Arsip Kategori: Uncategorized

Kasih Sayang yang Raib

Hari ini, hujan sedari pagi hingga jelang siang seperti gayung bersambut dengan kehadiran kabut yang seolah tak hendak menjauh dari kawasan tempat kami mengais nafkah. Tempat kerjaku di ketinggian hampir seribu meter di bawah permukaan laut (DPL) selalu saja trauma dengan tanah longsor sepanjang jalan dari desa paling ujung dan paling bawah walaupun sangat jarang terjadi kecuali di desa-desa dan kampung-kampung tetangga. Hal itu yang banyak berpengaruh secara psikologis ke kami. karena memang perbukitan-perbukitan bertanah subur yang labil mengelilingi kami.

Siang itu, pimpinan kami di kantor baru saja usai berkeliling lapangan dan melintasi beberapa desa. Rupanya di salah satu pojok jalan tikungan, beliau memerintahkan sopirnya menghentikan kendaraan tatkala ia melihat seekor monyet yang di daerah sini dibilangkan, Yaki, sedang mengejar seekor anak kucing kerempeng. Tolong ambil anak kucing itu, dan bawa ke kantor. Sang sopir dengan bersusah payah mengusir Yaki itu untuk menyelamatkan anak kucing kerempeng tersebut.

Setiba di kantor, kawan-kawan sejawatku nampak heran dan melongo saling berpandangan. Ada yang berdesis, dari mana Boss itu memungut anak kucing yang kotor dan kudisan. Dan hendak diapakan. Setelah, anak kucing kerempeng itu dibersihkan dan mengobati luka yang dicakar oleh Yaki tadi, berceritalah sejenak kepada kami, tentang asal muasal anak kucing itu. bahwa, laku menyelamatkan kucing itu adalah spontan setelah melihat anak kucing kerempeng itu tak berdaya oleh kejaran dan cengkraman yaki yang jauh lebih besar dan kuat. Spontanitas lakunya adalah gerak kasih sayang yang naluria. Semua orang memilikinya, Cuma ada orang yang selalu berusaha memaksimalkan potensi itu dan ada pula orang yang mengabaikannya.

Rasa sayang itulah yang nampak tergerus di kehidupan khalayak ramai saat ini. Ia terhijab oleh ego yang menggunung menutupi hingga ke hati kecil kita. Tertutupi oleh ketakpedulian pada alam sekitar dan semesta raya. Dalam perspektif agama Islam, kasih sayang adalah ajaran utama dari seluruh muatan ajaranNya. Sebelum memulai pekerjaan apa saja kita diperintahkan memulainya dengan ucapan basmalah “bismillahirrahmanirrahim” dengan makna yang sangat filosofis “dengan menyebut nama Tuhan yang maha pengasih dan penyayang” jadi, amatlah sangat kontras bila ada orang atawa sekelompok orang yang kerap melakukan kekerasan kepada sesama dengan mengatasnamakan Tuhannya yang maha pengasih dan penyayang.

Dalam tafsir Al Misbah, ketika mengurai surah Al fatihah, pada, Arrahmanirrahim, dari dua kata, Arrahman dan Arrahim, yang maha pengasih dan maha penyayang. Ketika seseorang membaca, Basmalah, seharusnya menghayati kekuatan dan kekuasaan Allah. Serta kasih sayangnya yang tercurah bagi seluruh makhluk. Kalau demikian itu yang selalu tertanam di dalam jiwa, maka pasti nilai-nilai luhur terjelma keluar dalam bentuk perbuatan. Karena, perbuatan merupakan cerminan dari suasana kejiwaan.

Jadi, bila kasih sayang Tuhan adalah diperuntukkan untuk seluruh makhlukNya, kenapa pula kita kerap menganeksasinya. Kemudian, kita berlaku banal dan kasar kepada sesama atau makhluk lainnya dengan mengatanamakanNya.

Beberapa dekade terakhir kita mwnyaksikan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama di negeri-negeri nun jauh mempertontonkan adegan yang tidak elok. Pemberontakan dan peperangan di mana-mana terjadi dengan pembunuhan massif anak-anak dan perempuan serta orang-orang yang tak tahu menahu kenapa ada perang di negerinya. Berimplikasi pada banyaknya manusia menjadi imigran dan mengungsi ke pelbagai negeri, kehilangan negeri yang dicintainya.

Yang paling terdekat dari negeri ini sebagai contoh adalah, pemberontakan di  Maringas, salah satu propinsi di Filipina. Sebelumnya, warganya sangat tenang menjalankan kehidupan sehari-harinya. Beragama dengan beragam keyakinan. Tapi, ketika sekelompok orang datang mentasnamakan agama ingin membentuk atawa mendirikan negara sendiri berdasarkan keyakinannya, dengan menggunakan kekerasan membabi-buta, maka hancurlah semuanya. Ketenangan dan kedamaian warga sekejap raib berubah huru hara menghancurkan segala. Dan yang pasti yang paling menderita adalah anak-anak dan perempuan. Masa depan anak-anak luntang lantung tak jelas arah entah mau kemana. Agama apa yang di usungnya sehingga gemar menebar ketakutan dan kehancuran. Tidakkah mereka tahu bahwa nabi yang katanya dijunjungnya adalah nabi welas asih. Tak berperang bila tak mempertahankan diri. Dalam perang pun kaidah-kaidah akhlakul karimah tetap dijunjungnya. Beliau melarang keras membunuh atawa melukai anak-anak dan perempuan. Kepada musuh yang sudah tak berdaya sekalipun mesti tak diserang lagi. Yang lebih damai dan menentramkan adalah, setiap kali peperangan akan dimulai, beliau mengingatkan pasukannya, bila dalam peperangan sekalipun ranting pohon takboleh dipatahkan kecuali dibutuhkan berkenaan dengan keberlanjutan kehidupan manusia. Sangat beradab bukan ? tak seperti sebagian orang-orang beragama di zaman now.

  1. Mustafa Bisri yang kerap disapa Gus Mus, memotret dan menyentil dengan keras fenomena Bergama kita di zaman now dengan amat indahnya ;

Ketika Agama Kehilangan Tuhan

 

Dulu agama menghancurkan berhala. Kini agama jadi berhala. Tak kenal Tuhannya, yang penting agamanya.

Dulu orang berhenti membunuh karena agama. Sekarang orang saling membunuh karena agama.

Dulu orang saling mengasihi karena beragama. Kini orang saling membenci karena agama

Agama tak pernah berubah ajarannya dari dulu, Tuhannya pun takpernah berubah dari dulu. Lalu yang berubah apanya? Manusianya?

Dulu orang belajar agama sebagai modal, untuk mempelajari ilmu lainnya. Sekarang orang malas belajar ilmu lainnya, maunya belajar agama saja.

Dulu pemimpin agama dipilih berdasarkan kepintarannya, yang paling cerdas diantara orang-orang lainnya. Sekarang orang yang paling dungu yang tidak bisa bersaing dengan orang-orang lainnya, dikirim untuk belajar jadi pemimpin agama.

Dulu para siswa diajarkan untuk harus belajar giat dan berdoa untuk bisa menempuh ujian. Sekarang siswa malas belajar, tapi sesaat sebelum ujian berdoa paling kencang, karena diajarkan pemimpin agamanya untuk berdoa supaya lulus.

Dulu agama mempererat hubungan manusia dengan Tuhan. Sekarang manusia jauh dari Tuhan karena terlalu sibuk dengan urusan-urusan agama.

Dulu agama ditempuh untuk mencari wajah Tuhan. Sekarang agama ditempuh untuk cari muka di hadapan Tuhan.

Esesnsi Bergama telah dilupakan. Agama kini hanya komuditi yang menguntungkan pelaku bisnis berbasis agama, karena semua yang berbau agama telah di dewa-dewakan, takkan pernah dianggap salah, tak pernah ditolak, dan jadi keperluan pokok melebihi sandang, pangan, papan. Agama jadi hobi, tren, dan bahkan pelarian karena taktahu lagi mesti mengerjakan apa.

Agama kini diperTuhankan, sedang Tuhan itu sendiri dikesampingkan. Agama dulu memuja Tuhan. Agama kini menghujat Tuhan. Nama Tuhan dijual, diperdagangkan, dijaminkan, dijadikan murahan, oleh orang-orang yang merusak, membunuh, sambil meneriakkan nama Tuhan.

Tuhan mana yang mengajarkan tuk membunuh? Tuhan mana yang mengajarkan tuk membenci? Tapi manusia membunuh, membenci, mengintimidasi, merusak, sambil dengan bangga meneriakkan nama Tuhan, berpikir bahwa Tuhan sedang disenangkan ketika ia menumpahkan darah manusia lainnya.

Agama dijadikan senjata untuk menghabisi manusia lainnya. Dan tanpa disadari manusia sedang merusak reputasi Tuhan, dan sedang mengubur Tuhan dalam-dalam di balik gundukan ayat-ayat dan aturan agama.

 

Kucing yang dipungut oleh pimpinan kami di perusahaan tempat kami mengais nafkah, setelah berhari-hari mukim di kantor mulai nampak cerah, mulai berisi tak lagi kerempeng. Luka-lukanya telah tertutupi. Tanpa diperintah, kami bergantian merawatnya. Mulai dari memberi makan dari sisa-sisa penganan kami yang sengaja disisakan. Memandikan dan menghiasinya. Dari hal-hal kecil itu kami berusaha membangun komunikasi yang saling mengasihi dan menyayangi.

 

Sumber ilustrasi:    http://islamidia.com/12-ilustrasi-kasih-sayang-manusia-di-zaman-modern-ini-bikin-miris/w644-1/

 

 

Ironi Kesadaran 2018

Banyak teman saya yang bertanya, ‘kira-kira bagaimana tahun 2018?’ Saya hanya menjawab, mungkin akan lebih baik jika pertanyaannya diubah menjadi pertanyaan yang lebih memprihatinkan, ‘kira-kira apa yang lebih mengkhawatirkan di tahun 2018?’ Bukankah kita melewati tahun 2017 ini dengan ketegangan-ketegangan sosial dan menyisakan keretakan identitas kita sendiri? Dan menurut saya tahun 2018 tentu lebih mengkhawatirkan karena ketegangan-ketegangan sosial tersebut sudah menemukan polanya di tahun ini.

Tak ada yang perlu disalahkan sebab kita semua berkontribusi dalam ketegangan yang hanya menyisakan keretakan tersebut. Hampir kita semua tak bisa menahan diri atau tak tahu menahan diri. Bahkan tak paham apa yang mesti diposting di medsos dan apa yang harus kita bagikan di medsos. Apakah maslahat atau tidak maslahat, sudah tidak menjadi pertimbangan dalam memposting atau merespon sesuatu di sosmed. Seolah tugas kita hanya mengalahkan dan selanjutnya menertawakan orang-orang yang berseberangan pandangan dengan kita.

Ironi kesadaran salah satu tantangan terbesar kita dan bahkan ancaman besar atas budaya dan peradaban manusia di masa depan. Kecendrungan yang serba instan manusia kini akhirnya mampu menurunkan derajat kesadaran masyarakat hanya pada level medsos. Kepuasan dalam membaca dan menganalisa hanya dipermukaan saja. Minat membaca buku-buku di perpustakaan semakin menurun sebab apa yang orang-orang cari sudah tersedia di internet. Orang-orang lebih senang membaca bacaan ringkas dan sederhana dan akan lebih mengasyikkan jika disertai dengan hujatan.

Yang paling ironi karena manusia kini telah lupa membedakan informasi dan kesadaran. Kemajuan teknologi informasi membuat batas-batas ruang dan waktu semakin tidak terasa. Kita bisa tahu dan bahkan menyaksikan secara ‘live’ suatu kejadian di belahan dunia sana. Bahkan kejadian yang sangat sederhana sekali pun sangat mudah untuk diketahui, seperti memancing ikan di daerah kutub. Namun manusia kini sudah tak paham bagaimana mengubah informasi menjadi sebuah kesadaran.

Mengelola informasi menjadi suatu kesadaran sangat bergantung kepada pengalaman dan bentuk-bentuk informasi yang ada di benak kita sebelumnya. Semakin kaya pengalaman dan informasi yang kita miliki, respon kita atas informasi tersebut semakin cepat dan bahkan boleh jadi kita mampu memberikan solusi jika ditemukan suatu persoalan. Tentu tidak seluruh informasi mampu kita ubah menjadi suatu kesadaran di dalam diri sebab sangat bergantung pada batas pengalaman dan informasi yang kita miliki.

Semisal suatu ketika anda melihat foto orang faqir yang sedang makan di atas tempat sampah. Keesokan harinya anda menyaksikan foto anak seorang buruh yang sedang memikul beban berat membantu ayahnya. Kemudian di hari selanjutnya anda menyaksikan sebuah berita proses belajar mengajar yang sangat tidak memadai di tempat terpencil. Besoknya lagi anda mendengarkan berita tentang seseorang yang harus menjual ginjalnya demi membiayai perkuliahan adiknya.

Berita-berita tersebut yang anda dengarkan dan saksikan –hari demi hari- tentu akan mempengaruhi kondisi kejiwaan. Hari pertama akan menyentuh perasaan. Hari kedua mulai menyayat hati dan anda mencoba untuk membantunya. Hari ketiga anda mulai mengutuknya dan sudah mulai menyalahkan. Hingga suatu saat kita akan terbiasa dengan kondisi kemiskinan dan kefaqiran dan menerima keniscayaan keberadaan seorang faqir.

Dalam kondisi tersebut, seseorang  akan mencoba memberikan alasan-alasan atas fenomena yang ada di balik kemiskinan. Sebagian mengatakan karena korupsi masih terjadi dimana-mana. Analisis lainnya akan mengatakan sebagai ujian Tuhan kepada hamba-hambaNya. Sebagian lagi akan mengatakan, kemiskinan itu karena faktor kemalasan saja karena setiap orang memiliki potensi yang unik.

Namun seperti apakah hakikat kemiskinan itu? Pertanyaan ini tidak akan terjawab di medsos. Perlu penelusuran lebih jauh agar kita bisa berada di dalam kesadaran dalam memahaminya sehingga tidak hanya sekedar menerima informasi. Membaca buku akan memperkaya penelusuran kita tentang kemiskinan. Membaca roman Oliver Twist akan menambah khazanah kita tentang kemiskinan.

Dunia saat ini dipenuhi dengan informasi dan tak ada batasnya. Justru wadah manusia yang terbatas dalam menerima informasi. Dan hanya dengan menelaah dan penelusuran yang mendalam manusia akan memperoleh kesadaran. Memutuskan diri dari buku berarti kita tidak akan tahu proses nikmatnya menelaah suata persoalan.

Maulana Rumi menggambarkan manusia kini dalam meraih hakikat seperti orang-orang yang ingin memahami gajah di malam hari yang gelap gulita. Proses yang bisa dilakukan dalam memahami gajah di malam hari yang gelap gulita adalah dengan proses meraba. Ilustrasi ini mampu menggambarkan manusia kini yang tak mampu lagi membedakan antara kesadaran dan informasi.

Komunisme yang Patah, Tumbuh dan Hilang Berganti

Akhir- akhir ini narasi G30S/PKI kembali mencuat ke publik tanah air. Seperti lazimnya, tatkala bulan September tiba, ada saja pihak yang cekatan menggiring opini publik agar terjebak pada pembahasan perihal salah satu narasi sejarah kelam Indonesia tersebut. Pada dasarnya, sebuah narasi yang ‘menjual’ selalu melahirkan tiga kubu; kubu pro, kubu kontra dan kubu moderat. Untuk kubu moderat sendiri, mereka layaknya sang dialektikawan, berupaya mencari sintesis sebuah perkara dari hasil pergumulan pihak pro (tesis) dan pihak kontra (anti tesis).

Untuk periode September tahun ini, narasi G30S/PKI mengangkat topik seputar kelayakan pemutaran kembali film (pengkhiatan) G30S/PKI. Sebagaimana kita ketahui, pemutaran perdana film tersebut dirilis pada 1984 dan tiap tahunnya diwajibkan menonton bagi segenap kalangan masyarakat Indonesia. Sementara pasca rezim Orde Baru tumbang pada 1998, film yang digarap oleh sineas Arifin C Noer tersebut akhirnya berhenti ditayangkan oleh Menteri Penerangan Letjen (Purn.) Yunus Yosfiah dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono saat itu. Hal ini sekaligus menjawab permintaan pihak Angkatan Udara yang merasa tersudutkan oleh film tersebut.[1]

Wacana pemutaran kembali film (pengkhianatan) G30S/PKI pertama kali disuarakan oleh Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo. Ia memberikan instruksi (perintah) kepada seluruh prajurit TNI AD agar menggelar nonton bersama. Wacana ini kemudian diperkuat oleh pernyataan pemerintah Jokowi yang sepakat agar diadakan pemutaran kembali film G30S/PKI, namun dengan sedikit polesan untuk menyesuaikan karakter generasi millenials hari ini, mengingat film tersebut memakan durasi 3 jam setengah dengan kualitas video hitam putih. Tentunya ini akan mengundang kebosanan bagi generasi millenials hari ini yang terbiasa mengkonsumsi produksi High Digital.

Hingga wacana tersebut bergulir, ternyata mengundang keriuhan tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Biang utama keriuhan tersebut adalah berseliwerannya berbagai fakta dan berita (hoax) yang terkadang sulit dibedakan kesahihannya oleh sejumlah kalangan masyarakat (awam dan sumbu pendek). Sesuatu yang opini (hoax) dianggap fakta dan sesuatu yang fakta hanya dipandang sebelah mata. Sehingga asumsi yang berkembang di tengah masyarakat bersifat oposisi biner, kalau anda tidak setuju terhadap film tersebut maka akan dicap antek-antek PKI dan begitupun sebaliknya.

Jika ditelusuri lebih jauh, tindakan penilaian hitam putih tersebut hadir disebabkan oleh sukarnya memisahkan unsur subjektifitas terhadap film tersebut. Subjektifitas mengacu kepada memori luka lama yang masih membekas yang kemudian diproduksi kembali agar generasi yang tidak mengalami peristiwa tersebut dapat meng-imajinasikan kejadiannya (verstehen ala Weberian). Sehingga dengan bergulirnya wacana ini, dendam lama yang telah terkubur bermuara kepada lahirnya konflik laten antara kubu tentara + kubu umat islam vis a vis kubu (keturunan) PKI. Lalu, siapakah yang paling diuntungkan dari polemik ini selain para elit yang hendak mendulang suara pada pesta demokrasi dalam waktu dekat ini (pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019).[2]

Jalan Panjang Komunisme di Indonesia

Ketika Uni Soviet runtuh di bawah kepemimpinan Gorbachev tahun 1991 yang juga diawali oleh runtuhnya tembok Berlin (bersatunya Jerman Tmur dan Jerman Barat), maka kedua peristiwa tersebut menjadi penanda resmi sebagai keruntuhan ideologi komunisme di permukaan bumi ini. Kendati kepemimpinan Negara Komunisme pertama di dunia ini – Uni Soviet –dianggap telah runtuh, tetapi ada beberapa rezim Marxis – Leninis (sebutan lain dari Komunis) yang masih mampu bertahan seperti Cina, Kuba, Laos dan Vietnam (Fakih, 2017).

Secara kelembagaan, komunisme memang dapat dihancurkan, tetapi secara ideologis ia sangat sulit bahkan mustahil dihilangkan. Melacak akar sebuah ideologi hanya mampu ditemukan dalam semesta ide individu saja sehingga untuk melawan atau menghilangkannya hanya dengan pertentangan ideologi pula (sering diistilahkan dengan perang pemikiran/gawzl fikr). Terlebih komunisme pernah mencatatkan namanya sebagai salah satu ideologi terbesar di dunia karena ia mampu berkembang biak di berbagai belahan bumi ini. Ketika Uni Soviet masih dibawah kepemimpinan Nikita Kruschev, embrio komunisme ini tumbuh kembang dengan pesat di berbagai benua seperti Amerika Latin (Kuba, Bolivia, El Salvador, Grenada, Nikaragua, Peru, dan Uruguay), Afrika (Benin, Kongo, Ethiopia, Zimbabwe dan Somalia), Asia (RRC, Vietnam, Laos, Kamboja, Philiphina dan Indonesia) (Fakih, 2017).

Di Indonesia sendiri, perkembangan komunisme terjadi di masa pergerakan nasional awal abad 20. Lebih jauh, embrio lahirnya komunisme di Indonesia adalah hasil “persetubuhan” antara organisasi sosialis ISDV dan organisasi dagang Sarekat Islam (SI). SI yang merupakan organisasi Islam pertama di Indonesia ini kemudian pecah pada 1923 menjadi 2 kubu yakni SI putih (CSI) yang dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto dan SI Merah (SI Semarang) yang dinahkodai oleh Haji Misbach. SI Merah inilah yang kemudian melebur kedalam tubuh PKI yang mana nantinya menjadi partai komunis terbesar di dunia diluar Uni Soviet. Bahkan dalam pemilu 1955, PKI masih mampu meraih posisi ke empat di bawah PNI, Masyumi dan NU.

Syahdan, jika PKI yang selama ini dipropagandakan sebagai ideologi yang anti tuhan (atheis), anti islam, maka kiranya perlu diluruskan kembali. Pasalnya, aktualisasi nilai-nilai komunisme bergantung di mana ia bersarang. Selama ini komunisme diidentikkan dengan ideologi anti Tuhan atau anti agama itu dikarenakan yang menjadi rujukan adalah komunisme Eropa. Sebagaimana jamak diketahui, karakter masyarakat Eropa dibangun di atas nilai – nilai sekulerisme sehingga wajar jika pandangan hidup seperti Atheis dan Agnostic tumbuh subur. Tetapi lain halnya tatkala komunisme berkembang di Indonesia, sebab ia berkelindan dengan karakter masyarakat indonesia yang dikenal akan sisi religiusitasnya.

Olehnya, hanya di Indonesia kita mendapati seorang komunis yang islami, seorang komunis yang haji bahkan seorang komunis yang menghafal Al-Qur’an. Datuk Tan Malaka adalah seorang komunis (tulen), tetapi ia juga adalah seorang hafidz Qur’an ketika muda. Haji Misbach adalah pemuka Islam (petinggi SI), tetapi ia juga adalah seorang komunis.[3] Pun jika ada yang tak sependapat atas pencampuran kedua ideologi tersebut, faktanya komunisme dan islam (isme) masih mampu bergandengan tangan di masa – masa awal pergerakan nasional demi satu tujuan bersama, yakni menumpas kolonialisme Belanda.

Akhirnya di tangan Soeharto lah komunisme dengan berbagai variannya menemui ajalnya. Pasca peristiwa G30S/PKI, ideologi tersebut akhirnya dikubur bersamaan dengan orang – orangnya yang dilegalkan melalui Tap MPRS XXV 1966. Kendati ia telah dikubur, tetapi kenyataannya komunisme tak jarang abstain untuk diperbincangkan bahkan setiap tahunnya terutama menjelang bulan September. Diperbincangkan bukan dalam kerangka pengembangan ilmu pengetahuan, lebih – lebih aktualisasi prinsip dalam kehidupan, namun diperdebatkan dalam kerangka propaganda kebencian. Demikianlah potret perlakuan rezim orde baru selama 32 tahun berkuasa.

Komunisme vis a vis Kapitalisme dan Islamisme

Kini kekhawatiran yang berlebihan akan bangkitnya hantu komunisme[4] beserta lembaganya (PKI) melanda sebagian masyarakat kita. Melalui analisis prematur, propaganda dan penyebaran hoax, kesadaran masyarakat dengan mudah digiring pada phobia yang berlebihan. Padahal ada kenyataan sosio – ideologis yang lebih utama untuk diwacanakan, sebab ia sedang berkembang biak menggerogoti negeri ini dan tentunya ialebih atau minimal setara bahayanya dengan komunisme jika dikonfrotasikan dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Rupa dari ideologi tersebut adalah kapitalisme dan islamisme.

Andai pun hantu komunisme mampu bangkit kembali, maka ia harus berjibaku melawan kedua ideologi besar tersebut – kapitalisme dan islamisme yang tengah menguasai tatanan masyarakat global. Bahkan Negara sekelas China yang masih mempertahankan identitas sosialismenya, faktual telah berselingkuh dengan kapitalisme dalam praktik sistem ekonominya. Mungkin kita perlu mengaminkan ramalan Fukuyama tentang akhir dari sejarah ini yang mana dimenangkan oleh rezim kapitalisme.

Selain kapitalisme, Indonesia juga sedang berada dalam cengkraman islamisme. Sekali lagi, jika kita berbicara dalam kerangka Pancasila sebagai ideologi final bagi bangsa Indonesia maka islamisme atau jamak masyarakat menyebutnya dengan radikalisme Islam pun dianggap sebagai virus bagi NKRI harga mati (price dead). Meskipun salah satu prinsip perjuangan islamisme adalah menentang neoliberalisme/kapitalisme, tetapi hal itu belum mampu mendulang suara mayoritas masyarakat islam Indonesia yang mendaku diri menganut islam Nusantara. Untuk pembahasan lebih jauh tentang poin ini, akan dibahas pada tulisan lain.

Oleh karena itu, untuk mengurangi kekhawatiran tersebut dapat diobati dengan memperbanyak membaca sejarah dan mendiskusikannya, bukan dengan membubarkan diskusi yang di dalamnya terdapat proses mencari kebenaran dan reproduksi ilmu pengetahuan. Kalaupun pemerintah dan bala tentaranya berhasil merebut kesadaran masyarakat (awam) untuk menggelar nonton bersama film G30S/PKI yang dinilai oleh sejumlah kalangan sarat akan nuansa politis dan adegan kebohongan, maka propagandakan lah film Jagal “The Act of Killing” (2013) dan Senyap “The Look of Silence” (2014) karya besutan Sineas Amerika, Joshua Oppenheimer yang berhasil meraih nominasi piala Oscar (penghargaan film bergengsi) 2016.

Sumber gambar: https://patri0tuj.deviantart.com/

 

Bahan Bacaan :

Ali Fakih, Muhammad. 2017. Biografi Lengkap Karl Marx (Pemikiran dan Pengaruhnya). Labirin.

Majalah Tempo. 2010. Tan Malaka (Bapak Republik yang Dilupakan). Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.

Ritzer, George dan Douglas J.Goldman. 2016. Teori Marxis dan Beragam teori Neo-Marxian. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

 

Internet :

http://www.idsejarah.net/2014/11/pemilihan-umum-1955.html, akses 25 September 2017

http://wawasansejarah.com/sarekat-islam/, akses 25 September 2017

https://tirto.id/mohammad-misbach-sang-haji-merah-chBV, akses 26 September 2017

http://historia.id/film/orang-orang-di-balik-penghentian-penayangan-film-pengkhianatan-g30spki, akses 26 September 2017

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160510094659-21-129620/kapan-kambuhnya-bahaya-pki/, akses 26 September 2017

https://www.voaindonesia.com/a/reaksi-sutradara-the-act-of-killing-joshua-oppenheimer-masuk-nominasi-oscar/1851030.html, akses 27 September 2017

 

Catatan Kaki:

[1]Pihak TNI – AU merasa tersudutkan oleh adanya penanyangan film G30S//PKI sebab salah satu latar yang dijadikan tempat penggarapan film tersebut adalah bandar udara Halim Perdanakusuma yang notabenenya adalah markas TNI-AU sehingga beberapa mantan perwira tinggi seperti , yakni Laksamana Madya Udara TNI (Purn.) Sri Mulyono Herlambang dan Marsekal TNI (Purn.) Saleh Basarahmendesak agar penayangan film tersebut diberhentikan. Lihat, orang- orang dibalik pemberhentian penayangan Film G30S/PKI, http://historia.id/film/orang-orang-di-balik-penghentian-penayangan-film-pengkhianatan-g30spki

[2] Prof Ariel Heryanto menganalisis selain isu “china”,  isu “bahaya PKI” juga dipropagandakan oleh kalangan elit untuk mendulang suara pada pilkada 2017 kemarin. Bahkan pada pemilu 2014, isu “bahaya komunis” dijadikan kampanye hitam untuk menyerang salah satu capres pada saat itu yakni Jokowi. Lihat : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160510094659-21-129620/kapan-kambuhnya-bahaya-pki/

[3]Haji Misbach pernah menyatakan “Komunisme mengajarkan untuk menentang kapitalisme, itu tercakup di dalam Islam. Saya menerangkan hal itu sebagai (seorang) muslim dan komunis.” ia menuliskan kalimat itu dalam artikel yang tayang di surat kabar Soeara Moeslimin, 1926. Artikel itu ditulis ketika ia telah yakin pentingnya nilai-nilai pembebasan yang dinilai juga paralel dengan prinsip-prinsip komunisme. Lihat :https://tirto.id/mohammad-misbach-sang-haji-merah-chBV

[4] Dalam karyanya, “ The Manifesto of the Communist Party” Marx menyebut komunisme sebagi hantu yang akan menghantui Eropa. Lihat, Ritzer & Goldman. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori  Neo- Marxian (2016)

Digital Parenting Karena Gawai Sebuah Keniscayaan

Seumpama hidup di tengah pusaran air yang mengepung dari segala penjuru, serupa itulah gambaran hidup manusia era kini. Tak hanya anak sekolah, bahkan yang belum bersekolah, hingga orangtua yang sudah berumur pun, yang baru beberapa hari mengenal internet, tak pelak jadi mangsa empuk teknologi. Tidak memegang gawai serasa seperti orang  bego di antara kerumunan orang-orang berponsel, yang setiap jam bahkan beberapa menit mengecek  benda yang berada di genggamannya.

Boleh dikata dialah orang pintar yang mampu menjawab setiap pertanyaan. Anak kami yang ingin mengetahui cara menangani lengan terkilir, langsung searching informasi dari Google. Dalam sekejap ia pun mendapatkan penjelasan cara penanganannya. Saya termasuk yang sering memanfaatkan fitur canggih ini untuk mencari gambar buku yang dicari oleh pelanggan toko. Pernah pula mencari  tips bagaimana membuka tutup toples yang mengeras. Di antara jurus-jurus  tersebut ada yang manjur, tak jarang ada pula yang tidak. Namun yang pasti informasi saat ini tidak lagi sesulit era sebelumnya. Bahkan bisa dikatakan, era kini era banjir informasi. Saking membanjirnya, pembaca jadi bingung sendiri ingin membaca bagian mana terlebih dulu. Semua hadir di saat yang bersamaan dan menuntut perhatian yang serentak pula. Jika tak jeli memilih bacaan digital, pembaca bisa jadi korban berita palsu (hoax).

Beberapa waktu, sebelum saya mulai menulis perihal perangkat digital, saya termasuk orang yang prihatin terhadap perkembangan penggunaan alat ini di kalangan anak-anak sekolah. Bahkan menentang memberikan fasilitas tersebut pada mereka. Paling cepat ia boleh diberikan saat anak duduk di usia kelas menengah awal. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, serta mengamati kecenderungan penggunaan pada alat ini yang semakin hari semakin tak terbendung, maka pikiran bijak pun perlahan saya kedepankan.

Ibarat berumah di tepi pantai, bersiaplah untuk belajar berenang. Menghindarkan anak dari peranti elektronik ini saat orang-orang di sekitarnya menjadikannya sebagai teman belajar, teman ngobrol, bahkan sebagai buku pintar tempat rujukan banyak soal sulit, adalah sebuah keniscayaan. Namun di satu sisi, bukan berarti pula anak-anak di bawah standar umur boleh dibiarkan bermain game dan melihat layar tanpa kendali. Pengaruh buruk tetap mengintai jika masih sangat dini anak-anak sudah dibiasakan memegang dan memainkan perangkat digital.

Pembahasan akan besarnya dampak buruk yang diakibatkan oleh anak-anak dan remaja yang kecanduan game atau pun menonton video dan berbagai permainan lainnya sudah banyak dibahas di buku dan artikel-artikel yang tersebar luas. Seperti melemahnya lobus frontalis yang membuat anak “matang semu”, ketidakmampuan anak bersosialisasi di dunia nyata akibat dominasi dunia maya yang tidak berimbang. Ada pula anak yang mengalami gangguan emosional bahkan cenderung mengarah pada gangguan kejiwaan. Begitu pula dengan menurunnya konsentrasi dan daya nalar. Sangat membahayakan jika kita mau merunut dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh peranti-peranti ini.

Namun sebagaimana yang telah saya ungkapkan di atas, suatu hal yang sangat sulit ditanamkan pada benak anak betapa gawai dan sejenisnya merupakan benda-benda yang perlu dihindari. Sementara setiap hari, setiap waktu kita sebagai orangtuanya atau orang-orang dewasa di sekitarnya umumnya menggunakan alat tersebut. Di sekolah pun guru menyuruhnya mencari informasi di internet. Setiba di rumah, ibu, ayah, dan kakak-kakaknya didapati menggunakan hampir seluruh waktunya bersentuhan dengan perangkat tersebut.

Di rumah, kami nyaris setiap hari berhubungan dengan laptop, membuka media sosial sebagai media promosi  buku ataupun hal-hal yang terkait dengan kegiatan tulis-menulis. Anak-anak menyaksikannya langsung, melihat dari dekat apa yang kami lakukan. Melakukan penjualan, diskusi, dan  menulis hal-hal yang bermanfaat, yang kesemuanya terangkum dalam satu misi, ingin memperkuat branding. Meskipun begitu, ada rasa yang kurang nyaman jika terlalu lama waktu yang saya habiskan untuk berselancar, padahal tujuan semula sudah terpenuhi. Untuk itu kami kerap memberi keterangan atau penjelasan, alasan mengapa melakukan ini dan itu pada mereka.

Kadang terbersit kerinduan pada suasana kampung halaman, hidup di desa yang belum banyak terpapar polusi teknologi. Tetapi adakah kehidupan desa yang seideal itu? Karena saat ini bahkan desa yang terpencil secara lokasi sekalipun selama jaringan operator masih bisa menjangkaunya, tetap akan terseret budaya modernitas. Kecuali akses listrik dan jaringan telekomunikasi masih sulit, mungkin di sanalah kehidupan tanpa perangkat digital akan ditemukan.

Jika situasinya sudah seperti ini, maka tak ada cara lain selain memberikan pendidikan digital sejak awal pada masyarakat umum, khususnya para orangtua dan guru sebagai pihak yang akan memberikan pengaruh besar pada perkembangan anak-anak.

Sebagai langkah awal, fase-fase ini yang perlu dilakukan menurut Yee-Jin Shin, seorang psikiater dan praktisi pendidikan anak di Korea. Saya merangkumnya dalam 3 poin berikut.

  1. Berhenti mendewakan perangkat digital.

Orangtua sendiri pun harus membatasi penggunaan perangkat digital. Selanjutnya mengganti dengan buku atau media cetak lainnya sebagai sumber referensi.

  1. Orangtua harus terus mempelajari “musuh”.

Orangtua perlu terus-menerus mempelajari segala sesuatu  yang berkaitan dengan perangkat digital dan situs-situs di dunia maya. Permainan jenis apa yang saat ini paling banyak digandrungi anak-anak, situs-situs apa yang boleh dan yang tidak layak ditonton oleh anak, dst.

  1. Orangtua harus melakukan digital clean.

Karena orangtua adalah model atau contoh bagi anak-anaknya, maka perlu waspada agar usaha membatasi penggunaan perangkat digital tidak sia-sia hanya karena anak melihat contoh pada orangtuanya sendiri. Selain itu pula orangtua perlu rutin memonitor penggunaan alat ini, agar tidak dirasuk virus-virus konten pornografi, kekerasan, dan berbagai ancaman lain yang bisa membahayakan masa depan anak.

Ajarilah anak cara berenang, bukan melarang mendekati pantai. Jika anak tahu cara berenang, ia akan selamat mengarungi lautan air yang tak bertepi. Hidup dengan menggunakan perangkat digital laksana hidup di tengah air.

 

Catatan KLPI Pekan 15

Kelas dimulai dengan suara abaaba Hajir, itu tanda forum dibuka. Setelah mengucap beberapa kata, orang pertama yang membacakan tulisannya adalah Asran Salam. “Cinta Seorang Kierkegaard,” begitu Asran Salam mengucapkan judul tulisannya. Agak lama ia mengeja tulisannya. Sekira hampir sepuluh menit. Setelah itu, satu persatu mata mempelototi naskah yang dibagikannya. Hal ini adalah kebiasaan yang sudah jadi mekanisme menggeledah tulisan. Siapa pun punya tulisan akan tetap dilucuti satusatu , entah itu soal EYD, kelogisan gagasan, keterhubungan kalimat, atau bahkan sampai soal gaya tulisan.

Tulisan Asran Salam kalau dibaca adalah esai yang menyorot sisi manusiawi filsuf eksistensialis asal Denmark: cinta. Di moment kritikal ini, ada pertanyaan yang sempat diajukan Sulhan Yusuf. Kalau tidak silap ingat adalah apakah Kierkegaard juga mengadaptasikan pandangan filsafat eksistensialisnya di saat lagi kasmaran.

Dalam tulisan Asran Salam, kasmaran filsuf ini melibatkan seorang perempuan bernama Regina. Asran Salam bilang, cinta adalah pengalaman eksistensial yang melibatkan keyakinan agar manusia dapat bertindak dan bersikap. Cinta adalah pengalaman yang ditulisnya harus menanggung konsekuensi: penantian. Sampai di sini sempat Asran Salam memapar pemikirannya lingkait filsafat eksistensialisme terutama apakah Kierkegaard mengimplementasikan filsafatnya dalam kehidupan asmaranya.

Di akhir tulisannya, Soren Abaye Kierkegaard terpaksa harus meninggalkan Regina hanya karena problem belas kasih. Ternyata, dari yang ditulis Asran Salam, cinta Kierkegaard disambut hanya dengan perlibatan belas kasih dari Regina. Cinta yang demikian bukan cinta yang sejati. Asran tulis, jalan cinta Kierkegaard adalah pilihan yang dibentang atas dasar pertimbangan filosofis. Pilihan yang disebutnya sudah jadi pilihan hidupnya.

Karena tulisan ini, juga sempat ada perbedaan konseptual soal apa yang dinyatakan cinta sebagai pengalaman eksistensial. Cinta bagaimanakah yang disebut pengalaman eksistensial? Kalau pengalaman cinta Kierkegaard dan Regina adalah fenomena eksistensial, lantas apa yang membuat dia begitu khas dari pengalaman yang semua orang rasakan? Bukankah cinta adala gejala universal? Kalau begitu, cinta khas yang bagaimanakah jika mau disebut pengalaman eksistensial? Cinta yang khas dialami seorang diri, bukan cinta yang dipersepsi oleh “kita” atau banyak orang?

***
Sekarang hari Jumat, belum ada email yang masuk. Maklum, tiap hari Jumat saya jadi orang pertama yang akan membaca tulisannya. Akibatnya, jika Jumat jelang saya bakal menunggu tulisannya via surat elektronik. Kebiasaan ini sudah dimulai dari beberapa pekan silam. Biasanya, jika matahari sudah meninggi di waktu itu pula tulisannya masuk. Kalau sudah begitu saya bakal lega.

Tapi kala sore tulisannya pun belum jua datang. Saya pikir barangkali lepas magrib tulisannya bakal masuk. Barangkali beliau masih kurang enak badan hingga memperlambat mengirim tulisan. Info ini saya dapat kala berkunjung di mukimnya di sepanjang jalan Perintis Kemerdekaan hari Kamis kemarin.

Dari anaknya yang paling gede, saya dapat kabar kalau beliau kecapean paska dari Bantaeng, kampung halamannya yang sering dikunjunginya akhirakhir ini. “Sakitki Abi kodong, kecapeanki dari Bantaeng,” begitu ucap Aqila kala saya datang bertandang.

Aqila hanya sendiri bersetia dengan tumpukan bukubuku yang dijagainya. Di waktu saya datang nampak wajahnya kelelahan, atau mungkin boring. Tak lama berselang saya menerka wajahnya yang agak kusut itu kalau tidak salah akibat memikirkan tugas akhirnya. Saya tahu itu selang setelah beberapa lama bercerita, Qila telah mengubah perencanaan penulisan penelitiannya. Dulu dia bilang bakal meneliti kecenderungan aktifitas kawula mudamudi yang disebutnya masuk kategori gerakan sosial baru. Kiwari, indikator yang dibilangnya itu adalah tipe aktifivis kampus yang senang mengikuti kegiatankegiatan programatik yang tak mengikat secara total. Aktifitas ini hanya diikat oleh kontrak secara temporal. Contoh kongkritnya dibilangnya adalah anakanak muda yang suka jadi volunteer.

Sekarang malah dia berencana bakal mengorek gerakan literasi di kampung ayahnya, Bantaeng. Penelitiannya diarahkan kepada soal –kalau tidak salah mengapa ada perbedaan minat baca anakanak muda di kota dan desa. Apa kondisi yang menyituasikannya demikian? Apa asbabnya, dan bagaimana hubungannya dengan Boetta Ilmu, komunitas yang digerakkan Ayahnya selama ini? Apakah ada signifikansinya atau tidak?

Pertanyaan pertama saat saya mendengarnya: “mengapa di Bantaeng?” Qila hanya bilang, santai, “ada Abiku bisa jadi informannya nanti.” Mendengarnya saya hanya tertawa.

Saya juga mendengar bahwa ia sedang mengumpukan bahanbahan yang berkaitan dengan perencanaan penelitiaanya. Persiapan ini sering dibilang dengan istilah reading course. Singkatnya, Qila harus banyakbanyak membaca seluruh literatur yang bisa ditemukannya yang berbicara soal seluk beluk dunia literasi.

Selang limabelas menit saya bergegas pulang, membelah punggung aspal panas yang diterpa kuning matahari. Berpacu dengan kuda besi yang meraungraung. Kota adalah kota, terutama di jalan raya waktu adalah waktu. Yang cepat pastilah yang ideal.

Namun, jelang malam tulisan yang ditunggu tak jua datang. Akhirnya, kesimpulan diambil. Masih ada hari Sabtu besok. Yakin dan percaya tulisannya bakal datang. Seperti biasanya, dia bakal menelpon atau sms bertukar kabar kalau tulisannya baru saja dikirim.

***
Menulis di kelas literasi sudah jadi program paten. Jadi bagi kawankawan yang mau terlibat maka harus mengikuti rumus ini. Setiap pekan harus membawa tulisan. Dan, di dalam KLPI setiap tulisan langsung ditakwilkan sebagai karya yang lahir dari seorang tersangka.

Karena ditulis oleh seorang tersangka, tulisannya akhirnya jadi sorotan. Logikanya, setiap omongan tersangka patut dicurigai sebagai cara untuk menutupi kesalahannya. Apalagi kalau seorang tersangka menulis, maka tulisannya pasti adalah pledoi yang dipakainya untuk menutupi dosadosa yang telah diperbuatnya. Karena itulah, di KLPI setiap tulisan mengandung dosa, tak ada tulisan yang bersih dari kesalahan.

Untuk sampai kepada tulisan yang licin, maka di kelas selama ini menggunakan dua tahapan introgatif. Pertama, karya yang dibawa bakal dibacakan (sekaligus dinarasikan), dan kedua adalah momen ktitikal dari setiap mata yang mempelototi tulisan yang disangkakan bersih oleh penulisnya.

Jadi kalau ada kawankawan yang mau ikut KLPI, maka salah berkeyakinan bahwa orangorang yang terlibat di dalamnya adalah orangorang bersih secara literatif. Justru, yang berkecimpung di dalamnya adalah tersangkatersangka yang ikut di mahkamah literasi dalam rangka membersihkan jarijarinya dari kesalahan di saat menulis. Dengan kata lain, orangorang di KLPI adalah orangorang yang banyak dosa literasinya, mulai dari EYD sampai pola gagasannya.

Kalau sudah begitu, penolakan kawankawan yang kadung menampik ikut terlibat di KLPI bisa dibilang orangorang yang mendaku telah bersih jarinya dari dosa literasi. Atau orangorang yang tak mau dihakimi tulisannya di hadapan majelis hukum literasi KLPI. Kalau begitu, sudah sampai di mana kemaksuman literatif orangorang yang menampik terlibat?

***

Ari membawa tulisan yang lumayan unik. Karya tulisnya mau dia tujukan kepada Rektor terpilih UNM. Agak tepat tulisan ini kalau disebut surat terbuka, walaupun dia memberi judul dengan mengikutkan kata catatan di dalamnya. Seperti biasa, tulisannya penuh nuansa kritik soal pendidikan.

Isu pendidikan adalah tema yang konsisten dibetot Ari. Di tulisannya kali ini dia banyak menyampir mulai dari tukang sapu kampus sampai penyelenggaraan pendidikan di UNM. Walaupun itu ditulisnya di bawah bayangbayang sebagai seorang mahasiswa UNM, tulisannya itu sekaligus bisa jadi cermin buat keadaan kampuskampus lain saat ini. Artinya esai Ari itu bergerak dari subjetivitasnya sebagai mahasiswa UNM menjadi refleksi atas keadaan objektif kampuskampus masa kiwari.

Ari bilang tulisannya ini bakal ia lombakan. Profesi, UKM Pers UNM memang saya dengar sedang membuat lomba membikin surat buat rektor barunya. Walaupun niatannya dimulai dengan pragmatisme literatif, tulisannya itu memang berangkat dari keresahannya yang hidup total di dalam lingkungan kampus.

Tulisan Ari memang mirip surat, maka pasca ia membacanya ada saran kalau lebih tepat judul tulisannya diubah jadi “Surat Terbuka Buat Rektor.” Pertimbangan ini diambil untuk mengikuti trend esai yang berkembang saat ini.Apalagi Muhiddin M. Dahlan bilang dalam bukunya Inilah Esai, esai itu seperti surat. Karena itulah tulisan yang memang mirip surat itu diberi judul eksplisit saja: Surat Terbuka Buat Rektor.

Tak tahu apakah judul karya literatifnya sudah dibuat judul baru. Soalnya Ari bilang bakal dia kirim malam harinya, batas waktu pengiriman kalau mau ikut lomba. Mudahmudahan tulisannya dapat satu posisi di situ. Ini sebagai tanda bahwa KLPI punya dampak serius dengan karyakarya yang teruji di mata publik.

***

Saya datang bersamaan hujan yang pecah pasca mendung menggelantung. Kala, buletin yang sedari Sabtu kemarin dikerjakan sudah diambil alih Hajir untuk digandakan. Makanya, saya berani menembus pecahan hujan. Tak ada Kala yang dirisaukan karena basah hujan.

Sekira lima menit menembus tirai hujan bukan soal buat KLPI. Keyakinan ini sama di mata kawankawan, akhir pekan adalah hari khusus buat kelas menulis PI.

Setiba di lokasi sudah ada beberapa yang lebih awal datang. Sulhan Yusuf, pimpinan Paradigma Institute dengan kaos oblong putih khasnya duduk diapit Asran Salam dan Muhajir tepat di sampingnya. Nampaknya mereka sedang mengobrolkan sesuatu. Saya yang baru saja tiba hanya duduk di atas jok motor mengeringkan baju yang kadung basah.

Nampaknya di hari yang sama sudah digelar sebelumnya Kelas Parenting. Itulah sebabnya ada Muchniart datang bersama dua orang lainnya, Nasrah dan Retno Sari. Mereka sibuk membolak balik buku dari pajangan yang ada di rakrak panjang TB Paradigma. Sedang di belakang mereka, Muchniart sedang mengobrolkan sesuatu dengan Mauliah Mulkin, orang yang menginisiasikan kelas parenting selama ini.

Tak lama berselang entah siapa yang menggiring kawankawan masuk di ruangan belakang tempat kelas sering dilaksanakan. Nampaknya, di dalam sudah ada Hajrah yang duduk memegang Kala. Raut mukanya agak lesu. Ternyata dia masih sakit dan baru saja datang dari Bulukumba. Tidak seperti biasa, Hajrah yang kerap bikin forum jadi ramai kali ini hanya lebih banyak diam. Barangkali akibat sakit yang dideritanya. Dia lebih banyak memerhatikan yang lain bercerita.

Seperti janjinya minggu lalu, Hajrah datang dengan membawa langsat. Sekantung plastik penuh dibawanya beserta beberapa biji rambutan. Saya yang baru saja datang tak banyak pikir langsung mengambil beberapa biji. Satu biji, dua biji, tiga biji dan seterusnya…
Tak lama saya memanggil Andang dan Sakman masuk ke dalam kelas. Dua orang ini datang berboncengan bersama saya dari awal. Andang, yang beberapa hari lalu datang dari Majene akan saya antar pulang kembali ke tempat penyewaan mobil sebelum jam tujuh nanti.

Berselang beberapa menit forum bersiap dimulai. Jam sudah hampir pukul empat sore. Hajir didaulat jadi pimpinan forum. Dia mengucap beberapa kata, tanda kelas di mulai. Sementara di luar kelas dikepung hujan. Tik tik tik, begitu bunyinya.