Membaca Natisha Bersama Pinkola dan Campbell

Adalah Khrisna Pabichara Marewa, yang menganggit kembali sebuah novel berjudul Natisha. Menurutnya, novel ini serupa dengan anak ruhaninya. Setelah sebelumnya, sudah mengarang novel, Sepatu Dahlan (2012) dan Surat Dahlan (2013). Novel ini, dirahimi selama 11 tahun, dengan mengalami dua kali “keguguran”, akibat dari disket yang basah dan laptop digondol maling. Proses akhir penulisan, setelah siuman kembali, hanya memakan waktu 2 bulan. Dan, novel Natisha ini, telah diakikah pada acara Makassar International Writers Festival (MIWF), 18 Mei 2016 bertempat di Fort Rotterdam Makassar.

Pascaakikah, Natisha diarak ke berbagai daerah, khususnya di bagian selatan Sulawesi Selatan, Bantaeng (23 Mei), Takalar (24 Mei), Bulukumba (25 Mei) dan Jeneponto (26 Mei). Dipilihnya empat daerah ini, selain menjadi satelit program MIWF, juga merupakan basis dari akar kisah Natisha. Sebab, Natisha memang bersetting Turatea, daerah yang berbahasa Makassar, khususnya Jeneponto dan Bantaeng. Dan, ketika Natisha tiba di Bantaeng, saya didapuk sebagai pembincangnya, bersama  Khrisna dan representasi dari penerbit.

Membincang Natisha, saya ingin meminjam jalan pikiran dari Clarissa Pinkola Estes dan Joseph Campbell. Sesarinya, Pinkola adalah seorang psikolog, yang memberi pengantar akan karya dari Campbell, The Hero with a Thousend Face, Pahlawan dengan Seribu Wajah . Pada buku Alwy Rachman, Ruang Sadar Tak Berpagar, dengan sangat apik menukikkan buah pikir kedua scholar ini. Ditabalkannya, bahwa kisah tak pernah mati, ibarat sungai yang terus mengalir, memberi asupan pada sang jiwa. Setidaknya, demikian pendakuan Pinkola.

Menurut Alwy, kisah serupa dengan “tulang” yang memungkinkan “otot spritualitas” manusia dapat bergerak. Dengan “kisah sebagai tulang dan “otot spiritualitas”, manusia mampu menegakkan kepedulian dan keberanian untuk menghadirkan dirinya secara utuh. Bersama “tulang” dan “otot”, manusia bergerak dari satu episode masa lalu ke episode kehidupan mitosnya di masa depan.

Dari sudut pandang inilah, saya membidik Natisha. Sejatinya, Natisha adalah bentangan kisah, yang ditorehkan oleh Khrisna Pabichara. Penggalan-penggalan kisah, yang penyajiannya maju mundur, berdasarkan waktu yang dirujukkan, menyebabkan kisah ini menjadi hidup dan menghidupkan. Kisah-kisah yang ditumpangkan pada jiwa, menyebabkan kisah ini akan mengabadi, paling tidak makin panjang usianya, walau kisah ini sejenis daur ulang dari masa silam.

Akan halnya dengan Campbell, seorang antroplog, yang meneliti ribuan kisah, mitos-mitos kepahlawanan, dari era ke era, simpai pada simpulan bahwa seorang pahlawan adalah sosok pejalan. Didakukannya bahwa perjalanan seorang pahlawan melalu enam tahap. Tahapan itu dimulai dengan Innocens, setangga posisi sebagai orang biasa saja. Berikutnya, memasuki kondisi The Call, keterpanggilan akan penghadapan pada soal kehidupan, yang tidak bisa ditolak. Lalu, Initiation, suatu suasana yang diliputi banyak cobaan berat. Pun, setelahnya memasuki alam Allies, yakni adanya kawan-kawan setia yang menemani dalam menjalani cobaan, untuk melakukan Breaktrough, pencapaian terobosan, guna mewujudkan Celebration, keberhasilan.

Membaca Natisha, sebenarnya membaca kisah kepahlawanan. Sosok pahlawan yang dimaksud dalam novel ini, tiada lain adalah Daeng Tutu. Jalan cerita Daeng Tutu menggambarkan, bagaimana ia semula hanya seorang yang biasa saja, lalu terlibat dalam permasalahan. Dari masalah inilah, kemudian Daeng Tutu terpanggil untuk ikut menyelesaikan soal-soal yang dihadapi. Bersama orang-orang terdekatnya, melakukan inisiasi-inisiasi sebagai jalan keluar. Dan, pada akhirnya sejumput kemenangan, yang patut didapukkan sebagai perayaan akan keberhasilan. Walakin di ujung kisah, masih menyisakan agenda soal yang memungkinkan daur ulang kepahlawanan pada kisah berikutnya.

Novel Natisha yang bersetting wilayah Turatea ini, memberikan begitu banyak deskripsi tentang kearifan lokal, local wisdom. Boleh pula disebut local genus, pengetahuan lokal, yang sesungguhnya secara substansial amat mondial kandungan pesan-pesan kearifannya. Kalau saja saya harus berpendapat, maka inilah cara Khrisna, mewariskan beberapa mitos Turatea, melalui kisah yang dikontemporerkan pada situasi sosial politik era tertentu di negeri ini. Dan, Natisha telah mewujud untuk memberikan asupan jiwa, bagi generasi sekarang, agar tetap menengok dan mewarisi kisah kepahlawanan. Tentu, adaptasi kekiwarian selalu menjadi titiannya.

 

  • Ketika bersepakat akan memiliki anak. Pasangan saya sudah jauh-jauh hari memikirkan pendidikan anak. Ia hendak menabung, bahkan ketika si calon murid ini belum ditiupkan roh oleh Tuhan. Pengalaman bertahun-tahun sebagai kepala sekolah di homeschooling, bertemu dan mendengar kisah anak-anak yang ‘terluka’ akibat sekolah, membuatnya skeptis terhadap pendidikan di sekolah formal. Ia tidak ingin kelak anak…

  • Gattaca sebuah cerita lama. Sebuah fiksi ilmiah yang dirilis 1997. Anredw Niccol sang sutradara seperti sedang meramal akan masa depan. Melalui aktor Ethan Hawke berperan sebagai Vincent,  Niccol ingin menggambarkan masa depan manusia. Masa depan genetika yang bisa direkayasa. Gattaca film yang bercerita tantang Vincent yang terlahir tak sempurna. Gennya mengalami cacat sejak lahir. Tak…

  • Cadarmu menyembunyikan rahasiamu. Menyembunyikan siapa dirimu. Cadarmu menyamarkan dirimu dengan teka-teki yang tersisa bagi diriku. Berlapis-lapis cadarmu yang tak berbilang menguliti lapisan upayaku menggapaimu hingga terhempas pada ketakberdayaan dan kenisbian. Kehabisan napas, kehabisan darah, kehabisan nyawa. Telah sirna segala yang ada pada diriku ditelan upaya, namun lapis-lapis cadarmu belum jua tersibak tuntas. Cadarmu telah banyak…

  • Jelang salat Zuhur di satu masjid, saya bersua dengan seorang kepala desa, yang pasangannya menjabat komisioner KPUD. Iseng-iseng saya bertanya, “Kapan lebaran Pakde?” Sembari tersenyum ia berujar, “Nyonyaku sudah lebaran besok, Jumat. Ia sudah izin ikut penetapan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kalau saya menanti pengumuman pemerintah, kemungkinan Sabtu.” Saya segera bisa memahami pasutri tersebut. Maklum saja,…

  • Meniada artinya menjadi tiada, mengakui ketiadaan diri, atau menerima bahwa diri seseorang bukan saja tidak berharga namun memang tidak ada. Bukan sesuatu yang mudah untuk merendahkan diri, apatah menyatakan ketiadaan diri. Namun dalam khazanah para pejalan menuju Tuhan diskursus tentang eksistensi manusia seperti ini sudah cukup akrab. Beratnya pengakuan ketiadaan diri sangat terasa di kalangan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221