Arsip Tag: Filsafat

Menggugat Kuasa Pengetahuan dengan Fenomenologi

“Ada tiga hal yang tidak bisa lama disembunyikan, yaitu matahari, bulan, dan kebenaran”, begitu kata Siddharta Gautama. tetapi, “Apakah kebenaran itu?”

Upaya manusia mencari kebenaran melahirkan sejarah panjang pengetahuan dan kemajuan peradaban manusia. Dalam perjalanan panjang sejarah manusia, pengetahuan, peradaban, dan kemajuan sosial telah menjadi pilar-pilar utama yang membimbing evolusi kita sebagai spesies. Dengan keingintahuan yang identik, manusia terus mencari pengetahuan, mengeksplorasi alam semesta, dan menggali makna kehidupan. Seiring dengan akumulasi pengetahuan, peradaban manusia berkembang. Dari perkembangan pertama dalam seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi hingga munculnya sistem pemerintahan yang kompleks, peradaban adalah cermin dari kemajuan sosial manusia. Dengan demikian, pengetahuan, peradaban, dan kemajuan sosial adalah benang merah yang mengikat sejarah manusia, namun determinasi tidak berhenti pada kontribusi perkembangan pengetahuan terhadap suatu peradaban. Peradaban yang maju juga memberi implikasi besar pada konsepsi ilmu pengetahuan yang terus berkembang

Seperti belati bermata dua, kemajuan ilmu pengetahuan alam dan eksakta di awal abad ke-20 menjerumuskan kebudayaan ke dalam krisis kemanusiaan, kemudian mensimplifikasi manusia ke dalam makhluk satu dimensi (one dimensional), dan satu konsepsi kebenaran dengan objektivisme. Keragaman manusia dalam mempersepsikan realitas, terutama dalam cara pandang masyarakat terhadap diri sendiri dan orang lain dilupakan. Metode dan asumsi yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu alam dan eksakta telah mendominasi segala bidang, termasuk yang berkaitan dengan manusia. Pandangan manusia terhadap realitas dunia yang dianggap multidimensi telah didominasi dan bahkan “didominasi” oleh metode dan asumsi ilmu pengetahuan alam, seolah-olah hanya metode dan asumsi inilah yang paling valid. Itulah yang diungkapkan oleh Husserl dalam karya The Crisis of European Sciences (1936).

Penulis dalam tulisan ini berupaya menjelaskan bagaimana gelombang perkembangan metode pengetahuan fenomenilogis sebagai bagian dari fragmen sejarah perkembangan peradaban yang berkonsekuensi pula pada penafsiran kembali bagaimana manusia menerjemahkan realitas dan bagaimana perkembangan metodologi suatu ilmu.

Konsep fenomenologi dalam tradisi ilmu pengetahuan khususnya dalam hal epistemologi dipopulerkan oleh Edmund Husserl. Husserl belajar di kota Leipzig, Berlin hingga Wina dalam bidang matematika, fisika, astronomi, dan filsafat. Minatnya terhadap filsafat dibangkitkan oleh kuliah-kuliah filsafat Franz Brentano, seorang filsuf yang memainkan peran penting di Universitas Wina waktu itu. Dalam konsepsi ide Franz Brentano yang bagi penulis cukup spiritual, Brentano menggabungkan corak empirisme yang khas dari mazhab Lingkar Wina dengan tradisi berpikir skolastik, yang kemudian mempengaruhi lahirnya teori psikologi deskriptif. Tidak sulit untuk memperlihatkan pengaruh pemikiran Franz Brentano terhadap fenomenologi Edmund Husserl di kemudian hari khususnya ajaran tentang intensionalisme yang identik dengan corak fenomenologis

Konsep Utama Fenomenologi

Dalam membedah atau menerangkan suatu konsep teori pengetahuan secara umum kita bisa menelisik kedalam dua model analisis, analisis diakronik dengan melihat jejak geneologis suatu toeri atau analisis sinkronik dengan melihat secara holistik suatu teori dari beberapa ruang lingkup dan perspektif, seperti apa yang diterangkan sebelumnya.

Pemikiran Edmund Husserl soal fenomenologi juga tidak lepas dari pengaruh pemikiran psikologi diskriptif Franz Brentano yang menolak asumsi kausalitas dalam psikologi genetik dan penolakannya terhadap kebenaran yang hanya bisa diamati di luar diri manusia.

Menurut Brentano fenomena mental itu nyata. Dia tidak setuju dengan gagasan bahwa satu-satunya hal yang nyata adalah yang ada di dunia luar. Konsepsi kebenaran pluralistik dan penolakan terhadap objektivitas empiris menjadi pilar penting fenomenologi.

Adapun beberapa konsep kunci fenomenologi seperti kesadaran hanya dimiliki manusia, subyek yang berpikir, di mana kesadaran ini juga menuntut hal lain, yakni intensi. Intensi atau keterarahan ditujukan untuk sesuatu, yakni obyek, di mana dalam tradisi fenomenologi disebut “fenomena.”

Intensionalitas Keterarahan (intensionality) dapat dipahami dalam hubungannya dengan kesadaran (consiousness). Kesadaran akan sesuatu hanya mungkin terjadi karena adanya keterarahan atau intensionalitas pada sesuatu tersebut. Sejauh kita memiliki kesadaran akan sesuatu hal atau peristiwa tertentu, dalam arti fenomena, maka kita akan membentuk kesadaran akan hal itu, dan dari sana kemudian timbul pemahaman. Dan Epoche atau melepaskan keterhubungan.”

Epoche kerap diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan istilah bracketing, yaitu “menyekat” antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam fenomenologi, bracketing ini kerap diartikan sebagai penundaan penilaian atau suspension of judgment, dari fenomena yang kita teliti, atau disebut juga sebagai reduksi fenomenologis. Husserl menekankan bahwa untuk memahami dunia, kita harus melepaskan semua konsep, praduga, tendensi dan pretensi, sehingga menunda dulu setiap penilaian yang ada, agar fenomena tersebut tampil sebagaimana adanya. Dalam domain filsafat fenomenologi bisa diuraikan kedalam bentuk piramida segitiga kembar, jika kita berbicara persoalan filsafat ilmu maka paling tidak dalam suatu konsep penting mengklasifikasi posisi ontologis, epistemologis dan metodologis dari suatu konsep, juga melihat posisi aksiologis sebagai tujuan akhir suatu konsep.

Secara ontologi konsep fenomenologi berada pada suatu kenyataan kebenaran yang berisfat relative bukan bersifat statis yang kenyataan itu tetap namun sejauh apa yang disadari manusia dengan melepas asumsi asumsi universal. Secara epistemologi kebenaran tidak berada pada luar tetapi melekat pada persepsi internal subjektifitas, sehingga dalam penentuan kebenaran suatu realitas tidak berdasar pada apa yang nampak namun apa yang disadari, sehingga melahirkan keberagaman kebenaran bukan bersifat tunggal, sehingga secara metodelogis fenomenologis bersifat deksripsi dan klasifikasi yang melihat suatu realita itu bersifat parsial dan plural, tidak melihat realitas sebagai hubungan kausalitas sebagai satu satunya metode pencarian akan kebenaran dengan jalan verifikasi.

Secara Aksiologis cita cita fenomenologi sebenarnya sederhana bagaimana menginterpretasikan makna di balik sebuah realitas dengan menggunakan kesadaran manusia yang tidak tereduksi oleh objektivitas empirirk.

Kuasa Pengetahuan dan Otoritas Keilmuan

Dalam kacamata Foucault kekuasaan harus dipahami pertama sebagai macam hubungan kekuatan yang imanen. Hubungan kekuatan itu berlaku dalam unsur-unsur pembentuk dan organisasinya. Kedua, permainan yang dengan jalan perjuangan dan pertarungan tanpa henti mengubah, memperkokoh memutarbaliknya. Ketiga, berbagai hubungan kekuatan yang saling mendukung, sehingga membentuk rangkaian atau sistem, atau sebaliknya, kesenjangan, dan kontradiksi yang saling mengucilkan, terakhir, strategi tempat hubungan-hubungan kekuatan itu berdampak, dan rancangan umumnya atau kristalisasinya  dalam lembaga terwujud dalam perangkat negara dan perumusannya.

Ini berbeda pada pengertian kekuasaan secara umum  dipahami dan dibicarakan sebagai daya pengaruh seseorang atau suatu organisasi untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Dalam konteks ini, kekuasaan diartikan sebagai menindas, terkadang represif. Secara spesifik, dominasi terjadi antara subjek kekuasaan dan objek kekuasaan. Misalnya kekuasaan negara atas rakyat, kekuasaan laki-laki atas perempuan, dan kekuasaan pemilik modal atas buruh. Pemahaman  ini sering digunakan oleh para ahli sejarah, politik, dan masyarakat.

Dalam bidang epistemologi, ilmu pengetahuan modern, terutama ilmu alam dan ilmu-ilmu empiris, telah terlalu bergantung pada metode dan paradigma yang materialistik serta positivistik. Menurut Husserl, krisis ilmu muncul karena penekanan yang terlalu besar pada metode ilmiah yang mengabaikan aspek subjektif dari pengalaman manusia. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan modern telah terlalu terfokus pada objek luar dan mengabaikan subjek pengetahuan. Hal ini mengakibatkan kehilangan makna dan nilai dalam pengalaman manusia.

Upaya kembali ke akar-akar filsafat dan mengeksplorasi esensi subjektivitas manusia adalah suatu ikhtiar pengetahuan yang bertujuan untuk memahami pengalaman langsung subjek dalam segala kompleksitasnya, tanpa asumsi atau prasangka apapun.

Fenomenologi sebagai Metode Alternantif

Fenomenologi yang hadir sebagai jalan kedua metodelogi setelah penolakannya terhadap pilar positivistik yang dianggap dominan seperti rasionalisme empirik, kausalitas, dan esensialisme tunggal, upaya itu juga membuat pemikiran fenomenologi berkembang kebeberapa pemikiran seperti fenomenologi transendental Edmund Huserl tentang pencarian makna paling esensial yang diperoleh dari kesadaran manusia, atau fenomenologi interpretative ontologis Heidegger, atau eksistensialisme Jean Paul Satre dan Marleu Ponty.

Pada beberapa perbedaan konsep fenomenologi bagi penulis kesemua pemikir tersebut tetap membawa beberapa visi yang sama untuk mendobrak kemapanan konsepsi pengetahuan yang riskan dengan misi elektoral dan kepentingan kekuasaan, adapun beberapa poin yang dianggap penulis sebagai jalan alternatif.

Pertama pembaharuan metode, kritiknya atas Ketergantungan pada Metode Ilmiah Tradisional percaya bahwa ilmu pengetahuan modern telah terlalu bergantung pada metode ilmiah tradisional yang berfokus pada observasi empiris dan pengujian hipotesis. Ini menyebabkan penekanan yang terlalu besar pada objektivitas dan materialisme, mengabaikan aspek subjektif dari pengalaman manusia.

Kedua Membaeri tempat pada Subjektivitas fenomenologi menekankan pentingnya subjektivitas dalam pengalaman manusia. Menurutnya, pengalaman subjektif individu harus dipertimbangkan secara serius dalam membangun pengetahuan yang bermakna. bahwa pengetahuan yang lengkap tidak hanya terdiri dari apa yang dapat diamati secara eksternal, tetapi juga termasuk apa yang dirasakan dan dihayati secara subjektif oleh individu.

Ketiga kembali ke Filsafat, bahwa untuk mengatasi krisis ilmu, kita perlu kembali ke akar-akar filsafat. Penekanan pada pentingnya pemikiran filosofis yang mendalam untuk memahami esensi subjektivitas manusia dan hakikat pengetahuan. Bagi penulis krisis ilmu tidak hanya merupakan krisis epistemologis, tetapi juga mengenai krisis nilai dan makna dalam pengalaman manusia. kembali ke akar-akar filsafat dan menerapkan metode fenomenologi, kita dapat merumuskan kembali dasar-dasar ilmu pengetahuan yang lebih inklusif dan berdasarkan pengalaman manusia yang utuh.

Terakhir, manusia tidak akan pernah berakhir pada suatu konsep kebenaran yang ideal, bentuk dari keberadaan akal adalah perubahan itu sendiri, menjadi sebuah keniscayaan pengetahuan manusia akan terus bergerak maju dan merevisi konsepsi konsepsi yang sudah ada, begitupun dengan fenomenologi sebagai konsep dan metode adalah jalan alternatif untuk mengafirmasi kompleksitas manusa dan keberagaman pengalaman batin manusia, sehingga mengsimplifikasi dan mengobjektifikasi pengetahuan manusia yang harus berdiri pada satu standar pengetahuan yang mutlak adalah pengekangan terhadap gerak tumbuh pemikiran manusia.

Penulis ingin menegaskan bahwa apa itu kebenaran? Adalah hal yang masih misterium atau bahkan tidak ada, hanya upaya menormalisasi suatu standar tertentu dan menghakimi pemikiran tertentu dengan kalimat benar atau salah, singkatnya fenomenologi yang di uraikan penulis adalah sebuah ikhtiar bahwa kebenaran boleh saja bersifat plural dan upaya manusia adalah mencari makna realita dengan kesadaran sebagai kompas pengetahuan

Rupa-rupa Kebudayaan dalam Kehidupan Sosial Kafe

Saya sering merasa aneh sendiri tatkala sedang membaca buku di kafe, sementara pengunjung lain mengerjakan hal-hal yang jauh dari kesan “intelektual”. Saat saya lagi serius mengulik Homo Sacer-nya Georgio Agamben, orang-orang malah selfi-selfi, main game, main domino, dan sibuk dengan laptopnya masing-masing. Saya akhirnya merasa sebagai diri yang asing dalam suatu kawasan sosietal baru. Padahal fenomena masyarakat tersebut tidak baru-baru amat.

Sebenarnya (mungkin) tidak salah jika orang-orang sekadar kongkow sambil mengejakan hal-hal remeh teme di kafe. Saya pun sering melakukan hal demikian. Jika pun saya memilih kafe sebagai zona nyaman untuk membaca atau tempat diskusi wacana berat bersama kawan-kawan, itu juga tidak salah. Meski dikuasai oleh pebisnis dan korporasi, namun kafe ketika mulai beroperasi, dengan sendirinya akan menjadi ruang publik. Di kafe, semua orang bisa bisa bebas mengerjakan apa pun asalkan memesan, minimal kopi, dan membayarnya.

Tapi kadang saya berpikir. Jika generasi abad 21 berada di Inggris abad 17, saya yakin mereka akan jadi aneh sendiri saat sedang main PUBG di kafe, sementara orang-orang sedang asyik berdebat tentang politik, riset-riset ilmu alam, filsafat, dan sastra. Sebab di Inggris kala itu, kafe adalah ruang publik yang populer untuk menumbuhkan budaya intelektual. Orang Inggris menyebutnya coffeehouse atau kedai kopi.

Setidaknya dari tahun 1650 hingga 1754, kedai kopi menjadi tempat berkumpulnya sarjana hebat di bidang ilmu alam, sastrawan, seniman, para republikan yang senang memperdebatkan isu-isu politik, pebisnis, dan jurnalis. Bahkan, kafe di Kota Oxford sudah seperti, universitas alternatif. Menjadi pelengkap universitas dalam membentuk masyarakat terdidik. Ahli sejarah Inggris, Brian Cowan dalam The Social Life of Coffee: The Emergence of the British Coffeehouse mengatakan, pada tahun 1650-an, kedai kopi di Oxford menjadi tempat bagi para virtuosi atau para sarjana yang cerdas dan berbakat untuk membaca, belajar, dan berdebat mengenai diskursus yang menjadi minat bersama.

Di kedai kopi, para virtuosi membentuk klub-klub ekstra-universitas, salah satunya yang cukup terkenal waktu itu adalah Klub Kimia. Melalui klub itu mereka berkumpul membicarakan wacana ilmiah sembari menyeruput kopi. Maka tak salah jika saya menyebut kedai kopi sebagai universitas alternatif di masa itu. Budaya intelektual di kedai kopi di Oxford akhirnya memulai babak baru kedai kopi sebagai pusat kebudayaan, khususnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Di Inggris, kedai kopi pelan demi pelan menjadi ruang eksperimental bagi para ahli ilmu alam. Markman Ellis, profesor di bidang studi abad 18 dalam The Coffee House: A Cultural History mengatakan, para filsuf alam senang menjadikan kedai kopi sebagai tempat menguji hasil penelitian, fakta baru, dan hipotesis mengenai realitas natural. Kehidupan sosial khas yang dibentuk para ilmuwan, kata Markman Ellis, menjadikan kedai kopi sebagai ruang kunci tersebarnya ilmu pengetahuan baru yang dapat diperbincangkan dan diperdebatkan oleh masyarakat luas. Ilmu pengetahuan tak lagi ekslusif menjadi santapan universitas saja, namun juga sudah menjadi santapan publik.

Royal Society, perkumpulan para ilmuwan ternama di Inggris bahkan ikut tertarik menjadikan kedai kopi sebagai tempat berkumpul untuk mendiskusikan wacana sains terbaru. Kedai kopi disulap menjadi laboratorium. Saat itu, ahli fisika dan kimia, Robert Hooke menjadi kurator Royal Society yang bertugas mengusulkan sejumlah eksperimen ilmiah untuk diuji dalam pertemuan mingguan anggota Royal Society di kedai kopi.

Demonstrasi gagasan di kedai kopi yang dilakukan oleh Hooke dan kawan-kawan akan menjadi tontonan publik. Hal tersebut menjadikan kedai kopi sebagai ruang sosial strategis dalam mengajak masyarakat meminati ilmu pengetahuan. Di kedai kopi, mereka menguji apa saja sejauh masih dalam lingkup ilmu alam. Misalnya, menguji batu bintang, berdebat mengenai teleskop, mempercakapkan teori gravitasi, atau prinsip-prinsip gaya tarik magnet. Bahkan, tak jarang kedai kopi menjadi pertunjukan eksperimental yang menawarkan gagasan baru tentang sains alam.

Hal tersebut pernah dilakukan Hooke dan rekannya di Royal Society, Jhon Houghton. Mereka melakukan anatomi pada lumba-lumba secara publik di Garraway’s, kedai kopi langganan para ilmuwan di Inggris. Sebab waktu itu, lumba-lumba dianggap hewan laut yang anomali. Karena memiliki bentuk seperti ikan, namun organ internalnya mirip mamalia. Pertunjukan eksperimental tersebut sukses menjadi tontonan yang menarik, karena memperlihatkan pada publik sebuah pengetahuan baru tentang makhluk laut.

Kedai kopi tak hanya menjadi tempat berkumpulnya para ahli ilmu alam, tapi juga menjadi ruang yang nyaman bagi para republikan dalam memperdebatkan peristiwa dan teori politik. Klub Rota, asuhan ahli filsafat politik James Harrington, tumbuh menjadi komunitas populer lewat tradisi debat yang membudaya di Kedai Kopi. Melalui tradisi debat Klub Rota di kedai kopi, ide-ide republik menular dengan cepat di Inggris yang dikuasai oleh sistem monarki.

Pun, kedai kopi menjadi wadah kelompok sastrawan dalam memperdebatkan karya sastra. Mereka saling mengkritik syair atau puisi terkadang diwarnai dengan aksi kekerasan. Merki demikian, dialektika gagasan antar sastrawan ikut menyumbangkan perkembangan sastra di Eropa. Markman Ellis menyebut, melalui kedai kopi, gagasan modern tentang kritik sastra muncul dan berkembang.

Apa pun jenis minat masyarakat Inggris abad 17, menjadi percakapan yang menarik di kedai kopi. Bukan hanya wacana berat yang menjadi minat, namun juga informasi ringan seperti berita jurnalistik dan gosip-gosip terkini. Para jurnalis dan tukang gosip sangat senang berkumpul di kedai kopi. Karena kedai kopi sudah seperti tempat peredaran informasi paling masif. Siapa pun yang ingin mendapatkan informasi atau gosip terkini, pasti akan mengunjungi kedai kopi.

Kedai kopi sudah seperti republik sendiri di mana semua kelas dan kelompok masyarakat yang berbeda berkumpul dan memosisikan diri setara satu sama lain. Entah dia pebisnis, bangsawan, militer, intelektual. Ketika sudah berada dalam satu meja dengan masyarakat sipil biasa, maka tak ada satu pun yang derajatnya lebih tinggi. Karena setiap orang dapat didebati dalam ruang bebas kedai kopi.

Pun, kedai kopi saat itu menjadi semacam universitas alternatif, karena ilmu pengetahuan begitu melimpah dan tumpah ruah di sana. Orang Inggris menyebutnya penny universities (universitas sen). Sebab cukup membayar kopi dengan uang sen, orang-orang sudah bisa menimba ilmu melalui pertengkaran pikiran di dalam kedai kopi.

Perbedaannya dengan pendidikan formal, kedai kopi memberi ruang yang lebih longgar bagi keberagaman gagasan. Markman Ellis mengatakan, di kedai kopi setiap ilmuwan dan sarjana, atau pembelajar memiliki akses ke semua jenis pengetahuan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Olehnya itu, kedai kopi berbeda dengan sekolah, universitas, atau gereja yang terlalu memberi batas sempit pada gagasan-gagasan aneh dan unik. Kedai kopi membuka dengan luas proses pembelajaran bagi pengunjungnya. “Di abad ke tujuh belas, memasuki kedai kopi seperti berselancar di internet,” kata Markman Ellis, sebagai gambaran begitu melimpahnya informasi dan pengetahuan di kedai kopi.

Sekarang, kedai kopi sudah tidak seperti dulu lagi. Bahkan, penyebutan “kedai kopi“ sudah terlalu kolot dibanding “kafe” yang lebih kekinian. Apalagi jika menu-menunya memakai bahasa asing. Serasa menjadi generasi kosmopolitan jika nongkrong di kafe. Perubahan sosial-budaya di kafe memang tidak bisa dihindari. Sebab, sebagai ruang, kafe tak hadir pada dirinya sendiri. Kafe, meminjam istilah Lefebvre, diproduksi secara sosial.

Produksi ruang ini selalu mengandaikan adanya praktik spasial. Dalam praktik spasial (praktik meruang), masyarakat selalu menghasilkan pelbagai jaringan interaksi, komunikasi, pertukaran kebudayaan, kekuasaan dan ideologi, yang semua itu ikut membentuk pemaknaan tentang ruang. Kebetulan di Inggris abad 17, kafe diisi oleh filsuf, ilmuwan, sastrawan, sehingga ikut mengubah budaya kafe menjadi tempat berlangsungnya kegiatan intelektual.

Sekarang, kita hidup dalam masyarakat konsumen yang keserhariannya diisi oleh pernak pernik budaya populer, dengan segala psike khas orang-orang modern: narsis, egois, dan hedon. Maka wajar saja jika kafe hanya sekadar tempat hiburan, hura-hura, menjadi tempat pameran fashion anak muda, tempat dimana orang-orang ingin jadi pusat tontonan, dan ruang hidup orang-orang yang anti-sosial.

Kafe yang saat ini semakin kapitalistik jelas akan memberikan ruang bagi tumbuhnya kebudayaan seperti itu. Karena pengusaha kafe ingin menyerap konsumen yang lebih besar. Meski demikian, tak ada salahnya juga bagi kalian para intelektual, penggerak literasi menjadikan kafe sebagai ruang diskusi, membaca, meski disekelilingmu orang-orang tak peduli dengan apa yang kalian lakukan. Kadang menjadi lain dan aneh sendiri jauh lebih keren daripada harus mengikuti arus dan menjadi seragam. Bukankah begitu? []

Adorno dan Musik

Theodor W. Adorno (1903-1969) adalah teoritikus yang paling teguh dalam menghantam budaya populer melebihi pemikir lain di bidang yang sama. Dialah orang yang paling nyinyir terhadap produk industri budaya tersebut. Bahasanya pedas dan kadang berlebihan, khususnya saat mengomentari musik populer. Bagi Adorno, budaya populer tak lebih dari hasil produksi kapitalisme yang manipulatif, menipu, dan membuat masyarakat terlena.

Melalui industri budaya, kapitalisme mengubah wajah seni menjadi sebatas komoditas yang menawarkan segala bentuk kesadaran palsu. Hal tersebut membuat masyarakat kehilangan daya kritisnya saat mengonsumsi budaya populer. Teoritikus Mazhab Frankfurt itu juga kerap menuding budaya populer memiliki estetika berkualitas rendah dan cenderung homogen. Sehingga tak memberi alternatif dunia yang baru.

Homogenitas budaya populer akhirnya membuat masyarakat tak memiliki pilihan lain dalam menikmati kebudayaan karena terbelenggu oleh standarisasi yang sudah baku dan beku. Adorno punya istilah menarik soal ini: administreted word. Bahwa budaya adalah dunia yang telah diadministrasikan oleh kapitalisme.

Pandangan tersebut ikut mempengaruhi Adorno dalam memandang musik populer. Bahkan, Adorno yang juga seorang komponis itu menyebut musik populer sebagai sampah dan fasis. Dianggap sampah karena telah menurunkan selera masyarakat dan membuat masyarakat abai terhadap musik serius. Dianggap fasis karena bersifat menyeragamkan, sebagaimana watak budaya populer lainnya.

Watak fasis dan dangkal musik populer semakin kentara, saat musik tersebut hanya bisa memberi kesenangan dan hiburan yang menjemukan. Sehingga membuat masyarakat terlena dan abai terhadap kondisi riil yang dialaminya. Musik jazz adalah jenis yang paling tidak disukai oleh Adorno. Baginya, musik jazz adalah produk terburuk dari industri musik populer karena terlalu dangkal, kaku, dan tidak otentik.

Alih-alih mengabarkan dunia yang terancam dan penderitaan individu, musik jazz melalui teknik sinkopasi yang mengandalkan ketukan lemah dan offbeat pada ritme itu, hanya menghasilkan individu semu: pseudo-individualisasi. Di sisi lain, musik jazz—atau musik populer lainnya— justru menghasilkan Individu yang terpasung dalam dunia komoditas akibat kecanduan piringan hitam. Hal tersebut semakin menegaskan watak fasis dan otoriter musik populer.

Seperti bisnis fashion, musik jazz selalu menjanjikan sesuatu yang baru, namun sebenarnya merusak kedalaman seni itu sendiri. Hal yang paling menyebalkan bagi Adorno dalam musik jazz—juga pada musik populer lainnya— dia dirancang sebagai komoditas yang menghibur dan terdengar menyenangkan. Bagi Adorno, musik yang menghibur adalah musik yang buruk. Semakin menyenangkan, kualitas musik tersebut semakin dangkal.

Mungkin Anda menganggap Adorno adalah orang yang aneh. Bukankah musik dirancang untuk bisa dinikmati? Olehnya itu dia harus menyenangkan dan menghibur? Bagi kita yang terbiasa larut dalam ekstasi musik populer, pasti akan berpandangan seperti itu. Namun tidak bagi Adorno.

Baginya, musik yang menyenangkan dan menghibur hanya akan direifikasi (dibendakan) oleh industri budaya menjadi komoditas. Karena hanya musik yang menyenangkan dan menghibur yang bisa laris dijual secara massal. Musik seperti ini, hanya melayani pasar, menjadi budak kapitalisme.

Adorno mencita-citakan lahirnya “musik baru”, musik yang serius, sebagai antitesis dari musik populer yang hanya melanggengkan status quo. Musik tersebut dapat dilihat kebangkitannya pada karya-karya Arnold Schoenberg. Dia adalah komponis dan musikolog Amerika penemu twelve-tone technique (teknik 12 nada) yang dianggap komposisi baru di bidang musik.

Teknik 12 nada Schoenberg menghidupkan versi musik atonal yang menyimpang dari musik konvensional (musik tonal). Karena mengabaikan harmonisasi dan membebaskan diri dari keterikatan kunci nada. Jika musik tonal membuat improvisasi nada yang cenderung nyaman didengar. Teknik 12 nada yang mengusung versi musik atonal justru menciptakan musik yang tidak nyaman didengar.

Itulah mengapa Adorno sangat mengagung-agungkan Schoenberg. Sebab Musik Schoenberg tidak memberikan kenyamanan pada pendengarnya. Musik seperti itu, bagi Adorno adalah musik yang revolusioner. Sebab musik seperti itu menolak dikomersialisasi oleh industri budaya, karena sifatnya yang tidak bisa dinikmati oleh massa.

Alih-alih memberikan kenyamanan, musik Schoenberg justru menghubungkan pendengar dengan pengalaman akan derita dan tragedi. Penderitaan dan tragedi yang dirasakan pendengar akibat diteror oleh musik yang tidak nikmat itu bagi Adorno adalah sebuah kesadaran sesungguhnya tentang realitas. Cobalah mendengar karya Schoenberg berjudul Pierrot Lunaire. Betapa tidak nikmatnya lagu tersebut.

Namun, bagi Adorno, musik Schoenberg yang gelap dan gersang itu seolah-olah menyadarkan manusia terhadap realitas sesungguhnya, yang telah lama tidak dialaminya akibat dibutakan oleh psikologi palsu hasil fabrikasi industri budaya. Ketidaktaatannya pada standarisasi industri budaya, membuat Adorno berkesimpulan, musik Schoenberg sebagai cerminan dari musik yang emansipatoris []

Ketidakjujuran Mahasiswa dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi

 

Gerakan mahasiswa dalam menyuarakan aspirasi dan ketimpangan yang terjadi, turut hadir dan selalu mewarnai dinamika perjalanan kebangsaan Indonesia. Tidak jarang, dalam setiap peristiwa penting pembangunan bangsa, peran pemuda dalam hal ini sebagai seorang intelektual mahasiswa selalu terlibat dengan peran yang begitu krusial. Gerakan ini selalu hadir dari aksi kecil hingga aksi demonstran yang mengundang gejolak besar bagi bangsa. Tujuanya jelas, untuk mencapai keadilan dengan keadaan yang mensejahterakan rakyat, meskipun sering berbeda dalam hal gagasan dan gerakan secara konkrit.

Sejak awal mulai muncul spirit untuk mendirikan sebuah bangsa, gerakan mahasiswa hadir untuk mengawal spirit tersebut. Namun, hingga kini persoalan bangsa tentang ketimpangan, ketidakadilan, kemiskinan, hingga tidak terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan sila penutup dari pancasila, sulit untuk dikatakan berhasil. Bagaimana bisa, pada tahun 2016 hingga 2018 terdapat 22 juta masyarakat yang menderita kelaparan (Detik.com: 2019), kemiskinan yang kini mencapai 24,79 juta jiwa pada September 2019 (databoks:2020). Kekayaan 4 orang di Indonesia setara dengan 100 juta penduduk, ini membuktikan tingkat ketimpangan di Indonesia masih sangat tinggi (Makassar.terkini.id: 2020). Realita ini sangat berbeda dengan konsep kesejahteraan ketika Negara ini merdeka pada tahun 1945. Bahwa prinsip kesejahteraan adalah tidak ada kemiskinana di dalam Indonesia merdeka (Soekarno: 1945).

Apayang terjadi dengan gerakan mahasiswa, sehingga membuat masalah yang selalu berusaha dihilangkan selalu hadir, bagaikan telah menjadi kodrat bahwa pada setiap generasi yang memimpin bangsa, ketimpangan selalu terjadi. Hanya berganti wajah, namun selalu terjadi pada setiap generasi. Kita selalu berpikir bahwa sampai kapan tujuan dari gerakan mahasiswa akan benar-benar tercapai, apa yang salah dari gerakan ini hingga sekarang memasuki 75 tahun kemerdekaan bangsa, kata merdeka masih sulit terdengar ikhlas dan menggembirakan di mulut para masyarakat yang tinggal di pedesaan atau mereka yang tergolong sebagai rakyat miskin kota.

Masalah sebenarnya adalah krisis kejujuran yang masih sering melanda pibadi para mahasiswa, sehingga menyebabkan gerakan yang dulunya masif dilakukan untuk menentang ketidakadilan, menjadi sia-sia karena terputus ketika telah menjadi sarjana dan mendapatkan pekerjaan, apalgi jika pekerjaan itu menjadikan dirinya sebagai pemegang sebuah tanggungjawab kemasyarakatan. Kejujuran ini menjadi modal bagi pribadi mahasiswa itu sendiri, agar gerakan selalu hadir dan bear-benar membawa perubahan yang nyata bagi negara. Kurang pintar dapat diobati dengan belajar. Kurang cakap, dapat diobati dengan pengalaman. Namun tidak jujur, sangat sulit untuk diobati (Moh. Hatta).

Praktik-praktik ketidakjujuran pada diri mahasiswa sangat terihat dalam segala aktivitas kecil yang dapat membentuk karakter dirinya saat menygenyam pendidikan di kampus sebagai tembok terakhir peradaban. Setiap tahun, masih ada praktik-praktik perpeloncoan maupun pembodohan yang dilakukan oleh mahasiswa lama (Senior) kepada mahasiswa yang baru (Junior) memasuki dunia kampus. Padahal, saat baru masuk dunia kampus, mereka sangat menolak perbuatan semena-mena oleh para senior, yang tidak berdasarkan pada nilai kemanusiaan dan intelektual. Tradisi menitipkan absen ketika dosen tidak masuk, masih sering terjadi di dunia kampus dengan alasan solidaritas dan persahabatan yang erat. Begadang hingga bangun kesiangan, serta ketinggalan kelas saat kuliah sering terjadi. Lalu dengan pongah mengatakan bahwa ilmu tidak didapatkan hanya didalam kelas, sembari menenangkan diri. Sangat lucu, ketika malamnya dihabiskan waktu untuk membicarakan gerakan krusial merubah bangsa Indonesia kearah yang lebih baik, namun bangun kesiangan dan membiarkan gagasan itu hilang dan hanya menjadi sampah yang dimasukan kedalam kepala. Tidak hanya itu, ketidak jujuran ini juga merembet saat mahasiswa ini masuk dalam sebuah organisasi mahasiswa. Jabatan kebagai pemimpin organisasi mulai dijadikan dalih untuk mencari pendekatan dan status yang aman dalam kampus. Alhasil, seluruh program yang sangat mudah diucapkan sebagai produk retorika yang manis saat di depan mahasiswa lain, hanya menjadi bualan semata. Tidak hanya itu, membuang sampah sembarangan ditengah riuhnya kampanye mahasiswa untuk menjaga lingkungan, masih sering terjadi.
Diskusi tentang kenegaraan terlalu mendominasi mulut dan pemikiran mahasiswa sehingga membuatnya lupa, bahwa masih ada ruang-ruang kecil yang bisa dijadikan celah untuk merubah bangsa ini menjadi lebih baik.

Hal di atas merupakan contoh yang masih banyak didapati terjadi di dunia kampus dan dilakukan oleh mereka yang mengaku diri sebagai aktivis mahasiswa. Padahal kejujuran diri yang sering mereka suarakan saat menggelar aksi demonstran kepada para wakil rakyat ini, sangat ampuh dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang konsisten dilakukan itu. Ketidakjujuran, selalu dipelihara oleh para mahasiswa yang sebenarnya meraka sudah tau bahwa hal yang meraka lakukan itu salah, namun tetap saja dilakukan dengan alasan bahwa hal sekecil ini, tidak akan terlalu berpengaruh sehingga dinikmati sebagai bagian dari kekonyolan dalam dunia kampus yang bisa dikenang dimasa tua. Inilah penyebab tradisi mahasiswa dalam kampus, selalu stagnan dan masih berputar-putar pada permasalahan pembentukan karakter mahasiswa.

Sejak negara ini didirikan, tantangan terbesar bangsa ini adalah terjadinya ketidak adilan, yang menjelman menjadi kebatilan, keburukan, eksploitasi, yang merupakan tindakan korupsi hingga menjadi bentuk kejahatan yang mengakibatkan masyarakat bodoh dan miskin. Korupsi waktu, korupsi tenaga hinggga korupsi uang Negara yang mengakibatkan uang yang bisa dijadikan untuk membantu masyarakat dengan kemampuan ekonomi lemah, habis dimakan oleh onkum pemegang kekuasaan sebagi tindakan untuk memperkaya diri sendiri.

Tentunya kita tidak melupakan tujuh kasus korupsi terbesar di Indonesia. Korupsi Jiwasyara yang diperkirakan kerugian Negara lebih dari Rp.13,7 triliun, Bank Centuri yang menimbulkan kerugian Negara sebesar Rp.7 triliun, Pelindo II sebesar Rp.6 triliun, Kotawaringin Timur Rp.5,8 Triliun, BLBI sebesar Rp.4,58 triliun, E-KTP sebesar Rp.2,3 triliun dan Hambalang sebesar Rp.706 miliar, hingga penagkapan Bupati Kutai Timur yang diduga menerima suap Rp.2,1 miliar, serta kasus korupsi lain yang berapapun itu, tentunya akan tertimpa besar kepada masyarakat (Kompas.com: 2020). Karena anggaran yang seharaunya bisa untuk menanggulangi kemiskinan di sebuah daerah, hanya dipergunakan oleh segelintir elit.

Mereka yang terlibat dalam kasus besar ini, bukanlah orang biasa yang tidak memiliki bekal pengalaman maupun ilmu mumpuni, yang biasa kita katakan bukan anak kemarin sore. Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka, adalah orang-orang berilmu yang pernah mengenyam bangku perkuliahan, hingga didominasi oleh mereka yang dulunya sebagai aktivis mahasiswa yang lantang dalam menyuarakan ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Namun, setelah mereka mendapatkan kekuasaan, justru mereka melakukan hal yang selalu mereka tentang saat menjadi mahasiswa, dengan tentunya memperpanjang barisan perbudakan.
Akar dari masalah ini tentunya, adalah kejujuran yang masih sangat kurang dalam diri mahasiswa, dan tidak menjadikanya sebagai sebuah prinsip yang teguh. Kejujuran tidak berhasil tertanam dalam karakter mahasiswa, saat dirinya belajar di dunia kampus. Akibatnya, saat menjadi penguasa, pengkhianatan intelektual terus dilakukan hingga mengakibatkan masyarakat menderita. Sikap adil sejak dalam pikiran (Pramoedya: 1980) tidak berhasil melekat dalam diri mahasiswa, saat dirinya melepas status sebagai mahasiswa. Revolusi diri belum dilakukan, sehingga akan sulit untuk melakukan revolusi sosial (Ali Syariati: 1979). Ketidakjujuran ini membawa Indonesia sebagai Negara dengan posisi korupsi yang sangat tinggi, akibat ulah para anak bangsa yang sulit untuk jujur, mengakui kesalahan, memperbaiki dan tidak akan mengulainya.

Sebauh konsep merawat generasi mahasiswa benar-benar dilakukan. Mahasiswa harus membentuk kejujuran dirinya, sejak berada dalam proses pembelajaran di kampus, memulai langkah tersebut dengan gerakan kecil, seperti membuang sampah pada tempatnya, tidak melakukan hal yang berakibat buruk seberapapun kecilnya, dilakukan secara konsisten hingga membantuk jati diri yang jujur dan perduli akan perbaikan nasib bangsa.
Lingkungan mahasiswa sangat berpengaruh (Jalaluddin Rakhmat: 1985) dalam pembentukan karakter, sama halnya ketika memperjuangkan aspirasi masyarakat yang harus dilakukan secara kolektif dan masif. Lingkungan kampus harus bersih dari segala macam tindakan pembodohan, dehumanisasi yang menyebabkan karakter tidak jujur terjadi di mahasiswa. Jika lingkungan yang baik ini telah tercipta, tentunya mahasiswa bisa fokus untuk banar-banr belajar, sambil menunggu waktu generasinya akan memimpin bangsa, dan membawanya menjadi bangsa yang terbaik dengan mewujudkan kesejahteraan sosial.

Akhirnya, mahasiswa sebagai generasi penerus wajib untuk memiliki karakter yang jujur sebagai modal untuk memimpin bangsa ini kedepan. Presiden tidak selamanya adalah Jokowi, sama seperti tidak selamanya generasinya yang akan mengisi kursi pemerintahan. Pergantian generasi yang memimpin bangsa, menjadi hal yang pasti. Akan tiba masanya generasi kita yang akan memimpin bangsa ini. Tentunya sangat penting untuk merawat generasi hingga membawa modal kejujuran untuk menjalankan tanggungjawab yang besar. Masa depan pemberantasan korupsi secara sektoral dan menyeluruh, menjadi tugas dan tanggungjawab bersama yang benar-benar terwujud, sebagai sebuah prestasi bangsa yang tidak ternilai harganya. (rvlHapili)

Mengenal, Awal Cinta (Bag-3)

Sebagaimana dijanjikan dalam tulisan sebelumnya, pada kesempatan kali ini, akan diurai beberapa tema dasar dalam filsafat. Namun, harus diingat baik-baik bahwa kata “ada”—yang banyak digunakan pada dua bagian tulisan sebelumnya— bukanlah kata yang tepat untuk menerjemahkan kata “wujud” dalam bahasa filsafat.[i] Adalah kenyataan bahwa kata “wujud” itu sendiri mensyaratkan kesadaran dan persepsi. Namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat mendiskusikannya. Mudah-mudahan lain kesempatan, persoalan ini akan diurai dengan baik.

Seperti telaah-telaah sebelumnya, kita telah bahas bahwa obyek kajian filsafat adalah yang “ada”. “Ada” di sini merupakan segala sesuatu yang bisa kita rujuk. Lawan dari yang “ada” adalah ke-tiada-an. Ke-tiada-an adalah sesuatu yang tidak mungkin kita bisa berelasi dengannya. “Ada” sebagaimana ada merupakan sesuatu yang bersifat badihi, menjadi basis dari segala yang dijumpai. Ia di dalam dirinya sederhana, tidak memiliki pembagian apapun, melingkupi segala sesuatu tapi bukanlah menjadi segala sesuatu.

Selanjutnya, kita akan mencoba mengaji wujud dari segi makna “mungkin. “Mungkin, sering dikontraskan pula dengan “ada”. Makna “mungkin” di sini, merupakan variabel yang berbeda dengan makna “ada” dan “tiada”. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia banyak menjumpai dan mengalami sesuatu yang dianggap sebelumnya tiada. Namun, kemudian hari menyatakan ia ada. Misalnya, diasumsikan bahwa wacana filsafat adalah tema yang belum pernah terngiang di telinga ataupun hadir dalam benak. Dalam posisi ini, filsafat adalah sesuatu yang tiada dalam pengetahuan kita. Barulah pada saat di bangku kuliah, kata dan makna filsafat mulai dikenal.

Dalam konteks di atas, ‘sebelum’—kuliah—adalah kondisi di mana kita tidak mengenal kata dan makna filsafat. Dan, ‘setelah’—kuliah—adalah kondisi di mana kita mampu memahami kata dan makna filsafat. Jadi, makna “mungkin” di sini bukanlah sesuatu yang dalam dirinya dikatakan sebagai yang “ada” – diketahui, tidak pula dikatakan sebagai yang tiada – tak diketahui. Dalam berbagai kesempatan, saya sering menyebut bahwa makna “mungkin” berada dalam ketegangan antara “ada” dan “tiada”.

Dalam istilah filsafat, pembahasan di atas disebut sebagai tiga materi.[ii] Salah satunya telah kita jelaskan di bagian kedua dalam lanjutan tulisan ini. Hanya untuk mengonfirmasikan bahwa”ada” adalah sesuatu yang dalam dirinya bersifat wajib. Dalam terminologi filsafat disebut “wujud wajib”, yang dikontraskan dengan ke-tiada-an, yang mustahil berwujud. Misalnya, angka lima dalam hubungannya dengan ganjil, merupakan sesuatu yang bersifat niscaya dan mustahil lima adalah angka genap.

Selain itu, terdapat wujud yang disebut sebagai “wujud mungkin”. Di mana wujudnya, bukan hal yang niscaya meng-ada, bukan pula mustahil tiada. Misalnya, air pada dirinya memiliki ke-mungkin-an untuk mendidih, juga memiliki kemungkinan membeku. Kemungkinan atau potensi mendidih dan membeku ini, bukanlah sesuatu yang mustahil baginya, tidak pula niscaya baginya. Namun, apakah air akan mendidih ataupun membeku, sangat ditentukan oleh syarat dan kondisi eksternalnya. Jika tiada syarat dan sebab-sebab mendidihnya, maka mustahil baginya mendidih. Begitu pula, jika syarat dan sebab-sebab mendidihnya terpenuhi, maka niscaya baginya mendidih.

Keniscayaan air dalam ke-mendidihan-nya tidaklah bersifat mandiri. Air untuk menjadi niscaya—mendidih—membutuhkan sebab dan syarat-sarat tertentu. Dengan demikian, terdapat dua bentuk wujud wajib, yaitu wajib karena dirinya sendiri, dan wajib karena yang lain. Wajib karena yang lain inilah yang kita sebut sebagai “wujud mungkin”.

***

Wujud, jika dipandang dari sisi realitasnya, maka terdapat dua bentuk pemahaman terhadapnya, yaitu “wujud wajib” dan “wujud mungkin”. Pada realitas eksternal pula, kita menemukan adanya sistem pasti. Sistem pasti yang di maksud di sini ialah prinsip sebab-akibat. Ketika menyatakan sesuatu itu akibat, maka pasti ia memiliki sebab. Dan hubungan antara sebab terhadap akibat, merupakan hubungan bersifat niscaya .Ke-niscaya-an yang dimaksud ialah ketika sesuatu untuk dapat menjadi sesuatu yang lain, ia membutuhkan syarat dan sebab-sebab tertentu. Ketika syarat dan sebabnya terpenuhi, maka niscaya baginya untuk menjadi. Dengan demikian, sesuatu yang eksis di alam ini, terdapat ke-pasti-an dan ke-niscaya-an, sebaliknya sesuatu yang tidak eksis mustahil baginya terjadi di alam.

Hukum kausalitas ini, hanya dapat diterapkan pada wujud yang bersifat “mungkin”. Sedangkan pada “wujud wajib” dan “wujud mustahil”, mustahil dirinya memiliki hukum sebab-akibat.[iii]Wujud wajib” selamanya akan selalu ada, dan wujud “tiada” selamanya akan dalam ke-tiada-an. Akan tetapi “wujud mungkin” tidak niscaya baginya ke-tiada-an dan tidak niscaya baginya keber-ada-an. Andai diasumsikan ketetapan baginya, maka kita hanya bisa menyatakan bahwa keniscayaannya adalah ketidakniscayaan dalam “ada” dan “tiada”-nya.

Simpulan sementara, dalam menelaah wacana-wacana filsafat, kita akan menemui apa yang saya istilahkan sebagai triologi wujud[iv]. Triologi wujud ini, bukanlah sekadar asumsi akal semata, lebih dari itu, ia adalah cara dan instrumen dalam memahami realitas. Misalnya, dalam suatu proposisi; angka lima adalah angka yang ganjil. Hubungan antara lima sebagai yang ganjil adalah bersifat niscaya. Sedangkan, menyatakan lima sebagai angka ganjil sekaligus yang genap, adalah hal yang jelas mustahil. Di sisi lain, hubungan antara air dengan mendidih, relasinya adalah keserba-mungkin-an, yang tidak niscaya baginya mendidih dan tidak mustahil baginya untuk mendidih. Mendidih ataupun tidak, tergantung faktor, syarat, dan sebab-sebabnya. Di sinilah relevansi pembahasan konsep kausalitas, yang di lain kesempatan akan kita diskusikan.

Tunggu tulisan selanjutnya ya…

[i] Mempunyai akar kata yang sama dengan ‘wajada’, ‘wawajida’, ‘wajidatan’, yang arti harfiahnya; mendapat atau memperoleh.

[ii] Lihat, Murtadha Muthahhari, Pengantar Filsafat Islam.

[iii] Jika diasumsikan terdapat kausalitas dalam “tiada”, maka sama halnya, menyatakan ia “ada”. Begitu pula dengan “ada”, jika diasumsikan terdapat di dalamnya kausalitas, maka sama halnya menyatakan bahwa “ada” tercipta dari selain “ada”, yaitu ke-tiada-an. Dan ke-tiada-an mustahil dapat menjadi sebab keber-ada-an.

[iv] Dalam istilah Muthahhari disebut sebagai ‘tiga materi’.