CATATAN KLPI PEKAN 11

Lisan

Sebuah getaran keluar dari mulut
Dari leher turut decak yang ingin meluap
Menggemakan wicara bak pesulap

Tadinya dia hanya gesekan paruh dan rongga,
Kemudian terluah dalam bahasa
Kini gelombang punya rona
Sama ketika frekuensi mencipta bahasa pesona
Aku ringkih mendengar sebuah suara
Pagut memagut, mesti takut
Memaksa ikut

Itulah lisan yang nista
Mencuri hati lalu mematahkannya

Kirakira tak ada yang salah dalam puisi. Yang diperjuangkan dalam puisi bukan dunia faktafakta. Penyair bukan mau mengambil peran seorang wartawan, yang harus menulis sesuai realita yang ditemukannya. Atau seperti ilmuwan yang melihat relasi asumsi antara satu proposisi sesuai kaidah logika sebagai kebenaran. Akibatnya yang esensil dalam puisi bukan kebenaran, tapi kebermaknaan. Puisi berjuang dari “dunia dalam”, makanya dia begitu subjetif. Namun, tidakkah dia bisa menjadi objektif? Entahlah, bukankah yang objektif itu kerap hanya terma sesat atas ilmu pengetahuan? Lalu, bagaimanakah puisi harus diapresiasi?

Puisi di mana pun pasti punya makna kedua. Ini biasa disebut makna simbolis. Mengacu dari konsep alegori, puisi menyimpan suatu dunia yang nirkatakata. Suatu dunia maknawi, dunia simbolsimbol. Artinya, bahasa puisi bahasa polisemi. Bahasa puisi bahasa yang mendua. Puisi, syair bahasa yang menyiratkan banyak arti. Itulah sebabnya, puisi bukan bahasa ekposisi, dia bahasa simbol.

Barangkali, karena itulah suatu soal timbul. Bagaimana cara menilai puisi. Haruskah dia ditempatkan di dalam suatu penyelidikan ilmiah; mengecek korelasi katakata dengan makna semantiknya, atau memang ada prosedur yang tepat guna menilai puisi.

Problem ini jadi panjang di kelas menulis PI. Pemicunya puisi di atas milik Sandra Ramli. Kawankawan, bukan penyair apalagi sastrawan, dibuat bingung. Puisi, di kelas, salah satu jenis karya yang masih gelap. Akibatnya sering kali puisi dianggap tulisan sampiran. Padahal, di kelas, setiap tulisan harus dianggap penting. Itulah mengapa perlu ada porsi yang sama ketika ada kawankawan menulis puisi. Puisi, seperti genre tulisan lain juga karya tulis. Makanya, di kelas dia harus diapresiasi.

Bentuk apresiasi juga jadi soal kedua. Mestikah ada bentuk kritik buat puisi? Kalau ada, kepada apa kritik diajukan? Kepada bentuk atau pilihan diksinyakah? Proses kreatif atau motif kepenulisannyakah? Ataukah yang lain dari itu semua, kepada apa model sastra suatu puisi disematkan? Dengan kata lain, di kelas, belum ada perangkat penilaian yang memadai soal apresiasi puisi.

Akibatnya, puisi, atau sejenisnya kurang mendapatkan tempat di kelas. Kondisi ini tidak mesti dibiarkan. Sebab, kadang puisi hanya dibaca sekali setelah itu dilewatkan. Tak ada ruang sama seperti jika esai dinilai. Makanya, ini harus diubah. Biar bagaimanapun puisi juga mesti diapresiasi. Entah bagaimana modelnya.

Di konteks itu justru dibutuhkan kawankawan yang punya basic ilmu sastra. Sebelumnya ada Muchniart, yang bisa menilai seluk beluk suatu karya. Atau setidaknya memberikan gambaran kepada kelas soal kesusastraan. Tapi, belakangan ini Niart, begitu sering dipanggil, jarang bertandang di kelas. Selain Niart, entah siapa yang punya bacaan kesusastraan yang memadai.

Tapi, pasca disoal, akhirnya puisi memang berbeda dengan genre sastra lain. Bahkan, setiap genre sastra punya karakter dan bentuk berlainan. Itulah sebabnya, cara menyikapinya juga berbeda. Makanya, puisi harus diperlakukan berbeda. Dia punya cara tersendiri dan sikap tersendiri.

***

Maret berakhir dengan hari yang lapang. April datang bersamaan hujan yang ritmik. Mendung bagai selimut di atas langit pekan pertama April. Hujan tetiba jatuh tanpa bisa ditampung. Jauh di Pabbentengang tempat kelas sering dibuka, barangkali masih kosong. Hujan, menunda langkah, setiap mata hanya sampai di daun pintu. Melihat langit yang tetiba kelabu, berharap hujan segera berhenti.

Kala sudah siap pasca dicetak. Selebaran yang kali ini dicetak hanya sebelas eksemplar itu dimasukkan dalam tas. Hujan, yang beberapa saat lalu mereda jadi pantangannya. Kala, sedikit saja tersentuh air, dia luntur. Maklum tinta print, bukan jenis tinta yang sering dipakai media cetak. Makanya satu kelemahan Kala, dia tidak kedap air. Karena itu, Kala mesti diperlakukan spesial. Hatihati.

Barangkali banyak yang datang, tapi bisa juga sebaliknya. Hujan kadang bisa jadi tak romantis. Akibatnya, banyak langkah bisa dirundung sesal. Tidak sedikit dunia menyempit, hanya sebatas teras rumah.

Di sekretariat PI, baru Hajrah yang datang. Dia duduk terpaku di teras PI, juga mungkin termangu. Melihat bulir hujan yang pecah di atas tanah sendirian. Perempuan mungil ini sedari tadi sudah lama begitu. Sebatang tubuh menunggu sesiapa yang bakal datang.

Lama berselang satu per satu tiba. Hajrah menyungging senyum. Di balik senyum setengah sabit itu dia sesal. Dia bilang sudah lama menunggu sendirian. Sudah banyak air pecah bersimbahan mengalir hilang di balik tanah basah. Sudah banyak putaran jarum melingkar di tangannya. Waktu begitu lambat dia rasakan. Mungkin akibat Hujan, atau berkalang sepi menunggu di tepi teras kelas.

Kelas memang agak renggang. Kali ini tak banyak ikut terlibat. Beberapa kawan meminta izin semenjak awal. Beberapa lain tak punya kabar. Tapi, kelas bukan person. Selama ini ini kelas berjalan dengan sistem. Fungsi lebih diutamakan dibanding person. Karena itulah, siapa pun yang datang bisa mengambil alih menjalankan beberapa tugas. Mungkin itulah kekuatannya, selain konsisten, tugas kepemimpinanlah membuat kelas tak pernah lolos sehari pun.

Sehingga, jika cuman Hajrah seorang yang datang kelas tetap berjalan. Kelas akan terus dibuka setiap pekannya seorang atau dua orang. Hajrah otomatis bisa mengambil peran sebagai penyelenggara. Dia bisa berfungsi sebagai ketua kelas. Pesertanya, tentu Hajrah seorang atau juga kak Uly yang selalu stand by di mukimnya. Artinya belajar bukan soal siapa yang datang, melainkan sejauh mana ilmu itu dimungkinkan.

Literasi sejauh ini masih jadi wacana minor. Atau barangkali wacana sampiran. Penandanya sejauh ini wacana literasi belum bisa keluar dari lingkaran tertentu. Literasi masih dipandang produk komunitas, bukan kebutuhan bagi perubahan. Sehingga, literasi dianggap sebelah mata dan dinyatakan sebagai gerakan elitis. Padahal, di mana pun kitab sejarah dibuka, di situ pasti ditopang tradisi literasi.

Makanya, wacana literasi harus dibuka dari kedap suara komunitaskomunitas. Kalau perlu bukan sekedar perbincangan di Kelas Menulis PI saja, tapi juga merembes di sudut kampuskampus. Di tilik dari sini, kawankawan yang aktif di kampus harus jadi corong suara buat gaung di masingmasing lingkungan belajar.

***

Ishak punya tema tulisan menarik. Entah ide apa menyulutnya mau menulis soal suku Naulea di (pedalaman/pesisir?) Maluku. Suku yang diceritakannya membikin sesembahan dengan pengorbanan kepala manusia. Jadi, ditulisnya bahwa suku Naulea selain mengorbankan kepala orang sebagai bagian dari ritual acara adat, juga mengasingkan perempuan jika mengalami haid. Tidak cukup di situ, perempuan yang hamil juga ditinggalkan di suatu tempat untuk dijauhi.

Suku Naulea, yang masih hidup sampai sekarang, bisa jadi pembicaraan pembuka buat mempertanyakan masih adakah suku semacam itu di tempat lain. Terutama soal tradisi kanibalisme, atau bentuk ritual yang mengambil kepala manusia sebagai sesembahan. Di Toraja, kata Rahmat, yang ikut dalam diskusi, menyebut di masa silam juga punya tradisi serupa. Namun, di Toraja, bukan sesembahan terhadap kekuatan maha gaib, melainkan kepala budakbudak yang dipenggal jika tuannya meninggal dunia.

Suku Naulea ditulis Ishak dengan bentuk cerpen. Kekuatan cerpennya masih minim dari segi penceritaan. Ishak masih belum maksimal membikin ceritanya jadi lebih hidup. Cerita yang hidup tidak mesti dengan gaya bahasa yang diksionis, bisa juga dengan membangun detail dari peristiwa yang diceritakan. Misalnya, jika menyebut “parang” bisa juga menyebut terbuat dari apa dia dibuat, bagaimana bentuk gagangnya, atau besi apa yang membuatnya jadi lebih tajam. Artinya, dari situ “parang” tidak sekedar benda, tapi membuka ruang pembaca mengetahui sejarah “parang” itu sendiri. Bisa mengetahui budaya apa yang melekat di situ hanya membayangkan bentuk gagang parang, misalnya.

Dengan kata lain, kekuatan cerpen Ishak dimiliki dari tema ceritanya itu sendiri. Unsur lokalitas begitu kuat di sana, walaupun belum banyak yang bisa dieksplore. Ishak bisa saja membuat konflik dari sudut lokalitas yang diperhadapkan dengan modernisme saat ini. Atau sebaliknya, memasukkan unsur modernisme yang mengancam lokalitas suku Naulea. Sehingga, dari cara macam itu, bisa saja ceritanya lebih kuat dan hidup akibat memasukkan unsur pertentangan di dalam ceritanya.

Tapi, terlepas dari cerita ditulis Ishak, bagaimanakah cara kita membayangkan kehidupan semacam suku Naulea dengan tradisi kanibalisme. Sebab, di suatu tempat lain, atas nama religi, kanibalisme jadi perbuatan halus dengan menyitir ayatayat Tuhan. Bagaimanakah cara keduanya mampu bertahan di kehidupan yang menjunjung nilai kemanusiaan? Bagaimanakah prinsip etis dan tradisi macam suku Naulea bisa diterima?

***

Matahari sudah jauh tenggelam di balik atapatap rumah. Bulatan api itu seperti disedot ke bawah lantailantai mukim yang berubah kebiruan. Malam datang, lampulampu dinyalakan tanda orangorang enggan disapu gelap. Burungburung terbang membelah mendung. Jauh di depannya siluet orange bergelantungan pelan mulai pucat.

Bersamaan dengan itu, kelas menyisakan satu tulisan terakhir. Hajir bilang tulisannya hanya berupa catatan perjalanan. Menurutnya minggu depan masih banyak waktu buat membahas tulisannya. Akhirnya kawankawan sepakat kelas harus diakhiri. Tidak seperti biasa, kali ini kelas ditutup lebih awal. Setelah magrib selesai, kelas mulai kosong. Hajrah, orang pertama yang datang, dia juga orang terakhir meninggalkan kelas.

Baca Buku, Baca Buku dan Baca Buku

Saya lagi mendaras bukunya Taufik Pram, yang bertajuk  , Hugo Chaves Malaikat Dari Selatan. Lalu saya begitu terpesona pada Chaves, yang  menurut  buku ini, “Hugo Chaves adalah pemimpin yang suka membaca. Dari barisan kata-kata yang berderet rapi di dalam sebuah buku itulah dia tahu ada yang salah dengan dunia yang didiaminya. Kesalahan yang dibiarkan langgeng dan akut dalam periode yang terlalu lama. Melalui buku pulalah Chaves menuai banyak inspirasi, yang dibawanya untuk motivasi, metode, dan tujuan perjuangannya membebaskan seluruh manusia dan cengkaraman kanan – yang telah berubah makna menjadi sangat konotatif.”

“Sampai kematiannya 5 Maret 2013, dia suka menyimak karya sastra. Terutama karya-karya yang mengembuskan nafas Sosialisme; paham yang berhasil membuat El Commandante begitu terpesona. Tentang manusia-manusia yang harusnya bahagia. Tentang manusia-manusia yang harusnya tak diinjak. Tentang manusia-manusia yang berbagi. Juga memberi. Dari mana saja dia dapatkan semangat itu? Salah satunya, tak lain tak bukan, melalui inspirasi yang ditularkan sastrawan Prancis Victor Hugo, melalui Jean Valjean; tokoh karismatik yang dihidupkan dalam karya klasik Les Mirables.” Demikian torehan pena Taufik Pram.

Saya ingin mengutipkan apa yang dajukan oleh Raymond Samuel, dalam salah satu situs media online, berdikarionline.com, bahwa sejak berkuasa, Chaves sangat memperhatikan dunia pendidikan. Bukan hanya mendorong pendidikan gratis dan berkualitas untuk memastikan seluruh rakyat Venezuela bisa mengakses pendidikan. Tetapi juga memassalkan pengetahuan melalui produksi massal buku-buku gratis.“Baca, baca, baca, dan baca. Itulah slogan kita setiap hari,” kata Chavez saat meluncurkan gerakan membaca pada April 2009. Sejak itu, jutaan buku-buku gratis dicetak untuk disebarkan kepada seluruh anak negeri. Termasuk buku Don Quixote karya Miguel de Cervantes, Les Miserables karya Victor Hugo, dan Das Capital karya Marx dan Engels.

Kesukaan  Chaves membaca buku, termasuk karya sastra, khususnya Les Mirables, membuat saya membatin, mengingatkan kembali pada seorang tokoh yang amat revolusioner, Ali Syariati, yang juga suka membaca, bahkan tenggelam dalam perpustakaan pribadi ayahnya, yang juga telah membaca Les Mirables, saat Syariati masih duduk di Sekolah Menengah.

Syariati dan Chaves telah mendaras buku Les Mirables dan buku lainnya. Kedua sosok ini telah berkontribusi bagi negeri yang dipijaknya. Syariati menjadi salah seorang ideolog Revolusi Islam Iran, yang menyebabkan Iran kemudian terbebas dari rezim  monarkhi Syah Reza Pahlevi yang berkiblat ke Amerika. Dan hingga di masa kiwari ini, membuat Iran tetap menjadi negara yang disegani, sebab tidak mau didikte oleh Amerika, terlebih lagi ketika dipimpin oleh presiden Mahmoud Ahmadinejad, yang juga  sahabat karib Chaves.

Adapun Chaves, membuat negerinya Venezuela menjadi negera yang berani melawan Amerika. Amerika dengan sekutunya, yang mengusung ideologi Neolib, berusaha sekuat tenaga menghancurkan Chaves, namun ia tak gentar. Sebab Chaves adalah malaikat pemberontak yang tak pernah rela jika manusia harus hidup tertindas.

Dunia yang timpang seperti sekarang ini, setidaknya pernah memiliki dua manusia  yang berwajah malaikat, sebagai malaikat pemberontak, meski dengan sayapnya yang berbeda. Ahamadinejad dengan sayap kanan malaikat dan Chaves dengan sayap kiri malaikat, kedua sayap ini pernah bersatu, terbang bersama membawa bendera pembebasan melawan tirani Neolib. Ahmadinejad harus “berhenti” melawan Amerika disebabkan masa jabatan kepresidenannnya sudah selesai selama dua periode, sedangkan Chaves harus “mengakhiri” perlawanannya  dikarenakan jatah usianya telah habis, direnggut oleh penyakit kanker yang dideritanya.

Pertanyaanya kemudian adalah bagaimana dengan pemimpin-pemimpin negeri ini di berbagai bidang dan levelnya? Adakah mereka sosok-sosok yang suka baca buku? Lalu menjadikan buku sebagai santapan ruhaninya sehingga mereka layak memandu negeri ini, agar terbebas dari berbagai macam jenis tirani? Sederhannya, sudahkah kita membaca Les Mirables, buku-novel yang telah dibaca oleh Syariati dan Chaves itu? Kalau belum, marilah mendarasnya dan juga buku-buku yang menggelorakan ruhani lainnya.

 

 

CATATAN KLPI PEKAN 10

Harus saya akui, kali ini redaksi Kala teledor soal cetakan edisi 10. Di terbitan tertanggal 27 Maret itu, judul kolom khusus kepunyaan Sulhan Yusuf salah cetak. Tulisan yang seharusnya berjudul Arsene, Arsenal, dan Arsenik, malah jadi Arsene, Arsenal, dan Arsenal. Ini gawat, malah justru fatal.

Saya kira, di sini harus diakui, redaksi Kala belum punya prinsip kerja yang matang. Jika Kala mau dibilang media, redaksi Kala malah belum punya sistem. Media manapun, seharusnya punya mekanisme kerja yang jelas, semacam standar operasional kerja. Kala, jika disebut media, harus punya redaksi yang mapan. Atau, setidaknya, untuk ukuran buletin sederhana, bahkan selebaran, harus punya orangorang yang berpengalaman.

Kenyataannya, Kala bukan media mulukmuluk. Kala, hanya kertas dua tulisan yang terbit di akhir peka bagi kalangan terbatas. Bahkan, sekali lagi, Kala hanya selebaran sederhana dan nyaris dengan tampilan yang monoton. Kala, dengan kata lain hanya selembar kertas berisikan tulisan hasil kelas literasi yang sudah berjalan hampir setengah tahun. Kala, dengan begitu hanya media yang sedang mencari pengalaman. Dari pengalaman minim itulah redaksi Kala bekerja. Juga, dari situ teledor itu datang.

Akibatnya, perlu ada kritik, terutama kepada mekanisme kerja redaksi Kala. Di sini, kalau mau diperjelas, redaksi Kala, secara teknis hanya saya seorang. Sehingga, kalau mau menyebut siapa yang teledor, bukan sistem atau semacam dewan, melainkan saya belaka.
Kesalahan atas sesuatu adalah hal yang lumrah, tapi jika itu datang dari suatu kerja yang lumayan sering, saya kira, itulah yang disebut teledor. Makanya, melihat hal yang tak diduga dari suatu usaha yang berulangulang, dan pada akhirnya tidak sesuai standar, di situ suatu prinsip kerja harus segera dievaluasi.

Konon, mediamedia besar, hanya soal editing bahasa dan tulisan harus melewati banyak meja -ada yang menyebut lima sampai enam meja. Di ruang kerja media, meja sama artinya dengan sepasang mata cekatan yang sudah akrab dengan berjuatjuta huruf. Artinya, jika ada lima meja, di situ berarti ada sepuluh mata mawas. Bahkan, sebuah meja berarti suatu sistem kerja. Di ruang kerja mediamedia, sebuah meja malah jadi suatu tehknik evaluasi dan editing itu sendiri.

Bisa ditebak, dari setiap meja dengan mata yang cekatan, dan lima sampai sepuluh kali dibaca per mejanya, setiap tulisan yang masuk siap jadi objek tanpa cela. Dari mekanisme editing semacam itu, ada space yang lebar bagi setiap tulisan melewati proses yang begitu selektif. Akibatnya, tulisan dengan cara demikian menjelma karya siap baca.

Dulu saya pernah kerja beberapa lama di salah satu media di Makassar. Setiap malam, sebelum naik cetak setiap berita disorot, dilihat kesalahan ketik atau semacamnya. Kala itu setiap berita yang diperiksa dibaca setidaknya tiga orang. Jika menemukan typo, kesalahan pengejaan, istilah asing, atau ketidaklaziman sesuai standar ejaan, maka itu dibulati, diberikan tanda dengan tinta merah. Bahkan beberapa di antaranya diberikan semacam catatan kecil sebagai keterangan perbaikan. Kalau sudah, hasil print out beritaberita itu diserahkan ke bagian layout, dari situ tugas langsung layouter sekaligus memperbaiki kembali. Alhasil, cara seperti itu efektif jadi mekanisme editing sebelum berita betubetul naik cetak.

Kala, akibat tidak punya mekanisme macam itu, membuat setiap tulisan nyaris tak berubah. Kala, juga tidak punya banyak meja sebagai space editoringnya. Meja di Kala bahkan nyaris bukan sebagai sistem kerja. Dengan kata lain, redaksi Kala hanya memanfaatkan sepasang mata jika mau mengedit suatu naskah. Akibatnya, dari mata yang minim pengalaman itu, suatu tulisan akhirnya nyaris tetap sama sekali pra dan pasca editing. Bahkan, untuk kasus kali ini, justru itu berubah jadi kesalahan.

Tapi, keteledoran dengan sendirinya tak bisa dimaafkan. Kala, biar bagaimana pun harus berkembang dari waktu ke waktu. Soal judul yang akhirnya berubah redaksi bukan perkembangan, itu kemunduran. Makanya ini gawat, sekaligus juga fatal.

***

Menulis barangkali ibarat jalan pulang ke dunia yang pernah disinggahi namun asing. Di sana, suatu keadaan samarsamar digenggam buat ditulis kembali. Menulis berarti kembali dari dunia samar untuk suatu kabar kepada khalayak, juga sebagai tanda bahwa kita belum lupa.

Azan magrib bergelantung di langit jatuh merembesi setiap bilik. Menggema di bawah atap di saat lampulampu mulai dinyalakan. Bersamaan dengan itu kelas dipending. Orangorang bergegas, mengambil jedah. Sebagian lain memilih dudukduduk membaca, sebagian yang lain memilih meninggalkan kelas menuju asal suara.

Kala sekira pukul 20.00, piringpiring dikeluarkan dari bilik belakang. Gelasgelas berdenting. Kertaskertas yang berserakan disingkirkan. Waktunya makan malam. Seperti biasa makan berjamaah. Semua lahap. Semua kenyang.

Tak lama forum dilanjutkan kembali. Kali ini giliran Nain membacakan tulisannya. Dari bacaanya, dia mengisahkan hasil pertemuannya dengan seorang mantan PSK. Dia bilang, tulisan ini lahir dari ingatan yang sudah lama tersimpan. Di pertemuan yang sudah silam itu, Nain menuliskan kembali sepenggal kisah Ibu dua orang anak itu. Katanya, mantan PSK ini sudah berkeluarga, sudah punya suami. Dia juga bilang, mantan PSK itu, hari ini sudah berumur, makanya dia tinggal di panti rehabilitasi. Nain bercerita di akhir tulisannya, Ibu yang seharihari menjahit dan melakukan aktifitas kreatif lainnya itu ingin bertobat. Mizari, begitu nama PSK itu dulu bilang, “mauka berubah Nak”. Begitulah akhir tulisan yang dibuat Nain.

Tapi, sebelumnya ada soal yang memicu perbincangan. Perkara itu dipicu oleh tulisan Sandra yang dinilai di luar kelaziman. Tidak sedikit kawankawan harus pelanpelan mengeja jika mau tahu pesan apa yang ditulis Sandra. Juga sering kali, pasca Sandra membacanya, beberapa pertanyaan diajukan untuk mengetahui maksud kalimatkalimat yang mengandung banyak peristilahan. Sandra bilang, dia memang agak kesulitan menulis tulisannya yang sudah ditinggalnya beberapa lama. Juga, agak susah ketika menyambung tulisan yang memang sudah dipisah oleh dua situasi yang berbeda. Itulah sebabnya, tulisannya itu membuat kawankawan sulit menangkap pesan apa yang mau disampaikan.

Di satu sisi, setiap tulisan mewakili satu gaya. Bahkan setiap tulisan mengandung satu cara penulisnya menyatakan identitasnya. Soal ini saya kira dialami oleh kawankawan kelas menulis PI. Sandra, kali ini menyetor tulisan yang memang agak berbeda. Penggunaan bahasanya banyak menggunakan istilahistilah asing. Bahkan hubungan semantik dan sintakmatik dalam kalimatkalimatnya terkesan di luar ukran standar. Tulisan Sandra, kalau mau dipahami, termasuk jenis tulisan yang membutuhkan penulis sebagai penafsirnya sendiri. Artinya, tulisan Sandra hanya bisa diketahui maknanya sejauh penulisnya turut hadir di belakangnya.

Saya kira, setiap tulisan harus mampu menyeimbangkan dua hal; isi dan bentuk. Kadang, dua poin ini tidak jalan secara proporsional sehingga kabur mengabarkan pesan. Kadang tulisan yang mengedepankan isi, tidak terlalu ambil pusing seperti apa gaya tulisan harus dijabarkan. Tulisan sejauh isi ingin disampaikan sudah cukup menggunakan bahasa dengan gaya sederhana. Isi, dari cara ini jauh lebih penting dibandingkan gaya bahasa yang bisa mengacaukan tatanan makna sebagai inti pesan buat khalayak.

Namun, gaya sebagai kemasan di saat tertentu juga menjadi penentu. Pengandaian kemasan sebagai kulit luar dari isi, adalah penampakan pertama yang memberikan kesan estetis bagi pembaca. Melalui kulit luarlah, dengan kesan yang estetis, isi tidak sekedar informasi yang memberikan pengetahuan, melainkan menjadi pesan yang menggugah rasa. Dengan cara itu, suatu tatanan bahasa akhirnya tidak sekedar alat penyampai pesan, tapi juga jadi unsur penting ketika pesan disampaikan. Di bagian inilah, orangorang sering mengambil bentuk sastra ketika mengemas tulisannya. Pertimbangannya bukan sekedar hanya soal gaya belaka, melainkan bagaimana suatu tulisan dilengkapi dengan unsurunsur retoris.

***

Semenjak kelas dibuka, kelas literasi mengedepankan tujuan agar setiap kawankawan mahir menulis. Berbeda dari kelas angkatan pertama, kelas angkatan kali ini menggunakan sistem yang mendorong agar setiap tulisan menjadi jejak rekam perkembangan kemampuan menulis. Sistem ini sengaja diajukan sebagai tolak ukur sekaligus bahan evaluasi sejauh mana perbaikanperbaikan dilakukan demi pencapaian tujuan.

Di kelas, kawankawan juga diharapkan saling memotivasi. Menjadi teman cerita, bahkan menjadi teman curhat. Kelas literasi, walaupun diformat sebagai kelas menulis, di beberapa kesempatan kadang sering kali dibuat jadi ajang diskusi. Di momenmomen itu, kadang diskusi bisa menyentuh banya soal, bisa melibatkan banyak perspektif. Akibatnya, dari situ sering bikin penasaran kawankawan jika ada satu tema tidak tuntas dibahas. Namun, harus dimaklumi, kelas literasi bukan forum kajian. Konsepnya berbeda.

Minggu depan, tentu banyak tulisan juga pasti banyak cerita. Tulisan, yang ditulis kawankawan, mungkin saja bukan sekadar tulisan belaka, barangkali di situ ada bathin yang bergulat penuh keresahan, ada kecamuk pikiran atas gagasangagasan, atau bahkan ada kisah yang mau dibilang. Kalau sudah begitu, siapa sangka itu berarti akan banyak cerita, akan banyak telinga, juga akan perlu banyak mata yang lebih peka.

Arsene, Arsenal, dan Arsenik

Pada penghujung putaran kompetisi sepak bola di daratan Eropa, bulan Maret 2016 ini, salah satu klub sepak bola ternama, Arsenal yang bermarkas di London Utara, Inggris, negeri leluhur asal muasal sepak bola modern mengalami nasib yang kurang beruntung. Arsenal, yang dimanejeri oleh Arsene Wenger -yang digelari Profesor- pelatih berkebangsaan Perancis, sesarinya adalah satu-satunya klub yang singgah di hati keluarga kerajaan, khususnya Sang Ratu. Arsenal sendiri, sedari awalnya merupakan klub sepak bola yang didirikan oleh para pekerja di pabrik mesiu, meriam milik Kerajaan Inggris. Dari latar inilah, segenap keluarga kerajaan jatuh cinta.

Arsenal diartikan sebagai:  bangunan permanen tempat penyimpanan, pembuatan, dan perbaikan senjata, amunisi, dan alat-alat perang lainnya (KBBI). Entah takdir apa yang membawa Arsene Wenger ke Arsenal, yang namanya identik. Bahkan, kalau saja sejarah Arsenal di-delate, bisa-bisa banyak yang mengira bahwa Arsenal dimiliki oleh Arsene, yah… Arsene Wenger. Saya sendiri, sejangkau ingatan saya, pernah berasumsi semisal itu. Maklum saja, saya mulai jatuh cinta pada Arsenal, bersamaan dengan hadirnya Arsene Wenger di Highbury, markas lama Arsenal.

Tiada sosok yang lebih menderita dari Arsene Wenger, terutama di waktu kiwari ini. Musim kompetisi 2016, yang sudah menuju senja, hampir berakhir, sekotah perburuan trofi sisa menyisakan harap pada Liga Primer Inggris. Piala Champhion sudah lepas, disingkirkan oleh Barcelona, yang menurut Arsene sendiri adalah sebuah klub dari planet lain. Sebelumnya, klub papan bawah, Watford mendepak Arsenal dari Piala FA.  Demikian pula, sejak awal musim terpental dari Piala Carling. Trofi Liga Primer makin sulit diangkat oleh para pemain, pelatih dan ofisial lalu dirayakan oleh sekaum fans, para gooners. Selisih poin yang cukup jauh dari pemuncak klasmen, Leciester City, nyaris memustahilkannya. Sebab, perburuan juara bukan ditentukan sendiri oleh Arsenal, melainkan sejauh mana klub-klub lain mengalahkan Leciester.

Suara-suara protes dari para fans Arsenal, para gooners, mulai terbelah. Tidak sedikit yang menginginkan pergantian pelatih-manejer. Mereka meinginginkan Arsene hengkang dari Emirates Stadium, markas baru Arsenal. Padahal, selama dilatih oleh Sang Professor, perolehan trofi sudah terkoleksi sebanyak  3 Liga Primer, 6 FA, dan 6 Community Shield. Namun, semuanya seolah tak berbekas. Banyak yang memperkirakan, nasib Arsene bakal menysul Mourinho di Chelsea, dan pelatih-pelatih lain yang dipecat di musim ini.

Tapi, ada hal yang menarik, salah seorang pemilik saham terbesar Arsenal, Stan Kroenke, yang mensabdakan: “Saya tidak membeli Arsenal, untuk memenangi trofi.” Setidaknya, penabalan ini mengamankan Arsene dari sisi manajemen klub. Dan, ini pula yang membedakan dengan para gooners, mereka membeli tiket pertandingan, lalu menuntut trofi.

Kekalahan demi kekalahan, absennya dari perburuan trofi, bagi sebuah klub sepak bola, termasuk Arsenal, apatah lagi bagi pelatihnya, ibarat di depan matanya tersedia arsenik, racun. Bubuk racun mesiu sering dinamai arsenik, yang sesungguhnya merupakan unsur nonlogam dengan nomor atom 33, berlambang AS,dan bobot atom 74,9216. Arsenik ini cukup ampuh sebagai racun pembunuh seseorang, konon Munir, aktivis HAM, mati karena sejenis arsenik.

Kini, pada setiap pertandingan sisa bagi Arsenal, sang Professor Arsene, di samping mencak-mencak , berteriak-teriak di pinggir lapangan, sesungguhnya, bersamaan dengan itu, berondongan arsenik dari para penonton senantiasa siap ditembakkan. Kali ini, benarlah apa yang pernah diucapkan oleh Yusuf Kalla, kala berkomentar tentang memimpin sebuah klub sepak bola, “ kalau kita kalah dalam pertandingan, maka semalam suntuk hingga pagi kita akan dicaci, sebaliknya kalau menang, maka kita akan berpesta sejak malam sampai pagi. Menang kalah sama saja, sama-sama capek.” Meriam London -julukan lain dari arsenal- dengan mesiu arseniknya, kali ini menohok langsung sang arsitek, Arsene. Arsenik itu bunyinya, “Arsene thanks for the memories but it’s time to say goodbye.” Atawa yang lebih menohok lagi, “Time for change, Arsenal FC not Arsene FC, #WengerOut.”  Memang prestasi begitu sulit diraih, tapi kekalahan amat mudah didapat. Waima, masih ada fans yang membentangkan spanduk bertuliskan, “We Trust Arsene”, termasuk saya, yang mengaminkannya. Sulhan Yusuf

 

 

Catatan KLPI Pekan 9

Parasnya lelah. Mukanya sendu, keringatnya cucur. Di penghujung pukul sembilan malam suaranya berubah parau. Awalnya, perempuan ini bersemangat memimpin forum. Namun, waktu berderap, energi banyak dikuras, forum masih panjang. Di waktu penghabisan, Hajrah merapal karya tulisnya. Kali ini gilirannya.

Satu persatu huruf diejanya. Tulisannya agak panjang. Kali ini dia menyoal masyarakat tanpa kelas perspektif Marx. Yang unik dia menyemat Rasul Muhammad sebagai tokoh lain. Di tulisannya, dua orang beda zaman, disandingkan. Lamatlamat, forum berubah khusyuk. Suaranya akhirnya mulai stabil.

Kalau mau dibilang, Hajrah menulis ulang isi suatu buku. Semacam resume. Hajrah bilang, awalnya dia mau menulis resensi. Cuman, dia agak ragu. Makanya dia mengulas tema umum buku yang sudah dibacanya, soal segregasi masyarakat. Nampaknya, tulisan itu bikin polemik. Di kelas, dari beberapa diksi dipakai Hajrah akhirnya jadi esensil, jadi soal.

Perkara itu dimulai Sandra dan Arhie. Perdebatan menyoal kata ganti “beliau” yang dinisbahkan kepada anak Abdullah bin abdul Muthalib. Sandra bilang, kata ganti “beliau”, yang merujuk kepada Rasulullah, dalam teks tidak sepadan. Asumsinya, sembari menyitir ilmu tafsir, “beliau” bukanlah diksi yang layak disemat kepada Muhammad saw. “Beliau”, sejauh jelajah literatur Sandra, belum ditemukan mengganti Rasulullah sebagai kata ganti. Bagi Sandra, ini bukan soal perkara diksi belaka. Ini soal hubungan penanda dan tinanda.

Arhi justru punya asumsi lain. “Beliau” bukan soal karena mengandung makna penghormatan. Artinya, jika dipakai merujuk kepada Muhammad nabi terakhir, itu boleh saja. Hubungan penanda dan tinanda di situ tak jadi soal. “Beliau” sebagai kata pengganti, sebagai penanda, dan “Muhammad” orang yang jadi tinanda, secara semiotik bisa dibenarkan sejauh itu merujuk kepada hal yang sama. Arhi, karena itu bilang, “Beliau”, sama halnya julukan Muhammad yang lain, bisa dipakai sebagai kata ganti.

Soal lain yakni diksi “pemikir” yang ditulis Hajrah. Konteksnya, Muhammad dan Karl Marx disebut “pemikir” besar yang punya pengaruh. Di sini, saya nyatakan, perlu kehatihatian jika mau menyebut  Muhammad “pemikir”. Karl Marx punya gagasan sosialisme ilmiah, dia berpikir soal nasib buruh. Dia bersama Enggels merumuskan Manifesto Komunis. Syahdan, Marx adalah orang yang memacu intelektualitasnya dengan berpikir di batasbatas keilmiahan. Sedangkan Muhammad seorang nabi. Dia kalau mau dibilang tidak punya “orisinalitas” pemikiran. Muhammad, orang yang menerima wahyu, dia seorang pembawa pesan.

Soal ini akhirnya jadi esensil. Banyak kemungkinankemungkinan terbuka. Kalau Muhammad seorang “pemikir” maka dia orang yang punya ruang otonomi menggunakan rasio. “Pemikir” apalagi dalam konteks modern, merupakan antitesa dari cakrawala bathin abad pertengahan. “Pemikir” dan seperti intelektualitas abad pertengahan “Perenung”, dua soal yang berbeda tolak ukur. “Pemikir” akibatnya adalah suatu “pemberontakan” terhadap otoritas wahyu yang menjadi sistem pengetahuan sebelum abad modern.

***

Kelas dimulai sekira pukul dua. Kawankawan agak telat. Saya dan Hajir, seperti biasa pergi menggandakan Kala. Selebaran ini sudah masuk bulan ketiga. Di edisi akhir Maret, Kala punya kolom baru; “Unjuk Rasa“.

Kolom ini sudah jadi “milik” Sulhan Yusuf. Nampaknya, dia sudah ditakdirkan menulis di sana, halaman terakhir KalaKalabukanlah media berita yang punya nama. Dan, memang Kalabukan media berita. Kala hanyalah mini buletin yang terbit setiap akhir pekan. Tapi, kolom “Unjuk Rasa” yang baru di Kala jadi semacam nilai jual. Pasalnya, di situ Sulhan Yusuf melahirkan ideidenya tiap akhir pekan. Di situ, kita bisa berjumpa “Sulhan Yusuf” yang lain.

Saya kira, di beberapa komunitas, Sulhan Yusuf bukan asing. Dia orang yang gampang dikenali. Ciri khas yang lekat dari beliau adalah kepala yang plontos. Kalau mau dibilang, hidup pria penggila Arsenal ini adalah dunia literasi. Dari mahasiswa hingga sekarang, hanya satu semesta tempat Sulhan menyatakan diri; dunia aktivisme. Makanya, contoh vulgar kayak bagaimana aktivispar excellence, Sulhan Yusuflah orangnya.

Aktivisme itulah yang dia niatkan untuk Kala. Dia sudah dibaptis untuk mengakar diri di kolom “Unjuk Rasa“.  Di tulisan perdananya, dia bilang ini jalan literasi yang bakal ditempuh. Kolom “Unjuk Rasa” sebidang rumah tempat dia datang karena merasa terpanggil. Menulis, bilangnya, adalah panggilan jiwa.

Karena itulah, di kolom itu kita bakal bertemu “Sulhan Yusuf” yang lain. Di situ bukan Sulhan Yusuf penggila Arsenal, bukan Sulhan Yusuf yang kerap jadi “murid” Guru Han, juga bukan seorang pimpinan Paradigma Institute. Di situ, “Sulhan Yusuf” sudah jadi pemikiran, ujud yang dirundung kenyataan, ditimpa soalsoal dan kembali bersuara, berunjuk rasa.

Makanya bisa dua hal terjadi di sana, di kolom “Unjuk Rasa“. Pertama, dari mata bulat Sulhan Yusuf, dia bisa memapar beragam kejadian. Dari matanya, dia bisa mewakili mata objektif orangorang. Menulis atas orangorang, juga merasai seperti orang kebanyakan. Matanya, atau perspektifnya adalah pengamatan yang berusaha masuk dalam dunia orangorang. Akibatnya, Sulhan harus jadi “orangorang kebanyakan”, dia harus objektif.

Atau, yang kedua, dari ruang bathin yang subjektif. Di sini, kemungkinannya jadi lain, di sini dunia objektif jadi surut. Di ruang bathin, Sulhan berlaku subjektif. Di ruang ini, Sulhan memiliki kemerdekaan berbuat apa saja. Tak ada yang punya hak intervensi di situ. Di dalam dimensi subjektifitas, Sulhan bisa menulis apa saja, mulai dari perkara pribadi sampai ihwal masyarakat. Mata bathinnya bisa berlaku surut atau maju menyoal masa silam atau masa depan. Karena itulah disebut unjuk rasa; menyuarakan segala soal dari dalam kepada khalayak. Suatu pernyataan sikap.

Di dua kemungkinan itulah kita bakal menjumpai “Sulhan Yusuf” yang lain. Dia bakal bergerak di antara suara orangorang banyak atau seorang yang mengambil suatu sudut di antara banyak orang. Dia bakal bermain di batas dua dunia, dunia subjektif, juga dunia objektif. Dia bakal menulis khalayak ramai faktafakta atau ihwal sunyi permenungan suatu jiwa.

***

Akhir Maret pekan yang terik. Kelas menulis PI ramai dengan pekik suarasuara. Kadang gema bibir kala gema aksara. Dari situ tulisan dibaca satusatu. Ini metode pertama kali dipakai. Mekanismenya, tulisan yang dibawa dibacakan sendiri untuk dikritik. Satu tulisan dibaca, satu tulisan dikritik.

Gema itu salah satunya datang dari dua tulisan; Arhi dan Heri. Mereka menyoal dua kasus berbeda, tapi siapapun membacanya pasti tahu, mereka sebenarnya sedang protes. Barangkali “protes” itulah benang merahnya. Sadar atau tidak, mereka jadi dua orang yang bersuara paling lantang atas tulisannya. Mereka sedang memprotes dunia “orangorang suci”; dunia pendidikan.

Arhi menyoal kebijakan pemerintah yang dianggap meliberalkan pendidikan. Atas itu dia tulis lengkap sejumlah aturanaturan. Mulai undangundang sampai peraturan presiden. Dari BHP sampai BLU. Di situ Arhi menulis sejumlah alasanalasan mengapa BLU perlu ditolak, selain karena privatisasi, juga liberalisasi. Arhi tulis “bolehkah kami bertanya, kapan kampus lebih baik dari peternakan anjing? Lebih baik dari pembuangan sampah? Tidak kebanjiran ketika hujan, dan tidak berdebu ketika kemarau? Tidak kepanasan ketika kuliah? Kapan biaya kuliah kami murah? Kenapa kami harus bayar mahal, tapi fasilitasnya tidak layak?

Heri, yang juga seorang mahasiswa, mengungkap faktafakta ganjil penyelenggaraan pendidikan di almamaternya. Dia bilang banyak bentuk diskriminasi dilakukan di sana. Dan, juga yang dia sebut ganjil adalah soal pungutan liar.  Jadi kasusnya soal sebentuk kegiatan yang dilakukan oleh pihak kampus kepada mahasiswa UKT. Sesuai aturan Pemendikbud No. 55 Tahun 2013, tidak ada lagi pungutan biaya bagi penyelenggaraan akademik berbasis uang kuliah tungal. Namun sayang, kegiatan itu membebankan sejumlah pungutan kepada mahasiswa UKT demi berlangsungnya kegiatan. Heri menulis, “hal ini musti dikritisi dan mendapat respon yang baik bagi kalangan mahasiswa sendiri, menyatukan suara dan berteriak tolak pungli.” Di akhir tulisannya dia menutupnya “Namun kita haris yakin bahwa penindas, cepat atau lambat akan binasa”.

Sebelumnya, Salman sudah dahulu bersuara. Dia tulis soal perilaku manusia yang merusak alam. Tulisannya mirip suara koor yang berteriak dibelakang panggung, bahwa aktivitas moralis pecinta alam, justru punya maksud lain. Atau digeser dengan maksud lain. Dia singgung soal brandbrand terkenal yang menciptakan trend mencintai alam, namun justru kental dengan unsurunsur kepentingan kapital. Mahasiswa alumni fakultas pendidikan ini, juga  sedikit menyinggung soal etika komunitas alam yang dinilai ambivalen dengan semangat ekologis yang sering jadi jargon.

Tapi, juga ada suara gema yang lain. Semacam kabar bahwa dunia bukan medan yang lurus, melainkan dunia yang landai, curam. Vivi, dengan prosa lirisnya bersuara soal peralihan perempuan muda yang secara transfiguratif menjadi seorang ibu rumah tangga. Fifi, menulis kesankesan peralihan dari seorang perempuan muda yang tibatiba mengemban suatu tanggung jawab keluarga. Dia mengungkap dunia kejiwaan perempuan yang beralih dunia. Perasaanperasaannya. Pekerjaannya kala sendiri mengurusi keluarga. Dan, di situlah kekuatannya, dia mengungkap sisi “keterasingan” seorang istri dari seorang suami yang sibuk dalam dunia kerja.

Retno Sari dan juga Marwa, merekam gema soal suara seorang perempuan yang tersakiti. Retno menulis deskripsi perempuan dengan analogi bungabunga. Di saat dia membaca tulisannya, implisit di situ parau suara perempuan yang bangkit dari semacam pengalaman traumatis. Retno bilang, dia sering mendengar curahan hati perempuanperempuan sekitarnya. Soal bagaimana suatu pengalaman kelam tidak membuat perempuan mendendam dan tersakiti, malah bangkit dan menjalani kehidupan selayaknya kehidupan normal. Suara semacam itulah yang dia tulis, dengan analogi bungabunga.

Marwa, perempuan yang mengemas suaranya lewat fiksi. Teksnya adalah kritisisme perempuan atas idealisme intelektual. Dia nyatakan ambivalensi yang dia rekam. Di kampus, tempat kala menara ilmu jadi tinggi, idealisme sudah jadi barang usang. Idealisme hanya jadi bahasa lantai, atau bahasa jalan raya yang diinjak dan berlalu begitu saja. Kampus, hanya kumpulan suarasuara tengik omong kosong. Di sana, idealisme, entah di atas mejameja birokrat, atau di bukubuku mahasiswa hanya kecerdasan yang disembelih oleh sikap amoralis.

Tapi, di baitbait puisinya, Marwah masih menaruh harap. Terutama kepada orangorang yang harus tercaci maki. Orangorang yang menempuh jalan kecil. Orangorang yang mungkin cuman seorang dua orang, orangorang yang hanya dihitung jari. Orangorang yang punya mimpi besar, dengan gagasan besar. Orang “yang menempuh jalan yang kecil meskipun harus tercaci maki.”

***

Muhajir memacu motornya. Suara knalpot setengah bocor itu membelah jalan Pabbentengang. Saya sedari awal yang diboncengnya duduk memegang selebaran Kala. Kami memang sudah dua minggu ke tempat yang sama menggandakan Kala. Di siang itu, dengan Kala yang tintanya belum kering betul, melaju ke tempat kelas literasi PI digelar; TB Paradigma Ilmu. Di situ kami yakin sudah ada kawankawan menunggu.

Hajir menarik tali gasnya panjangpanjang. Motornya meraungraung. Dan, siang masih terik. Ini hari yang bakal panjang.