Kebijakan, Kebijaksanaan dan Kebajikan

Malam baru saja merintis jalan abdinya, menuju kesuntukan, sekira pukul 21.30. Seorang kawan seprofesi, menelpon dan meminta waktu bicara sejenak. Saya pun menyilakannya, karena memang sudah ingin berkemas pula untuk balik ke mukim, dari tempat mengais nafkah. Sang kawan mulai bertutur, agak terbata-bata suaranya, berucap bahwa; “baru saja saya disambangi oleh seorang pengacara, yang menuntut saya satu milyar, gara-gara saya dianggap telah menggandakan secara illegal, sebuah buku karangan orang yang diwakili pengacara tersebut.”

Terperanjat saya, kaget campur aduk, antara percaya dan tidak akan omongan sang kawan. Gundahnya, segera menjalari pula jiwa saya. Pasalnya, saya paham betul masalah yang dihadapinya, manakala benar-benar tuntutan itu direalisir. Saya bisa memastikan, kawan saya itu akan gulung tikar usahanya, karena uang semilyar yang digugatkan padanya, tidak sepadan dengan aset yang dipunyainya. Saya lalu membatin, memendam lirih ujar; tsunami masalah bakal melibas kawan saya. Ia meminta saran jalan keluar. Pastilah bukan jalan keluar semisal ikut menalangi jumlah tuntutan itu, sebab ia tau betul, kondisi keuangan saya lebih terpuruk darinya. Maka tentulah, bantuan yang dimaksud adalah buah pikiran.

Esoknya, mentari bergegas menempuh orbit suluknya, teriknya barulah semenjana, saya menelpon kepada sang kawan, menanyakan keadaannya. Tutur getar melompat-lompat dalam tata kalimatnya: “ Saya amat terganggu, sulit sekali tidur, dan nanti seputar pukul 04.00 dinihari, barulah saya bisa tidur.” Begitu ujar-ujarnya menjawab sejumput tanya saya. Benar-benarlah sang kawan saya ini, diterungku masalah, yang bisa saja berujung pada berkembang biaknya persoalan dalam peternakan masalah. Ia bakal beternak masalah. Pasalnya, apa yang dituntutkan kepadanya berupa kebijakan, yang bertumpu pada aturan, yang memang sesarinya berdasarkan pada undang-undang, yang melindungi hak intelektual seseorang.

Kebijakan yang ditempuh oleh sang penuntut, sah adanya. Dan, sejatinya kebijakan memang mengedepankan aspek-aspek formal dari suatu langkah penyelesaian sengketa. Kebijakan adalah serangkaian konsep dan dasar dari pelaksanaan suatu tindakan. Kasadnya, cara bertindak yang penuh dengan tata aturan yang mengacu pada ketetapan peraturan. Bila kebijakan ini ditohokkan pada kawan saya ini, tak berdayalah ia. Sebab, sederet pasal tuntutan penjiplakan karya intelektual telah menantinya. Maka saya pun mencoba menyarankan padanya, untuk menyelesaikan masalahnya secara informal. Tempulah jalan penyelesaian dengan memohon kebijaksanaan.

Walhasil, bertemulah ia dengan sang penuntut. Dikemukakannya segala kekhilafan yang telah diperbuatnya, termasuk sejumlah keuntungan yang diperoleh selama membajak karya itu. Dan, tidak lupa pula, kesiapannya memberikan sekotah jumlah keuntungan yang jutaan rupiah, plus penyesalan dan permohonan maaf. Di luar dugaan, lahirlah kesepakatan yang penuh kebijaksanaan dari sang penuntut. Memutuskan masalah ini diakhiri dengan cara informal saja, penuh semangat kekeluargaan. Kesepakatan ini lahir, karena adanya kebijaksanaan dari sang penuntut.

Memang sejatinya suatu kebijaksanaan, serona tindakan yang mengandalkan kepandaian menggunakan akal budi dan kecakapan dalam menghadapi kesulitan. Kebijaksanaan seseorang menunjukkan kearifannya, menampakkan kematangannya dan ketinggian spiritualitasnya. Jadi, dapatlah saya simpaikan bahwa, kebijakan adalah jalan formal penyelesaian perkara, yang cenderung mengutamakan nilai material perkara, sementara kebijaksanaan merupakan manhaj informal pengakhiran persoalan, yang mengedepankan unsur spiritual. Pada konteks ini, makam keruhanian seorang yang bijaksana, pastilah lebih tinggi kedudukannya tinimbang yang sekadar menjadi bijak.

Seorang bijak yang menegakkan kebijakan dan sosok bijaksana yang mengusung kebijaksanaan, memang merupakan upaya untuk keluar dari penjara sengketa. Keduanya, bijak-kebijakan dan bijaksana-kebijaksanaan dalam bertindak bermuara pada sesuatu yang bajik-kebajikan. Namun, ada perbedaan dalam proses dalam melahirkan kebajikan. Kebijakan lebih bermuka profan, sementara kebijaksanaan berparas profetik. Orang bijak cenderung monolog dalam memandang lawannya, sebaliknya, sosok bijaksana pasti melihat lawannya sebagai mitra dialog. Karenanya, bertarekatlah dari bijak menuju bijaksana agar bajik dalam bertindak, atau berjalanlah dari kebijakan menuju kebijaksanaan dalam mewujudkan kebajikan.

 

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221