Lebih Dari Sekedar Tubuh (Cerita tentang mitos kemuliaan perempuan)

Sebagai seorang mahasiswa disalah satu kampus ternama, di kawasan Indonesia Timur, Anggun  memang memiliki kebanggan besar. Meskipun ia sendiri tidak memiliki pemahaman yang memadai, tentang rasa kebanggan itu. Yang jelas ia bangga dengan kampusnya. Mungkin, perasaan ini seperti cinta, yang seringkali tak memiliki alasan yang jelas. “Pokoknya, aku bangga dengan kampus ini,” gumam Anggun.

Tentu, kebanggan ini berasal dari berbagai pengalamannya, menghabiskan waktu di kampus, yang membuatnya dikelilingi teman-teman baik, dan menghiasi hari-harinya dengan canda tawa. Anggun menyadari, meskipun sebenarnya kehidupan kampus adalah wahana ilmu pengetahuan, namun rasa-rasanya ia begitu nyaman dengan kondisi ini. Kuliah, belajar, dan diskusi seperlunya, serta bersenang-senang, dengan kekonyolan masing-masing.

Sebagai perempuan muda dan berkulit putih, Anggun juga sering menggunakan jilbab, dan pakaian yang menutupi kulit serta lekuk tubuhnya. Anggun menganggap, tubuhnya merupakan simbol kesucian. Setidaknya, itulah kesimpulan yang bisa ia pahami, dalam setiap ceramah agama, tentang kesucian dan kemuliaan perempuan. Anggun selalu berusaha sejauh mungkin, untuk menjaga tubuhnya, agar tidak dijamah oleh lelaki yang bukan muhrimnya. Ia percaya, bahwa menjaga tubuhhnya untuk tidak dilihat, apalagi disentuh oleh lelaki, merupakan bagian dari usaha untuk menjaga kesucian yang merupakan bentuk kemuliaan seorang perempuan.

Tubuh dan Kesuciannya

Kesucian tubuh perempuan, seringkali digambarkan seperti sebuah permen, yang terbuka dari bungkusnya, dan dikerumuni oleh banyak semut penerkam. Berbeda jika permen itu, tertutup dengan bungkusnya. Tak peduli seenak dan semanis apapun permen itu, semut tak akan bisa menjangkau, dan menerkam permen itu. Tentu ini sebuah analogi yang sangat mudah dipahami, untuk menggambarkan kesucian perempuan. Seorang perempuan yang tertutup dengan jilbab dan pakaiannya, akan lebih mudah terlindungi dari sentuhan siapapun. Mudah untuk berpikir, bahwa berhasil menjaga kesuciaan, akan memperoleh kemuliaan, sebagai perempuan.

Dalam nuansa agama, konsep kesucian memang cenderung luas dan lebih dalam dari pemahaman yang berkembang di masyarakat. Diberbagai fatwa agama, lelaki diminta untuk menjaga perilaku dan pandangan, agar mencegah terjadinya tatapan menarik hingga sentuhan, antara lelaki dan perempuan yang bukan jodoh (suami-istri). Bahkan, seorang lelaki diancam dengan model penyiksaan yang pedih, diakhirat kelak, ketika ia dengan sengaja, menyentuh kulit perempuan. Sebegitu berbahaya apakah, hingga seorang lelaki yang menyentuh tubuh perempuan, akan mendapatkan siksaan yang pedih di akhirat?

Pemahaman ini, membuat Anggun mengerti, bahwa menjaga tubuh dari sentuhan lelaki, sangat penting bagi seorang perempuan, dan merupakan sebuah keharusan. Begitu besarnya akibat yang diberikan kepada lelaki yang menyentuh tubuh perempuan, membuat perempuan menyadari, betapa mulianya kesucian tubuhnya. Tak jarang, bagi perempuan yang begitu mendalami ajaran agama, ia begitu menyesal jika kulitnya disentuh lelaki. Tentu tak bisa terpikirkan, jika sentuhan ini, sampai membuah keperawanannya hilang.

Tubuh perempuan, memang dianggap sebagai sesuatu yang begitu sakral. Disitu terdapat keindahan, dan tanggung jawab besar, yang bahkan bisa meruntuhkan langit dan bumi. Begitu kira-kira agama memandang tubuh perempuan, secara filosofis. Dikalangan masyarakat sendiri, konsep ini dipahami sebagai sebuah kesucian, yang harus benar-benar dijaga oleh perempuan. Dalam tubuh perempuan, ada kesucian yang bersemayang. Apabila tubuh itu disentuh dan kehilangan keperawanan, maka kesucian perempuan pun hilang bersamanya. Hal inilah yang membuat, perempuan menjaga tubuhnya. Karena jika tidak, maka kesucian direnggut, dan kemuliaannya sebagai perempuan, juga ikut lenyap.

Anggun dan banyak perempuan lainnya, meyakini konsep kesucian dan kemuliaan perempuan seperti ini. Menjaga tubuh, agar tetap dinilai suci, merupakan hal wajib yang harus dilakukan. Jika tidak, maka harga diri sebagai perempuan, bisa hilang dalam sekejap. Tak peduli apapun alasannya. Tubuh sangat penting untuk dijaga.

Mempertahankan Tubuh dan Kesucian

Hingga suatu saat, Anggun mendapatkan perilaku keji dari seorang lelaki, di kampus yang dibanggakannya itu. Ia dijegal oleh seorang lelaki, saat selesai mengerjakan beberapa tugas kampus di salah satu gedung perkuliahan. Suasana kampus yang sepi, dan langit yang mulai menghitam, dimanfaatkan dengan baik oleh lelaki itu, untuk memanggil Anggun mendekat ke tempatnya yang sunyi, dan tengah sendirian. Merasa tidak enak, Anggun pun mendekat, dan berbincang santai.

Beberapa saat kemudian, alur pembicaraan mulai mengarah ke pembahasan yang seksis. Anggun merasakan itu dengan baik. Sebagai perempuan yang sudah cukup dewasa, ia mengerti dengan narasi yang diucapkan lelaki paruh baya itu. Ia pun mulai merasa risih, dan memutuskan untuk menjauh, dan segera pulang ke rumahnya.

Mendapati suasana seperti ini, sang lelaki pun dengan sigap, menarik tubuh Anggun, dan menyeretnya ke salah satu ruangan yang cukup dekat, namun tersembunyi. Tubuh yang tidak lebih kuat dari lelaki, membuat Anggun dengan mudah ditarik, dan masuk ke tempat yang diinginkan lelaki itu.

Ia meronta sejadi-jadinya. Ia berteriak sekuat tenaga, namun tak kunjung ada pertolongan. Lagi-lagi, suasan yang sunyi, dan lokasi kejadian yang cukup tersembunyi, membuat perlawanan Anggun sia-sia dibekam oleh tubuh kekar dan kuat oleh lelaki itu. Anggun pun mulai menyadari, bahwa kemampuan perlawanan dari tubuhnya mulai terasa hampir mencapai puncak. Tubuh yang Lelah dihantam banyaknya tugas dan aktivitas perkuliahan, tentunya tak memberikan harapan yang lebih besar, untuk melakukan perlawanan dan terlepas dari bekaman lelaki bejat tersebut.

Akhirnya, dengan tubuh yang kerkulai lesu dan lemah, Anggun menyadari bahwa tubuhnya sedang diganyang oleh lelaki tersebut, dengan penuh nafsu. Ia melihat dengan jelas, bagaimana mulut dan tangan lelaki itu, begitu lincah menjelajahi seluruh bagian tubuhnya. Tubuh yang lunglai, bersandar dengan lemah, dilantai yang lembab. Suara dan tenaganya sudah habis untuk melakukan perlawanan. Satu-satunya yang tersisa, hanyalah hati yang terus meronta, dan perasaan yang berharap datangnya pertolongan, entah dari mana pun itu.

Tak berlangsung lama, Anggun menyadari bahwa keperawanannya telah hilang. Tubuhnya bergetar dingin, keringatnya terus bercucuran, dan hatinya yang terus memaki perlaku bejat si lelaki. Hingga semuanya pun selesai, Anggun berjalan dengan lunglai, menuju ke rumahnya. Tubuhnya yang lemah, perasaanya yang hancur, membuatnya tidak bisa berbuat banyak saat tiba dirumah, selain mengurung diri di kamar mandi, menyalakan air, dan menangis sejadi-jadinya.

Ia begitu merasakan, betapa langit dan bumi runtuh dalam sekejap. Keperawanannya telah hilang, kesuciannya telah direnggut, dan kemuliaannya telah sirna. Baginya saat ini, tak ada lagi yang bisa dipikirkan, selain penyesalan atas peristiwa terburuk yang menimpa dirinya, di kampus yang begitu ia banggakan.

Bayang-bayang peristiwa itu, terus menari di pikirannya. Anggun tak bisa menyembunyikan penyesalan dan sakit hatinya, karena peristiwa itu. Ia tak kuasa menahan mulut dan tubuhnya untuk meronta, dan menceritakan kebengisan ini, kepada beberapa kawan yang dipercayainnya. Sontak, peristiwa ini membuat teman-temannya marah, dan membuat permasalahan ini, gempar dikalangan mahasiswa. Selain sebuah Tindakan kekerasan seksual, pelakunya juga merupakan seorang kakak tingkat, yang cukup terkenal dan disegani banyak mahasiswa lainnya. Meskipun kita menyadari, bahwa siapa dan bagaimanapun status sosial seseorang, ia tetaplah pelaku kejahatan seksualitas.

Demi Nama Baik Kita Semua

Setelah kabar tak sedap ini beredar begitu cepat dikalangan mahasiswa, pihak birokrasi kampus segera melakukan pemanggilan, dan penanganan terhadap kasus kekerasan seksual ini. Anggun menyadari, meskipun penanganannya terbilang lambat, karena dirinya sudah sejak lama memasukan pelaporan ini kepada pihak kampus, namun ia tetap berharap besar, pihak kampus dapat mengambil langkah bijak, untuk memberikan hukuman, dan setidaknya memberikan ketenangan kepadanya, sebagai seorang korban.

Namun, harapan tak sesuai kenyataan. Bukannya malah mengambil langkah tegas secepat mungkin, untuk menangkap dan memberikan sanksi kepada pelaku. Pihak birokrasi kampus, masih melakukan koordinasi dengan seluruh pihak terkait, meski seluruh bukti telah terpampang jelas, dan ketentuan hukumannya pun telah diatur dengan rinci dalam tata cara penanganan kasus kekerasan seksual, di lingkungan kampus. Alasannya, tak perlu diragukan lagi. “Kami lakukan ini, demi nama baik kampus dan martabat kita semua,” ungkap pimpinan kampus dengan lembut.

Setelah beberapa saat, Anggun kembali menerima beberapa pertanyaan tajam dan sinis, dari beberapa petinggi di kampus. Ia memahami, bahwa berbagai pertanyaan itu, ditunjukan untuk mengetahui dengan baik, bagaimana kelalaiannya dalam menjaga diri, tubuh dan kesucian, serta kemuliaannya sebagai perempuan.

Nyatanya, kampus dengan segudang prestasi dan rating di atas rata-rata pun, tak mampu memahami persoalan ini secara sederhana. Lagi-lagi, ada harga diri dan martabat kampus yang dipertahankan. Bagi birokrasi kampus, ini bukan sekedar kasus kekerasan seksual. Lebih dari itu, terbukannya kasus busuk seperti ini, di kampus yang terkenal, akan sangat merusak citra dan moralitas kampus, bersama orang-orangnya.

Dengan pengalaman puluhan tahun menjadi Dosen, beserta buku dan berkas yang bertumpuk di meja mereka, tak mampu memahami bahwa, ada kemanusiaan yang rusak, dan hati yang gelap, untuk berempati terhadap penderitaan seseorang.

Kampus pun mengambil langkah damai, dengan berharap bahwa aktivitas kuliah bisa kembali lancar, Anggun dan lelaki bejat itu bisa berdamai, dan suasana kampus kembali steril, serta  mahasiswanya kembali sibuk mengerjakan banyaknya tugas perkuliahan. Kampus pun tak memberikan hukuman tegas, karena sang lelaki yang cukup terkenal. Menghukumnya akan menimbulkan berbagai pertanyaan kepada pihak kampus, yang membuat birokrasi terus tenggelam dengan masalah tersebut.

Teguran internal diberikan kepada sang lelaki, agar tidak mengulang kesalahannya lagi. Sementara Anggun, diminta bersabar, dan lebih berhati-hati jika beraktifitas di kampus yang telah sunyi.

Seperti banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual lainnya, Anggun juga tidak menerima perlakuan adil. Kampus yang begitu dibanggakannya, berubah menjadi sarang para manusia munafik, busuk, dan terus menyuburkan perilaku keji.

Dilema Perlawanan

Anggun merasa kampus tak kunjung berperilaku adil, dalam menangani kasusnya. Perasaan sakit hati, mendorongnya untuk terus berjuang, mencari keadilan. Ia menginginkan adanya sikap tegas, dari pihak kampus, untuk menghukum mereka yang bersalah.

“Jika tak mendapatkan sikap tegas, maka perilaku seperti ini pasti akan terus berulang,” gumam Anggun.

Baginya, keperawanan yang telah direnggut oleh lelaki itu, tak bisa ternilai dengan apapun. Itu merupakan simbol kesucian dan kemulian seorang perempuan, yang telah dirampas dan dirusak dalam sekejap.

Banyak orang juga berpikir, bahwa seorang perempuan yang tak mampu mempertahankan keperawanannya seperti ini, adalah perempuan jalang yang tak suci dan hilang kemuliaannya.

Namun, alih-alih mendapatkan dukungan dari pihak kampus dan masyarakat. Anggun justru menerima narasi yang menyakitkan, dan membuatnya dilema luar biasa. Disisi lain, ia ingin memperjuangkan haknya, namun bertabrakan dengan martabanya yang terus terancam.

Mudah untuk mengetahui, bahwa masalah kekerasan seksual, adalah hal yang tabu, sekaligus sangat menarik untuk diketahui oleh banyak orang. Kenapa sangat tabu? Karena seksualitas adalah sesuatu yang sangat intim, yang seharusnya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Dan kenapa sangat menarik, karena keperawanan, dianggap sebagai simbol kemuliaan perempuan. Tentu, perempuan yang tidak lagi mulia, akan mudah dianggap sampah, dan orang lain akan berpikiran berkali-kali, jika harus berurusan bahkan menjalin hubungan serius dengan perempuan seperti itu.

Dengan kondisi batin yang masih terus tertekan, Anggun menerima nasihat dari berbagai Dosen di kampusnya, untuk menghentikan persoalan ini, dan kembalilah untuk fokus menyelesaikan kuliah. “kuliah yang benar, dan cepat. Ketika lulus, jadilah perempuan sukses, dan kau bisa berkuasa, untuk menghukum mereka, para predator seksual,” begitu kira-kira, narasi Dosen, saat menasehati Anggun.

Kebimbangan mulai bergelora dengan kuat di dalam dadanya. Jika kasus ini terus diperbesar, maka akan semakin banyak, mahasiswa dan masyarakat mengetahui, bahwa ia adalah korban kekerasan seksual, yang kini tak lagi suci, karena keperawanannya telah hilang. Namanya akan disebut-sebut, sebagai perempuan tanpa kemuliaan, yang tak pantas untuk diikuti oleh orang lain. Bahkan, bisa-bisa harus dijauhi.

Nama Anggun mulai ramai diperbincakangkan, baik oleh mahasiswa dan masyarakat di kampungnya. Ia diketahui, sudah dalam kondisi yang tidak perawan, tidak suci, dan berlumuran dosa dan kehinaan. Anggun pun terus merasa bimbang, sembari batinnya terus bergejolak. Rasa-rasanya, dengan banyaknya tekanan ini, ia tak mampu lagi melawan. Bukan hanya melawan tersangka, dan pihak kampus yang harusnya bertanggung jawab, ia juga tak mampu menahan pandangan buruk dari masyarakat, tentang kesuciannya yang telah hilang dan direnggut oleh lelaki sialan itu.

Terbukannya kasus Anggun secara umum, dapat membuat dirinya didiskriminasi, akibat kehilangan keperawanan, kesucian dan kemuliaan sebagai seorang perempuan. Dimasyarakat kita, kesucian seorang perempuan, sangat lekat dengan tubuh, yang berarti ketika tidak mampu dijaga oleh perempuan itu, maka ia tak lagi memiliki kehormatan sebagai perempuan.

Tentunya, sebagai seorang perempuan, Anggun sangat malu, jika kabar tentang keperawannya yang telah direnggut ini, beredar terus dikalangan mahasiswa dan masyarakat. Pilihan untuk menghentikan penanganan kasus, dan menutup masalah ini, menjadi satu-satunya opsi, yang nampaknya bisa menjaga Anggun, dari pandangan diskriminatif. Langkah seperti ini, nampaknya layak diambil, jika seseorang hidup dalam masyarakat yang cukup awam, dan dikuasai oleh pola pikir patriarki.

Dengan penuh tekanan dan ketabahan, Anggun menghentikan dan menutup kasusnya. Ia berharap, kasus ini bisa hilang dari permukaan, dan tak akan banyak yang mengetahui, bahwa keperawanannya telah hilang, dan martabatnya sebagai perempuan, akan tetap terjaga dengan baik.

Sejak saat ini, ia tidak lagi bangga dengan kampusnya, yang ternyata cacat dalam berempati terhadap penderitaan mahasiswanya. Sifat mudah berempati dengan penderitaan seseorang, memang luput diajarkan di ruang-ruang perkuliahan, oleh para Dosen dengan deretan gelar yang dimilikinya. Bahkan, mereka sendiri nampaknya, masih belum mudah bersikap demikian.

Mitos Kesucian

Apa yang dialami oleh Anggun, merupakan potret buruk, yang seringkali menimpa perempuan di negeri ini. Perempuan yang rentan dengan kekerasan seksual, malah harus menerima rasa sakit yang berlapis-lapis, karena ketidakmampuan dirinya untuk melawan, dan dipaksa untuk bersikap baik-baik saja. Padahal, ada dada yang begitu sesak, batin yang begitu hancur, dan harga diri yang sia-sia.

Kasus seperti ini, memang sering terjadi dalam masyarakat yang didominasi oleh pola pikir patriarki. Perempuan kerap kali menjadi obyek kesalahan. Patriarki, memang selalu memposikan perempuan sebagai mahluk kedua, yang jauh dari kesetaraan. Alhasil, jika cara pandang patriarki terus digunakan dalam menyelesaikan sebuah perkara, perempuan akan selalu mendapatkan dalih, untuk disalahkan. Meskipun sebenarnya, ia adalah korban. Namun, bisa dengan mudah, menjadi penyebab, dan pelaku utama dalam setiap kesalahan.

Tubuh perempuan begitu diagungkan, dan disimbolkan sebagai kesucian yang hakiki. Kehilangannya, sama seperti kehilangan kemuliaan sebagai perempuan. Cara pandang seperti ini, membuat perempuan sangat menjaga tubuhnya. Keperawanan adalah sesuatu yang mahal. Kepemilikannya, membuat perempuan punya harga yang tinggi. Jika tidak, maka sebaliknya. Perempuan hanya akan dianggap, sebagai sebuah tubuh tanpa ada kemuliaan.

Menjaga tubuh, tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang. Tentu banyak alasan, yang membuat perempuan kehilangan keperawanannya. Salah satunya seperti Anggun, yang kehilangan keperawanan, dengan cara yang kejam dan tak direlakannya. Ada juga yang rela kehilangan keperawanan, karena bertarung dengan keperluan hidup. Apakah mereka, tak lagi mulia, karena kehilangan keperawanan?

Perempuan begitu takut, untuk mengungkapkan pelecehan dan kekerasan seksual yang diterimanya. Alasanya tak lain adalah, ketakutan menerima pendangan buruk, dan dianggap kehilangan kesucian, serta mahkota sebagai perempuan. Apalagi, jika diketahui banyak orang. Perempuan akan semakin malu, dan terpuruk. Alhasil, pilihan satu-satunya, adalah memilih diam dan bersabar, dengan tekanan batin yang diterima, kala melihat pelaku kekerasan tersebut, berleha-leha didepan matanya. Sambil berharap, ada balasan dari Tuhan yang maha esa.

Kondisi ini nampaknya menjadi masalah runyam, dan sulit dilihat oleh masyarakat kita. Kesucian perempuan, tidak hanya sekedar tubuh. Ia lebih besar dari lapisan kulit yang merona. Dan lebih mulia, dari segupal daging di dalam celana.

Pemujaan terhadap keperawanan, menjadikan kemuliaan perempuan, bersandar pada sesuatu yang fana. Ia benar, kulit dan keperawanan, adalah raga, yang dalam falsafah penciptaan manusia, ia berasal dari lempur busuk (tanah). Maka sudah sepantasnya, ketika manusia meninggal, kulit yang mulus, serta tubuh yang seksi itu, akan kembali menjadi tanah, seperti sediakala.

Namun sayangnya, perempuan yang telah kehilangan keperawanannya, telah dianggap tak berharga, menjadi sisa, atau sampah dan barang bekas. Mudah untuk kita menemukan, bagaimana para perempuan yang ditinggal suaminya, disebut sebagia janda, yang hina dan rendahan. Mereka menjadi sasaran para istri, yang takut suaminya tergoda. Yah, karena jika suaminya berpindah hati, maka para istri inilah, yang juga akan menjadi barang bekas.

Kenapa seperti itu? Yah lagi-lagi, karena kita menganggap kemuliaan perempuan, hanya sebatas pada keperawanan, yang menjadi simbol kesucian. Maka, ketika tak lagi perawanan, perempuan harus menerima konsekuensi dari pandangan seperti itu. Menyakitkan memang, tapi itulah realitasnya.

Kondisi ini berbeda dengan seorang lelaki. Tak peduli, seberapa banyak ia gonta-ganti pasangan, dan seberapa banyak perempuan yang ditidurinya. Ia tetap spesial, karena kemuliaan dan kesuciannya dianggap tidak terletak pada keperjakaan. Namun pada kerja keras, dan tanggung jawabnya. Berbeda dengan perempuan, sekeras apapun kerja dan kasih sayangnya, ia tetaplah barang sisa, yang kehilangan kesucian. Apapun penyebabnya.

Lagi-lagi ini adalah cara pandang patriarki, yang sangat meminggirkan perempuan, sebagai mahluk yang dipilih Tuhan, menjadi kesempurnaan bagi semesta.

Penulis menyebutnya sebagai mitos kesucian. Bagi penulis, kemuliaan seorang perempuan, lebih dari sekedar tubuh dan keperaawanannya. Perempuan dianggap suci, ketika hatinya bersih dan memiliki kesungguhan dalam memberikan kasih sayang. Kesucian ini sangat sempurna, dan lebih dari sekedar kenikmatan tubuhnya.

Perempuan bisa kehilangan keperawanan dengan berbagai cara, tetapi tidak dengan kerelaannya. Ia bisa memberikan keperawanan, dengan tanpa kerelaan. Selain Tuhan, dirinyalah yang tahu, bagaimana semesta berguncang hebat, akibat ketidak relaan ini.

Tubuh dan keperawanan, memanglah sangat penting bagi perempuan. Tetapi mengukur kemuliaan dan kesucian, apalagi martabatnya, tidak cukup jika hanya bersandar pada raga seperti itu. Ia lebih dari sekedar materi, yang selalu erat dengan kepuasan dan kenikmatan nafsu.

Memiliki hati yang bersih, jiwa yang sehat, serta kasih sayang dan ketulusan yang tiada habisnya, adalah kemuliaan dan kesucian perempuan, yang tak akan pernah mampu diukur. Ia lebih dari sekedar perawan atau tidak. Dan ia lebih berharga dari sekedar tubuh, dan berbagai mitos kesuciannya.

Kita menyadari, bahwa menjaga tubuh dan kemurniannya, adalah hal yang harus dilakukan. Tetapi, menjadikannya sebagai standar untuk melihat kesucian dan kemuliaan perempuan, adalah sebuah kedangkalan berpikir. Atau bahkan, kita tak pernah berpikir, bahwa tubuh adalah raga yang fana. Sedangkan suci dan kemuliaan, adalah perwujudan jiwa yang terus melakukan perbaikan.

Perempuan punya hak untuk selalu melawan. Ia selalu punya alasan, untuk dihormati dan membangun kisah yang baru. Kemuliaannya akan bersinar cerah, ketika ia mampu melawan, dan memperjuangkan haknya selayaknya manusia lain. Perempuan tak bisa dibungkam oleh mitos kesucian, yang mengelilinginya. Dan yakinlah, Tuhan tahu benar, tentang itu. Bahwa tubuh, akan kembali ke tanah. Sedangkan jiwa yang bersih, serta hati yang tulus, akan terbang mengarungi semesta, menuju keagunggan Ilahi.

Terimakasih untuk para perempuan yang berani manabrak mitos, merobek tirani, dan melawan pembodohan. Kalian berkontribusi, dalam mencerdaskan dan mendewasakan bangsa ini.  

Tabik.

Bergelung Marlena dan Puisi Lainnya

TAK ADA YANG ABADI

Tak ada yang abadi di sini Ziecho

Lautan darah bersimbah berlutut pada maut

Tuhan tak pernah berbaik hati pada leluhur yang telanjang

Ia tuan berani disembah

Disetiap bayangan berkunjung

Sejatinya semua ini fana Ziecho

Lorong-lorong, rumah, kenyataan tak ada di sini

Azroil adalah wahyu dikirim Jibril

Tempat di mana orang-orang mengejar ruh dan kepala

Jatuh, remuk, hancur, lebur akhirnya

Hanya abu dan ke abu-abuan yang tunggal

Rumah terakhir Ziecho

Engkau hendak ke mana, dan kau tahu

Peradaban saat ini, pernyataan dan kenyataan setipis kapas

Untuk kau bedakan perlu hidup abadi

Yogyakarta, 2024.

***

BERGELUNG MARLENA

Marlena…

Kudengar tentangmu

Dari penyair di seluruh penjuru kota

Membaca romantikamu

Berdecak kagum menembus relung jiwa

Marlena…

Engkau selalu dirundung pekat

Yang dititipkan malam dalam rupa malaikat

Kelembutanmu bagai rajutan sutra

Yang dianyam bersama balutan baja

Marlena…

Semoga romantikamu bukan sandiwara

Sebagai lelaki Madura

Bisakah kau menjadi Ibu bagi jantung kota

Menjelma tanda

Serupa jiwa sakera

Yang tak gentar pada peradaban ganda

Marlena…

Biarkan kupersembahkan gelung dari anyaman batu

Supaya celurit dan keris tahu

Kau benar-benar terlahir dari rahim Madura

Wanita dengan taring baja

Dengan kibasan sarung

Dan lilitan kain di kepala

Serupa mahkota

Memukau seantero cakrawala

Tidakkah kau lupa saat kita bertegur sapa

Kau lantang berkata: “lebih baik bersimpah darah, dari pada terbuang rupa”

Yogyakarta, 2024.

***

SAJAK UNTUKMU

I/

Aku bungkam

Ketika kilau bintang gemintang

Berhamburan jadi pelengkap langit malam

Bagi pemimpi di ujung harapnya

II/

Aku bungkam

Bila malam menjelma kumbang

Di antara celah-celah ilalang

Yang dibalut tembok pengahalang

III/

Aku bungkam

Ketika purnama masih kelabu

Dengan elegi tawa yang menyesakkan

Di sudut jalan sana

Aku berusaha mengutarakan rindu

Tanpa seorang pun yang tahu

Mungkin

Tak ada salahnya, jika kau dengarkan

Sejenak tentang seorang penyair

Kala mendefinisikan hatinya dalam puisi

Akan aksara cinta yang diabadikan

Yogyakarta, 2024.

***

PERGI

Hanya sekuntum bunga melati yang bisaku bawa

Bersama langkah berat merelakan keindahan

Pada genagan air di matamu

Dengan lentik hitam pekat

Menatap hari esok yang begitu tak terduga

Berubah atau masih sama

Seyum atau malah tangis

Sebatas luka atau sampai darah

Yogyakarta, 2024.

***

YA

Jika suaramu adalah denyut

Maka degupku adalah kamu

Aku bersyukur melihat rangkuman bulu matamu

Berhasil ku raih hadiah paling berharga

Mantra sutarji kurapal

Memutus langkah dengan sapa

Mimpi pura- pura berpaling

Padahal kebahagiaan senatiasa sempurna

Dari jauh tatapan buncah menugaskan

Senyum untuk tidak berpaling

Tiba- tiba aroma kasih menyemerbak kemungkinan

Bahwa langit dan laut berbeda jauh

Kekasih

Penyair pernah memanjat do’ a

“Tuhan bila mencintainya adalah sebuah dosa

Maka sediakan tempat bagiku di neraka”*

Dalam hati aku tidak pernah mengimpikan

Teluk surga.

Bahkan aku ingin menyambung rindu

Pada sunyi sumudara.

Yogyakarta, 2024.

*Wira Negara : Destilasi Alkena

Mbah Benu dan Kisah Nabi Musa

Tidak usah Anda tertawakan seorang kyai yang berlebaran pasca “menelepon” Tuhan, dan setelah itu Anda jumawa melihat keyakinan Anda merupakan doktrin yang paling benar. Sifat seperti itu akan merusak kepribadian Anda. Anda jangan lupa, si Iblis akhirnya menanggung kutukan seumur hidupnya hanya karena suatu waktu nyinyir kepada Adam.

Ini masih kalah banding dengan beberapa orang di masa lalu yang sangat antusias menjadi nabi atau anak tuhan pasca bertemu Jibril di suatu tempat. Atau pengakuan si pemikir pembunuh tuhan yang menyatakan dunia sudah tidak bisa diselamatkan lagi kecuali dengan membunuhnya. Apalagi dibanding pengakuan Firaun berabad-abad lalu sebagai tuhan, Mbah Benu pimpinan jemaah Aolia Giriharjo tidak ada apa-apanya.

Jadi biasa saja. Anda perlu juga ingat kembali agama punya banyak fasilitas untuk beragam pengalaman seorang manusia. Apalagi Tuhan yang —saya kira Anda tahu— memiliki 1001 cara untuk berhubungan dengan ciptaannya. Saat ini masa penghabisan ramadan, yang seharusnya membuat diri kita makin “selow” melihat beragam ekspresi keagamaan. Toh, cerita seperti Mbah Benu sudah sering kita dengarkan.

Saya nyaris juga mengutuk kyai si penelepon tuhan, meski hanya melihatnya saat diwawancarai salah satu stasiun Tv. Dari keperawakannya yang sudah uzur menandai panjangnya usia yang ia pakai untuk mencari kebijaksanaan melalui agamanya. Tapi, kesadaran kerap datang terlambat, dan mulai menyadari apa hak kita sesungguhnya untuk menjastifikasi keputusan yang telah diambilnya. Seorang kyai dengan ratusan jemaah, saya kira bukan pemuka agama biasa.

Di negeri ini tidak gampang mengumpulkan orang dalam jangka waktu lama untuk menuntut kesetiaan mereka. Mengemongnya, mendidik, dan memberikan bimbingan agama bagi sekelompok warga yang kelak menjadi jemaah. Sebuah kekuatan religius yang bukan main. Kecuali dalam politik, agama salah satu perangkat kesetiaan yang tidak dengan mudah dapat dijelaskan seperti yang kita lihat melalui tayangan media massa.

Sebagai sebuah fenomena, Mbah Benu adalah sebuah fenomenologi agama, yakni ekspresi yang perlu dipahami dari konteksnya sendiri. Meski seringkali setiap penilaian atas sesuatu telah dibingkai oleh prasangka, kepercayaan, atau nilai tertentu, sebuah pendekatan untuk melihat melalui kacamata si pelaku perlu untuk diperhatikan. Dunia ini tidak hanya bisa dilihat dari sepasang mata belaka, melainkan membutuhkan kehadiran orang lain agar dunia ini tidak berlari hanya seperti yang kita inginkan.

Istilah menelepon tuhan yang dikatakan Mbah Benu menurut saya hanya persoalan semantik belaka. Setidaknya dari sisi kegunaan, ”menelepon tuhan” hanya kiasan untuk melambangkan model hubungan antara hamba dan Tuhannya belaka. Suatu diksi yang sama persis dengan kemajuan zaman kiwari di mana banyak orang mulai diresahkan dengan manfaat benda canggih bernama smartphone itu.

Tapi, apakah betul tuhan memiliki nomor khusus sehingga setiap orang dapat menghubunginya jika dalam keadaan kepepet? Sudah pasti tidak. Tuhan bukan bagian dari sistem teknologi informasi dan komunikasi canggih, yang dibekali kecerdasan atau intelegensi tiada tara melebihi kapasitas berpikir manusia. Sebaliknya, semua kecanggihan sistem informasi itu telah menjadi tuhan abad 21, yang merebut hati manusia dan kesetiaannya.

Bukan tidak mungkin selama ini kepercayaan manusia lebih percaya dengan beragam informasi yang tersedia di dalam dunia maya. Segala yang Anda inginkan dapat dengan mudah diakses. Informasi yang telah lama tersimpan ditimpa beragam informasi terbaru dapat Anda panggil dengan mengetikkan kata-kata kuncinya. Jangankan informasi dari masa lalu, peristiwa yang bakal terjadi di masa depan dapat dengan mudah disusun berdasarkan algoritma super ketat. Sensasi pengalaman semacam itu tidak pernah dialami sebelumnya, sekalipun seringkali dinyatakan melalui doktrin agama seluruh kejadian kehidupan ini telah tersimpan di kitab kejadian bernama Lauhul Mahfudz.

Era kiwari pengalaman interaksi manusia lebih mudah dialami via dunia maya. Hampir semua dilakukan saat ini mesti dikoneksikan ke dalamnya. Sudah menjadi agama. Kebiasaan yang sukar ditinggalkan. Saking sukarnya, pengaruh internet sampai menancapkan tiang-tiang signalnya sampai di jiwa manusia. Mengubah orientasi spiritual manusia dan pengalaman kebatinan tentang agama yang semula rahasia dan tersembunyi terekspose sedemikian rupa bagai sejumlah tayangan iklan. Banal dan narsistik.

Alkisah seorang pengikut Nabi Musa ditemukan sedang menyeru tuhannya. Dalam rintihannya ia ingin menyisir rambut tuhan, mengikat tali sepatunya, dan memberikan pengkidmatan terbaik kepada tuhannya. Jika perlu ia ingin melayani tuhannya seperti seorang raja. Mendengar permintaan umatnya itu, Musa marah. Tuhan bukan zat yang pantas diserupakan dengan makhluknya. Ia tidak layak disisir karena tidak berkepala, apalagi bersepatu. Kemudian muncul suara bergema mengisi seantero langit. Tuhan kecewa dengan Musa setelah nabinya itu ditegur. Sesungguhnya Tuhan senang dengan keintiman umatnya itu. “Aku tidak melihat kata-kata, tapi isi hati hambaku,” begitu kira-kira yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Musa.

Di kisah itu Nabi Musa diminta mencari umatnya untuk menyatakan maaf. Tapi sayang setelah berkelana mencarinya Musa tidak menemukannya.

Galibnya kisah-kisah berbau tasawuf, narasi tentang umat nabi Musa ini perlu diintrepetasikan dengan bijak. Begitu pula apa yang dilakukan Mbah Benu kurang lebih mengindikasikan pendekatan keagamaan lain di luar dari tinjuan ilmu fiqih. Dari sisi ini, tidak semua orang dapat memahami jalan pikiran Mbah Benu sehingga karena itu tidak layak untuk menghakiminya secara berlebihan.

Sekelumit Gagasan tentang Keabadian

Selama ini saya mengira saya abadi. Atau setidaknya dapat hidup tidak berubah meski waktu bergerak-gerak sampai kesini.

Sudah sejak lama saya menyadari tubuh saya berhenti menjadi lebih tinggi, sama halnya seperti raut muka saya yang tidak menunjukkan indikasi perubahan. Wajah saya seperti berjalan di tempat persis seperti lima, sepuluh, atau dua puluh tahun lalu. Saya seperi sosok highlander, mitologi manusia abadi yang berasal dari ketinggian gunung-gunung di Scotlandia. Tidak akan mati sebelum kepalanya dipenggal. Saya seperti seseorang yang hidup di dalam zaman yang berhenti bergerak saat setiap orang yang saya kenal berubah setiap waktu. Saya tidak mengalami banyak perubahan setelah itu. Itu ciri-ciri keabadian menurutku.

Ada suatu masa karena itu saya ingin menjadi begini-begini saja, yang saat itu berarti hidup menyerupai anak-anak yang melihat kehidupannya dengan cara begini-begini saja pula. Bebas, tanpa beban, dan terutama tidak ada tanggung jawab yang perlu dipikul.

Saya rasa kehidupan seperti dalam cerita Peter Pan di saat ini bukan hanya terjadi dalam dunia fiksi saja.

Di beberapa negara, terutama Jepang kecenderungan sebagian orang memilih model kehidupannya menjadi lebih mudah setelah ia memilih usia yang diinginkan. Selama ini kebebasan yang dimiliki manusia hanya bisa mendorongnya memilih jenis kelamin yang ia harapkan, atau sama sekali tidak memilih satu kepercayaan agama yang terlanjur dipilih banyak orang. Anda jika ingin menjadi seperti seorang anak berusia 14 tahun maka pilihlah itu sebagai usia Anda saat ini. Itulah trans-age, fenomena memilih usia berdasarkan keadaan mental seseorang.

Di Jepang, pria bernama Jackie memilih hidup berdasarkan usia yang ia pilih karena menolak usianya yang telah 39 tahun. Ia selalu menyatakan kepada siapa saja kalau usianya masih 28 tahun dikarenakan menginginkan kebebasan dan keceriaan anak muda yang sudah mulai jarang dialami orang-orang yang memasuki usia kepala empat.

Sama seperti Jackie, saya selama ini menginginkan usia saya berhenti di 24. Karena itu bukan hal yang aneh jika setiap orang memiliki keinginan untuk kehidupan yang lebih lama melebihi seperti kehidupan sekarang.

Tapi, gagasan itu kemudian mulai berubah. Di kepala, saya menemukan beberapa helai rambut memutih. Itu artinya, setiap orang bakal menghadapi usia yang makin panjang, setelah ia disadarkan dari tanda-tanda perubahan seperti yang saya alami beberapa waktu lalu pasca berulang tahun.

Keabadian merupakan gagasan yang telah berumur panjang. Bahkan ia merupakan obsesi yang sampai saat ini berusaha dipecahkan melalui berbagai cara, termasuk sains.

Sejak era Yunani antik di masa Plato, gagasan keabadian dinyatakan melalui keazalian jiwa yang mendiami suatu tatanan metafisis tempat ide-ide universal berada. Semua orang saat itu memiliki sejumlah pengetahuan yang tidak terbatas dikarenakan langsung dapat mengakses ide-ide keabadian yang tidak berubah, pasti, dan menyeluruh. Di kondisi ini, bahkan konsep waktu dan tempat tidak relevan sehingga memungkinkan setiap apa yang ada dapat aktual tanpa melalui suatu proses spasial dan waktu.

Saat ini, sains berusaha merealisasi ide-ide semacam itu, dan ini bukan suatu hal yang mustahil. Setidaknya tampak dari upaya industri kecantikan yang menjual gagasan mengenai konsep awet muda melalui beragam produk dan treatment agar banyak orang kembali seperti kehidupannya 15 tahun lalu.

Melalui pendekatan yang lebih canggih, tekhnik pembekuan sel-sel dari diri seseorang agar ia bisa dibangkitkan di masa depan sudah makin populer, terutama di beberapa tempat negara barat.  Pembekuan otak menggunakan nitrogen cair merupakan tekhnik medis saat ini yang bisa memberikan harapan bagi orang yang percaya bahwa di masa depan ia bisa hidup kembali meski telah berganti tubuh.

Keyakinan semacam ini tidak ada salahnya dikarenakan obsesi hidup kekal sudah merupakan keinginan yang tertanam di setiap jiwa manusia. Cara-cara seperti ini bukan sesuatu yang baru dikarenakan di masa lalu, bahkan seorang raja seperti Firaun telah menggunakan tekhnik pembalseman untuk mempertahankan dirinya agar terus dapat awet, sementara jiwanya melanjutkan perjalanan ke alam baka tanpa perlu khawatir kehabisan harta.

Terkait harta, banyak orang kaya memiliki gagasan kebadian dengan cara membeli segala hal yang dapat ia beli. Selama ia memiliki banyak uang, keabadian dapat ia miliki dengan memperbanyak koleksi mobil mewah, perhiasan, tas mahal, atau bahkan mengoleksi jam tangan branded seakan-akan setiap jarum jam yang berputar di dalamnya akan menambah waktu menjadi dua kali lipat lebih lama. Tapi memang, jiwa yang telah tenggelam di dalam keberlimpahan materi sering menganggap semua yang ia miliki bakal bertahan selamanya.

Mungkin karena itu konsep keabadian tidak selamanya pantas untuk kehidupan manapun. Terutama jika gagasan itu berkaitan dengan keberadaan sesuatu di dalam ruang dan waktu. Bahkan ketika Anda memiliki kekuasaan, yang kerap membuat sifat seseorang cepat berubah menjadi seratus delapan puluh derajat sehingga menghendaki agar ia menjadi pemimpin selamanya.

Tidak bisa dibayangkan jika di masa sekarang semua orang dapat hidup lebih lama dan tidak sekalipun ajal menghampirinya. Membuat kekayaannya abadi, jabatannya abadi, dan semuanya serba bertahan lama. Itu artinya di sisi lain ada kemiskinan yang abadi, bawahan yang abadi, serta struktur yang tidak bisa berubah pun selama-lamanya. Sudah pasti dengan semua keabadian itu akan mempertahankan ketidakadilan, ketimpangan, dan penindasan selama manusia bisa membayangkannya. Imbasnya, kehidupan ini akan terjerumus di dalam nihilisme, kepadatan, mengalami krisis multidimensi, dan kebosanan mulai melanda yang akan mendorong satu dua orang akan berani memikirkan ide tentang bagaimana caranya mengakhiri hidupnya.

Itulah sebabnya, kehidupan abadi di satu sisi adalah kutukan, sama seperti si Iblis atau Sisipus yang dikutuk Dewa Zeus untuk hidup selamanya hanya demi melakukan hukuman tanpa henti sampai ia sendiri kehilangan kepercayaan atas nilai-nilai. Kutukan Sisipus mesti mengangkat batu di pagi hari sampai ia melihatnya jatuh dari atas bukit setelah malam tiba. Begitu seterusnya yang ia lakukan seumur hidup, selama-lamanya.

Saat ini, menurut saya, meski tidak hidup abadi, hampir semua orang hidup dengan kutukannya sendiri-sendiri. Ada yang mesti menanggung hidup melarat pasca habis-habisan di atas meja judi, mengalami nasib sial berupa perceraian setelah melanggar perjanjian pernikahan, atau bernasib malang setelah biaya hidup berubah drastis akibat kesalahan kebijakan ekonomi-politik. Ya, yang namanya kutukan merupakan nasib buruk, kemalangan, dan nahas imbas dari kesalahan melakukan sesuatu, seperti misal menyerahkan semua urusan hidup kita kepada sistem atau orang yang salah.  

Di Fort Rotterdam, Malik Mengisahkan ‘Kelapa Sawit Membunuh Manusia’

“Sawit itu seperti militer: bercak hitam dan hijau. Itu membunuh orang…” — Sophie Chao.

SUATU siang, di sela-sela Saya tunai satu hajat, datang sebuah pesan WhatsApp dari Malik Rumakat. “Kak, Icak! Sehari dua katong bacarita sagu di Fort Rotterdam Makassar.” Malik juga memberitahu, kalau ia tak sendiri, bakal hadir juga Kasim Rumain. Dua utusan Wanu Sinema, pada lokakarya Bacarita Digital Volume Dua “Kekayaan Pangan Nusantara”  yang dihelat Rumata’ Artspace dan Kemendikbudristek, di penghujung Februari, bulan kemarin.

Saya sambut private chat itu dengan dua perasaan, senang dan cemas. Perasaan senang karena tak lama lagi dikunjungi saudara sepersusuan, sedangkan perasaan cemas gara-gara khawatir adik saya terseok-seok menempuh perjalanan sejauh 1212 kilometer, 751 mil. Malik memulai titik berangkat dari Kian Darat-Seram Timur, menuju Bula kota Kabupaten Seram Bagian Timur (jarak tempuh 95,2 kilometer atau perjalan darat selama 2 jam 22 menit). Selanjutnya dari Bula ke Ambon kota Provinsi Maluku (jarak tempuh 304 kilometer atau perjalan darat selama 24 jam), dan perjalanan berakhir di Kota Makassar (penerbangan nonstop selama 1 jam, 40 menit).

Tatkala tiba di Fort Rotterdam, atau saat dihimpit puluhan manusia, Malik menyadari satu hal—kemudian ditengkan kepada Saya, selagi kami ‘ngopi proletar’ di kontrakan Antang (satu hari setelah kegiatan Bacarita). “Ini semua berkat sagu, meski kadang Beta remehkan di meja makan.” Malik tak membayangkan sebelumnya, sagu yang ia anggap enteng di tiap ‘gelar tikar’, yang bakal membawa dirinya berlayar sejauh 1.212 kilometer 751 mil dari pelosok Seram Timur, bertemu dan bercakap dengan segenap orang di kota.  

Hari itu, di benteng yang menjadi penanda kota Makassar, perempuan-lelaki, tua-muda merangsek dari satu stand ke stand pameran lain, kemudian mereka bergumul di meja jamuan, yang jaga Malik dan Kasim. Sebuah kenap beralas daun pisang, di sana tergolek olahan pangan sagu (sagu bambu dan sagu tumbu), ikan Julung, dan kenari asap. Saya di sana, menyaksikan hilir-mudik puluhan manusia yang tumpang tindih di meja jamuan itu. Seakan-akan Saya diperhadapkan dengan ‘The Last Supper’, lukisan perjamuan terakhir karya Leonardo Da Vinci. Sementara Malik atau Kasim, mereka sontak kaget, lantaran orang-orang kota ini memamah habis sagu dan ikan Julung yang tersaji.

Sialnya, mereka tak cuma mencicipi, orang kota ini, begitu liar mengulik rupa cerita kreativitas meramu—cerita-cerita yang selama ini cuma dijumpai di dapur-dapur pelosok atau menjadi otoritas perempuan. Malik, laiknya rohaniwan yang mengisah ‘Lima Roti dan Dua Ikan’ kepada murid-murid Sekolah Minggu—tapi dirawikan Malik, melampaui yang dicatat Alkitab, yakni ‘Dua Puluh Roti (Sagu) dan Lima Ikan (Julung)’.

Menariknya, Malik bergerak membawa mereka melampaui cerita ‘bagaimana sagu diramu’, menuju cerita ‘kepunahan sagu’ yang menunggu waktu saja. Hemat Malik, kisah nahas sagu ini (atau pangan yang lain), perlu diketahui orang kota. Sebab mereka tak punya tradisi menanam, kecuali tradisi membelanjakan pangan yang datang dari kampung, yang kata Malik, pangan-pangan itu tengah dibinasa oleh ‘orang kota’ sendiri. Melalui perkebunan raksasa.

Mula-mula Malik mendaku, “Sagu bisa disimpan selama satu tahun, atau lebih lama dari waktu itu lagi, tanpa formalin.” Orang-orang kota ini tampak tercengang, saat Malik mendegus keunggulan sagu. “Andaikata benar ramalan 11 miliar jiwa dilanda kelaparan di hari mendatang, setidaknya usia sagu yang panjang itu, sanggup mengatasi musibah tersebut.”

Mungkin sebagian besar orang tak percaya. Tetapi satu fakta yang dikemukanan Malik, Saya kira tak bisa disangkal. Di hadapan puluhan orang yang khidmat memasang kuping itu, Malik berkata. “Sekarang, di museum  Kew Royal Botanic Gardens, di London, Inggris. Tersimpan tiga lempeng sagu dalam kondisi utuh (mungkin masih layak dikonsumsi), meskipun sagu itu sudah berusia 164 tahun. Sagu berumur satu abad lebih itu, dibawa Alfred Russel Wallace ahli botani Inggris dari Waras-waras Seram Timur, pada 1 Juni 1860.”

Gagasan yang kemudian dibangun Malik, kalau sagu yang tersimpan di Kew Gardens, yang berumur satu abad lebih itu, adalah suatu simulasi ketahanan pangan. Dan boleh jadi, itu jawaban pasti yang diberi pangan sagu, dalam mengatasi rasa cemas miliar manusia yang diprediksi akan kesulitan mengakses makanan di masa mendatang.

Baru-baru ini PBB memproyeksikan populasi dunia pada 2050 akan mencapai 9,7 miliar, dan pada 2100 mencapai 11 miliar orang. Ledakan populasi manusia ini, tentu terjadi peningkatan akan kebutuhan asupan makanan. Itulah mengapa FAO, organiasi pangan dunia menaksirkan, produksi pertanian global pada 2050 harus 60% lebih tinggi dibandingkan produksi tahun 2005-2007 jika dunia ingin memenuhi kebutuhan pangannya. Dua informasi penting ini, lekas-lekas disanggah Malik, “Asalkan sumber pangan jangan dirusak!” kemudian Malik menohok, “Faktanya, kini hutan sagu pelan-pelan dibinaskan!”

Apa buktinya? Laporan Statistik Produksi Kehutanan 2020. Volume produksi sagu kuartal I 2023 mencapai 2,37 ribu ton. Angkanya meningkat tipis pada kuartal II 2,38 ribu, kemudian meningkat lagi pada kuartal III mencapai 2,41 ribu ton. Memasuki kuartal IV produksi sagu turun drastis menjadi 1,76 ribu ton. Apa pasalnya? Berbagai studi menyimpulkan kalau penurunan volume produksi sagu ini, dilatari oleh populasi pohon sagu yang menurun tajam sebagai akibat dari massifnya konversi hutan sagu menjadi lahan-lahan sawit.

Kelapa sawit membunuh manusia

Secara rata-rata nasional, luas perkebunan kelapa sawit Indonesia tumbuh 53,09% dalam kurun waktu 2011-2020. Luas lahan tertinggi dicapai pada 2020, yakni sebesar 14.586.599 Juta hektare. Di Maluku dan Papua, luas area sawit sebesar 179.314 hektare. Kenaikan lebih dari dua kali lipat ini berawal dari area sawit seluas 59.077 hektare di 2011, menjadi 238.391 hektare pada 2020 (Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, 2023). 

Di Maluku dan Papua, sebaran area sawit sebesar 179.314 hektare, tentu mengancam ekosistem hutan sagu. Maluku, semisalnya, ‘dusun-dusun’ sagu terus dibabat, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, populasi tanaman sagu anjlok dari sekitar 100.000 hektare pada era 1960-1970 menjadi 58.000 hektare pada 2016. (Kompas, 2017). Sementara pada 2022, turun menjadi 30-an ribu hektare. Di Papua, semisal di Salawati Daratan Kabupaten Sorong, PT Inti Kebun Lestari mendapat izin konsesi seluas 28.256 hektare. Dari luas lahan kelapa sawit tersebut, sekitar 1.700 hektare merupakan hutan sagu milik empat marga: Mili, Malakabu, Fes, dan Libra ( EcoNusa,  2022).

Masifnya konversi hutan sagu jadi lahan sawit, membikin kerusakan lingkungan tak sedikit. Dampak paling mencolok dari aktivitas ini, yakni deforestasi dan kerusakan habitat. Kita tahu, penebangan hutan sebesar-besarnya (termasuk sagu), sama artinya, pengrusakan terhadap ‘rumah’ berbagai spesies tanaman dan hewan. Itulah mengapa banyak spesies hewan (juga sagu) terancam punah karena perubahan drastis pada hunian mereka. Imbas lain ketika perkebunan sawit berlangsung, yaitu pencemaran tanah dan air, hasil dari penggunaan pestisida dan bahan kimia lainnya. Efek jangka panjangnya; manusia, hewan, dan tumbuhan begitu sulit mengakses air yang layak—syarat tumbuh kembangnya.

Kehadiran perkebunan sawit di Papua, menyebabkan tingkat kerawanan pangan, malnutrisi, dan stunting yang sangat tinggi—padahal semula Papua adalah lumbung pangan sagu nomor kedua di Indonesia (Data pertanian 2021, Papua memproduksi sekitar 69.421 ton sagu). Masyarakat tradisional Papua mengandalkan hutan dan sungai sebagai persediaan makanan melalui perburuan, penangkapan ikan, serta pemanenan sagu dan umbi-umbian. Tetapi, geliatnya konversi hutan sagu jadi lahan sawit, disusul pencemaran air oleh pestisida, membikin masyarakat Papua terbengkalai mengakses kebutuhan primer mereka, yakni makanan dan air bersih.

Sophie Chao, Indonesianis dari University of Sydney, Australia. Saat meneliti suku Marind di Merauke selama 18 bulan, Chao melihat orang Papua punya hubungan khusus dengan dengan tanah dan hutan. Menurut Chao, dalam kosmologi Marind, tumbuhan dan hewan seperti kerabat. Masyarakat memandang tanaman baru semacam sawit seperti penjajah karena mengambil alih tanah dan semua sumber daya mereka. Hasil penelitian Chao ini kemudian terdokumentasi dalam buku In the Shadow of the Palms: More-Than-Human Becomings in West Papua yang terbit pada 2022.

Chao berkesimpulan dalam In the Shadow of the Palm: Dispersed Ontologies Among Marind, West Papua (2018), kira-kira begini: ‘kelapa sawit membunuh sagu’. Atau lebih tepatnya, ‘kelapa sawit membunuh manusia’. Musababnya, suku Marind menganggap hutan, pohon dan binatang sebagai kerabat mereka sendiri. Atau bagian dari manusia. Itulah mengapa ketika hutan sagu dibinasakan, sama artinya membinasakan manusia Marind. Chao dengan puisitis melukis, “Pohon sawit adalah ‘pohon tentara’. Soalnya, sawit itu seperti militer: bercak hitam dan hijau. Itu membunuh orang. Ini sangat kuat. Itu orang Indonesia, bukan orang Papua. Itu memakan kita. Duri Sawit, tajam seperti bilah bayonet. Buahnya keras dan bulat seperti peluru. Merah, seperti darah.” 

Dampak besar lainya dibikin pohon sawit, kataChao, terjadi konflik horizontal dan vertikal. konfliknya bukan hanya antara masyarakat, dengan pemerintah, atau perusahaan. Tetapi konflik melibatkan satu masyarakat, dengan masyarakat lain. Berupa konfilik tanah, kompensasi, partisipasi, dan pembagian keuntungan ketika proyek perkebunan ini tiba.

***

Malik benar, jika  kita terus-menerus menuruti keinginan pasar yang tak terbatas di dunia yang terbatas ini, maka kita akan menghadapi kehancuran lingkungan yang tak terperi. Dan kehancuran itu datang lebih cepat, daripada yang diduga. Dengan begitu, hemat Malik, prospek ketahanan pangan untuk miliaran manusia (termasuk anak-cucu kita) di masa depan merupakan sebuah khayalan.

Studi-studi yang datang belakangan, memberi kita ketidakpastian tentang dua hal yang sangat vital pada pertanian hari depan, yakni stagnasi lahan garapan, dan kelangkaan air. Perkebunan sawit, kata Malik, salah satu aktor yang merusak dua unsur penting pertanian berkelanjutan itu. Meminjam bahasa Chao, kelapa sawit membunuh sagu, yang pada gilirannya, kelapa sawit membunuh manusia.

Kiranya kita perlu revisi pandangan ‘manusia adalah pusat segalanya’. Padahal kata Malik, alam-lah yang mengatur manusia. Semisal air. Air yang mengatur manusia untuk pertanian. Ketika tidak ada air, maka tidak ada aktivitas ekonomi. Artinya mata pencaharian terhambat, dan selanjutnya manusia sulit mengakses segala kebutuhannya.

Syahdan. Satu hari di penghujung Februari bulan kemarin, Malik Rumakat terseok-seok menempuh perjalanan sejauh 1212 kilometer, 751 mil, tiba Fort Rotterdam. Di hadapan puluhan orang yang khidmat memasang kuping. Malik, seperti Chao, mengisah kelapa sawit membunuh sagu, pada gilirannya, sawit membunuh manusia.