Arsip Tag: Revolusi

Ketidakjujuran Mahasiswa dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi

 

Gerakan mahasiswa dalam menyuarakan aspirasi dan ketimpangan yang terjadi, turut hadir dan selalu mewarnai dinamika perjalanan kebangsaan Indonesia. Tidak jarang, dalam setiap peristiwa penting pembangunan bangsa, peran pemuda dalam hal ini sebagai seorang intelektual mahasiswa selalu terlibat dengan peran yang begitu krusial. Gerakan ini selalu hadir dari aksi kecil hingga aksi demonstran yang mengundang gejolak besar bagi bangsa. Tujuanya jelas, untuk mencapai keadilan dengan keadaan yang mensejahterakan rakyat, meskipun sering berbeda dalam hal gagasan dan gerakan secara konkrit.

Sejak awal mulai muncul spirit untuk mendirikan sebuah bangsa, gerakan mahasiswa hadir untuk mengawal spirit tersebut. Namun, hingga kini persoalan bangsa tentang ketimpangan, ketidakadilan, kemiskinan, hingga tidak terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan sila penutup dari pancasila, sulit untuk dikatakan berhasil. Bagaimana bisa, pada tahun 2016 hingga 2018 terdapat 22 juta masyarakat yang menderita kelaparan (Detik.com: 2019), kemiskinan yang kini mencapai 24,79 juta jiwa pada September 2019 (databoks:2020). Kekayaan 4 orang di Indonesia setara dengan 100 juta penduduk, ini membuktikan tingkat ketimpangan di Indonesia masih sangat tinggi (Makassar.terkini.id: 2020). Realita ini sangat berbeda dengan konsep kesejahteraan ketika Negara ini merdeka pada tahun 1945. Bahwa prinsip kesejahteraan adalah tidak ada kemiskinana di dalam Indonesia merdeka (Soekarno: 1945).

Apayang terjadi dengan gerakan mahasiswa, sehingga membuat masalah yang selalu berusaha dihilangkan selalu hadir, bagaikan telah menjadi kodrat bahwa pada setiap generasi yang memimpin bangsa, ketimpangan selalu terjadi. Hanya berganti wajah, namun selalu terjadi pada setiap generasi. Kita selalu berpikir bahwa sampai kapan tujuan dari gerakan mahasiswa akan benar-benar tercapai, apa yang salah dari gerakan ini hingga sekarang memasuki 75 tahun kemerdekaan bangsa, kata merdeka masih sulit terdengar ikhlas dan menggembirakan di mulut para masyarakat yang tinggal di pedesaan atau mereka yang tergolong sebagai rakyat miskin kota.

Masalah sebenarnya adalah krisis kejujuran yang masih sering melanda pibadi para mahasiswa, sehingga menyebabkan gerakan yang dulunya masif dilakukan untuk menentang ketidakadilan, menjadi sia-sia karena terputus ketika telah menjadi sarjana dan mendapatkan pekerjaan, apalgi jika pekerjaan itu menjadikan dirinya sebagai pemegang sebuah tanggungjawab kemasyarakatan. Kejujuran ini menjadi modal bagi pribadi mahasiswa itu sendiri, agar gerakan selalu hadir dan bear-benar membawa perubahan yang nyata bagi negara. Kurang pintar dapat diobati dengan belajar. Kurang cakap, dapat diobati dengan pengalaman. Namun tidak jujur, sangat sulit untuk diobati (Moh. Hatta).

Praktik-praktik ketidakjujuran pada diri mahasiswa sangat terihat dalam segala aktivitas kecil yang dapat membentuk karakter dirinya saat menygenyam pendidikan di kampus sebagai tembok terakhir peradaban. Setiap tahun, masih ada praktik-praktik perpeloncoan maupun pembodohan yang dilakukan oleh mahasiswa lama (Senior) kepada mahasiswa yang baru (Junior) memasuki dunia kampus. Padahal, saat baru masuk dunia kampus, mereka sangat menolak perbuatan semena-mena oleh para senior, yang tidak berdasarkan pada nilai kemanusiaan dan intelektual. Tradisi menitipkan absen ketika dosen tidak masuk, masih sering terjadi di dunia kampus dengan alasan solidaritas dan persahabatan yang erat. Begadang hingga bangun kesiangan, serta ketinggalan kelas saat kuliah sering terjadi. Lalu dengan pongah mengatakan bahwa ilmu tidak didapatkan hanya didalam kelas, sembari menenangkan diri. Sangat lucu, ketika malamnya dihabiskan waktu untuk membicarakan gerakan krusial merubah bangsa Indonesia kearah yang lebih baik, namun bangun kesiangan dan membiarkan gagasan itu hilang dan hanya menjadi sampah yang dimasukan kedalam kepala. Tidak hanya itu, ketidak jujuran ini juga merembet saat mahasiswa ini masuk dalam sebuah organisasi mahasiswa. Jabatan kebagai pemimpin organisasi mulai dijadikan dalih untuk mencari pendekatan dan status yang aman dalam kampus. Alhasil, seluruh program yang sangat mudah diucapkan sebagai produk retorika yang manis saat di depan mahasiswa lain, hanya menjadi bualan semata. Tidak hanya itu, membuang sampah sembarangan ditengah riuhnya kampanye mahasiswa untuk menjaga lingkungan, masih sering terjadi.
Diskusi tentang kenegaraan terlalu mendominasi mulut dan pemikiran mahasiswa sehingga membuatnya lupa, bahwa masih ada ruang-ruang kecil yang bisa dijadikan celah untuk merubah bangsa ini menjadi lebih baik.

Hal di atas merupakan contoh yang masih banyak didapati terjadi di dunia kampus dan dilakukan oleh mereka yang mengaku diri sebagai aktivis mahasiswa. Padahal kejujuran diri yang sering mereka suarakan saat menggelar aksi demonstran kepada para wakil rakyat ini, sangat ampuh dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang konsisten dilakukan itu. Ketidakjujuran, selalu dipelihara oleh para mahasiswa yang sebenarnya meraka sudah tau bahwa hal yang meraka lakukan itu salah, namun tetap saja dilakukan dengan alasan bahwa hal sekecil ini, tidak akan terlalu berpengaruh sehingga dinikmati sebagai bagian dari kekonyolan dalam dunia kampus yang bisa dikenang dimasa tua. Inilah penyebab tradisi mahasiswa dalam kampus, selalu stagnan dan masih berputar-putar pada permasalahan pembentukan karakter mahasiswa.

Sejak negara ini didirikan, tantangan terbesar bangsa ini adalah terjadinya ketidak adilan, yang menjelman menjadi kebatilan, keburukan, eksploitasi, yang merupakan tindakan korupsi hingga menjadi bentuk kejahatan yang mengakibatkan masyarakat bodoh dan miskin. Korupsi waktu, korupsi tenaga hinggga korupsi uang Negara yang mengakibatkan uang yang bisa dijadikan untuk membantu masyarakat dengan kemampuan ekonomi lemah, habis dimakan oleh onkum pemegang kekuasaan sebagi tindakan untuk memperkaya diri sendiri.

Tentunya kita tidak melupakan tujuh kasus korupsi terbesar di Indonesia. Korupsi Jiwasyara yang diperkirakan kerugian Negara lebih dari Rp.13,7 triliun, Bank Centuri yang menimbulkan kerugian Negara sebesar Rp.7 triliun, Pelindo II sebesar Rp.6 triliun, Kotawaringin Timur Rp.5,8 Triliun, BLBI sebesar Rp.4,58 triliun, E-KTP sebesar Rp.2,3 triliun dan Hambalang sebesar Rp.706 miliar, hingga penagkapan Bupati Kutai Timur yang diduga menerima suap Rp.2,1 miliar, serta kasus korupsi lain yang berapapun itu, tentunya akan tertimpa besar kepada masyarakat (Kompas.com: 2020). Karena anggaran yang seharaunya bisa untuk menanggulangi kemiskinan di sebuah daerah, hanya dipergunakan oleh segelintir elit.

Mereka yang terlibat dalam kasus besar ini, bukanlah orang biasa yang tidak memiliki bekal pengalaman maupun ilmu mumpuni, yang biasa kita katakan bukan anak kemarin sore. Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka, adalah orang-orang berilmu yang pernah mengenyam bangku perkuliahan, hingga didominasi oleh mereka yang dulunya sebagai aktivis mahasiswa yang lantang dalam menyuarakan ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Namun, setelah mereka mendapatkan kekuasaan, justru mereka melakukan hal yang selalu mereka tentang saat menjadi mahasiswa, dengan tentunya memperpanjang barisan perbudakan.
Akar dari masalah ini tentunya, adalah kejujuran yang masih sangat kurang dalam diri mahasiswa, dan tidak menjadikanya sebagai sebuah prinsip yang teguh. Kejujuran tidak berhasil tertanam dalam karakter mahasiswa, saat dirinya belajar di dunia kampus. Akibatnya, saat menjadi penguasa, pengkhianatan intelektual terus dilakukan hingga mengakibatkan masyarakat menderita. Sikap adil sejak dalam pikiran (Pramoedya: 1980) tidak berhasil melekat dalam diri mahasiswa, saat dirinya melepas status sebagai mahasiswa. Revolusi diri belum dilakukan, sehingga akan sulit untuk melakukan revolusi sosial (Ali Syariati: 1979). Ketidakjujuran ini membawa Indonesia sebagai Negara dengan posisi korupsi yang sangat tinggi, akibat ulah para anak bangsa yang sulit untuk jujur, mengakui kesalahan, memperbaiki dan tidak akan mengulainya.

Sebauh konsep merawat generasi mahasiswa benar-benar dilakukan. Mahasiswa harus membentuk kejujuran dirinya, sejak berada dalam proses pembelajaran di kampus, memulai langkah tersebut dengan gerakan kecil, seperti membuang sampah pada tempatnya, tidak melakukan hal yang berakibat buruk seberapapun kecilnya, dilakukan secara konsisten hingga membantuk jati diri yang jujur dan perduli akan perbaikan nasib bangsa.
Lingkungan mahasiswa sangat berpengaruh (Jalaluddin Rakhmat: 1985) dalam pembentukan karakter, sama halnya ketika memperjuangkan aspirasi masyarakat yang harus dilakukan secara kolektif dan masif. Lingkungan kampus harus bersih dari segala macam tindakan pembodohan, dehumanisasi yang menyebabkan karakter tidak jujur terjadi di mahasiswa. Jika lingkungan yang baik ini telah tercipta, tentunya mahasiswa bisa fokus untuk banar-banr belajar, sambil menunggu waktu generasinya akan memimpin bangsa, dan membawanya menjadi bangsa yang terbaik dengan mewujudkan kesejahteraan sosial.

Akhirnya, mahasiswa sebagai generasi penerus wajib untuk memiliki karakter yang jujur sebagai modal untuk memimpin bangsa ini kedepan. Presiden tidak selamanya adalah Jokowi, sama seperti tidak selamanya generasinya yang akan mengisi kursi pemerintahan. Pergantian generasi yang memimpin bangsa, menjadi hal yang pasti. Akan tiba masanya generasi kita yang akan memimpin bangsa ini. Tentunya sangat penting untuk merawat generasi hingga membawa modal kejujuran untuk menjalankan tanggungjawab yang besar. Masa depan pemberantasan korupsi secara sektoral dan menyeluruh, menjadi tugas dan tanggungjawab bersama yang benar-benar terwujud, sebagai sebuah prestasi bangsa yang tidak ternilai harganya. (rvlHapili)

Tindak Membaca Ali Syariati

Sebagian orang khusunya yang akrab dengan khazanah Islam (pemikiran Islam Iran) mungkin sangat jarang yang tidak mengenal Ali Syariati. Rekam jejaknya tidak diragukan lagi dalam memberikan sumbangan dalam bentuk “gagasan baru” terhadap Islam. Di Iran, Ali Syariati, sangat dominan terkenal dikalangan intelektual muda yang punya gejolak perlawanan. Namun, tidak disenangi oleh sebagian ulama terkhusus ulama yang ortodoks yaitu ulama menolak kebaruan dalam tafsir tentang Islam. Ali Syariati, dengan sejumlah tafsir Islam yang ia suguhkan pada prinsipnya merupakan upaya untuk keluar dari dogma interpretasi Islam yang statis dan apatis tanpa gerak dinamis.

Di Indonesia, Ali Syariati, mulai dikenal pada kalangan intelektual pasca meletusnya revolusi Islam Iran pada akhir 1970-an. Sebuah revolusi yang kemudian hari banyak menginspirasi gerakan Islam di penjuru dunia termasuk gerakan Islam di Indonesia. Ali Syariati, punya andil besar terhadap terciptanya revolusi tersebut—walaupun kemudian Ali Syariati sendiri tidak menyaksikan revolusi yang ia perjuangkan sebab keburu dibunuh oleh agen Syah dua tahun sebelum revolusi.

Salah satu yang dianggap sumbangsih Ali Syariati dalam revolusi Islam Iran adalah keberhasilan menebar pengaruh untuk membawa “kembali” anak muda Iran yang telah terkoptasi ideologi marxisme yang cenderung meninggalkan agama Islam. Tidak lagi mempelajari Islam sebagai alas dalam berjuang.

Ali Syariati, berhasil menafsirkan Islam menjadi revolusioner yang memang dirindukan oleh anak muda Iran kala itu. Dengan retorika yang baik, Ali Syariati benar-benar telah menjadikan Islam sebagai “alat” dalam menggugah dan menggugat anak muda untuk bangkit melawan segala bentuk penindasan yang menimpa masyarakat Iran.

Pada pengantar buku saya, Ali Syariati: Dari Revolusi Diri Ke Revolusi Sosial (2015), di situ saya, menggambarkan awal “perkenalan” saya dengan Ali Syariati. Saya mengenal gagasanya semenjak membaca kumpulan ceramahnya yang kemudian dibukukan dengan judul Tugas Cendikiawan Muslim. Berangkat dari buku itu, saya kemudian menulusuri karya-karya lain. Pada buku yang saya tulis itu, terdapat beberapa gagasan Ali Syariati yang saya coba uraikan yang bersifat pengantar sebagaimana saya telah jelaskan pula dalam pengantar buku tersebut.

Buku yang saya tulis itu, sifatnya pengantar hingga bagi orang-orang tertentu memungkinkan tidak menemukan kedalaman dalam penggalian pikiran-pikiran Ali Syariati pada buku tersebut. Karena pengantar, maka kehadirannya hanya sebagai pemantik saja untuk menjelajahi pikiran-pikiran Ali Syariati lebih dalam dan itu bisa saja dilakukan oleh siapa pun.

Pada prinsipnya, jika kita ingin mengkaji lebih dalam pikiran Ali Syariati, tentunya sama halnya kita berupaya untuk menemukan kebenaran dari gagasan-gagasannya. Sehingga, dalam upaya pencarian kebenaran pada gagasan Ali Syariati, tentunya sederet pertanyaan yang bisa saja muncul dan mewarnai pikiran kita. Misalkan: Apakah gagasan Syariati masih relevan konteks kekinian? Apakah pikiran-pikiran Ali Syariati adalah sebuah sistem berpikir yang utuh? Yaitu, sebuah sistem berpikir yang dapat menjawab segala aspek kenyataan.

Salah satu gagasan Ali Syariati yakni mengenai Tuhan. Pertanyaan yang bisa saja kita ajukan adalah apakah konsep ketuhanan Syariati dapat diterapkan atau digunakan dalam ruang dan waktu di mana saja? Sebagimana kita ketahui, dan sekilas pada buku saya tergambarkan bahwa Islam dengan Tauhid-nya, bagi Ali Syariati, adalah ketundukan secara total kepada Allah SWT. Dengan demikian, tidak ada lagi kekuatan selain kekuatan Tuhan. Yang ada hanya kekuasaan Tuhan. Maka, tidak ada toleransi perihal penguasaan manusia satu dengan manusia yang lain. Penindasan yang dilakukan dalam bentuknya apa pun sama halnya pengingkaran terhadap Tuhan. Tuhan bagi Syariati, bukan Tuhan yang perlu disusun dalam sejumlah argumentasi untuk membuktikan keberadaanya seperti yang dilakukan oleh para filosof.

Memuliakan Tuhan bukanlah menempatkan Tuhan jauh di sana atau Tuhan yang transenden. Namun, “menarik” Tuhan yang transenden itu dalam imanensi—dalam kehidupan nyata, yakni kehidupan yang penuh pergumulan. Menarik Tuhan dari langit untuk turun ke bumi menyelesaikan konflik sosial antara haq dan batil. Bentuk kesakralan Tuhan, tidak mesti menempatkan pada posisi di sana (di luar) namun, Tuhan mesti dihadirkan di sini dalam ruang dan waktu. Sebab, memang yang meyakininya berada pada ruang dan waktu yang materil. Ali Syariati, menempatkan Tuhan sebagai spirit bagi yang meyakininya. Spirit yang dimaksud adalah letupan dalam diri yang bisa membuat manusia untuk lebih peduli terhadap realitas sosial yang timpang.

Bagi saya, dalam menilai konsep kebertuhanan Ali Syariati, pada prinsipnya sebuah konsep kebertuhanan yang “fungsional-pragmatis”. Kebertuhanan fungsional-pragmatis yang saya maksud di sini, sejauh mana keyakinan kepada Tuhan tersebut memiliki fungsi dalam melakukan perubahan sosial dengan itu pula kita bisa lebih yakin akan keberadaan Tuhan. Jika dicermati, konsep ini mungkin saja tidak bebas dari problem. Misalkan, lalu bagaimana dengan seseorang meyakini Tuhan namun, tidak mampu melakukan perubahan sosial?

Jika kita menerima konsep kebertuhanan Ali Syariati sebagai sebuah kebenaran yang berlaku secara universal, maka secara tidak langsung kita mengatakan bahwa keyakinan seseorang yang disebutkan di atas tentunya tidak benar dan bisa saja diklaim sebagai tidak bertuhan—atheis. Sisi lain, bisa dibilang model atau konsep Tuhan Ali Syariati, hanya berlaku pada konteks sosial, yang mana terjadi penindasan di dalamnya. Selanjutnya, bagaimana tawaran Ali Syariati, model kebertuhanan pada konteks sosial yang damai dan harmoni—tanpa konflik? Di mana konteks sosial yang demikian, suatu yang dimungkinkan dalam realitas sosial. Masihkah konsep Tuhan Ali Syariati relevan?

Selain itu, pada konsep manusia dan kemanusiaanya, misalkan mengenai konsep empat penjara dan musuh-musuh manusia yang dihadapi manusia yang disinyalir oleh Ali Syariati sebagai penghambat kesempurnaan manusia itu, apakah juga berlaku pada konteks kekinian? Yakni pada era yang disebut pascamoderen dan postindustrial ini, di mana kenyataan telah terpragmentasi dalam bidang-bidang khusus yang kadang tak lagi mengandalkan tenaga manusia mengerjakan sesuatu. Namun, cukup menggunakan teknologi yang lebih maju (lebih canggih) yang tentunya tidak sama pada era Ali Syariati. Kompleksitas problem yang dihadapi manusia dalam era sekarang tentunya sangat jauh berbeda dengan apa yang dihadapi pada zamanya—jika kita menerima bahwa perubahan adalah suatu yang pasti. Manusia kini, tentunya jauh berbeda dengan manusia pada masa Ali Syariati, dalam hal relasinya dengan sosial.

Dalam kajian ekonomi-politik, analisis kapitalisme Ali Syariati tentunya tidak secanggih kapitalisme sekarang. Jika pada masanya, kapitalisme bisa ditunjuk pada satu personifikasi kekuasaan. Namun, sekarang kapitalisme telah merasuki hal yang elementer pada diri manusia yakni menjadi modus eksistensi yang kadang susah untuk diidentifikasi ataupun ditunjuk.

Analisis teologis Ali Syariati terhadap tidak bertuhannya kaum sosialis—komunis perlu untuk tinjau lagi pada aspek argumentasinya. Sebab, model sosialisme Abad 21 seperti apa yang terjadi di Kuba, Venezuela dan beberapa negara Amerika Latin, justru digerakkan oleh orang berasal dari Gereja. Orang-orang yang juga sangat meyakini Tuhan dalam kehidupannya.

Jadi, dengan beberapa contoh (tentunya masih banyak lagi yang lain di luar jangkauan dan pembacaan saya) problem di atas, sehingga kita dapat melakukan konstruksi baru agar tidak terjebak pada ortodoksi atau Syariatianisme buta. Jalan rekonstruksi dalam pemikiran Ali Syariati, merupakan jalan dalam menjaga pikiranya agar tidak “mati” bersama dengan kematiannya. Jalan rekonstruksi adalah arena yang sangat terbuka dalam ranah pemikiran.

Jalan tersebut, merupakan upaya untuk menangkap tanda pada pikiran/gagasan (teks) Ali Syariati. Bila kita mengkonstruksi pemikirannya, pada prinsipnya terjadi pertautan pada ruang kesadaran kita (pengonstruk) dengan Ali Syariati (teks). Teks Syariati, dalam bentuk gagasan-gagasan, tidak sepenuhnya mewakili Ali Syariati sendiri. Karena demikian, maka ini menjadi argumentasi yang tepat digunakan bahwa ruang rekonstruksi adalah sah dan wajar.

Mungkin yang patut untuk ditempuh, adalah menulusuri dan menemukan sejumlah tanda dalam pikiran Ali Syariati. Melalui sejumlah tanda tersebut, di sanalah kita bisa menciptakan makna baru. Hal ini sangat dimungkinkan, karena tanda memang tidak berdiri secara mandiri pada pikiran/gagasan/teks. Selalu saja terjadi dalam relasi dengan tanda-tanda yang lain—menjadi jejaring tanda.

Mungkin dengan metode ini, bisa menjadi peretas dalam demarkasi pemikiran Ali Syariati dengan konteks kekinian. Atau bisa menjadi penghubung antara pemikiran Ali Syariati yang lahir pada era modern dengan pikiran yang begitu berwarna-warni di era pascamodern ini. Dan yang terpenting mudah-mudahan menjadi tafsir baru terhadap kenyataan kini.

Jika itu dilakukan, maka suatu kewajaran bila akhirnya kita mengatakan telah menemukan “Ali Syariati kita”. Sebuah gagasan lama, namun memiliki ruh yang baru. Dengan ruh yang baru itu, menjadi penggerak dan jawaban yang dapat menimpali kegaduhan pemikiran kontemporer yang juga tidak sepenuhnya mampu menjawab problem sosial manusia. Sebab, yang disorot dalam realitas manusia dan kemanusiaanya pada pemikiran kontemporer hal yang aksiden semata—bukan berarti itu tidak penting—itu tetap penting. Namun tetap dibutuhkan keutuhan antara subtansi-aksiden, tunggal-jamak, universal-partikular dalam sebuh sistem pemikiran utuh yang mana dalam pemikiran kontemporer tidak lagi dipermasalahkan.

Dalam menjawab problem semesta, perlu dipandang sebagai suatu tidak terfragmentasi akan tetapi sebagai sebuah keutuhan problem yang juga perlu diselesaikan dengan sistem pemikiran yang utuh dan terbukti kebenaranya secara logis dan faktual. Dan “Ali Syariati kita” memiliki kemungkinan untuk itu yang secara historis pernah menggerakkan masyarakat Iran. Tapi bila dalam konteks kekinian, jika tenyata gagasan Ali Syariati, setelah direkonstruksi dan yang terjadi nihil kemungkinan menjawab kekinian–tak mampu ditarik relavansinya dalam menyelesaikan problem umat kekinian, maka lebih baik kita melupakannya. Hal tersebut adalah cara terbaik untuk menghormati dan menghargainya sebagai pemikir.