Saya sering merasa aneh sendiri tatkala sedang membaca buku di kafe, sementara pengunjung lain mengerjakan hal-hal yang jauh dari kesan “intelektual”. Saat saya lagi serius mengulik Homo Sacer-nya Georgio Agamben, orang-orang malah selfi-selfi, main game, main domino, dan sibuk dengan laptopnya masing-masing. Saya akhirnya merasa sebagai diri yang asing dalam suatu kawasan sosietal baru. Padahal fenomena masyarakat tersebut tidak baru-baru amat.
Sebenarnya (mungkin) tidak salah jika orang-orang sekadar kongkow sambil mengejakan hal-hal remeh teme di kafe. Saya pun sering melakukan hal demikian. Jika pun saya memilih kafe sebagai zona nyaman untuk membaca atau tempat diskusi wacana berat bersama kawan-kawan, itu juga tidak salah. Meski dikuasai oleh pebisnis dan korporasi, namun kafe ketika mulai beroperasi, dengan sendirinya akan menjadi ruang publik. Di kafe, semua orang bisa bisa bebas mengerjakan apa pun asalkan memesan, minimal kopi, dan membayarnya.
Tapi kadang saya berpikir. Jika generasi abad 21 berada di Inggris abad 17, saya yakin mereka akan jadi aneh sendiri saat sedang main PUBG di kafe, sementara orang-orang sedang asyik berdebat tentang politik, riset-riset ilmu alam, filsafat, dan sastra. Sebab di Inggris kala itu, kafe adalah ruang publik yang populer untuk menumbuhkan budaya intelektual. Orang Inggris menyebutnya coffeehouse atau kedai kopi.
Setidaknya dari tahun 1650 hingga 1754, kedai kopi menjadi tempat berkumpulnya sarjana hebat di bidang ilmu alam, sastrawan, seniman, para republikan yang senang memperdebatkan isu-isu politik, pebisnis, dan jurnalis. Bahkan, kafe di Kota Oxford sudah seperti, universitas alternatif. Menjadi pelengkap universitas dalam membentuk masyarakat terdidik. Ahli sejarah Inggris, Brian Cowan dalam The Social Life of Coffee: The Emergence of the British Coffeehouse mengatakan, pada tahun 1650-an, kedai kopi di Oxford menjadi tempat bagi para virtuosi atau para sarjana yang cerdas dan berbakat untuk membaca, belajar, dan berdebat mengenai diskursus yang menjadi minat bersama.
Di kedai kopi, para virtuosi membentuk klub-klub ekstra-universitas, salah satunya yang cukup terkenal waktu itu adalah Klub Kimia. Melalui klub itu mereka berkumpul membicarakan wacana ilmiah sembari menyeruput kopi. Maka tak salah jika saya menyebut kedai kopi sebagai universitas alternatif di masa itu. Budaya intelektual di kedai kopi di Oxford akhirnya memulai babak baru kedai kopi sebagai pusat kebudayaan, khususnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Di Inggris, kedai kopi pelan demi pelan menjadi ruang eksperimental bagi para ahli ilmu alam. Markman Ellis, profesor di bidang studi abad 18 dalam The Coffee House: A Cultural History mengatakan, para filsuf alam senang menjadikan kedai kopi sebagai tempat menguji hasil penelitian, fakta baru, dan hipotesis mengenai realitas natural. Kehidupan sosial khas yang dibentuk para ilmuwan, kata Markman Ellis, menjadikan kedai kopi sebagai ruang kunci tersebarnya ilmu pengetahuan baru yang dapat diperbincangkan dan diperdebatkan oleh masyarakat luas. Ilmu pengetahuan tak lagi ekslusif menjadi santapan universitas saja, namun juga sudah menjadi santapan publik.
Royal Society, perkumpulan para ilmuwan ternama di Inggris bahkan ikut tertarik menjadikan kedai kopi sebagai tempat berkumpul untuk mendiskusikan wacana sains terbaru. Kedai kopi disulap menjadi laboratorium. Saat itu, ahli fisika dan kimia, Robert Hooke menjadi kurator Royal Society yang bertugas mengusulkan sejumlah eksperimen ilmiah untuk diuji dalam pertemuan mingguan anggota Royal Society di kedai kopi.
Demonstrasi gagasan di kedai kopi yang dilakukan oleh Hooke dan kawan-kawan akan menjadi tontonan publik. Hal tersebut menjadikan kedai kopi sebagai ruang sosial strategis dalam mengajak masyarakat meminati ilmu pengetahuan. Di kedai kopi, mereka menguji apa saja sejauh masih dalam lingkup ilmu alam. Misalnya, menguji batu bintang, berdebat mengenai teleskop, mempercakapkan teori gravitasi, atau prinsip-prinsip gaya tarik magnet. Bahkan, tak jarang kedai kopi menjadi pertunjukan eksperimental yang menawarkan gagasan baru tentang sains alam.
Hal tersebut pernah dilakukan Hooke dan rekannya di Royal Society, Jhon Houghton. Mereka melakukan anatomi pada lumba-lumba secara publik di Garraway’s, kedai kopi langganan para ilmuwan di Inggris. Sebab waktu itu, lumba-lumba dianggap hewan laut yang anomali. Karena memiliki bentuk seperti ikan, namun organ internalnya mirip mamalia. Pertunjukan eksperimental tersebut sukses menjadi tontonan yang menarik, karena memperlihatkan pada publik sebuah pengetahuan baru tentang makhluk laut.
Kedai kopi tak hanya menjadi tempat berkumpulnya para ahli ilmu alam, tapi juga menjadi ruang yang nyaman bagi para republikan dalam memperdebatkan peristiwa dan teori politik. Klub Rota, asuhan ahli filsafat politik James Harrington, tumbuh menjadi komunitas populer lewat tradisi debat yang membudaya di Kedai Kopi. Melalui tradisi debat Klub Rota di kedai kopi, ide-ide republik menular dengan cepat di Inggris yang dikuasai oleh sistem monarki.
Pun, kedai kopi menjadi wadah kelompok sastrawan dalam memperdebatkan karya sastra. Mereka saling mengkritik syair atau puisi terkadang diwarnai dengan aksi kekerasan. Merki demikian, dialektika gagasan antar sastrawan ikut menyumbangkan perkembangan sastra di Eropa. Markman Ellis menyebut, melalui kedai kopi, gagasan modern tentang kritik sastra muncul dan berkembang.
Apa pun jenis minat masyarakat Inggris abad 17, menjadi percakapan yang menarik di kedai kopi. Bukan hanya wacana berat yang menjadi minat, namun juga informasi ringan seperti berita jurnalistik dan gosip-gosip terkini. Para jurnalis dan tukang gosip sangat senang berkumpul di kedai kopi. Karena kedai kopi sudah seperti tempat peredaran informasi paling masif. Siapa pun yang ingin mendapatkan informasi atau gosip terkini, pasti akan mengunjungi kedai kopi.
Kedai kopi sudah seperti republik sendiri di mana semua kelas dan kelompok masyarakat yang berbeda berkumpul dan memosisikan diri setara satu sama lain. Entah dia pebisnis, bangsawan, militer, intelektual. Ketika sudah berada dalam satu meja dengan masyarakat sipil biasa, maka tak ada satu pun yang derajatnya lebih tinggi. Karena setiap orang dapat didebati dalam ruang bebas kedai kopi.
Pun, kedai kopi saat itu menjadi semacam universitas alternatif, karena ilmu pengetahuan begitu melimpah dan tumpah ruah di sana. Orang Inggris menyebutnya penny universities (universitas sen). Sebab cukup membayar kopi dengan uang sen, orang-orang sudah bisa menimba ilmu melalui pertengkaran pikiran di dalam kedai kopi.
Perbedaannya dengan pendidikan formal, kedai kopi memberi ruang yang lebih longgar bagi keberagaman gagasan. Markman Ellis mengatakan, di kedai kopi setiap ilmuwan dan sarjana, atau pembelajar memiliki akses ke semua jenis pengetahuan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Olehnya itu, kedai kopi berbeda dengan sekolah, universitas, atau gereja yang terlalu memberi batas sempit pada gagasan-gagasan aneh dan unik. Kedai kopi membuka dengan luas proses pembelajaran bagi pengunjungnya. “Di abad ke tujuh belas, memasuki kedai kopi seperti berselancar di internet,” kata Markman Ellis, sebagai gambaran begitu melimpahnya informasi dan pengetahuan di kedai kopi.
Sekarang, kedai kopi sudah tidak seperti dulu lagi. Bahkan, penyebutan “kedai kopi“ sudah terlalu kolot dibanding “kafe” yang lebih kekinian. Apalagi jika menu-menunya memakai bahasa asing. Serasa menjadi generasi kosmopolitan jika nongkrong di kafe. Perubahan sosial-budaya di kafe memang tidak bisa dihindari. Sebab, sebagai ruang, kafe tak hadir pada dirinya sendiri. Kafe, meminjam istilah Lefebvre, diproduksi secara sosial.
Produksi ruang ini selalu mengandaikan adanya praktik spasial. Dalam praktik spasial (praktik meruang), masyarakat selalu menghasilkan pelbagai jaringan interaksi, komunikasi, pertukaran kebudayaan, kekuasaan dan ideologi, yang semua itu ikut membentuk pemaknaan tentang ruang. Kebetulan di Inggris abad 17, kafe diisi oleh filsuf, ilmuwan, sastrawan, sehingga ikut mengubah budaya kafe menjadi tempat berlangsungnya kegiatan intelektual.
Sekarang, kita hidup dalam masyarakat konsumen yang keserhariannya diisi oleh pernak pernik budaya populer, dengan segala psike khas orang-orang modern: narsis, egois, dan hedon. Maka wajar saja jika kafe hanya sekadar tempat hiburan, hura-hura, menjadi tempat pameran fashion anak muda, tempat dimana orang-orang ingin jadi pusat tontonan, dan ruang hidup orang-orang yang anti-sosial.
Kafe yang saat ini semakin kapitalistik jelas akan memberikan ruang bagi tumbuhnya kebudayaan seperti itu. Karena pengusaha kafe ingin menyerap konsumen yang lebih besar. Meski demikian, tak ada salahnya juga bagi kalian para intelektual, penggerak literasi menjadikan kafe sebagai ruang diskusi, membaca, meski disekelilingmu orang-orang tak peduli dengan apa yang kalian lakukan. Kadang menjadi lain dan aneh sendiri jauh lebih keren daripada harus mengikuti arus dan menjadi seragam. Bukankah begitu? []
Praktisi media. Peminat ilmu sosial-kemanusiaan. Ketua Komisi Intelektual dan Peradaban PB HMI MPO