Jalan Kerelawanan

Ada dua perhelatan yang saya anggap penting  di bulan Mei 2016. Pertama, tanggal 18-21, hajatan Makassar  Interbational Writers Festival  (MIWF) digelar untuk keenam kalinya di kota mukim saya, Makassar. Para penulis berdatangan, baik dari dalam negeri– penulis nasional dan lokal—maupun manca negara. Kedua, tanggal 25, merupakan Hari Inspirasi, yang didedahkan oleh Kelas Inspirasi Bantaeng (KI-B), yang menabalkan 10 sekolah untuk disambangi dalam berbagi inspirasi dari ratusan kaum profesional, berlangsung  di kampung kelahiran saya, Butta Toa-bantaeng.  Dua even tahunan ini, selalu menyita perhatian saya karena amat terikat secara emosional. Bila di MIWF, ikatan itu berwujud selaku pegiat literasi, maka KI-B berupa sebagai koordinatar relawan.

Sekali waktu, saya sudah lupa detail kejadiannya, yang pasti, tatkala saya menonton dialog di salah satu TV swasta, tentang representasi relawan Teman Ahok dengan salah seorang politisi senior. Dalam dialog itu, si politisi senior tak percaya bahwa ada relawan sejenis Teman Ahok. Menurutnya, yang mengaku relawan ini, pastilah dibayar. “ Mana ada orang semacam relawan?”, sergahnya. Meski dengan susah payah sang anak muda relawan itu menyanggah, tapi tetap saja si politikus tidak percaya. Saya yang menyimak perdebatan itu, hanya menggumam di kedalaman batin, memang susah si politisi ini memahami sepak terjang anak muda kekinian, sama susahnya dengan mencat es batu.

Dunia kerelawanan adalah dunia yang trend di masa kiwari ini. Dan, uniknya lagi, lebih banyak dimotori oleh kaum muda, yang sering dinubuatkan sebagai gelombang generasi Y-Z. Apa yang terjadi, perseteruan antara relawan Teman Ahok dan si politisi, sesungguhnya adalah wujud benturan antara generasi lama, generasi X dengan genarasi berikutnya, Y-Z. Generasi X gagal paham terhadap hadirnya generasi Y-Z. Padahal, baik relawan teman Ahok maupun para penggerak di MWIF dan KI-B adalah para relawan yang didominasi oleh kawula muda generasi Y-Z. Eksisnya dua perhelatan di awal tulisan ini, karena digawangi oleh sekaum anak muda.

Sejatinya, kerelawanan adalah sari diri bangsa ini. Apa yang sering kita sebut sebagai gotong royong adalah karakter terkuat suku-suku di Nusantara. Tidaklah mengherankan kemudian, ketika hampir semua masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa ini bisa selesai karena semanagat gotong royong. Perjuangan untuk kemerdekaan dapat terwujud karena tidak sedikit sukarelawan mengambil bagian di dalamnya. Bergulirnya reformasi tahun 1998, sebab di sana banyak sukarelawan yang bahu membahu memaksa penguasa untuk berhenti berkuasa. Atau, ketika terjadi bencana tsunami di Aceh. Begitu juga, munculnya solidaritas untuk memperkuat KPK dari ancaman pelemahan dan saat hadirnya Gerakan Kawal Pemilu 2014, yang melibatkan 700 sukarelawan.

Sayangnya, nilai gotong royong ini makin hari makin susut keberadaan penganutnya. Maka ketika muncul komunitas-komunitas yang melembagakan diri, merepresentasikan berbagai macam bentuk sebagai respon atas permasalahan sosial yang dihadapi bangsa ini patut disyukuri. Model-model kerelawanan dalam wadah komunitas-komunitas adalah gotong royong yang di-entertain-kan. Menariknya, gerakan-gerakan kerelawanan yang melembagakan diri secara lentur ini, didominasi oleh partisipan dari kaum muda, yang sering dituduh sebagai generasi yang abai terhadap soal-soal di luar dirinya dan lebih mementingkan dirinya sendiri.

Rasanya, amat penting saya ajukan hasil riset dari harian Kompas, Kamis 19 Mei 2016, tentang media dan gerakan kerelawanan. Disebutkannya bahwa kemunculan gerakan kerelawanan tidak terlepas dari media yang menjadi medium komunikasi ataupun wadah gerakan tersebut. Media ini berubah dari masa ke masa, dipengaruhi perkembangan teknologi. Sifat dan jenis media ini kemudian memengaruhi skala, wujud dan intensitas gerakan.

Jadi, karena era kehidupan sosial sekarang ini berbasis internet, maka beberapa hal menjadi ciri dari gerakan kerelawanan saat ini, diantaranya; Informasi, diseminasi pemikiran, dan pengorganisasian gerakan kerap menggunakan media online. Berlangsung cepat dan banyak. Daya jangkaunya luas. Ikatan kolektif cenderung longgar. Namun, bisa juga berubah menjadi gerakan “offline” kuat. Karenanya, tidaklah mengherankan kemudian jikalau partisipan dari gerakan ini adalah orang-orang yang akrab dengan dunia internet. Tentulah kaum muda menjadi lumbung yang paling mungkin merespon akan gejala-gejala gerakan.

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221