Daeng Ngajji

Ternyata, bukan hanya saya yang was-was. Tapi Daeng Noro’ dan Daeng Gaga’ juga demikian, bahkan lebih dari itu, amat cemas dan gelisah. Apatah lagi Daeng Gaga’—sebenarnya ini nama gelaran saja atas kondisinya yang gagap ketika berbicara—gagapnya makin menjadi-jadi, kalimat-kalimatnya menyembur putus-putus, sulit ia sambungkan bicaranya, nanti dipukul pundaknya, baru bisa nyambung lagi. Pasalnya, setelah dua pekan lebaran haji, kisanak yang menunaikan ibadah haji, mulai tiba kembali di tanah air. Pekan ini, keloter yang membawa jemaah dari kampung kami, diperkirakan tiba sekitar pukul 03.00 dinihari.

Gerangan apa yang membuat kami begitu was-was, cemas dan gelisah? Soalnya, salah seorang teman sepermainan kami dari kecil, hingga usia mendekati setengah abad, Daeng Cullang, ikut menunaikan ibadah haji. Ada hal yang mengganjal dalam ruang pikiran, bergelora di ranah batin, masihkah pertemanan kami akan seutuh sebelumnya? Memang sedari kanak-kanak, kami berempat sudah sangat bersahabat, sehingga kami sering dijuluki oleh warga kampung sebagai Empat Sekawan. Mirip-miriplah dengan cerita yang ada di komik anak-anak, yang saban waktu kami baca.

Salah satu kebiasaan kami berempat, tatkala musim haji tiba, mencatat nama-nama warga kampung yang berhaji. Bila perlu dipahat dalam ingatan dan melukisnya dalam hati, agar benar-benar tidak lupa. Sebab, jika lupa, maka akan menganggu suasana kebatinan, baik bagi kami selaku warga, terlebih pada yang telah pulang berhaji. Mungkin ini soal sepele bagi warga di kampung lain, atau di negeri lain, manakala ada orang yang telah menunaikan Rukun Islam yang kelima itu, namun tidak dipanggil Pak Haji dan Bu Haja. Tradisi di kampung kami, jika lupa atau pura-pura lupa, akan sangat mengganggu interaksi bermasyarakat.

Di kampung kami, orang yang telah berhaji mesti dipanggil Daeng Ngajji. Serupalah dengan Pak Haji atau Bu Haja. Saya termasuk orang yang sering luput memanggilnya. Apalagi Daeng Gaga’, lebih sering lagi tidak menyebutnya, karena kondisi gagapnya. Tapi, biasanya dimaklumi, namun, bagi warga lain, no way, seperti kata yang acapkali diucapkan Daeng Noro’, ketika ada soal yang tidak ada jalan keluarnya.

Saya sendiri amat tidak mengerti asal muasal tradisi memanggil Daeng Ngajji sebelum nama panggilan. Sependek pengetahuan saya, berhaji itu, bukan sekadar melunaskan ritus Rukun Islam. Karena dalam ritus-ritus ibadah haji itu, setidaknya menurut Ali Syari’ati, schoolar berkebangsaan Iran, merupakan saripati lakon hidup dan laku kehidupan. Baginya, prosesi ibadah haji, serona dengan pertunjukan drama kemanusiaan yang paling substansial, mempertunjukkan dimensi terdalam manusia dan kemanusiaannya. Sehingga, wajarlah kemudian, bilamana terjadi pencerahan bagi yang berhaji untuk berubah dan ingin melakukan perubahan, lalu terlibat secara revolusioner dalam upaya pembebasan dari ketertindasan. Berhaji, sama dan sebangun dengan membebaskan diri dari segala terungku dunia.

Dan, salah satu terungku dunia itu adalah gelar, termasuk gelar Pak Haji dan Bu Haja. Apalagi Daeng Ngajji, semisal di kampung kami, lebih berbau duniawi lagi, sebab bisa mempengaruhi keharmonisan dalam bermasyarakat. Betapa tidak, setelah gelar itu diraih, langsung saja suasana keberjarakan antar warga tercipta. Seorang Daeng Ngajji, langsung mendapatkan fasilitas serba lebih di dalam kedudukan sosialnya. Otomotis, kelas sosialnya naik. Padahal, ketika berhaji, tepatnya bertawaf, kelas sosial tidak dikenal, semuanya lebur dalam kesetaraan. Tidak ada pangkat, jabatan, bangsa, ras, warna kulit dan segala pembeda lainnya, karena semuanya larut dalam laku, pakaian, gerakan dan doa panggilan yang sama.

Terbayanglah di imaji saya, dan juga Daeng Noro’ serta Daeng Gaga’, tatkala kami bakal memanggil seorang sahabat, Daeng Ngajji Cullang. Saya pun membayangkan, tempat duduk kami dan Daeng Ngajji Cullang bakal terpisah di berbagai acara. Ia bakal mendapatkan tempat duduk dan kedudukan yang mulia. Dan, topinya pun berubah menjadi songkok putih, yang mungkin akan dipakainya secara persisten, kecuali saat mandi. Apatah lagi, akun facebooknya telah diperbarui, menjadi Haji Daeng Cullang.  Rasa-rasanya, mulai terasa keberjarakan itu. Sepertinya, rumit menjalani perkawanan, dari Empat Sekawan menjadi Tiga Sekawan.

 

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221