Awas, Terungku Sekolah

Tidak makan waktu berbulan, setelah menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Muhadjir Effendy, dilantik, jagat pendidikan negeri langsung geger. Gegaranya sederhana, ketika sang Menteri mewacanakan full day school, yang secara mudah ditafsirkan, sebagai sekolah yang durasinya mulai dari pagi hingga sore. Baik di media luring maupun daring, baik pakar begitupun awam, semuanya bereaksi atas wacana ini. Ada yang setuju, tidak setuju, ataupun antara keduanya.

Sekolah lewat wacana menteri, yang tentu kemauan pemerintah, terlalu bernafsu untuk mengambil alih masalah pendidikan. Padahal, menteri sebelumnya, yang hanya punya masa bakti 20 bulan, lalu diganti, lewat visi dan misi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang mencoba menerjemahkan program Nawacita Kabinet Jokowi, secara gamblang menegaskan bahwa masalah pendidikan menjadi domain bersama antara; pemerintah, masyarakat dan keluarga.

Saya sendiri selaku pegiat literasi, yang sedikit banyak terlibat dalam upaya mengentaskan masalah pendidikan, yang berbasis komunitas, sudah dua kali diajak hadir, guna mengikuti Fokus Group Discussion (FGD) oleh staf ahli Mendikbud Anies Baswedan. Kelihatannya, yang diundang kala itu, adalah para pelaku pendidikan yang diselenggarakan oleh nonpemerintah. Masih segar dalam ingatan saya, akan istilah yang dikedepankan oleh staf ahli menteri, bahwa kedatangan tim mereka, untuk bertemu dengan para pelaku pendidikan, bertujuan untuk belanja masalah. Karenanya, masalah pendidikan yang nyata di masyarakat, ingin digali lewat para pelaku langsung.

Jadi, ada upaya solutif yang paradigmatik, dengan melibatkan komponen pelaku pendidikan nonpemerintah atas masalah bersama, dalam dunia pendidikan. Sebab, dengan begitu, sama halnya mendorong dengan serius, atau menegaskan kembali lebih jauh akan peran kerjasama masyarakat dan keluarga dalam pendidikan. Mempertajam kembali, jalur pendidikan yang selama ini dianut, yakni pendidikan formal (pemerintah), nonformal (masyarakat), dan informal (keluarga).

Bertolak dari sistem persekolahan saat ini – bukan full day school – maka unsur-unsur masyarakat dan keluarga ikut berperan dalam mendukung program pendidikan. Lembaga-lembaga dalam masyarakat, semisal komunitas-komunitas yang bergerak untuk menguatkan karakter, sebagai daya dukung terhadap pengembangan pendidikan karakter di sekolah.

Sepintas pemahaman saya, akan tawaran wacana sang Menteri, sesungguhnya ingin mengambil alih ketidakberdayaan masyarakat dan keluarga, terhadap masalah pendidikan. Sebagai misal, waktu senggang setelah pulang sekolah, siang hingga sore, anak-anak sekolah bakal dimangsa oleh lingkungan sosialnya, yang tidak begitu ramah pada anak. Sebab, banyak orang tua yang bekerja dari pagi hingga sore, maka pertimbangannya, sedapat mungkin si anak pulang bersamaan dengan orang tua, seperti ketika berangkat sekolah.

Ini berarti, dengan memperpanjang masa interaksi, pagi hingga sore di sekolah, dianggapnya telah menyelasaikan masalah anak. Padahal, menurut hemat saya, sebaiknya masyarakat yang dibenahi, begitu juga orang tua yang dikuatkan. Masalah ketidakramahan lingkungan sosial dan ketidakmampuan orang tua mengurus anak karena bekerja, seharusnya, bidikan penyelesaian masalahnya ditujukan pada masyarakat dan keluarga.

Menahan anak sepanjang waktu, dari pagi hingga sore, dengan iklim persekolahan kita, yang juga belum begitu menyenangkan bagi anak, sesungguhnya secara tidak langsung, sekolah telah menjadi rumah tahanan. Serupa dengan terungku yang menerungku si anak, karena di dunia luar sekolah begitu rusak lingkungannya, dan keluarga tak punya waktu mendidik anak, karena bekerja berburu nafkah.

Saya lalu membayangkan, tatkala sekolah telah menjadi terungku buat anak-anak usia sekolah, maka lembaga-lembaga, komunitas-komunitas sosial, yang sesarinya hadir untuk berkontribusi untuk menumbuhkembangkan jiwa dan karakter anak akan berguguran, karena kehilangan lahan fungsionalnya. Begitupun para orang tua yang sudah mulai tumbuh kesadaran parentingnya, akan kehilangan waktu bersama buah hatinya di sore hari hingga malam menjemput.

Terbayang pula pada diri saya, taman baca-teras baca-kolong baca-rumah baca, yang diinisiasi oleh komunitas-komunitas literasi, bakal kehilangan pengunjung atau pembacanya, karena anak-anak itu telah diterungku oleh sekolahnya. Terbayang lagi, wajah anak-anak sekolah yang muram, ketika saban pagi, mereka diantar masuk terungku. Karenanya, awaslah pada terungku sekolah.

 

  • Ketika bersepakat akan memiliki anak. Pasangan saya sudah jauh-jauh hari memikirkan pendidikan anak. Ia hendak menabung, bahkan ketika si calon murid ini belum ditiupkan roh oleh Tuhan. Pengalaman bertahun-tahun sebagai kepala sekolah di homeschooling, bertemu dan mendengar kisah anak-anak yang ‘terluka’ akibat sekolah, membuatnya skeptis terhadap pendidikan di sekolah formal. Ia tidak ingin kelak anak…

  • Gattaca sebuah cerita lama. Sebuah fiksi ilmiah yang dirilis 1997. Anredw Niccol sang sutradara seperti sedang meramal akan masa depan. Melalui aktor Ethan Hawke berperan sebagai Vincent,  Niccol ingin menggambarkan masa depan manusia. Masa depan genetika yang bisa direkayasa. Gattaca film yang bercerita tantang Vincent yang terlahir tak sempurna. Gennya mengalami cacat sejak lahir. Tak…

  • Cadarmu menyembunyikan rahasiamu. Menyembunyikan siapa dirimu. Cadarmu menyamarkan dirimu dengan teka-teki yang tersisa bagi diriku. Berlapis-lapis cadarmu yang tak berbilang menguliti lapisan upayaku menggapaimu hingga terhempas pada ketakberdayaan dan kenisbian. Kehabisan napas, kehabisan darah, kehabisan nyawa. Telah sirna segala yang ada pada diriku ditelan upaya, namun lapis-lapis cadarmu belum jua tersibak tuntas. Cadarmu telah banyak…

  • Jelang salat Zuhur di satu masjid, saya bersua dengan seorang kepala desa, yang pasangannya menjabat komisioner KPUD. Iseng-iseng saya bertanya, “Kapan lebaran Pakde?” Sembari tersenyum ia berujar, “Nyonyaku sudah lebaran besok, Jumat. Ia sudah izin ikut penetapan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kalau saya menanti pengumuman pemerintah, kemungkinan Sabtu.” Saya segera bisa memahami pasutri tersebut. Maklum saja,…

  • Meniada artinya menjadi tiada, mengakui ketiadaan diri, atau menerima bahwa diri seseorang bukan saja tidak berharga namun memang tidak ada. Bukan sesuatu yang mudah untuk merendahkan diri, apatah menyatakan ketiadaan diri. Namun dalam khazanah para pejalan menuju Tuhan diskursus tentang eksistensi manusia seperti ini sudah cukup akrab. Beratnya pengakuan ketiadaan diri sangat terasa di kalangan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221