Sebagaimana janji pada tulisan sebelumnya, untuk dapat melanjutkan tulisan bagian kedua ini, besar harapan saya untuk dapat menyampaikannya dalam bahasa sederhana, berusaha agar tidak terkesan abstrak dan rumit, seperti penulisan filsafat pada umumnya. Dengan bermodalkan referensi yang terbatas, serta memetik pelajaran dari hasil pengalaman-pengalaman mengajar ataupun diajar. Dari semua itu, bagian kedua tulisan ini, banyak mengambil inspirasi dari tiga pola di atas.
Sebelumnya telah disampaikan bahwa kesulitan dalam memahami kajian filosofi, disebabkan oleh pola yang terbiasa dengan berpikir parsial, batasan dan empirik. Di sini, perlu saya sampaikan, bahwa berpikir parsial ataupun empirik tidak berati bermakna salah, itu sah-sah saja. Bahkan dalam konteks tertentu, cara berpikir parsial sangatlah dibutuhkan. Sebagai contoh, dalam menetapkan suatu hukum, dalam konteks ini, hal-hal yang bersifat parsial atau partikular menjadi pokok yang mesti diperhatikan.
Pada bagian tulisan pertama, telah dijelaskan, bahwa obyek atau tema utama dalam telaah filsafat adalah membahas tentang keber-ada-an. “Ada” dalam pengertian ini, bermakna sama dengan wujud, atau eksistensi. Sebagaimana mafhum, “ada” atau wujud adalah gagasan di mana tiap manusia menyadari akan maknanya. Dalam pandangan Muthahhari, manusia adalah makhluk yang sadar, yakni sadar akan dirinya dan sadar akan alam yang ada di sekitarnya.[i] Dengan kata lain, makna “ada” itu adalah sesuatu yang sangat jelas, sejelas kesadaran manusia akan eksistensinya sendiri.
Dalam sejarah pemikiran, kita disuguhi suatu fakta bahwa terdapat sekelompok orang yang dalam pandangan mereka, menyatakan bahwa “ada” atau wujud, pada dasarnya adalah ketiadaan. Kelompok ini lahir di masa kehidupan Socrates. Mereka dikenal sebagai kelompok Sophis.[ii] Mereka menolak semua apapun yang manusia yakini ada. Pada awalnya gerombolan ini adalah para cendekiawan, para hakim dalam pengadilan. Mereka dengan kemampuan retorikanya menjadi penasehat ataupun pengacara. Salah satu di antara mereka, yang terkenal bernama Gorgias sebagai tokohnya kaum Sophis. Gorgias dalam ungkapan terkenalnya, menyatakan bahwa tiada yang disebut ada. Andai dia ada, dia tidak akan diketahui. Andai diketahui, ia tidak dapat dikomunikasikan.[iii]
Dalam ungkapan di atas, jelas bahwa mereka menolak gagasan tentang “ada”. Dari pemikiran ini, berefek pada penolakannya akan kebenaran dan realitas yang mutlak. Mereka meyakini serta mengajarkan bahwa apa yang kita anggap ada dan benar, pada dasarnya hanyalah permainan kata-kata semata. Ia tidak memiliki realitas sesungguhnya, kebenaran itu sejauh mana engkau mampu mempertahankan argumentasimu. Hari ini yang manusia anggap benar, besok dapat saja berubah. Begitu pula sebaliknya, apa yang kita anggap hari ini salah, besok bisa saja ia benar. Benar dan salahnya, jika engkau mampu mempertahankannya. Jadi, mereka ingin menyatakan kebenaran itu tidak memiliki realitas atau keberadaan. Sehingga menyatakan “ada” memiliki realitas, tiada lain hanyalah khayalan dan permainan kata-kata semata.Tentu secara teoritis, pendapat ini sangat tidak memiliki dasar yang kuat. Walaupun mungkin secara praktis, gaya berpikir Sophis ini dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi dunia politik saat ini, mereka tidak peduli benar dan salahnya suatu cara, pandangan dan tujuan. Tujuan mereka hanyalah mencapai kemenangan. Benar dan salah telah berganti wujud jadi menang dan kalah, tak peduli dengan cara apapun.
Kembali pada persoalan wujud. Anggaplah kita asumsikan bahwa mereka menolak akan realitas “ada”. Namun, saat yang sama, tentu tidak dapat mengelak dari eksistensinya sebagai yang menolak. Dengan kata lain, penolakan terhadap “ada” adalah bukti bahwa sesuatu itu ada, dikarenakan untuk menolak sesuatu, mesti penolak dan yang ditolak harus ada terlebih dahulu, untuk kemudian menolak dan ditolak. Bagaimana mungkin menolak sesuatu yang pada dasarnya adalah ke-tiada-an? Penolakan hanya dapat terjadi, jika ada subyek yang menolak dan obyek yang ditolak. Dengan demikian, mereka telah mengafirmasi keber-ada-an dalam penegasianya terhadap “ada”. Dalam pandangan Ibn Sina, orang seperti ini hanya bisa dihadapi dengan tindakan praktis. Memukulnya dengan batu, jika mereka merasakan kesakitan ataupun marah, maka jelaslah semua yang dia ingkari.
Dalam pandangan Musa Kazhim, “ada” atau wujud adalah segala sesuatu yang kita temukan. Dia adalah gagasan yang tidak mungkin dapat didefinisikan, lantaran semua definisi apapun berpijak darinya. [iv] Dia menjadi dasar ataupun pendorong semua hal dan pusat segala yang tampak bagi kita. Makna “ada” di sini menunjuk segala sesuatu yang dapat kita sentuh, rasakan, pikirkan, khayalkan, imajinasikan, dan segala apa yang darinya manusia dapat berhubungan dalam bentuk apapun.
Negasi dari makna “ada” adalah “tiada”, yang tidak bisa kita sentuh, rasakan, pikirkan, khayalkan, imajinasikan, dibicarakan dan seterusnya. Dengan demikian, makna wujud menjadi hal paling melingkupi dan sederhana. Pengertian dari sederhana di sini adalah kesederhanaan mutlak yang sama sekali tidak terdapat rangkapan atau susunan di dalamnya.[v] Misalnya air, yang wujudnya terlahir dari dua unsur materi,[vi] oksigen dan karbon. Oksigen dan karbon ini adalah pembagi yang terdapat pada air, di mana tanpa dua unsur ini, air tidak akan pernah dapat mewujud. Di sini, dapat ditarik kesimpulan, bahwa air adalah wujud yang di dalam dirinya terbagi, sehingga dikatakan ia tidak sederhana. Jadi, sederhana di sini tidak dalam pengertian hidup dalam kesederhanaan, ataupun berpenampilan sederhana. Kata sederhana dalam bahasa filsafat, ketika sesuatu itu tidak dapat dibagi lagi atau diurai wujudnya. Kesederhanaannya melingkupi segala yang ada, akan tetapi bukan menjadi segala sesuatu.[vii]
Simpulan sementara, “ada” atau wujud itu bersifat badihi atau jelas, tidak butuh yang lain untuk memperjelas dirinya. Lawan dari “ada” adalah ke-tiada-an, yang mana hal ini pun bersifat jelas dan badihi. Dikarenakan wujud adalah pijakan dan kemencakupan segala yang ada,maka ia sempurna dalam keberadaannya. Ia menjadi titik dari yang dapat kita pikirkan, imajinasikan, dan indrai. Sederhana dalam eksistensinya, dia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak memiliki genus ataupun pembeda. Sebaliknya,wujud adalah segala sesuatu, namun wujud bukan sesuatu yang diidentifikasi secara individu.
Tunggu bagian selanjutnya…
[i] Murthada Muthahhari, Bedah Tuntas Fitrah,1410 H,hlm 44
[ii] sophist, bermakna orang yang bijak dan berilmu.
[iii] Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Daras Filsafat Islam, 1,oktober 2016, hlm 105
[iv] Musa Kazhim, Tafsir Sufi, Juli 2003, hlm 23
[v] Muhammad Nur, Wahdah Al-Wujud Ibn’ Arabi & Filsafat Wujud Mulla Shadra, Mei 2012, hlm 84
[vi] Setiap materi terdiri dari “ materi dan bentuk”. Air yang terdiri dari Oksigen dan Hidrogen, hanyalah suatu penjelasan dengan contoh
[vii]Muhammad Nur, Wahdah Al-Wujud Ibn’ Arabi & Filsafat Wujud Mulla Shadra, mei 2012, hlm 84