Ideologi adalah konsep yang kompleks dalam artian tidak memiliki definisi yang tunggal. Jumlah definisi ideologi tergantung tokoh yang mengkajinya. Bagus Takwin dalam Akar-Akar Ideologi, mendaku bahwa ada tiga kategori dan pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat dan memahami ideologi: Pertama, pendekatan aliran yakni ideologi dicermati berdasarkan asumsi dari mana manusia mendapatkan pengetahuan. Dari pendekatan ini pula, maka ideologi dipandang dari segi positif dan negatif. Kedua, pendekatan yang dilihat aspek psikologis yang menjadi ranah (domain) ideologi. Ketiga, pendekatan kronologi yaitu melihat urutan waktu lalu membandingkanya dengan konsep ideologi yang lahir dalam waktu tertentu.
Mengacu pada pendekatan aliran sebagaimana di atas telah dijelaskan, maka dua bentuk yang muncul secara umum yakni ideologi yang dipandang positif dan negatif. Kelompok yang memandang ideologi sebagai suatu yang positif, melihatnya sebagai seperangkat nilai dan aturan tentang kebenaran. Dari sudut pandang ini, ideologi dianggap sebagai suatu yang terberi, alamiah, dan universal dan menjadi rujukan manusia dalam bertingkah laku. Aliran ini disebut sebagai aliran rasionalisme-idealis.
Aliran atau kelompok selain rasionalisme-idealis adalah empirisme-realis. Aliran empirisme-realis mengamati ideologi sebagai studi bagaimana ide-ide manusia tentang semua hal yang diperoleh dari pengalaman. Kemudian dari pengalaman itu, tertata dalam pikiran (mental) selanjutnya menjadi kesadaran yang mendeterminasi tingkah laku. Dengan demikian, aliran ini memandang ideologi dapat bernilai positif maupun negatif. Sisi positif dan negatif sangat ditentukan oleh realitas (fakta sosial) yang dihadapi oleh manusia.
Berdasarkan pada aliran rasionalisme-idealis dan imperisme-realis, maka pengkajian ideologi pun akhirnya bisa dilacak akar-akar kemunculanya. Walaupun penggunaan kata ideologi itu sendiri baru familiar di abad 18 oleh Destutt de Tracy (1754-1836). Dari asal katanya, istilah ideologi dapat dipilah menjadi kata idea dan logos. Secara sederhana dapat diartikan sebagai aturan atau hukum tentang idea atau pikiran. Penggunaan kata idea sendiri sejatinya sudah dapat ditemukan pada abad ke- 3 SM oleh Platon.
Platon yang merupakan salah satu filosof besar Yunani mengatakan, bahwa ada alam di mana segala kebenaran sejati dan segala rujukan bagi benda-benda yang ada di dunia fisik ini, ditempati oleh manusia sekarang ini—disebut sebagai alam idea. Apa yang ada pada alam semesta ini, merupakan tiruan semata dari apa yang ada dalam alam idea. Dengan demikian alam idea bersifat abadi sedangkan alam dunia (semesta) fana dan musnah. Pengertian ideologi jika mengacu pada idea sebagai kebenaran sejati, maka di sinilah ideologi menjadi sesuatu yang positif bagi manusia. Pandangan idea Platon ini, sejatinya mewakili aliran rasionalisme-idealis. Platon dengan konsep idea-nya banyak menjadi rujukan bagi pemikir-pemikir berikutnya.
Konsep idea yang kemudian berbeda yang dimaksud oleh Platon, lahir dari muridnya sendiri yakni Aristoteles. Istilah idea bagi Platon yang berarti kebenaran sejati dari “dunia idea” kemudian digunakan oleh Aristoteles dengan pengertian yang lain. Bagi Aristoteles, idea merupakan “representasi mental (dalam benak) dari persentuhan manusia dengan suatu yang ada pada kenyataan”. Padangan Aristoteles mewakili aliran empirisme-realis.
Gagasan Aristoteles ini kemudian banyak diikuti oleh kaum empiris berikutnya seperti John Lock, Etienne Bonnot de Condillac, Antonie Destuctt de Tracy, Karl Marx dan penerusnya (Marxian). Sebagaimana di atas telah diuraikan bahwa pada aliran ini, ideologi bisa dinilai sebagai sesuatu yang positif maupun negatif. Ideologi sebagai suatu yang positif memandang bahwa realitas (kenyataan-empiris) yang membentuk kesadaran (ide) sebagai suatu kebenaran yang sesungguhnya. John Lock, Etienne Bonnot de Condillac, Antonie Destuctt de Tracy mewakili pandangan ini.
Sedangkan di lain pihak, realitas atau kenyataan empiris yang kemudian selanjutnya menjadi kesadaran (ide) tidak menunjukkan kebenaran sebagaimana adanya. Dalam artian kenyataan itu, hasil rekayasa oleh kelompok tertentu—oleh kelas borjuis—oleh sistem kapitalisme. Sehingga kesadaran yang dimiliki oleh subjek (individu atau kelompok) adalah kesadaran palsu. Pada pandangan ideologi dinilai sebagai sesuatu yang negatif. Karl Marx menjadi tokoh utama dari pandangan ini kemudian dilanjutkan pengikutnya (Marxian).
Dari uraian di atas, kajian tentang ideologi benar-benar merupakan sesuatu yang kompleks. Tentunya dengan kompleksitas tersebut penarikan definisi ideologi menjadi beragam. Ali Syariati seorang pemikir asal Iran di bukunya, Ideologi Kaum Intelektual, misalnya, memberi pengertian tentang ideologi dengan melihat dari akar katanya. Ideo berarti pemikiran khayalan, konsep, keyakinan dan sebagainya. Sedang kata logi yang berarti logika, ilmu, atau pengetahuan—sehingga ideologi dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang keyakinan. Dalam konteks ini ideologi mengandung keyakinan-keyakinan dan gagasan-gagasan yang ditaati oleh kelompok, suatu kelas sosial, bangsa, ras tertentu.
John Storey, pemikir pop culture, melihat ada lima setidaknya pengertian ideologi. Pertama, ideologi yang dinilai sebagai seperangkat ide sistematik yang terlembagakan kemudian diartikulasikan oleh kelompok tertentu dalam masyarakat. Kedua, ideologi sebagai teks-teks atau praktik-praktik yang telah didistorsi dan diselewengkan dari kenyataan. Ketiga, ideologi adalah teks-teks budaya atau bentuk-bentuk ideologis yang mempresentasikan citra tertentu tentang dunia. Keempat, ideologi tidak hanya sebagai pelembagaan ide-ide, tetapi juga sebagai praktik material. Kelima, ideologi pada level konotasi, makna dan sekunder, makna biasanya tidak disadari yang ditampilkan oleh teks atau praktik.
Menurut Martin Suryajaya, ideologi memiliki kekuatan. Kekuatan pertama, ideologi adalah mampu mempengaruhi cara berpikir kita: mana benar, mana salah. Kedua, mengarahkan cara kita menilai mana baik, mana buruk. Ketiga mampu mengarahkan kita pada tindakan tertentu. Mana yang harus dilakukan mana tidak harus dilakukan. Lanjut Martin Suryajaya mengatakan bahwa terdapat beberapa bentuk ideologi antara lain: liberalisme, anarkisme, dan marxisme.
Liberalisme adalah idelologi yang menganggap individu harus bebas menentukan kehendak sendiri. Artinya individu bisa menentukan nasibnya sendiri. Ideologi liberalisme merupakan ideologi yang merayakan kebebasan individu. Liberalisme ini merupakan penopang dari kapitalisme. Liberalisme memiliki beberapa model. Model tersebut seiring dengan perjalanan sejarahnya—yakni kondisi sosial yang dihadapi. Liberalisme pertama disebut liberalisme klasik, kemudian modern, selanjutnya neoliberalisme. Adapun ideologi anarkisme adalah ideologi melihat bahwa sumber permasalahan politik yakni adanya negara. Terjadinya penindasan karena adanya dianggap lembaga yang berwenang sifatnya memaksa. Maka bagi anarkisme, negara harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem komunal.
Selanjutnya, Marxisme adalah rumpun teori yang menjadi pengikut Karl Marx dan Engels. Ideologi ini melihat bahwa terjadinya penindasan karena adanya sistem ekonomi kapitalisme yang melahirkan kelas. Dua kelas yang dilahirkan adalah kelas borjuis dan kelas proletar. Maka cita-cita dari ideologi adalah masyarakat tanpa kelas—komunal modern. Namun sebelum sampai ke komunal modern terlebih dahulu menerapkan sosialisme demokratik. Sosialisme demokratik memiliki beberapa ciri misalnya kediktatoran proletariat, depripatisasi, negara sebagai lembaga distribusi, negara menerapkan sistem jaminan universal.
#Tulisan ini sebagai bahan diskusi pada Intermediate Training BEM FIP UNM bertempat di STIE Amkop Makassar, Desember 2016
Founder Rumah Baca Akkitanawa, Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Luwu.
Rekaktur Kalaliterasi.com.