Perbuatan baik adalah yang membuat hatimu tenteram,
Sedangkan perbuatan buruk adalah yang membuat hatimu gelisah
—Hadis Nabi—
Apa yang menarik dari hidup? Bahwa di sana ada setumpuk masalah dengan berbagai macam bentuknya. Dengan berbagai wajahnya yang datang pada manusia tanpa jeda. Tanpa titik akhir jelas. Ia tak sedikit menghadirkan keresahan yang sangat. Sepertinya hidup adalah perhelatan penderitaan. Ia seakan mengingatkan kita pada Budha bahwa, “hidup adalah penderitaan dan manusia tidak bisa lepas darinya”. Mungkin sang Budha ingin mengisyaraktkan kepada kita semua, bahwa manusia itu sendiri dalam eksistensinya adalah masalah.
Bagi kaum eksistensialis, masalah bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Masalah adalah penanda akan eksistensi. Melupakan masalah berarti sama halnya melupakan eksistensi. Benar bahwa masalah melahirkan kerisauan, kegundahan, kecemasan pada yang mengalaminya. Jika mengalami itu, maka resah dianggap sebagai sikap cengeng. Namun tidakkah ia adalah sikap batin yang memberikan sedikit ruang padanya untuk merefleksi? Bukankah resah adalah jalan untuk berdialog dengan diri? Di sana ada tanya pada relung jiwa tentang kesalahan pada diri. Pada ruang ini, mungkin resah ingin kita beri batasan sebagai konsekuensi eksistensial terhadap realitas yang dihadapi.
Keresahan adalah enigma yang selalu ada pada manusia. “Besarnya” keresahan itu biasanya hadir tergantung pada konsepsi realitas (wujud) yang kita bangun. Pada premis ini mungkin kita ingin menilai resah sebagai sesuatu yang bertingkat seperti tingkatan realitas (wujud) dalam pandangan filsafat. Manusia merasakan keresahan, mungkin saja tak bisa di pisahkan dengan tingkat kesadaran. Di sana ada yang merasakan keresahan, jika pada dirinya tak memiliki materi yang banyak. Pada posisi itu, kita menempatkan materi sebegai suatu syarat yang real dalam eksistensi kita. keresahan ini kerena tak memiliki materi.
Jika kaum materialis, menilai penanda eksistensi adalah materi. Lain halnya dengan Platon. Dia melihat materi sebagai citra, imaji. Di mana, bila kita terikat dengannya maka ia menjadi penjara. Platon terlalu risih pada materi tapi perlu untuk direnungkan. Barangkali pandangan Platon ini, mengisyaratkan bahwa keresahan karena materi membuat kita terpenjara. Platon sepertinya mengajarkan bahwa yang demikian sangatlah rendah tingkatannya. Boleh jadi Platon ingin menyampaikan seharusnya keresahan kita pada materi perlu beranjak darinya. Menuju keresahan semestinya-resah karena adanya kesadaran akan jarak diri kita dengan dunia idea.
Lain Platon, lain kaum sufi. Menurutnya, resah hadir karena kita masih mengaggap diri sebagai eksistensi yang real. Tidakkah yang real itu hanyalah wujud (al-Haqq) dan kita adalah manifestasi (tajalli)? Bukankah wujud itu “tunggal“ tak berbilang. Bila menganggap diri wujud maka ada dua eksistensi (wujud). Cahaya itu cuma satu, hanya pada intesitasnya berbeda. Maka sang sufi mungkin ingin bertutur bahwa resah yang semestinya adalah kesadaran untuk “peniadaan” diri dan mengakui secara penyaksian bahwa hanya Dia-lah yang Wujud.
Barangkali antara Platon dan sang sufi (urafa) ingin mengajarkan kita kepada sebuah resah pada hidup yang transenden. resah yang tak terpenjara pada objek yang pada dasarnya tidak ada—tidak real. Mungkin ia hendak menyampaikan semestinya keresahan kita, karena tak “mengikatkan” diri kita pada wujud. Menjadi keresahan karena diri tak terpancarkan cahaya dan itu berarti kegelapan. Berada dalam kegelapan berarti berada pada ke-alpa-an wujud.
Founder Rumah Baca Akkitanawa, Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Luwu.
Rekaktur Kalaliterasi.com.