Merdeka! Ya, Berbuku

Dua hari setelah HUT RI ke-74, persisnya, hari Senin,  19 Agustus 2019, sekira pukul 09.00, saya sudah menyata di Aula Kantor Lurah Ereng-Ereng, Kecamatan Tompo Bulu, Bantaeng. Rintik hujan jatuh perlahan  membasahi pepohonan, masih enggan menderas. Seolah hanya menyapa saja. Padahal, pohon cengkeh telah menengadahkan daunnya, buat memandikan diri, sebab mulai kering kerontang. Maklum, musim kemarau mulai mencicil safarnya. Tentu, bukan saja cengkeh, tanaman lain , semisal kopi dan cokelat, pun berharap sama.

Sesarinya, Kelurahan Ereng-Ereng  adalah penghasil cengkeh, kopi, dan cokelat. Sebagian besar penduduknya berkebun. Dan, di negeri ini terdapat satu komunitas literasi, Sudut Baca Al-Syifa, usianya akan memasuki tahun ke-5. Dari komunitas inilah, muncul gagasan garib, ingin memperingati Kemerdekaan RI ke-74, dengan cara berdonasi buku kepada tiga sekolah dasar, yang ada di Ereng-Ereng.

Para pegiat di komunitas literasi, mengkonsolidasikan diri, lalu membentuk tim relawan donasi. Mereka menamakan diri Relawan Bakti 74. Singkatnya, Sudut Baca Al-Syifa dan Relawan Bakti 74, menggalang dana, buat membeli buku bacaan anak-anak, guna didonasikan pada tiga sekolah dasar, masing-masing: SD Inpres Ganting, SD Inpres Asaya, dan MIS Muhammadiyah. Setiap sekolah mendapatkan buku sejumlah 74 eks. Selaras dengan angka peringatan kemerdekaan ke-74.

Mengapa mesti buku? Menuurut  mereka, yang diwakili oleh Ahmad Rusaidi, dipilihnya buku sebab momen ini menjadi bagian dari gerakan literasi. Juga para donator lebih mudah terjangkau kemampuan donasinya. Mereka hanya diminta berpartisipasi,  sesuai dengan kemampuan masing-masing. Pun, donasi buku ini, semacam upaya untuk memberikan perspektif baru tentang amal jariah, bahwasanya dengan menyumbang dalam bentuk buku, tidak kalah amaliahnya dengan sumbangan materil lainnya. Bahkan, jangkauannya bisa mencapai generasi berikutnya.

Sedari mula saya menyata di persamuhan ini, saya sudah merasakan aura positif mewujud. Haru dan bahagia menghidu segenap penghadir. Tercermin pada rona muka berseri, laiknya buah cengkeh yang ranum, harum baunya. Nampak ketulusan mengiringi, layaknya mekar bunga kopi, putih bersih, mengundang kumbang-kumbang.  Tekad membatu bak buah coklet, indah kemerahan nan cantik kecokelatan.

Perhelatan kali ini, saya didapuk untuk mengantarkan pokok-pokok pikiran. Satu topik orasi budaya, bertema “Merayakan Kemerdekaan dengan Buku”.  Saya pun memulainya dengan mengurai keberadaan buku mampu mengubah dunia. Peradaban-peradaban besar nan monumental, sekaligus menjadi peradaban buku. Buku adalah kunci peradaban.

Indonesia merdeka, juga buku-buku berperan besar. Para pendiri bangsa adalah orang-orang yang bersetubuh dengan buku. Baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis buku. Tengoklah Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Syahrir, dan lainnya. Tentu era sebelum generasi proklamator, tak bisa diabaikan. Sebagai misal, Tjokroaminoto. Sekotahnya hingga kini, pikiran-pikirannya masih bisa dieja. Mereka mewariskan pikiran-pikiran masa depan bangsa, lewat buku-bukunya. Bolehlah saya tabalkan, bangsa ini merdeka, dipandu salah satunya oleh buku-buku. Kemerdekaan diraih dengan buku. Singkatnya, buku memerdekakan.

Bagaimana di era kiwari ini? Pun semestinya, kemerdekaan diisi dengan buku. Bangsa ini harus menjadikan buku sebagai lapik dalam membangun sumber dayanya. Rakyat harus diakrabkan pada buku. Rakyat mesti mencintai buku. Rakyat kudu bersetubuh dengan buku. Pengurus negeri ini, selaiknya bertanggung jawab  agar buku diakrabi, dicintai, dan disetubuhi oleh rakyat. Bukan sebaliknya, mengabaikan fasilitas perbukuan, apatah lagi ikut melibatkan diri dalam razia buku. Pastinya, merdeka berbuku.

Apa yang digiatkan oleh pegiat literasi di Ereng-Ereng, merupakan bagian dari upaya  agar buku memerdekakan dan merdeka berbuku. Konteks kekiniannya, dengan buku memerdekakan dari keterpurukan, ketertinggalan, kebodohan, kedegilan, dan intoleran. Lalu mengasupi jiwa warga dengan makanan bergizi tinggi, berupa pikiran positif, sikap solidaritas, upaya sinergi, usaha lantip, dan rasa toleran.

Pada tataran yang lebih nyata, tindakan menggalang donasi buku ke tiga sekolah dasar, di Ereng-Ereng, adalah jawaban taktis atas tidak berjalannya Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Perkara utama dari GLS, terletak pada minimnya bahan bacaan dan akses pada bacaan. Perpustakaan sekolah belumlah memadai mendukung GLS. Dana untuk pengadaan buku bacaan, belum menjadi prioritas. Nah, tindakan berdonasi, hanyalah pemantik. Sekadar contoh jalan keluar. Masih bisa dikembangkan lebih variatif.

Bukankah dalam GLS siswa dimestikan untuk membaca buku selama 10-15, sebelum mata pelajaran pertama dimulai? Dan, buku yang dibaca bukan buku mata pelajaran. Artinya, buku bacaan anak, bernuansa karya sastra dan pengetahuan umum. Sehingga, amat tepatlah gerakan berdonasi ini, mendonasikan buku bacaan anak-anak. Patut diajukan dua jempol atas kegiatan ini. Satu tindakan lantip di saat peringatan kemerdekaaan negeri, HUT NKRI ke-74.

Penabalan maksim peringatan kemerdekaan ke-74, berbunyi, “SDM Unggul, Indonesia Maju.”  Secara sederhana bisa dimaknai, bahwa jika Indononesia ingin maju, maka perbaiki SDM-nya, bangunlah jiwanya. Lalu, bagaimana melahirkan SDM yang unggul? Salah satu jawabannya, pilihan tertuju pada tingkat literasi bangsa yang harus tinggi.  Bangsa maju, pasti tradisi baca tulisnya tinggi, budaya literasinya nyata. Dan, buku adalah lapik utamanya.

Merayakan kemerdekaan dengan buku, tiada lain maksudnya, bahwa kemerdekaan bangsa diraih karena ada peran buku-buku  memicu perang kemerdekaan. Selebihnya, kala kemerdekaan sudah diraih, lalu ingin merayakannya, maka buku-buku masih merupakan kado terindah dan terdepan untuk diajukan. Bangsa ini harus merdeka dalam  buku. Merdeka, berarti berbuku.

Dari kejauhan, sayup terdengar suara toa masjid. Lantunan ayat-ayat suci al-Quran berkumandang. Saya segera mengakhiri orasi budaya. Setelahnya, penyelenggara kegiatan menyerahkan paket donasi buku pada tiga sekolah dasar, melalui para kepala sekolahnya. Momen penyerahan ini menutup persamuhan. Selanjutnya, saya diajak ke markas komunitas literasi, Sudut Baca Al-Syifa, guna istirahat sambil santap siang.

Menyantap suguhan pegiat literasi sungguh nikmat tiada kira. Mungkin karena dimasak  dengan bumbu ketulusan, dan disajikan bersama keikhlasan. Hujan turun agak deras, menyemangati santap siang. Saya keteteran, lupa sabda Nabi, makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Sepertiga makanan, sepertiga air minum, dan sepertiga  buat bernafas, pun terlewatkan.

Akibatnya, setelah makan, sempat tertidur  di kursi. Saya mirip ular yang telah memangsa buruannya, diam tenang . Apalagi, hujan cukup deras membenarkan laku saya ini. Begitu terbangun, sekira pukul 14.00, hujan berhenti. Saya pun meraib.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *