Enam Puluh

Ada apa dengan angka  60 (enam puluh)? Yang jelas, tidak ada kaitan erat dengan film  Ada Apa dengan Cinta (AADC)2, yang lagi ramai diobrolkan dan penontonnya masih antrian mengular. Pun, angka 60 ini, bukan merupakan usia kiwari saya, sebab saya masih harus melata sebelas tahun untuk tiba di angka itu. Semuanya bermula dari rilis yang dikeluarkan oleh Central Connecticut State University AS, yang menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 negara yang diteliti tingkat literasi warganya. Jadi, ini soal peringkat literasi dari suatu bangsa.

Waima tidak seheboh dengan berita tentang reklamasi pantai, pemilihan gubernur DKI, penangkapan buron koruptor, Munas Golkar atau tertangkapnya beberapa elit penting TNI dan Polri yang terjerat narkoba. Rilis warta ini cukup menyentak, meski yang tersentak hanyalah kalangan terbatas, yakni di jajaran  kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dan, ini semakin menegaskan bahwa pasal gerakan literasi yang ditabalkan Mendikbud, yang mesti disinergikan dengan berbagai unsur masyarakat-komunitas pendidikan adalah hal tepat.

Selaku pegiat literasi,  saya setuju seribu persen dengan apa yang dipendapatkan oleh harian Kompas (20/04/2016), lewat tajuknya, bahwa, “ pengumuman hasil  pemeringkatan literasi (melek huruf) dari 61 negara dan Indonesia duduk di peringkat ke-60 jangan membuat kita putus asa. Tidak berguna kita protes, lebih baik berpikir dengan kepala dingin… sebagai bahan mawas diri. Budaya membaca kita, faktor penyebab utama literasi rendah. Standar UNESCO, waktu membaca 4-6 jam sehari, sementara kita 2-4 jam sehari, padahal negara maju 6-8 jam sehari.”

Dari tajuk di atas, secara pribadi mari kita mengevaluasi diri, dengan menohokkan satu tanya, berapa jam waktu yang kita habiskan untuk membaca dalam sehari? Jangan-jangan, kita pun belum tergolong insan yang membaca 2-4 jam sehari. Atawa, tengoklah lingkungan sekitar kita, termasuk di ruang terdekat kita, tempat mukim kita masing-masing, adakah aktivitas membaca minimal 2-4 jam dalam sehari itu?  Bukankah yang lebih menonjol adalah kegiatan menonton berjamaah, berlama-lama larut dalam ocehan khutbah kotak ajaib, TV? Atau sibuk dengan utak-atik, heran bin takjub  di gawai masing-masing?

Adalah Haidar Bagir, seorang intelektual muslim dan pelaku industri perbukuan, CEO Mizan Group, ikut prihatin dengan angka 60 ini. Melalui artikelnya di Kompas (28/04/2016), yang berjudul Amnesia Buku, Haidar mendedahkan banyak hal seputar  upaya meningkatkan minat baca dan nasib industri perbukuan. Menurutnya, ketika kita belum lagi berhasil dalam mengembangkan budaya baca yang merata, dan negeri kita masih didominasi oleh budaya tutur, masyarakat kita sudah masuk ke budaya audio-visual (radio dan TV) yang lebih mudah menyedot perhatian masyarakat.

Masih merujuk Haidar, dalam pergulatan penuh susah payah dengan budaya audio-visual itu, kita sudah “terpaksa” larut dalam budaya digital. Sebenarnya, teknologi digital sampai batas tertentu juga mengembalikan budaya baca kepada masyarakat, baik lewat akses kepada berbagai tulisan di internet melalui search engine yang ada maupun melalui berbagai sarana media sosial, seperti situs web,blog, Facebook, dan Twitter. Masalahnya, pasokan informasi atau tulisan yang melimpah, cenderung pendek, yang kurang keluasan dan kedalaman.

Disinyalir pula oleh Haidar, bahwa kurang keluasan dan kedalaman ilmu (bukan sekadar informasi), akan mengancam generasi muda kita. Dan, itu juga berarti bahan bacaan yang menyajikan keluasan dan kedalaman, berupa buku bacaan akan terancam pula keberadaannya. Padahal, teknologi perbukuan juga makin maju, dengan ditransformasikannya dalam bentuk digital, e-book. Persaingan sebaran informasi, artikel-artikel di internet, bakal menjadi ancaman serius bagi kemaujudan buku. Jika tidak ada upaya serius, khususnya langkah-langkah kongkrit untuk menegaskan amat pentingnya literasi buku, maka buku sebagai pilar terpenting dari tradisi literasi, benar-benar akan musnah.

Angka 60 memang menjadi momok, sebab ia merupakan status keterpurukan literasi bangsa ini. Tapi, bagi para pejuang literasi, pegiat literasi, justeru ini adalah lahan subur untuk mengayunkan pedang, menebas berbagai macam penghalang tumbuhnya tradisi literasi. Artinya, para pegiat literasi, tidak bakal menganggur, apatah lagi menyarungkan pedang literasinya.

 

 

  • Ketika bersepakat akan memiliki anak. Pasangan saya sudah jauh-jauh hari memikirkan pendidikan anak. Ia hendak menabung, bahkan ketika si calon murid ini belum ditiupkan roh oleh Tuhan. Pengalaman bertahun-tahun sebagai kepala sekolah di homeschooling, bertemu dan mendengar kisah anak-anak yang ‘terluka’ akibat sekolah, membuatnya skeptis terhadap pendidikan di sekolah formal. Ia tidak ingin kelak anak…

  • Gattaca sebuah cerita lama. Sebuah fiksi ilmiah yang dirilis 1997. Anredw Niccol sang sutradara seperti sedang meramal akan masa depan. Melalui aktor Ethan Hawke berperan sebagai Vincent,  Niccol ingin menggambarkan masa depan manusia. Masa depan genetika yang bisa direkayasa. Gattaca film yang bercerita tantang Vincent yang terlahir tak sempurna. Gennya mengalami cacat sejak lahir. Tak…

  • Cadarmu menyembunyikan rahasiamu. Menyembunyikan siapa dirimu. Cadarmu menyamarkan dirimu dengan teka-teki yang tersisa bagi diriku. Berlapis-lapis cadarmu yang tak berbilang menguliti lapisan upayaku menggapaimu hingga terhempas pada ketakberdayaan dan kenisbian. Kehabisan napas, kehabisan darah, kehabisan nyawa. Telah sirna segala yang ada pada diriku ditelan upaya, namun lapis-lapis cadarmu belum jua tersibak tuntas. Cadarmu telah banyak…

  • Jelang salat Zuhur di satu masjid, saya bersua dengan seorang kepala desa, yang pasangannya menjabat komisioner KPUD. Iseng-iseng saya bertanya, “Kapan lebaran Pakde?” Sembari tersenyum ia berujar, “Nyonyaku sudah lebaran besok, Jumat. Ia sudah izin ikut penetapan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kalau saya menanti pengumuman pemerintah, kemungkinan Sabtu.” Saya segera bisa memahami pasutri tersebut. Maklum saja,…

  • Meniada artinya menjadi tiada, mengakui ketiadaan diri, atau menerima bahwa diri seseorang bukan saja tidak berharga namun memang tidak ada. Bukan sesuatu yang mudah untuk merendahkan diri, apatah menyatakan ketiadaan diri. Namun dalam khazanah para pejalan menuju Tuhan diskursus tentang eksistensi manusia seperti ini sudah cukup akrab. Beratnya pengakuan ketiadaan diri sangat terasa di kalangan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221