Hari ini, hujan sedari pagi hingga jelang siang seperti gayung bersambut dengan kehadiran kabut yang seolah tak hendak menjauh dari kawasan tempat kami mengais nafkah. Tempat kerjaku di ketinggian hampir seribu meter di bawah permukaan laut (DPL) selalu saja trauma dengan tanah longsor sepanjang jalan dari desa paling ujung dan paling bawah walaupun sangat jarang terjadi kecuali di desa-desa dan kampung-kampung tetangga. Hal itu yang banyak berpengaruh secara psikologis ke kami. karena memang perbukitan-perbukitan bertanah subur yang labil mengelilingi kami.
Siang itu, pimpinan kami di kantor baru saja usai berkeliling lapangan dan melintasi beberapa desa. Rupanya di salah satu pojok jalan tikungan, beliau memerintahkan sopirnya menghentikan kendaraan tatkala ia melihat seekor monyet yang di daerah sini dibilangkan, Yaki, sedang mengejar seekor anak kucing kerempeng. Tolong ambil anak kucing itu, dan bawa ke kantor. Sang sopir dengan bersusah payah mengusir Yaki itu untuk menyelamatkan anak kucing kerempeng tersebut.
Setiba di kantor, kawan-kawan sejawatku nampak heran dan melongo saling berpandangan. Ada yang berdesis, dari mana Boss itu memungut anak kucing yang kotor dan kudisan. Dan hendak diapakan. Setelah, anak kucing kerempeng itu dibersihkan dan mengobati luka yang dicakar oleh Yaki tadi, berceritalah sejenak kepada kami, tentang asal muasal anak kucing itu. bahwa, laku menyelamatkan kucing itu adalah spontan setelah melihat anak kucing kerempeng itu tak berdaya oleh kejaran dan cengkraman yaki yang jauh lebih besar dan kuat. Spontanitas lakunya adalah gerak kasih sayang yang naluria. Semua orang memilikinya, Cuma ada orang yang selalu berusaha memaksimalkan potensi itu dan ada pula orang yang mengabaikannya.
Rasa sayang itulah yang nampak tergerus di kehidupan khalayak ramai saat ini. Ia terhijab oleh ego yang menggunung menutupi hingga ke hati kecil kita. Tertutupi oleh ketakpedulian pada alam sekitar dan semesta raya. Dalam perspektif agama Islam, kasih sayang adalah ajaran utama dari seluruh muatan ajaranNya. Sebelum memulai pekerjaan apa saja kita diperintahkan memulainya dengan ucapan basmalah “bismillahirrahmanirrahim” dengan makna yang sangat filosofis “dengan menyebut nama Tuhan yang maha pengasih dan penyayang” jadi, amatlah sangat kontras bila ada orang atawa sekelompok orang yang kerap melakukan kekerasan kepada sesama dengan mengatasnamakan Tuhannya yang maha pengasih dan penyayang.
Dalam tafsir Al Misbah, ketika mengurai surah Al fatihah, pada, Arrahmanirrahim, dari dua kata, Arrahman dan Arrahim, yang maha pengasih dan maha penyayang. Ketika seseorang membaca, Basmalah, seharusnya menghayati kekuatan dan kekuasaan Allah. Serta kasih sayangnya yang tercurah bagi seluruh makhluk. Kalau demikian itu yang selalu tertanam di dalam jiwa, maka pasti nilai-nilai luhur terjelma keluar dalam bentuk perbuatan. Karena, perbuatan merupakan cerminan dari suasana kejiwaan.
Jadi, bila kasih sayang Tuhan adalah diperuntukkan untuk seluruh makhlukNya, kenapa pula kita kerap menganeksasinya. Kemudian, kita berlaku banal dan kasar kepada sesama atau makhluk lainnya dengan mengatanamakanNya.
Beberapa dekade terakhir kita mwnyaksikan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama di negeri-negeri nun jauh mempertontonkan adegan yang tidak elok. Pemberontakan dan peperangan di mana-mana terjadi dengan pembunuhan massif anak-anak dan perempuan serta orang-orang yang tak tahu menahu kenapa ada perang di negerinya. Berimplikasi pada banyaknya manusia menjadi imigran dan mengungsi ke pelbagai negeri, kehilangan negeri yang dicintainya.
Yang paling terdekat dari negeri ini sebagai contoh adalah, pemberontakan di Maringas, salah satu propinsi di Filipina. Sebelumnya, warganya sangat tenang menjalankan kehidupan sehari-harinya. Beragama dengan beragam keyakinan. Tapi, ketika sekelompok orang datang mentasnamakan agama ingin membentuk atawa mendirikan negara sendiri berdasarkan keyakinannya, dengan menggunakan kekerasan membabi-buta, maka hancurlah semuanya. Ketenangan dan kedamaian warga sekejap raib berubah huru hara menghancurkan segala. Dan yang pasti yang paling menderita adalah anak-anak dan perempuan. Masa depan anak-anak luntang lantung tak jelas arah entah mau kemana. Agama apa yang di usungnya sehingga gemar menebar ketakutan dan kehancuran. Tidakkah mereka tahu bahwa nabi yang katanya dijunjungnya adalah nabi welas asih. Tak berperang bila tak mempertahankan diri. Dalam perang pun kaidah-kaidah akhlakul karimah tetap dijunjungnya. Beliau melarang keras membunuh atawa melukai anak-anak dan perempuan. Kepada musuh yang sudah tak berdaya sekalipun mesti tak diserang lagi. Yang lebih damai dan menentramkan adalah, setiap kali peperangan akan dimulai, beliau mengingatkan pasukannya, bila dalam peperangan sekalipun ranting pohon takboleh dipatahkan kecuali dibutuhkan berkenaan dengan keberlanjutan kehidupan manusia. Sangat beradab bukan ? tak seperti sebagian orang-orang beragama di zaman now.
- Mustafa Bisri yang kerap disapa Gus Mus, memotret dan menyentil dengan keras fenomena Bergama kita di zaman now dengan amat indahnya ;
Ketika Agama Kehilangan Tuhan
Dulu agama menghancurkan berhala. Kini agama jadi berhala. Tak kenal Tuhannya, yang penting agamanya.
Dulu orang berhenti membunuh karena agama. Sekarang orang saling membunuh karena agama.
Dulu orang saling mengasihi karena beragama. Kini orang saling membenci karena agama
Agama tak pernah berubah ajarannya dari dulu, Tuhannya pun takpernah berubah dari dulu. Lalu yang berubah apanya? Manusianya?
Dulu orang belajar agama sebagai modal, untuk mempelajari ilmu lainnya. Sekarang orang malas belajar ilmu lainnya, maunya belajar agama saja.
Dulu pemimpin agama dipilih berdasarkan kepintarannya, yang paling cerdas diantara orang-orang lainnya. Sekarang orang yang paling dungu yang tidak bisa bersaing dengan orang-orang lainnya, dikirim untuk belajar jadi pemimpin agama.
Dulu para siswa diajarkan untuk harus belajar giat dan berdoa untuk bisa menempuh ujian. Sekarang siswa malas belajar, tapi sesaat sebelum ujian berdoa paling kencang, karena diajarkan pemimpin agamanya untuk berdoa supaya lulus.
Dulu agama mempererat hubungan manusia dengan Tuhan. Sekarang manusia jauh dari Tuhan karena terlalu sibuk dengan urusan-urusan agama.
Dulu agama ditempuh untuk mencari wajah Tuhan. Sekarang agama ditempuh untuk cari muka di hadapan Tuhan.
Esesnsi Bergama telah dilupakan. Agama kini hanya komuditi yang menguntungkan pelaku bisnis berbasis agama, karena semua yang berbau agama telah di dewa-dewakan, takkan pernah dianggap salah, tak pernah ditolak, dan jadi keperluan pokok melebihi sandang, pangan, papan. Agama jadi hobi, tren, dan bahkan pelarian karena taktahu lagi mesti mengerjakan apa.
Agama kini diperTuhankan, sedang Tuhan itu sendiri dikesampingkan. Agama dulu memuja Tuhan. Agama kini menghujat Tuhan. Nama Tuhan dijual, diperdagangkan, dijaminkan, dijadikan murahan, oleh orang-orang yang merusak, membunuh, sambil meneriakkan nama Tuhan.
Tuhan mana yang mengajarkan tuk membunuh? Tuhan mana yang mengajarkan tuk membenci? Tapi manusia membunuh, membenci, mengintimidasi, merusak, sambil dengan bangga meneriakkan nama Tuhan, berpikir bahwa Tuhan sedang disenangkan ketika ia menumpahkan darah manusia lainnya.
Agama dijadikan senjata untuk menghabisi manusia lainnya. Dan tanpa disadari manusia sedang merusak reputasi Tuhan, dan sedang mengubur Tuhan dalam-dalam di balik gundukan ayat-ayat dan aturan agama.
Kucing yang dipungut oleh pimpinan kami di perusahaan tempat kami mengais nafkah, setelah berhari-hari mukim di kantor mulai nampak cerah, mulai berisi tak lagi kerempeng. Luka-lukanya telah tertutupi. Tanpa diperintah, kami bergantian merawatnya. Mulai dari memberi makan dari sisa-sisa penganan kami yang sengaja disisakan. Memandikan dan menghiasinya. Dari hal-hal kecil itu kami berusaha membangun komunikasi yang saling mengasihi dan menyayangi.
Sumber ilustrasi: http://islamidia.com/12-ilustrasi-kasih-sayang-manusia-di-zaman-modern-ini-bikin-miris/w644-1/
Penulis. Telah menerbitkan beberapa buku kumpulan esai dan puisi di antaranya Jejak Air mata (2009), Melati untuk Kekasih (2013), Dari Pojok Facebook untuk Indonesia (2014), Tu(h)an di Panti Pijat (2015). Anging Mammiri (2017), Menafsir Kembali Indonesia (2017), Dari Langit dan Bumi (2017). Celoteh Pagi (2018), Di Pojok Sebuah Kelenteng (2018), dan Perjalanan Cinta (2019).