Bioskop di Kota Makassar

Bagi warga kota atau mereka yang bermukim di sekitaran kawasan perkotaan, biasanya punya kegiatan untuk menghilangkan penat dan rasa suntuk dari beban pekerjaan yang berat. Biasanya mereka (warga kota) akan mencari satu sarana hiburan untuk mengendorkan syaraf-syaraf yang tegang. Bisa berkaraoke ria di rumah bernyanyi, menikmati semilir angin di pantai, pun bisa memanjakan mata dengan menyaksikan film di bioskop. Nah! saya, kalau lagi suntuk dan punya rezeki berlebih, maka bioskop bisa jadi sarana untuk mengendorkan syaraf-syaraf yang tegang. Bioskop dapat dikatakan sebagai salah satu wadah hiburan bagi masyarakat di Indonesia, terutama bagi mereka yang bermukim di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan termasuk di dalamnya Kota Makassar.

Di Makassar sendiri, ada empat lokasi yang biasanya menyediakan sarana hiburan ini. Pertama, di Makassar Town Square dengan XXI nya. Kedua, Trans Studio Mall dengan XXI nya. Ketiga, Mall Ratu Indah. Dan Keempat Mall Panakkukang dengan Studio 21 & XXI. Saya sendiri lebih sering mengunjungi tempat yang keempat. Studio 21 Mall Panakkukang. Alasannya sederhana, lokasinya mudah saya akses dan ongkos untuk nonton film tidak terlalu menguras kocek saya.

Masih jelas dalam ingatan saya, dalam beberapa bulan terakhir ini terdapat tiga film yang pernah kutonton dalam rentang tempo yang begitu dekat. Di antaranya Susah Sinyal, Silariang : Cinta yang (tak) Direstui, dan Dilan 1990.  Tiga film ini telah disaksikan jutaan pasang mata—termasuk saya dan mungkin juga kamu?! Banyaknya pasang mata yang menyaksikan film-film tersebut membuktikan bahwa semakin bergeliatnya industri perfilman Indonesia. Sekadar catatan, menurut ‘Mbah’ Wikipedia, industri perfilman di Indonesia pernah mengalami masa mati suri di kurun tahun 1991 – 1998 di mana masa itu film-film Indonesia yang ditayangkan di bioskop didominasi oleh film-film bertemakan seks (dewasa). Selain itu kemunculan televisi swasta, VCD, LD, dan DVD menjadi pesaing baru yang turut andil dalam kemunduran industri perfilman Indonesia. Sekadar diketahui, sebelum tahun 1991 film-film di Indonesia dapat dikatakan menjadi tuan di negerinya sendiri. Apatah lagi film-film yang dilakoni oleh Ratu Horror Indonesia Suzzanna Martha Frederika van Osch atau yang lebih dikenal dengan Suzzanna. Jangan lupa para orang tua kita dulu pasti mengingat serial film Warkop (baik era Warkop Prambors maupun Warkop DKI). Bagi penggemar dangdut, pasti mengenal film-film dari Bang Haji Rhoma Irama sebutlah Berkelana I dan Berkelana II yang rilis di tahun 1978 atawa Satria Bergitar—film keluaran tahun 1984.

Sebagaimana yang saya terangkan dalam alinea sebelumnya, geliat perfilman Indonesia di era milineal dapat dikatakan sebagai era kebangkitan kembali film Indonesia, uniknya! Di tengah semakin beragamnya sarana untuk menyaksikan film—seperti di kanal You Tube, VCD, DVD, atau mengunduh film di jagad maya—menyaksikan film di bioskop masih mendapatkan tempat di hati masyarakat kota. Secara kasat mata dapat dibuktikan dengan banyaknya pasang mata yang menyaksikan tiga film yang kusebutkan sebelumnya, tak ketinggalan film-film booming yang pernah tayang di layar teater bioskop seperti: Petualangan Sherina, Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Habibi Ainun, dan banyak lagi.

Namun ada satu hal yang unik dan mungkin luput bagi mereka penikmat film di bioskop. Mungkin sebagian besar dari mereka—terutama generasi milineal kids jaman now—tidak mengetahui bahwa dahulu di sudut-sudut Kota Makassar bertebaran bioskop-bioskop yang pastinya memanjakan mata. Dalam skripsi karya Rahmatia M—salah satu mahasiswa Pendidikan Sejarah UNM—yang berjudul Bioskop di Kotamadya Ujung Pandang (1971-1999) menyebutkan bahwa : setidaknya, di kurun tahun 1950-an terdapat tiga belas bioskop yang cukup terkenal di Kota Makassar, yakni; Bioskop Capitol, Bioskop Alhambra, Bioskop City, Bioskop Cathy, Bioskop Empress, Bioskop Sirine, Bioskop Taman Gembira, Bioskop Murni, Bioskop Nam Seng, Bioskop Sin Kong, Bioskop Asmara, Bioskop Roxy, dan Bioskop Sempurna.[1]

Uniknya, perbioskopan di Makassar tempo doeloe mengenal pengkelasan, jika di masa kolonial Hndia-Belanda kelas-kelas bioskop tercipta akibat pengaruh ras antara orang Belanda dengan Bumi Putera (Inlander). Maka kelas-kelas bioskop di Kota Makassar pada dekade 1950-an tercipta akibat perbedaan ekonomi masyarakat.[2] Kemudian, era 1970-an pengkelasan bioskop di Kota Makassar (Kotamadya Ujung Pandang saat itu) dipengaruhi oleh jenis film yang diputar, sehingga muncul bioskop yang khusus memutar Film India, Film Barat, Film Hongkong maupun Film Mandarin, serta Film Indonesia tentunya.[3]

Syahdan, di tahun 1977 pemerintah Kota Makassar (Kotamadya Ujung Pandang saat itu) pernah mengeluarkan suatu regulasi penetapan golongan atau kelas serta harga tanda masuk bagi bioskop yang berada di Makassar (Ujung Pandang saat itu) melalui SK. No. 299/S.Kep/71/77 tertanggal 22 Nopember 1977. Pengklasifikasian atau penggolongan kelas bioskop di bagi atas lima golongan. Pertama, golongan I/A atau golongan yang paling utama. Bioskop yang masuk dalam golongan ini adalah Bioskop Artis yang terletak di Jalan Gunung Lompobattang dengan harga tiket masuk dibandrol Rp. 300 – RP. 1.000. Kedua, golongan I/B. Bioskop yang masuk kategori ini ialah Bioskop Madya, Bioskop Istana, Bioskop Dewi, Bioskop Benteng, Bioskop Ratu, Bioskop Anda, dan Bioskop Arini—yang harga tiket masuknya berkisar antara Rp. 300 – Rp. 750. Ketiga, golongan II/A. Bioskop yang masuk dalam golongan ini adalah Bioskop Jumpandang dan Bioskop Mutiara dengan HTM (Harga Tiket Masuk) berkisar antara Rp. 200 – Rp. 500. Keempat, golongan II/B—dengan Bioskop Jaya dan Bioskop Apollo, adapun harga tiket masuk berkisar Rp. 200 – Rp. 500. Dan terakhir, golongan III yang meliputi Bioskop Surya, Bioskop Kolam Renang, Bioskop Mesra, Bioskop Pelita, Bioskop R.K.M dan Bioskop Jalaria dengan HTM berkisar antara Rp. 100 – Rp. 200.[4]

Keseluruhan bioskop yang disebutkan di atas telah tiada dan tinggal kenangan. Beberapa bangunan bioskop tersebut juga telah beralih fungsi, semisal Bioskop Istana—dahulu namanya Empress Theater—yang terletak di simpang Jalan Ranggong dan Jalan Sultan Hasanuddin kini telah menjadi ruko. Demikian pula dengan Bioskop Capitol yang terletak di Jalan Penghibur telah menjelma menjadi Zona Café.[5]

Yah! Kurang lebih demikianlah sekelumit kisah tentang perbioskopan di Kota Makassar. Dan kiwari ini hanya ada dua tempat untuk menyaksikan film kesukaan, kalau tidak di Bioskop Studio 21…, yah saudaranya…, XXI. Jadi?! Adakah acara malam ini tuk pergi nonton bioskop…?!

[1] Ilham. Menolak Kolonialisme, Membayangkan Barat : Bioskop dan Film di Makassar Tahun 1950-an. Artikel. 2011. Dalam Rahmatia M. Bioskop di Kotamadya Ujung Pandang (1971-1999). Skripsi. (Makassar : FIS UNM, 2015) Hlm. 24

[2] Rahmatia M, Ibid.

[3] Iibid.

[4] Badan Arsip Propinsi Sulawesi Selata, Arsip Inventaris Pemerintah Kotamadya Ujung Pandang (1926-1988). No. Reg. 1425. Untuk melengkapi informasi tentang pengkelasan bioskop di Makassar dapat pula dilihat artikel Syaifullah Daeng Gassing, Dulu Ada Bioskop Kelas B di Makassar dalam Anwar Jimpe Rahman (peny.) Makassar Nol Kilometer (Dotcom) Jurnalisme Plat Kuning : menceritakan wajah Makassar yang lain – dari meja warkop sampai riuh festival rock. (Makassar : Tanahindie, 2014) Hlm. 62-65

[5] Rahmatia, Loc.,Cit

  • Bagi penyuka hari libur, angka merah – kadang juga hijau, tapi lebih populer dengan istilah “tanggal merah”– di kalender adalah waktu yang paling dinanti. Dan, di pekan pertama bulan Mei 2016, benar-benarlah berkah bagi banyak orang. Soalnya, pada tanggal 5-6, diganjar sebagai hari libur nasional. Latar penetapan libur itu, dutujukan sebagai peringatan akan dua peristiwa…

  • Kelas dimulai dengan suara abaaba Hajir, itu tanda forum dibuka. Setelah mengucap beberapa kata, orang pertama yang membacakan tulisannya adalah Asran Salam. “Cinta Seorang Kierkegaard,” begitu Asran Salam mengucapkan judul tulisannya. Agak lama ia mengeja tulisannya. Sekira hampir sepuluh menit. Setelah itu, satu persatu mata mempelototi naskah yang dibagikannya. Hal ini adalah kebiasaan yang sudah…

  • Tidak banyak insan yang mengisi hari libur dengan berbagi kepada sesama. Sebab, bagi kebanyakan orang, liburan adalah buat keluarga, atau setidaknya, menjadi ajang memanjakan diri, mengurus soal-soal pribadi. Tapi, bagi empat pembicara di Seminar Nasional yang bertajuk: “Narasi Kepustakawanan dalam Gerakan Literasi”, yang diselenggarakan oleh IKA Ilmu Perpustakaan dan HMJ Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, memilih…

  • Ada apa dengan angka  60 (enam puluh)? Yang jelas, tidak ada kaitan erat dengan film  Ada Apa dengan Cinta (AADC)2, yang lagi ramai diobrolkan dan penontonnya masih antrian mengular. Pun, angka 60 ini, bukan merupakan usia kiwari saya, sebab saya masih harus melata sebelas tahun untuk tiba di angka itu. Semuanya bermula dari rilis yang…

  • Orangorang berkumpul hanya ingin banyak berbicara, orangorang menepi hanya untuk menulis.  Suatu tindakan harus dimulai dengan satu kemauan, sekaligus karena itu di baliknya perlu ada seribu kesabaran. Kelas literasi PI, awalnya bukan mau menyoal jumlah. Pertama kali dirintis, kalau tidak salah ingat, kelas dibangun berdasarkan visi gerakan. Sementara logika gerakan bukan mengutamakan jumlah. Itulah sebabnya…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221