Revolusi Sistem Pendidikan, Benarkah?

Tetiba bunyi ping mengintrupsi khayalanku di hari Jumat, sore jelang malam. Satu penanda, ada pesan yang masuk ke WA. Aku beranjak meraih ponselku. Segera kueja pesan itu.

Jadijaki ke Bantaeng, akhir pekan ini?” demikian Daeng Litere, seorang karibku mengingatkan satu agenda, yang hendak kuhadiri.

Maklum saja, Daeng Litere ini amat cekatan dalam soal ingat mengingatkan perhelatan. Mungkin karena ia seorang pegiat literasi. Jadinya, ia selalu mencatat apa yang menurutnya cukup penting.

Iye, insyallah. Kalau bukan malam ini, Sabtu pagi aku ke Bantaeng.” jawabku sebagai balasan atas tanyanya.

“Oke, tengkiyu” Daeng litere merespon jawabku.

Begitulah Daeng Litere, selalu mendata agenda-agenda persamuhan di tanah tumpah darahnya, Bantaeng.  Ia selalu berusaha mengikuti seabrek hajatan itu. Khususnya bila berkaitan dengan momen literasi. Pun, segala sesuatu yang diliterasikan. Pasalnya, Daeng Litere telah berkukuh pada apa yang aku sudah tabalkan padanya, bahwa gerakan literasi yang paling kiwari, tatkala gerakan ini mampu dicolokkan ke berbagai bidang kehayatan. Literasi untuk semua, semua untuk literasi.

Nah, perkara apa yang diingatkan Daeng Litere padaku? Tiada lain satu acara super penting. Satu helatan seminar amat serius, sebab menawarkan gagasan revolusioner. Seminar itu bertajuk, Revolusi Sistem Pendidikan Untuk Menciptakan SDM Berkualitas. Helatan ini dihelat oleh Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Bantaeng, bekerjasama dengan Pemda Bantaeng, 19 Januari 2020, bertempat di Balai Kartini Bantaeng.

***

Pagi masih semenjana teriknya. Daeng Litere dan aku sudah menyata di Balai Kartini. Sekira jelang pukul 09.00. Daeng litere sudah mulai wara-wiri di dalam gedung. Biasalah, ia ingin memastikan tempat duduk yang cukup strategis buat menikmati persilatan gagasan ini. Aku, hanya santai di pelataran gedung. Bersua dan beramah tamah dengan peserta lainnnya. Juga menyapa beberapa pejabat. Berjumpa pula dengan banyak kawan Alumni HMI. Maklum saja, aku juga alumni, sehingga accarita sala, semacam obrolan ringan, menjadi bumbu penyedap persuaan.

Tak lama kemudian, Wakil Bupati Bantaeng, H. Sahabuddin, tiba di lokasi seminar. Ia mengenakan baju putih berlogo Kahmi dan Pemda Bantaeng. Di punggung bajunya tertulis, Seminar Revolusi Sistem Pendidikan. Rupanya, ia mengenakan baju yang juga dikenakan oleh panitia. Nampaknya, kehadiran beliau, dimaksudkan sebagai bagian dari penyelenggara. Dan, betul saja adanya, ia adalah alumni HMI juga. Aku ikut menyapa. Bahkan bercakap-cakap, sembari menanti kedatangan Bupati Bantaeng, Ilham Azikin, yang akan membuka acara, sekaligus selaku keynote speaker.

Aku mencari-cari Daeng litere. Berharap ia merapat juga, ikut bercakap. Namun, kelihatannya tidak tertarik. Ia lebih tertarik memburu run down acara. Sekira sepuluh menit kemudian, Ilham Azikin sudah mengada di lokasi. Aku ikut menyambut. Pastinya memang begitu, karena aku juga sebagai tuan rumah. Soalnya, di helatan kali ini, aku didapuk sebagai panitia pengarah. Waima fungsiku hanyalah sekadar menyapa, berjabat tangan, tebar pesona pada para penghadir, dan sesekali lempar senyum pada panitia.

Acara pembukaan langsung dimulai. Lagu Indonesia Raya dan Himne HMI mengalun penuh hikmat. Selanjutnya, lantunan ayat-ayat suci berkumandang dan setelahnya, doa dipanjatkan.Berikutnya, sambutan dari Ketua Panitia, Herman, disusul Ketua Kahmi, Nurdin Halim. Pucuk acara pembukaan, Ilham Azikin membuka acara, sekaligus menyampaikan pandangannya tentang apa yang diinginkan dari seminar ini.

Bila sudah tiba pada urusan pikiran, aku lebih percaya pada Daeng Litere dengan kemampuan mencatat satu alur pikiran. Aku mulai melirik tarian penanya, ia mulai mencatat pokok-pokok pikiran dari Bupati Bantaeng. Daeng litere menulis dalam kutipan, “Seminar ini bukan dihadirkan untuk merespon pernyataan menteri pendidikan, tapi jauh sebelumnya sudah ada perhatian serius akan potret pendidikan di Bantaeng. Satu hal, tidak boleh ada lagi satu, dua, atau tiga sekolah unggulan, tapi semua sekolah harus menjadi sekolah unggulan.”

***

Jeda sejenak setelah acara pembukaan. Aku mulai memerhatikan hasil buruan Daeng litere, tentang mata acara. Darinya kulihat dengan jelas, rangkaian acara seminar. Daeng Litere memperlihatkan nama–nama narasumber dan topik bahasannya. Baharuddin Solongi, pemerhati pendidikan dari Kompak, mengulas “Paradigma Baru Proses Belajar Mengajar Dalam Revolusi Sistem Pendidikan.” Berikutnya, Syafruddin, selaku Ketua PGRI Bantaeng, mendedahkan pandangan “Kesiapan PGRI dalam Pelaksanaan Revolusi Sistem Pendidikan.” Kedua penyaji ini tampil sebelum jeda istirahat untuk salat dan santap siang.

Setelah istirahat, tampillah Usman Djabbar Nappisona, seorang pegiat dari Guru Belajar Nusantara, membabarkan gagasan tentang “Revolusi Sistem Pendidikan: Perspektif Komunitas Guru Belajar Bantaeng.” Selanjutnya, giliran Nurwahidah Jamal, dari STIFIn Makassar menjelaskan “Peran STIFIn dalam mengawal Revolusi Sistem Pendidikan.” Menurutku, kelihatannya, keempat pembincang diharapkan mengulik tema besar itu, berlapikkan sudut pandang latar belakang dari pembicara.

Babakan selanjutnya, tanggapan dari berbagai pihak. Ada lima penanggap yang ditunjuk langsung oleh moderator, Mahbub Alimuhyar.  Para penanggap mewakili beberapa elemen yang dianggap berkepentingan langsung dengan tema seminar. Ada mewakili guru, kepala sekolah, pengawas, masyarakat, dan Kadis Pendidikan Bantaeng. Plus, dua penanggap dari penghadir, setelah sesi tanggapan. Acara berakhir setelah salat Asar. Ditutup secara resmi oleh Wakil Bupati Bantaeng, H. Sahabuddin.

Namun, sebelum benar-benar persamuhan bubar, Daeng Litere setengah berbisik padaku, “Benarkah mereka mengulas sedetail yang diminta, ataukah sekadar bicara permukaan, hanya menyentuh soal metodologis dan pendekatan, bukan pada sistem?”

****

Malamnya, aku dan Daeng Litere suntuk dalam percakapan. Mempercakapkan pokok-pokok pikiran seminar itu. Secerek kopi hitam nirgula membersamai kami. Sayup-sayup tembang kenangan dari Koes Plus mengkhusukkan  perbincangan.

“Benarkah tadi itu seminar, bisa dianggap sebagai persilatan pikiran revolusioner? Tanyaku pada Daeng Litere.

Belum sempat ia menjawab, aku sudah menambah tanya, “Di mana pikiran revolusionernya?”

Daeng Litere menyeruput sejenak kopinya. Lalu ia menyelaku, “Iya ya? Di mana pikiran revolusionernya?” sembari Daeng Litere kembali membolak-balik lembaran catatannya.

“Begini, aku beri ilustrasi dulu. Semacam metafor, buat menjelaskan seperti apa itu revolusi.” ucap Daeng Litere.

“Ada dua binatang sebagai pengandai. Satu ular, lainnya ulat. Ular, secara alamiah, kala tertentu mendaur ulang dirinya, dengan cara berganti kulit. Setelah kulitnya berganti, yang nampak tetaplah ular, cuman kulitnya baru, lebih kinclong, segar, dan bugar. Lain halnya dengan ulat. Waktu tertentu, ia bermetamorfosis, menjadi kepompong, dan dari kepompong, mewujud kupu-kupu.” tutur Daeng Litere.

Aku menyimak, ia melanjutkan, “Pada diri ular tidak berubah bentuk, hanya penyegaran. Sedang pada ulat berubah bentuk. Ular hanya melakukan reformasi, sementara ulat menempuh transformasi. Reformasi itu serupa evolusi, perubahan lambat. Sedang transformasi sebentuk revolusi, perubahan cepat.”

Aku tertegun saja. Lalu Daeng Litere kembali bertanya, “Apakah gagasan-gagasan yang menguar di seminar itu, serupa reformasi gagasan atau sebentuk transformasi ide?”

Aku terdiam. Mencoba mengingat alur pikiran para pembicara di seminar. Namun, sebelum aku berpendapat Daeng litere sudah lebih duluan berkesimpulan.

“Sepanjang ingatanku pada argumen di seminar dan sependek pengetahuanku, akan lebih cocok jika seminar itu hanya memperkarakan gagasan reformasi sistem pendidikan. Semacam perubahan yang terjadi di dalam sistem pendidikan, tetapi masih tetap memakai sistem pendidikan yang ada.”

Lebih tajam Daeng Litere berujar, ”Sekotah percakapan hanya membincang soal-soal metodologi pengajaran, kualitas guru, otoritas evaluasi pengajaran, anggaran pendidikan, pemetaan potensi kepengajaran.”

Aku coba membenarkan. “Bukankah tanggapan Kadis Pendidikan Bantaeng, Abdul Haris, yang menyatakan bagaimana sistem pendidikan itu diatur lewat undang-undang, lalu diturunkan menjadi peraturan menteri, dan bisa diadaptasi sesuai dengan kebutuhan lokal setiap daerah?”

Ungkapanku lang disambar Daeng Litere, “Jadi, tidak ada perubahan  sistem, yang mungkin ada perubahan di dalam sistem. Dan itulah reformasi. Sebab, revolusi dalam bentuk tranformasi itu menuntut perubahan sistem, pergantian sistem.”

Ah, malam makin larut. Malam sudah memangsa waktu lebih dari setengah perjalanannya. Kopi pun sudah habis di cerek. Aku usul untuk istirahat.

“Oke, kita jeda dulu. Nanti kita lanjut, mempercakapkan pikiran yang lebih revolusioner. Bukankah Lenin sudah bilang, tindakan revolusi itu, dimulai dari pikiran revolusioner? Daeng Litere mengakhiri percakapan.

Sebelum pisah, aku menawarkan sejumput harapan pada Daeng Litere, “Sebaiknya kita merancang kembali satu sawala yang lebih dalam, menukik pada ranah filosofis, melata di ruang paradigmatik, ketika memperkarakan revolusi di bidang pendidikan.”

“Ya, memang semestinya begitu. Percakapan revolusioner tentang revolusi, sebaiknya di ruang-ruang senyap. Sebab, revolusi itu setempuh jalan sunyi.” Daeng Litere mengunci persuaan.

Subuhnya, pada pertengkaran gelap dan terang, aku dijemput oleh mobil langganan. Senin subuh, aku balik ke Makassar. Bersemedi kembali, menjadi penjaga toko buku di bilangan Tamalanrea, Toko Buku Papirus.

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *