Arsip Tag: Soekarno

Ketidakjujuran Mahasiswa dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi

 

Gerakan mahasiswa dalam menyuarakan aspirasi dan ketimpangan yang terjadi, turut hadir dan selalu mewarnai dinamika perjalanan kebangsaan Indonesia. Tidak jarang, dalam setiap peristiwa penting pembangunan bangsa, peran pemuda dalam hal ini sebagai seorang intelektual mahasiswa selalu terlibat dengan peran yang begitu krusial. Gerakan ini selalu hadir dari aksi kecil hingga aksi demonstran yang mengundang gejolak besar bagi bangsa. Tujuanya jelas, untuk mencapai keadilan dengan keadaan yang mensejahterakan rakyat, meskipun sering berbeda dalam hal gagasan dan gerakan secara konkrit.

Sejak awal mulai muncul spirit untuk mendirikan sebuah bangsa, gerakan mahasiswa hadir untuk mengawal spirit tersebut. Namun, hingga kini persoalan bangsa tentang ketimpangan, ketidakadilan, kemiskinan, hingga tidak terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan sila penutup dari pancasila, sulit untuk dikatakan berhasil. Bagaimana bisa, pada tahun 2016 hingga 2018 terdapat 22 juta masyarakat yang menderita kelaparan (Detik.com: 2019), kemiskinan yang kini mencapai 24,79 juta jiwa pada September 2019 (databoks:2020). Kekayaan 4 orang di Indonesia setara dengan 100 juta penduduk, ini membuktikan tingkat ketimpangan di Indonesia masih sangat tinggi (Makassar.terkini.id: 2020). Realita ini sangat berbeda dengan konsep kesejahteraan ketika Negara ini merdeka pada tahun 1945. Bahwa prinsip kesejahteraan adalah tidak ada kemiskinana di dalam Indonesia merdeka (Soekarno: 1945).

Apayang terjadi dengan gerakan mahasiswa, sehingga membuat masalah yang selalu berusaha dihilangkan selalu hadir, bagaikan telah menjadi kodrat bahwa pada setiap generasi yang memimpin bangsa, ketimpangan selalu terjadi. Hanya berganti wajah, namun selalu terjadi pada setiap generasi. Kita selalu berpikir bahwa sampai kapan tujuan dari gerakan mahasiswa akan benar-benar tercapai, apa yang salah dari gerakan ini hingga sekarang memasuki 75 tahun kemerdekaan bangsa, kata merdeka masih sulit terdengar ikhlas dan menggembirakan di mulut para masyarakat yang tinggal di pedesaan atau mereka yang tergolong sebagai rakyat miskin kota.

Masalah sebenarnya adalah krisis kejujuran yang masih sering melanda pibadi para mahasiswa, sehingga menyebabkan gerakan yang dulunya masif dilakukan untuk menentang ketidakadilan, menjadi sia-sia karena terputus ketika telah menjadi sarjana dan mendapatkan pekerjaan, apalgi jika pekerjaan itu menjadikan dirinya sebagai pemegang sebuah tanggungjawab kemasyarakatan. Kejujuran ini menjadi modal bagi pribadi mahasiswa itu sendiri, agar gerakan selalu hadir dan bear-benar membawa perubahan yang nyata bagi negara. Kurang pintar dapat diobati dengan belajar. Kurang cakap, dapat diobati dengan pengalaman. Namun tidak jujur, sangat sulit untuk diobati (Moh. Hatta).

Praktik-praktik ketidakjujuran pada diri mahasiswa sangat terihat dalam segala aktivitas kecil yang dapat membentuk karakter dirinya saat menygenyam pendidikan di kampus sebagai tembok terakhir peradaban. Setiap tahun, masih ada praktik-praktik perpeloncoan maupun pembodohan yang dilakukan oleh mahasiswa lama (Senior) kepada mahasiswa yang baru (Junior) memasuki dunia kampus. Padahal, saat baru masuk dunia kampus, mereka sangat menolak perbuatan semena-mena oleh para senior, yang tidak berdasarkan pada nilai kemanusiaan dan intelektual. Tradisi menitipkan absen ketika dosen tidak masuk, masih sering terjadi di dunia kampus dengan alasan solidaritas dan persahabatan yang erat. Begadang hingga bangun kesiangan, serta ketinggalan kelas saat kuliah sering terjadi. Lalu dengan pongah mengatakan bahwa ilmu tidak didapatkan hanya didalam kelas, sembari menenangkan diri. Sangat lucu, ketika malamnya dihabiskan waktu untuk membicarakan gerakan krusial merubah bangsa Indonesia kearah yang lebih baik, namun bangun kesiangan dan membiarkan gagasan itu hilang dan hanya menjadi sampah yang dimasukan kedalam kepala. Tidak hanya itu, ketidak jujuran ini juga merembet saat mahasiswa ini masuk dalam sebuah organisasi mahasiswa. Jabatan kebagai pemimpin organisasi mulai dijadikan dalih untuk mencari pendekatan dan status yang aman dalam kampus. Alhasil, seluruh program yang sangat mudah diucapkan sebagai produk retorika yang manis saat di depan mahasiswa lain, hanya menjadi bualan semata. Tidak hanya itu, membuang sampah sembarangan ditengah riuhnya kampanye mahasiswa untuk menjaga lingkungan, masih sering terjadi.
Diskusi tentang kenegaraan terlalu mendominasi mulut dan pemikiran mahasiswa sehingga membuatnya lupa, bahwa masih ada ruang-ruang kecil yang bisa dijadikan celah untuk merubah bangsa ini menjadi lebih baik.

Hal di atas merupakan contoh yang masih banyak didapati terjadi di dunia kampus dan dilakukan oleh mereka yang mengaku diri sebagai aktivis mahasiswa. Padahal kejujuran diri yang sering mereka suarakan saat menggelar aksi demonstran kepada para wakil rakyat ini, sangat ampuh dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang konsisten dilakukan itu. Ketidakjujuran, selalu dipelihara oleh para mahasiswa yang sebenarnya meraka sudah tau bahwa hal yang meraka lakukan itu salah, namun tetap saja dilakukan dengan alasan bahwa hal sekecil ini, tidak akan terlalu berpengaruh sehingga dinikmati sebagai bagian dari kekonyolan dalam dunia kampus yang bisa dikenang dimasa tua. Inilah penyebab tradisi mahasiswa dalam kampus, selalu stagnan dan masih berputar-putar pada permasalahan pembentukan karakter mahasiswa.

Sejak negara ini didirikan, tantangan terbesar bangsa ini adalah terjadinya ketidak adilan, yang menjelman menjadi kebatilan, keburukan, eksploitasi, yang merupakan tindakan korupsi hingga menjadi bentuk kejahatan yang mengakibatkan masyarakat bodoh dan miskin. Korupsi waktu, korupsi tenaga hinggga korupsi uang Negara yang mengakibatkan uang yang bisa dijadikan untuk membantu masyarakat dengan kemampuan ekonomi lemah, habis dimakan oleh onkum pemegang kekuasaan sebagi tindakan untuk memperkaya diri sendiri.

Tentunya kita tidak melupakan tujuh kasus korupsi terbesar di Indonesia. Korupsi Jiwasyara yang diperkirakan kerugian Negara lebih dari Rp.13,7 triliun, Bank Centuri yang menimbulkan kerugian Negara sebesar Rp.7 triliun, Pelindo II sebesar Rp.6 triliun, Kotawaringin Timur Rp.5,8 Triliun, BLBI sebesar Rp.4,58 triliun, E-KTP sebesar Rp.2,3 triliun dan Hambalang sebesar Rp.706 miliar, hingga penagkapan Bupati Kutai Timur yang diduga menerima suap Rp.2,1 miliar, serta kasus korupsi lain yang berapapun itu, tentunya akan tertimpa besar kepada masyarakat (Kompas.com: 2020). Karena anggaran yang seharaunya bisa untuk menanggulangi kemiskinan di sebuah daerah, hanya dipergunakan oleh segelintir elit.

Mereka yang terlibat dalam kasus besar ini, bukanlah orang biasa yang tidak memiliki bekal pengalaman maupun ilmu mumpuni, yang biasa kita katakan bukan anak kemarin sore. Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka, adalah orang-orang berilmu yang pernah mengenyam bangku perkuliahan, hingga didominasi oleh mereka yang dulunya sebagai aktivis mahasiswa yang lantang dalam menyuarakan ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Namun, setelah mereka mendapatkan kekuasaan, justru mereka melakukan hal yang selalu mereka tentang saat menjadi mahasiswa, dengan tentunya memperpanjang barisan perbudakan.
Akar dari masalah ini tentunya, adalah kejujuran yang masih sangat kurang dalam diri mahasiswa, dan tidak menjadikanya sebagai sebuah prinsip yang teguh. Kejujuran tidak berhasil tertanam dalam karakter mahasiswa, saat dirinya belajar di dunia kampus. Akibatnya, saat menjadi penguasa, pengkhianatan intelektual terus dilakukan hingga mengakibatkan masyarakat menderita. Sikap adil sejak dalam pikiran (Pramoedya: 1980) tidak berhasil melekat dalam diri mahasiswa, saat dirinya melepas status sebagai mahasiswa. Revolusi diri belum dilakukan, sehingga akan sulit untuk melakukan revolusi sosial (Ali Syariati: 1979). Ketidakjujuran ini membawa Indonesia sebagai Negara dengan posisi korupsi yang sangat tinggi, akibat ulah para anak bangsa yang sulit untuk jujur, mengakui kesalahan, memperbaiki dan tidak akan mengulainya.

Sebauh konsep merawat generasi mahasiswa benar-benar dilakukan. Mahasiswa harus membentuk kejujuran dirinya, sejak berada dalam proses pembelajaran di kampus, memulai langkah tersebut dengan gerakan kecil, seperti membuang sampah pada tempatnya, tidak melakukan hal yang berakibat buruk seberapapun kecilnya, dilakukan secara konsisten hingga membantuk jati diri yang jujur dan perduli akan perbaikan nasib bangsa.
Lingkungan mahasiswa sangat berpengaruh (Jalaluddin Rakhmat: 1985) dalam pembentukan karakter, sama halnya ketika memperjuangkan aspirasi masyarakat yang harus dilakukan secara kolektif dan masif. Lingkungan kampus harus bersih dari segala macam tindakan pembodohan, dehumanisasi yang menyebabkan karakter tidak jujur terjadi di mahasiswa. Jika lingkungan yang baik ini telah tercipta, tentunya mahasiswa bisa fokus untuk banar-banr belajar, sambil menunggu waktu generasinya akan memimpin bangsa, dan membawanya menjadi bangsa yang terbaik dengan mewujudkan kesejahteraan sosial.

Akhirnya, mahasiswa sebagai generasi penerus wajib untuk memiliki karakter yang jujur sebagai modal untuk memimpin bangsa ini kedepan. Presiden tidak selamanya adalah Jokowi, sama seperti tidak selamanya generasinya yang akan mengisi kursi pemerintahan. Pergantian generasi yang memimpin bangsa, menjadi hal yang pasti. Akan tiba masanya generasi kita yang akan memimpin bangsa ini. Tentunya sangat penting untuk merawat generasi hingga membawa modal kejujuran untuk menjalankan tanggungjawab yang besar. Masa depan pemberantasan korupsi secara sektoral dan menyeluruh, menjadi tugas dan tanggungjawab bersama yang benar-benar terwujud, sebagai sebuah prestasi bangsa yang tidak ternilai harganya. (rvlHapili)

Soekarno dan Literasi

Soekarno dan literasi, sama-sama tonggak patahan sejarah. Titik balik prasejarah menjadi sejarah ditandai oleh tulisan. Titik balik Nusantara terjajah dengan Indonesia merdeka ditandai dengan kehadiran Soekarno. Kehidupan tanpa tulisan adalah realitas prasejarah. Indonesia tanpa Soekarno adalah keterjajahan. Keduanya, Soekarno dan literasi, merepresentasikan patahan. Soekarno mengantarkan patahan Indonesia terjajah ke Indonesia merdeka. Literasi menandakan patahan prasejarah ke sejarah. Yang perlu dicatat dari keduanya adalah sama-sama melahirkan perubahan, bukan sekadar yang evolutif bahkan juga perubahan yang revolusioner. Dan, melahirkan patahan realitas.

Tanpa literasi, rentang realitas kehidupan sulit disebut peradaban secara utuh. Realitas mesti direkam. Interaksi rekaman tersebut dengan segenap potensi manusia melahirkan peradaban yang menyempurna. Perekaman tersebut hanya bisa terjadi dengan proses: baca-kontemplasi-tulis-aksi. Alat rekam tersebut adalah literasi. Literasi ibarat kamera pemotret kehidupan. Merekam berbagai sudut pandang kehidupan yang dapat digunakan untuk menyempurnakan peradaban masa depan. Filosof bijak mengatakan kehidupan ini secara total semakin menyempurna. Diawali dari kehidupan yang primitif yang sederhana, hingga pada kehidupan nirwana yang sempurna.

Adalah fakta bahwa Soekarno dan literasi sama sekali tidak dapat dipisahkan. Bahkan aspek literasi Soekarno punya sumbangsih besar dalam mengantarkan Indonesia untuk terlepas dari cengkeraman penjajah. Sejak muda beliau bergelimang buku, bahkan buku-buku serius. Sejak muda juga beliau mengelaborasi bacaan dan kenyataan hidup. Sejak muda beliau merekam berbagai elaboraasi tersebut ke dalam beragam tulisannya, dengan berbagai tema di berbagai media. Tulisan Bung Karno membentang sangat luas, mulai dari surat cinta yang begitu menggoda, naskah drama,  hingga diskursus serius tentang ideologi dan rancang masa depan bangsa. Juga, yang paling penting, Bung Karno bukan sekadar membaca, mengelaborasi dan menuliskan elaborasinya, akan tetapi bersikeras terjun langsung membumikan segenap ide-ide yang terekam dalam tulisannya.

Bagi Bung Karno, literasi bukan untuk literasi, tapi literasi untuk perubahan. Sehingga tampak pada beliau literasi itu mencakup: baca-elaborasi-tulis-aksi. Digenggaman Bung Karno, kerja literasi tidak mandul dan utopis, akan tetapi menjadi penggerak untuk merealitaskan idealisme. Literasi menggerakkan realitas sehingga merelitaskan cita-cita luhur. Aktivitas literasi menjelma jadi alat yang tangguh untuk mengubah kenyataan yang menyakitkan ke arah kenyataan yang diimpikan. Dengan ‘palu godam’ literasi di genggaman Bung Karno, cangkang keras penjajahan dipukul habis, hingga berkeping-keping,  menghasilkan Indonesia merdeka.

Yang perlu dicermati adalah, mengapa, terutama sejak muda, Bung Karno begitu produktif menulis? Jawaban atas pertanyaan ini tidak dapat dilepaskan dari kenyataan pahit realitas Hindia-Belanda  bagi pribumi dan idealisme Bung Karno saat itu. Di satu sisi, realitas penjajahan yang begitu eksploitatif menyadarkan Bung Karno untuk berbuat sesuatu agar terjadi perubahan. Dan di sisi lain, persentuhan  dengan Tjokroaminoto, yang menanamkam filosofi tauhid-membumi-merdeka dan nasionalisme kepada Soekarno muda, mengakibatkan anak muda ini senantiasa bergejolak dari dalam dan tertumpahkan ke luar ke kenyataan hidup.

Pergumulan antara bacaan teks dan kenyataan, serta idealisme dalam diri Bung Karno melahirkan cita-cita luhur: Indonesia merdeka. Sejak saat ini, hampir bisa dikatakan, segala sesuatu yang bersentuhan dengan Soekarno, menjadi alat. Yakni alat untuk mencapai kemerdekaan. Bahkan diri beliau sendiri, secara sadar atau tidak, telah menjelma jadi alat untuk mencapai Indonesia merdeka.

Begitu kuatnya pengaruh cita-cita Indonesia merdeka dalam diri, adalah hal yang logis, jika berbagai mazhab pemikiran bahkan agama sekalipun dijadikan Bung Karno sebagai alat untuk mencapai cita-cita tersebut. Bagi beliau kenyataan pahit pribumi Hindia-Belanda adalah alat. Kapitalisme-imperialisme adalah alat. Sosialisme-komunisme adalah alat. Agama sekalipun, terutama Islam, adalah alat. Termasuk aktivitas literasi adalah alat. Yakni alat untuk mencapai cita-cita luhur, Indonesia meredeka.

Tanpa kehadiran literasi, Soekarno dan perjuangannya menjadi mandul dan lumpuh. Artinya, tidak akan pernah tercapai Indonesia merdeka tanpa literasi. Sudah bisa dibayangkan apa yang terjadi jika perjuangan Bung Karno tanpa pena dan buku. Tanpa korespondensi dengan pemuda lain yang seide, dengan tokoh Islam A. Hasan dan lain-lain misalnya. Tanpa menuliskan ide-idenya ke koran dan majalah serta media lainnya. Begitu sulit menyebarkan “virus ganas kemerdekaan” tanpa andil literasi.

Jika dibaca karya tulis Bung Karno prakemerdekaan, begitu tampak betapa keras upaya “meliterasikan” virus kemerdekaan yang beliau sebarkan. Beliau harus berdialog, bahkan berdebat dengan berbagai mazhab pemikiran dan para tokohnya, serta dengan kreatif mensintesiskannya. Bagi Bung Karno, nasionalisme, agama dan komunis adalah kekuatan nyata pada saat itu. Adalah pilihan cerdas menyatukan kekuatan itu menjadi Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme). Sehingga terlahir kekuatan dahsyat untuk menyatukan bangsa untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankannya. Lagi-lagi, Nasakom bukan sebagai mazhab, tapi lebih cenderung sebatas alat. Yakni alat untuk membumikan ide Indonesia merdeka. Nasakom sebagai sebuah konsep, sudah tampak dalam tulisan Bung Karno jauh sebelum kemerdekaan.

Bung Karno begitu cerdas “meliterasikan” rasio dan emosinya. Hal ini sangat nyata dalam berbagai tulisan beliau, termasuk “meliterasikan” rasa ke dalam surat cinta. Adalah menarik tema-tema kiri Islam yang belakangan digandrungi, namun sudah dikunyah-kunyah Bung Karno sejak tahun 1920-an, bukan sebagai pembaca dan penerima, tapi lebih dari itu, yaitu sebagai formulatornya! Yang lebih dahsyat lagi adalah, tokoh besar sekaliber dia, masih sempat menulis surat cinta yang begitu memikat. Ya, cinta bisa dibalut dengan literasi. Atau, literasi membalut cinta. Hehehe…..

Bisa diabayangkan, seandainya Soekarno muda terlahir kembali sekarang, ada dalam realitas kini, betapa juga beliau merasa tidak puas dengan berbagai perjajahan yang memakai beribu wajah untuk menyekap dan mencengkram kemerdekaan. Beliau akan sadar bahwa perjuangan untuk merdeka belum usai.  Beliau akan begitu serius memukulkan dengan hentakan kuat “palu godam literasi”, untuk meluluh-lantakkan cangkang penjajahan tersamar, yang meresap dalam sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara kini. Jurnal-jurnal, buku-buku, media sosial dan media-media online akan menjadi alat ampuh baginya untuk tetap mewabahkan “virus kemerdekaan”.

Apakah pemuda sekarang, telah menggunakan semua media yang ada sebagai bagian dari aktivitas literasi, untuk mencipta patahan peradaban dan masa depan yang ideal, sebagaimana pernah dilakukan Soekarno muda? Ataukah terlarut dalam kesemuan literasi yang beralatkan media yang begitu banyak dan beragam? Apapun jawabannya, kesadaran akan perubahan harus hadir, karena ia memang elan vital gerakan literasi, sebagaimana juga gerakan Soekarno.

Islam Soekarno, Islam Progresif

Islam adalah agama yang tak mudah diringkus dalam definisi tertentu. Atau pada sebuah pengertian yang berlaku secara universal—di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh Islam tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah dan konteks di mana ia diterima. Karena Islam tak bisa dipisahkan dari tafsiran. Walau demikian, beberapa pengertian setidaknya diterima oleh pemeluk Islam. Bahwa Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Islam sebagai agama yang memberikan cahaya pada kegelapan. Islam adalah agama yang membela nilai-nilai kemanusiaan. Islam hadir untuk memperjuangkan keadilan. Walau dari sekian pengertian tersebut, pada akhirnya juga dimaknai berbeda oleh umat Islam. Memberikan artikulasi yang berbeda yang tidak sedikit melahirkan kebencian di atara mereka. Artikulasi yang satu mencaci artikulasi yang lain.

Islam yang lahir di tanah Arab, diserukan oleh Rasullah Saw, dalam perjalanan sejarah, akhirnya menjangkau Indonesia. Memasuki teritori Nusantara yang sebelumnya sudah memiliki keyakinan. Sudah memiliki iman yang dianut oleh masyarakatnya. Jauh sebelum kehadiran Islam, di era kuna—era pra Hindu-Budha. Inilah yang dianggap sebagai iman yang “genuin” dimiliki oleh orang Nusantara. Bentuknya seperti “kepercayaan-kepercayaan”. Animisme dan dinamisme dalam istilah yang digunakan oleh studi agama untuk menunjuk kepercayaan tersebut.

Iman masyarakat Nusantara kala itu, mempercayai segala macam arwah. Kekuatan magis pada alam dan benda-benda. Di Jawa dikenal dengan Kapitayan. Di Sulawesi Selatan, ada Tolotan dan Patuntun. Masyarakat Kalimantan melalui suku-suku dayak mempercayai Kahariangan. Tonass Walian untuk kepercayaan Sulawesi Utara—Minahasa. Naurus Pulau Seram—Maluku. Marapu, Sumba, Permalingan di Sumatra tepatnya bagian Utara. Dan masih banyak lagi tentunya kepercayaan di daerah lain di Nusantara. Sejarah berjalan, era kepercayaan berlalu, Hindu-Budha masuk menjadi iman baru pada masyarakat Nusantara. Hindu-Budha menjadi anutan pada era kerajaan. Abad ke-2 M hingga Islam menjadi wajah baru keimanan masyarakat Nusantara. Abad ke-7 M disinyalir sebagai awalnya Islam mengijakkan kaki di Nusantara. Beberapa bukti arkeologis seperti makam Islam sebagai jejak yang ditunjuk sebagai dasar argumentasi.

Adalah Agus Sunyoto, seorang sejarawan NU dalam Atlas Wali Songo, mendaku ihwal teori masuknya Islam di Nusantara. Akunya, setidaknya ada empat teori yang berkembang prihal asal muasal Islam di Nusantara. Pertama, teori India—Gujarat. Di tandai dengan artefak seperti batu nisan yang memiliki kesamaan arsitek India. Kedua, teori Arab (Mesir dan Hadramaut—Yaman). Pelacakan jejaknya adanya kesamaan pada mazhab Syafi’i. Ketiga, teori Persia—sekarang Iran. Argumentasi yang dibangun untuk teori ini, berdasarkan kemiripan dengan muslim Syiah: peringatan Asyurah 10 Muharram. Pemuliaan terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw, (Ahlul Bait) yang hidup dan menjadi tradisi dalam masyarakat Nusantara. Selajutnya, teori Cina, dasar argumentasinya dilihat dari adanya pengaruh budaya Cina dalam sejumlah kebudayaan Islam di Indonesia.

Dari sejumlah teori di atas, namun dalam pandangan kaum sejarawan ada kesapahaman bersama bahwa Islam yang masuk di Indonesia dengan jalan damai. Dengan jalan mempertemukan tradisi Nusantara denga nilai Islam. Dengan jalan “sintetis mistik” istilah Merle Calvin Ricklefs—sejarawan lulusan Cornell University—New York, Amerika. Islam masuk di Nusatara lebih mengedepankan sisi esoterisme. Mengajarkan Islam Tasawwuf. Gagasan mistik “Wahdatul Wujud”—kesatuan wujud dan “Wahdatul Syuhud”—kesatuan pandangan, menjadi pengetahuan yang diperjumpakan dengan tradisi Nusantara. Hamzah Fansury, Syamsuddin Al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Syeikh Siti Jenar, Yusuf Al-Makassari, menjadi figur-figur pelopornya. Puncaknya pada gerak Wali Songo.

Sejarah terus berlanjut, beriringan dengan itu, Islam semakin diterima oleh masyarakat Indonesia. Islam kemudiaan menjadi agama mayoritas di Indonesia. Paruh abad ke-20, Islam Indonesia mengalami “polarisasi”. Tercatat secara garis besar ada dua bentuk polarisasi. Polarisasi ini, berakar sejak abad ke-17 M ketika beberapa anak muda Indonesia yang memperdalam agama di Haramayn (Mekkah dan Madinah) kembali ke tanah air. Orieantasi fiqih kecenderungan menjadi geraknya. Ide-ide pemisahan “yang tradisi” dan “yang Islami” menjadi wacananya. Pengaruh anak muda yang belajar di Haramayn ini, kemudian disebut sebagai kaum “modernis”. Sedang yang tetap pada pola Islam yang “turun temurun/tradisi” dinamai kaum “tradisional.

Soekarno dalam dua polarisasi Islam ini, berdiri di tengah-tengah. Hal ini terlihat ketika dalam pembuangan di Ende kurun 1934-1938, Soekarno memperdalam Islam. Mengaji Islam dengan seksama. Di pengasingan itu, Soekarno mencoba merenungi Islam yang “layak” untuk dianut di Indonesia. Melalui surat menyurat dengan A Hassan, pendiri Persatuan Islam, di situ Soekarno menyampaikan hasil permenungannya ihwal Islam. Selain itu, beberapa gagasannya atau ide-idenya yang dimuat dalam Suluh Indonesia Muda, Pandji Islam, dan Pedoman. Soekarno bukan modernis dan tradisionalis, bisa dilihat dari kritiknya terhadap kedua model ini. Kritik Soekarno ini, bisa dijumpai dalam buku Islam Kita, Islam Nusantara Oleh Muhammad Guntur Romli dan Ciputat School:

“Perbedaan kaum tua (tradisionalis—pen) dan kaum muda (modernis-pen) di sini hanyalah, bahwa kaum tua menerima tiap-tiap otoritas Islam, walaupun tidak tersokong oleh Quran dan Hadis…Intepretasi Quran dan Hadis itu, cara menerankannya belumlah rasionalistik 100%, belumlah dengan bantuan akal 100%…Mereka tidak selamanya mengakurkan pengertian itu dengan akal yang cerdas, tetapi masih-mengasih pada jalan percaya buta belaka…Asal tertulis dalam Quran, asal tertera  di dalam Hadis yang sahih (skriptualis—pen). Mereka terimalah walau kadang-kandang akal mereka tidak menerimanya”.

Dengan kritik itu, Soekarno secara tidak langsung ingin membangun sebuah gagasan Islam Indonesia. Islam yang mampu menjawab konteks Indonesia. Setidaknya beberapa pandangan Islam Soekarno dapat kita temui. Dalam Islam Kita dan Islam Nusantara (2016), Muhammad Guntur Romli mengemukakan, bahwa ada beberapa yang bisa disebut sebagai gagasan utama Islam “ala” Soekarno. Pertama, bagi Soekarno, Islam sebagai elan persatuan nasional. Ide ini bisa ditemui dalam tulisanya “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” dimuat Suluh Indonesia Muda. Pada ide ini, Soekarno menarik nilai-nilai Islam menjadi “alat” kolektivitas rakyat yang mayoritas Islam untuk bangkit memperjuangkan bangsa dan tanah airnya dari penjajahan dan imperialisme. Agar Indonesia keluar dari kungkungan asing. Pada gagasan ini, Soekarno mempertemukan nilai-nilai Islam dan konsep Nasionalisme sekaligus Marxisme. Bahwa ketiganya bukanlah suatu yang mesti dipertentangkan.

Kedua, Islam menekankan rasionalitas. Islam harus menerima kemajuan Ilmu pengetahuan (sains). Bagi Soekarno “Orang tak dapat memahami betul Quran dan Hadis kalau tak berpengetahuan umum (sains). Bagaimana bisa orang mengerti betul firman Tuhan segala barang sesuatu dibikin oleh-Nya “berjodoh-jodohan—(berpasang-pasangan-pen)” kalau tak mengerti biologi, tak mengetahui eletron, tak mengetahui posistif dan negatif…”. Pada poin ini, nampak jelas ide-ide kemajuan Soekarno bahwa Islam tak mesti alergi terhadap kemajuan pengetahuan (sains) bahkan Islam semakin kaya jikalau Islam “dibaca” dalam kerangka sains. Pembacaan ini bisa dijadikan sebagai salah satu cara metode dalam membaca Islam.

Ketiga, dalam artikel yang ia tulis “Islam is progress”, Kata Soekarno, “Islam itu kemajuan…kemajuan karena wajib….karena sunnah tetapi juga kemajuan karena diluaskan dan dilapangkan oleh jaiz atau mubah yang lebarnya melampui batas-batasnya zaman” Islam itu berkemajuan yang menekankan pada aspek kebolehan (mubah) yang bisa melampui zaman. Bukan untuk melarang-larang dan mengharamkan. Senada pada ide yang kedua, makna progres atau kemajuan di sini yakni pelibatan akal dalam membaca Islam. Selain itu, ide “Islam is Progress” juga dapat bermakna penempatan Islam dalam barisan perjuangan. Dalam gerakan pembelaan terhadap orang yang termarginalkan. Islam terlibat dalam pembebasan secara kolektif di samping pembebasan secara Individu. Islam bagi Soekarno yakni libertarian sosial bukan hanya libertarian individual seperti yang cederung dianut oleh kalangan Islam Liberal. Soekarno sepertinya paham betul bahwa jika Islam hanya mendorong kebebasan individu, maka Islam akan menjadi pelayan bagi ideologi liberalisme dan turunannnya. Intinya, Soekarno melihat Islam memiliki semangat emansipatoris secara khusus pada perlakuan pada perempuan. Hal ini bisa dilihat dalam gagasan berikutnya yakni keempat, bahwa Islam itu membebaskan dan anti penindasan. Bung karno menentang tabir yang menutupi perempuan dan pertemuan, karena bagi dia “tabir adalah lambang perbudakan kaum perempuan” dalam wawancara ia menegaskan, “saya anggap tabir sebagai simbol-simbolnya perbudakan perempuan, keyakinan saya ialah Islam tidak mewajibkan Tabir itu. Islam memang tidak mau memperbudak perempuan.” Demikian dakunya.

Selanjutnya ide Islam progres Soekarno, atau yang kelima yakni Islam mengakui persamaan dan kemuliaan manusia. Baginya, ”..tak ada satu agama yang menghendaki kesemerataan daripada Islam”. Bung karno menafikan perbedaan manusia berdasarkan keturunan. Menolak penjajahan manusia dengan manusia yang lain seperti yang dilakukan kapitalisme. Menolak rasialisme dan fasisme seperti yang dilakukan oleh Hitler di Jerman. Bung Karno juga sangat menentang sektarianisme yang dibangun berdasarkan atas dasar perbedaan agama atau mazhab. Terkait dengan gagasan yang kelima ini, di sinilah gagasan Soekarno menjadi kritik dengan kondisi Islam di Indonesia sekarang ini yang sudah mulai terjebak dan terkungkung dalam ideologi liberalisme dan fundamentalisme. Wujud liberalisme Islam sebagaimana dibahasakan sebelumnya, yakni Islam untuk kemerdekaan atau kebebasan individual semata. Menjauhkan Islam sebagai aksi. Sebagai agama yang menyimpan protes terhadap segala bentuk penindasan dan diskriminasi kaum mustadaafin. Watak Islam liberal memiliki kemiripan dengan semangat Ideologi liberalisme itu sendiri.  Wujud fundamentalisme melahirkan konflik atas nama agama. Teror dan bom bunuh diri menjadi bagian dari keimanan oleh kaum ini. Sebab baginya ini merupakan jalan pintas menuju surga. Sesarinya Islam fundamentalisme merupakan “anak haram” dari ideologi liberalisme. Sebab tindakan mereka selama ini, sebagian lahir atas respon ideologi liberalisme yang terbukti menjadikan Islam sebagai bagian dari skenario dalam mempertahankan ideologinya.

Keenam, Soekarno melihat Islam mengakui agama-agama yang lain dan pentingnya toleransi dan demokrasi. Baginya, pemaksaan suatu negara Islam menurutnya bertentangan demokrasi dan dunia modern dan hal tersebut bentuk kediktatoran. Katanya, “…kalau mereka tidak menerima konstitusi Islam, apakah kamu paksa mereka, dengan menghantam Tuan punya  tinju di atas meja, bahwa mesti ditundukan kepada kemauan Tuan? Ai Tuan mau main diktator, mau paksa mereka dengan senjata bedil dan meriam?..zaman sekarang zaman modern, dan bukan zaman basmi-basmian secara dulu”. Gagasan Islam Soekarno yang demikian, merupakan bentuk kritik terhadap orang-orang atau kelompok Islam yang memiliki cita-cita menegakkan Negara Islam. Dalam konteks Indonesia kekinian ide-ide Negara Islam (khilafah) ini, sangat getol diperjuangkan oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bagi Soekarno ide-ide semacam itu mengandung kediktatoran yang dibungkus dengan dalil agama. Suatu ide yang tidak sesuai dengan dunia kemodernan dan Indonesia.

Ketujuh, Soekarno melihat Islam adalah ajaran yang menekankan pada subtansi. “Ruh dan semangat Islam, api Islam” bukan pada aspek-aspek simbolnya yang sebut sebagai “agama celak” dan “agama sorban” atau ‘abu islam”. Pada ide ini, di sini dalam kontekstualisasinya menjadi kritik terhadap model keberilslaman mengedepankan simbol. Memanjangkan jenggot, mengisbalkan celana, serta memakai sorban dianggap sebagai model Islam yang sesungguhnya—Islam sejati. Dan kelompok seperti ini cenderung sibuk mengurusi hal tersebut dan tidak membawa Islam untuk berbicara pada dimensi emansipatorisnya. Islam yang sibuk mengurusi simbol tersebut, cenderung pasif terhadap penindasan serta marginalisasi yang dilakukan oleh sitem kekuasaan.

Sejatinya Soekarno melihat Islam dengan segala doktrin yang milikinya diarahkan untuk melahirkan kebebasan rakyat Indonesia dari segala bentuk penjajahan. Islam dengan nilainya mampu menjadi inspirasi perjuangan menentang segala bentuk penindasan. Islam harus terlibat dalam kubangan penderitaan rakyat. Di sana Islam harus menjadi pelipur lara pada luka-luka rakyat atas diskriminasi yang dialami. Islam harus mampu menjadi “air” pada dahaga rakyat. Islam harus mampu ditarik dalam praksis dan menjadi solutif pada kelas tertindas. Yang perlu didorong bahwa Islam tidak menerima segala bentuk eksploitasi. Islam menolak segala bentuk penguasaan kebudayaan, sosial politik dan ekonomi oleh kelompok tertentu. Islam menginginkan tatanan sosial yang adil dan beradab. Bukan bengis dan biadab.