Piala Dunia Qatar 2022 menjadi hipotesa gelaran Piala Dunia sebelumnya. Tapak itu bisa dimulai dari semua tahapan gelaran, juga bisa mengambil perbandingan satu periode. Umpamanya saja, Piala Dunia 1986 di Mexico. Di Piala Dunia Qatar tak bisa lagi ada gol tangan tuhan karena wasit sudah membekali diri Video Assistant Referee (VAR).
Wasit akan menghentikan pertandingan begitu menerima konfirmasi meski sang pemain sudah melakukan selebrasi atas gol yang dilesakkan. Ada banyak contoh yang lahir sejak penyisihan fase grup berlangsung. Seperti dua gol Argentina ke gawang Arab Saudi atau upaya Griezmann menyamakan kedudukan ketika Tunisia merusak kedigdayaan Prancis di grup D.
Siapa sangka aturan offside seketat itu lahir ketika Dewan Asosiasi Sepakbola Internsional (IFAB) melakukan evaluasi yang didasari dari aksi Mbappe mencetak gol dalam gelaran UEFA Nations League yang mempertemukan Prancis dan Spanyol di final tahun 2021. Spanyol kalah dengan skor 2-1 yang menjadikan Prancis negara kedua mengangkat trofi setelah Portugal meraihnya di tahun 2019.
Selain menjadi hipotesa, Piala Dunia di Qatar juga, seperti biasa perhelatan akbar, juga sebuah etalase kampanye. Lewat tim Jerman dengan foto tutup mulutnya sebelum bergelut dengan Jepang menjadi penitip pesan mengenai isu One Love yang mendorong isu inklusivitas, khususnya LGBT. Mengapa hal itu dilakukan, jawabnya karena mata dunia tertuju di Piala Dunia. Kampanye butuh perhatian untuk disimak. Urusan melahirkan dukungan atau cibiran itu lain hal. Tentu tindakan seperti adalah pilihan dengan risiko yang sudah dipertimbangkan.
Sudah bukan kejutan jika hal demikian muncul. Sama halnya ketika laga Tunisia kontra Prancis. Aksi seorang penonton memasuki lapangan dengan membawa bendera Palestina. Mengapa hal itu dilakukan ketika Tunisia menghadapi Prancis dan bukan di laga kontra Denmark atau Australia. Mino Bei, suporter Tunisia yang melakukan aksi itu tentu tahu jika Prancis merupakan negara yang mempraktikkan kolonialisme di masa lalu. Aljazair, negara tetangga Tunisa adalah salah satu koloninya.
Menyambungkan kabel ingatan harus sesuai narasi yang kampanye yang hendak disampaikan. Praktik menggelorakan nasionalisme melalui sepakbola juga bukan hal baru. Sebagaimana menancapkan tombak kekuasaan melalui sepakbola. Dua sisi yang terus berebut ruang agar melakukan penguasaan.
Seperti awal mulanya sepakbola kontemporer merupakan pranata yang dibawa kolonial ke negeri jajahan. Diperkenalkan sebagai permainan untuk mengurangi aktivitas politik kaum pribumi. Kaum kolonial berharap pemuda pribumi lebih menyibukkan diri dengan olahraga ketimbang menggelorakan nasionalisme. Tentu ada yang berhasil dan berjalan sebaliknya.
Tamir Sorek, peneliti yang fokus pada hubungan Palestina-Israel mengetuk sepakbola sebagai pintu masuk melihat hubungan dua negara yang masih berkonflik itu. Patoknya dimulai pascaperang Arab-Israel tahun 1948. Palestina terjungkal dalam kubangan dan wilayahnya menjadi aneksasi Israel.
Lewat bukunya, Nasionalisme Palestina di Lapangan Hijau (Kepik Ungu: 2010), Sorek menujukkan bagaimana kekuasaan Israel bekerja melalui sepakbola dan itu efektif menggiring nasionalime Palestina terkubur di sanubari warga Arab Palestina. Tidak mengherankan bila cucu seorang korban kekejian tentara Israel menjadi pahlawan bagi tim sepakbola di Israel.
Propaganda media Israel yang menggelorakan Tidak Ada Arab Tidak Ada Gol merupakan pelengkap sempurnanya hegemoni kekuasaan Israel bekerja. Pemerintah Israel tentu senang dengan hal demikian dan memaksimalkan sepakbola sebagai medan perang tanpa bedil.
Kuasa Bola Suaka Bola
Jadi, di balik kontra Israel dan Palestina juga terbangun kontra nasionalisme. Kuasa bola di Palestina barangkali praktik cerdas kolonialisme. Apa yang dilakukan Israel hanya kelanjutan yang telah dicontohkan Inggris, negara kolonial terbesar di bumi itu “mundur” ke tepi lapangan menjadi pelatih bagi Israel untuk melanjutkan pendudukan wilayah Palestina.
Inggris yang mengklaim kalau sepakbola adalah temuanya turut dibawa dalam jelajah kolonial. Hal itu juga direplikasi negara kolonial yang lain seperti Belanda di Indonesia, Portugis di Brasil, atau Prancis di beberapa negara di benua Afrika. Hasilnya tak semulus di Palestina, justru sebaliknya, sepakbola menjadi suaka menyatukan sentimen anti-kolonial.
Meski tentu saja, hegemoni kuasa bola tetap bekerja dengan asimilasi di ujung kolonialisme, praktiknya lebih halus dengan melakukan pencerabutan akar. Contoh terbaik bisa kita lihat sumber daya yang memenuhi timnas Prancis.
Seperti halnya yang menjangkiti pemuda Arab Palestina, magnet sepakbola yang dibangun dengan fasilitas penunjang dan berjalannya liga di Israel menarik warga Palestina secara bergelombang melupakan aneksasi yang dialami. Pilahnnya jelas, karena pascaperang Arab-Israel, krisis yang melanda Palestina tak kuasa membangun infrastruktur. Aneksasi atlet kemudian terjadi dengan diakomodasinya pemuda Arab Palestina berlaga di Liga Israel melalui klub sepakbola yang merekrut mereka.
Olahraga memang memiliki sisi nasionalisme, kita bisa membayangkan satu bayangan komunitas dari sebelas pemain di lapangan walau ke sebelas pemain itu memiliki akar suku bangsa berbeda. Dan, munculnya suporter Tunisia ke dalam lapangan membawa bendera Palestina hendak menunjukkan nasionalisme sesama akar bangsa Arab.
Sumber gambar: https://www.reuters.com/
Terlibat kerja apa saja. Berkhidmat di Rumah Saraung, ruang masyarakat sipil yang fokus pada transformasi anak muda melalui literasi di Pangkajene dan Kepuluan. Pangkep. Sulawesi Selatan.