Kala Unjuk Rasa

Semuanya bermula dari kesepakatan. Sepakat untuk menamakan media Kelas Literasi Paradigma Institute, yang bentuknya berupa lembaran, dengan nama Kala. Sejak kelas literasi ini dibuka untuk gelombang kedua, di pertemuan perdana pun sepakat untuk melahirkan media Kala ini. Banyak nama yang diusulkan, tetapi yang disepakati adalah Kala. Sepenggal kata yang diusulkan oleh Rahmat Zainal. Kala, bisa disinonimkan dengan waktu, masa, tempo, masa, zaman, dst. Yang pasti, dengan menabalkan media ini bernama Kala berarti, amat dekat dengan peristiwa. Setia pada peristiwa, kata Alain Badiou.

Hingga pekan ke-9 kelas literasi, Kala selalu hadir mengiringi. Tulisan yang dimuat pada lembaran ini, rata-rata tiga tulisan, yang kesemuanya hasil anggitan peserta kelas literasi. Ada esai, cerpen, opini dan puisi. Waima rutin terbit setiap pekan, seiring keberlangsungan kelas literasi, namun tampilannya masih sangat sederhana. Masih kalah jauh dari lembaran-lembaran Jumat yang sering dibagikan di beberapa mesjid oleh organisasi sosial keagamaan. Belum lagi pesebaran distribusinya, sangat terbatas, seruang buat para peserta saja. Jadi,lembaran  Kala nyaris jatuh pada tagline, dari peserta, oleh peserta untuk peserta. Padahal, semboyannya lumayan menggigit: Ayo bangun budaya literasi yang berpihak, ayo didik masyarakat dengan aksara yang jujur.

Terbatasnya lingkup sebaran, penyebabnya sangat klasik, tiada biaya untuk menggandakannya. Seharusnya ini menjadi tantangan nyata, meski bukan tujuan utama dari media lembaran ini menyaingi lembaran-lembaran lain, yang lebih agresif dibagikan pada jamaah mesjid. Paling tidak, sasarannya adalah kaum muda mahasiswa, dengan maksud agar ada wacana alternatif, guna mendukung sepak terjang gerakan literasi yang paling mutakhir: membaca dan menulis karena kebutuhan jiwa, mengutuhkan eksistensi kemanusiaan.

Pada perkembangannya kemudian, pihak redaksi mulai membenahi konten lembaran Kala ini. Salah satunya adalah didapuknya saya selaku penulis tetap pada halaman akhir, tentu pendapukan ini tidak terlepas dari persepakatan. Oleh karena ini adalah kesepakatan bersama, walau awalnya atas permintaan ketua kelas literasi, Bahrul Amsal, saya pun meingiyakan saja. Dan, halaman akhir ini dinamai kolom Unjuk Rasa. Artinya, saya diminta menulis tentang berbagai ragam peristiwa, dituangkan dalam mozaik tulisan, dengan rasa yang subjektif, amat personal sifatnya, sebentuk unjuk rasa, unjuk kata-kata, yang didedahkan lewat tinta pena.Teringatlah saya akan ungkapan,  kata adalah senjata.

Bagi saya ini sejenis tantangan. Pasalnya, saya diminta untuk berunjuk rasa, melakukan protes, berdemonstrasi di lembaran ini, dengan batasan tulisan maksimal 500 kata. Maka semuanya menjadi serba padat, mulai dari gagasan yang mondial, hingga penyajian ringan mengalir, karena berusaha memenuhi tuntutan rasa. Namanya juga unjuk rasa.

Akhirnya, saya harus menyadari sedini mungkin, bahwa mungkin saja saya tetap menulis secara konsisten setiap pekan, sepanjang lembaran Kala ini terbit, meski pembacanya hanyalah para peserta kelas literasi saja. Semua itu tak mengapa. Soalnya, saya pun menulis di lembaran ini, pada halaman akhir, dengan rubrik Unjuk Rasa, dimotivasi oleh semangat untuk mendefenisikan diri sebagai seorang pegiat literasi, yang tradisi literasinya paling mutakhir, membaca lalu menulis dengan sepenuh jiwa, demi memelihara kejernihan pikiran, membeningkan hati. Dan, yang tak kalah urgennya buat saya, lembaran ini bakal menjadi ajang untuk menabung tulisan.

 

  • “Persamaan banjir dan marah,meluap kemana-mana. Apalagi jika bersatu: banjir marah, maka sempurnalah derita.” ( Maksim Daeng Litere, 160620) Warga Kota Makassar cemas berjemaah. Air diperkirakan akan menggenangi kota hingga dua meter. Makassar siaga satu. Potongan video Wali Kota Makassar, Dani Pomanto, beredar mengimbau warga kota agar waspada. Kala mengimbau, ia sendiri berada di lokasi ketinggian…

  • Bagi pelajar dan mahasiswa, membaca adalah syariat akademik ‒harus ditunaikan. Pun dalam Islam perintah membaca menyasar semua kalangan (laki-perempuan, tua-muda, miskin-kaya, pelajar-non pelajar). Entah itu membaca dalam arti tekstual (membaca buku, koran, majalah, dll) atau kontekstual (membaca alam, lingkungan, kondisi, atau pola chat si gebetan, apakah ia punya rasa atawa cuma gabut saja), sebagaimana wahyu pertama yang…

  • Tak sedikit kisanak dan nyisanak menohokkan tanya, kala saya mengada di persamuhan literasi, bagaimana proses kreatif menulis buku? Biasanya, saya ajukan respon, empat buku saya tidak pernah direncanakan mewujud buku. Pasalnya, sekotah buku lahir, karena akumulasi dari kumpulan tulisan. Berkat rajin menabung tulisan di celengan minda. Segenap minda, saya ikat lewat tulisan, lalu saya tabung…

  • “Death is the worst. When you close your eyes on this world, this beauty, the wonders of nature, it means you’ll never be coming back” Kali ini The Wind Will Carry Us (1999) lebih memberikan ”ruang”  yang besar kepada perempuan, dan lebih banyak mengedepankan peluang pembacaan yang lebih feministik jika dibandingkan dengan Taste Of Cherry…

  • Beberapa waktu lalu seorang kepala daerah diciduk lembaga pemberantasan korupsi akibat kasus suap yang menyeret namanya. Kendati mengusik hati, sebenarnya diakui atau tidak, fenomena korupsi kini telah jadi lumrah di sebuah negeri antah berantah. Lantas apa yang aneh kalau begitu? Ada kejanggalan di balik peristiwa itu, musabab beberapa hari sebelum penangkapan, kepala daerah tersebut hadir…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221