di sana telah berbaring wanita cantik bernama Clara. Lelaki yang wajahnya teduh itu menangis di hadapan pusara istrinya. “Clara, saya menerima amarah Tuhan kepadaku, setelah kepergianmu, kukira dosa yang kubuat akan sirna, ternyata itu belum cukup untuk menghapus dosa yang kubuat di masa lalu, kini Tuhan mengirimkan karma melalui perempuan yang telah kunodai di masa lalu. Clara, ia datang, bersama anak lelakinya yang hendak melamar anak kita….”

 


 

k0

Ode untuk Kemanusiaan Kita

Setelah buah pikir saya jebrol runtunan kemarin, saya kemudian putuskan untuk mengambil jeda sejenak. Dalam rangka mengamati ragam informasi yang tersiar. Baik lewat media cetak, elektronik, maupun media sosial dalam lingkup saya.

Secara garis besar, kabar tersebar terbagi atas dua bagian. Positif dan negatif. Tentu saja dengan latar belakang berbeda antara satu dengan lainnya.

Pada kesempatan ini saya akan membahas terkait warta positif saja. Karena bagian negatif, selain sia-sia, juga tidak menarik untuk dibahas. Apalagi hal itu adalah tugas dari kelompok “titik-titik” (silahkan isi sendiri). Dan, mengambil tugas mereka bukan ciri dan peran saya.

Setelah penyebaran info virus Korona mulai banyak, tidak sedikit akhirnya pihak tergerak untuk melakukan sesuatu. Sesuatu dalam artian luas. Mulai dari penggalangan dana, membuat tersebar pesan berantai pencegahan secara massif, hingga berbentuk dedikasi diri secara penuh individu atau lewat kelompok relawan. Tidak ketinggalan kampus beserta pakar kesehatan mengambil peran. Memang energi positif perlu untuk diciptakan dan disebarluas.

Semua sedang memberi sumbangsih bagian terbaik dari dirinya. Dengan satu harapan bersama, air mata ibu Pertiwi bisa meredam. Iya. Saat ini ibu Pertiwi sedang lara. Jumlah putera-puteri yang dengan virus Korana semakin bertambah. Tidak menutup kemungkinan, angka ribuan akan dicapai. Saya berdoa itu tidak terjadi. Amin.

Saat upaya menggalang optimisme bergulir, berita duka menghampiri. Beberapa dokter pengisi garda terdepan perang melawan Korona, syahid. Innalillahi wa innaillaihi rojiun. Terus terang kabar ini sempat membuat saya dan beberapa pihak terguncang. Ya Tuhan, berikan kami kekuatan. Semoga mereka damai dalam kepergiannya. Amin.

Mari kita kembali saling menguatkan. Bentuknya bisa membincang beragam berita baik tadi.

Saya akan mulai dengan dua contoh. Pertama, langkah nyata pengelola negara. Tepatnya kemarin, tanggal 23 Maret, pusat penanganan COVID-19 Republik ini diresmikan. Tempat yang disulap menjadi Rumah Sakit Darurat Covid-19 adalah wisma atlit Kemayoran. Bangunan yang terletak di dekat Kali Item, Sunter, Jakarta Utara ini beralih fungsi jadi lebih bermanfaat. Setelah sebelumnya gedung yang berdiri di atas tanah seluas 10 hektar ini tidak terurus.

Dari aspek kapasitas, bangunan yang saat 2018 mampu menampung puluhan ribu atlit ini tentu tidak diragukan lagi. Apalagi jika kita lihat denah dari sepuluh tower tersebut, terdapat 7426 unit ruang seharusnya mampu menimbulkan rasa optimis. Terutama dalam upaya membungkam “jungur” pihak tidak bertanggung jawab.

Sudah tahu kan siapa yang saya maksud?

Oke, mari kita lanjutkan. Hal kedua terkait berita baik yang tersebar adalah kongsi berbagai pihak untuk berjibaku menopang pengisi garda terdepan dalam jihad fi Sabilillah melawan Korona. Bentuknya juga sangat signifikan; pengadaan Alat Pelindung Diri (APD).

Seperti yang kita ketahui bersama, salah satu fakta lapangan terkait penanganan Korona ini adalah minimnya APD dari NAKES. Konon, keterbatasan itu pula menjadi salah satu alasan mulai rontoknya para NAKES akibat virus Korona. Penyebab lain adalah kepanikan yang menjalar sehingga membikin banyak orang membeli (barang) secara membabi-buta. Alih-alih ingin mengantisipasi Korona, ternyata menciptakan keterbatasan APD di pasaran. Misalnya, pelapis tangan berbahan karet dan cairan alkohol.

Nah, pengadaan APD dari pihak-pihak lain tersebut adalah bukti bahwa rasa kemanusiaan kita belum tergerus (dampak) modernisasi. Seperti kata Rostow suatu ketika, salah satu ciri dominan dari masyarakat modern adalah individualistis.

Tentu saja masih banyak bentuk positif yang hingga saat ini dilakukan oleh pihak tanpa jemu. Kesemuanya harus diapresiasi. Banyak varian yang bisa kita lakukan. Jika tidak bisa secara materi untuk melakukan, bisa juga dengan non materi. Misalnya, patuh pada himbauan untuk tidak keluar rumah dan terlihat dalam kerumunan.

Mari kita teruskan semangat baik ini dengan melakukan hal positif lain. Minimal jangan jadi bagian dari yang gandrung menyebar berita bohong. Karena kebohongan bisa menciptakan efek domino.

Klir?