Soekarno dan literasi, sama-sama tonggak patahan sejarah. Titik balik prasejarah menjadi sejarah ditandai oleh tulisan. Titik balik Nusantara terjajah dengan Indonesia merdeka ditandai dengan kehadiran Soekarno. Kehidupan tanpa tulisan adalah realitas prasejarah. Indonesia tanpa Soekarno adalah keterjajahan. Keduanya, Soekarno dan literasi, merepresentasikan patahan. Soekarno mengantarkan patahan Indonesia terjajah ke Indonesia merdeka. Literasi menandakan patahan prasejarah ke sejarah. Yang perlu dicatat dari keduanya adalah sama-sama melahirkan perubahan, bukan sekadar yang evolutif bahkan juga perubahan yang revolusioner. Dan, melahirkan patahan realitas.
Tanpa literasi, rentang realitas kehidupan sulit disebut peradaban secara utuh. Realitas mesti direkam. Interaksi rekaman tersebut dengan segenap potensi manusia melahirkan peradaban yang menyempurna. Perekaman tersebut hanya bisa terjadi dengan proses: baca-kontemplasi-tulis-aksi. Alat rekam tersebut adalah literasi. Literasi ibarat kamera pemotret kehidupan. Merekam berbagai sudut pandang kehidupan yang dapat digunakan untuk menyempurnakan peradaban masa depan. Filosof bijak mengatakan kehidupan ini secara total semakin menyempurna. Diawali dari kehidupan yang primitif yang sederhana, hingga pada kehidupan nirwana yang sempurna.
Adalah fakta bahwa Soekarno dan literasi sama sekali tidak dapat dipisahkan. Bahkan aspek literasi Soekarno punya sumbangsih besar dalam mengantarkan Indonesia untuk terlepas dari cengkeraman penjajah. Sejak muda beliau bergelimang buku, bahkan buku-buku serius. Sejak muda juga beliau mengelaborasi bacaan dan kenyataan hidup. Sejak muda beliau merekam berbagai elaboraasi tersebut ke dalam beragam tulisannya, dengan berbagai tema di berbagai media. Tulisan Bung Karno membentang sangat luas, mulai dari surat cinta yang begitu menggoda, naskah drama, hingga diskursus serius tentang ideologi dan rancang masa depan bangsa. Juga, yang paling penting, Bung Karno bukan sekadar membaca, mengelaborasi dan menuliskan elaborasinya, akan tetapi bersikeras terjun langsung membumikan segenap ide-ide yang terekam dalam tulisannya.
Bagi Bung Karno, literasi bukan untuk literasi, tapi literasi untuk perubahan. Sehingga tampak pada beliau literasi itu mencakup: baca-elaborasi-tulis-aksi. Digenggaman Bung Karno, kerja literasi tidak mandul dan utopis, akan tetapi menjadi penggerak untuk merealitaskan idealisme. Literasi menggerakkan realitas sehingga merelitaskan cita-cita luhur. Aktivitas literasi menjelma jadi alat yang tangguh untuk mengubah kenyataan yang menyakitkan ke arah kenyataan yang diimpikan. Dengan ‘palu godam’ literasi di genggaman Bung Karno, cangkang keras penjajahan dipukul habis, hingga berkeping-keping, menghasilkan Indonesia merdeka.
Yang perlu dicermati adalah, mengapa, terutama sejak muda, Bung Karno begitu produktif menulis? Jawaban atas pertanyaan ini tidak dapat dilepaskan dari kenyataan pahit realitas Hindia-Belanda bagi pribumi dan idealisme Bung Karno saat itu. Di satu sisi, realitas penjajahan yang begitu eksploitatif menyadarkan Bung Karno untuk berbuat sesuatu agar terjadi perubahan. Dan di sisi lain, persentuhan dengan Tjokroaminoto, yang menanamkam filosofi tauhid-membumi-merdeka dan nasionalisme kepada Soekarno muda, mengakibatkan anak muda ini senantiasa bergejolak dari dalam dan tertumpahkan ke luar ke kenyataan hidup.
Pergumulan antara bacaan teks dan kenyataan, serta idealisme dalam diri Bung Karno melahirkan cita-cita luhur: Indonesia merdeka. Sejak saat ini, hampir bisa dikatakan, segala sesuatu yang bersentuhan dengan Soekarno, menjadi alat. Yakni alat untuk mencapai kemerdekaan. Bahkan diri beliau sendiri, secara sadar atau tidak, telah menjelma jadi alat untuk mencapai Indonesia merdeka.
Begitu kuatnya pengaruh cita-cita Indonesia merdeka dalam diri, adalah hal yang logis, jika berbagai mazhab pemikiran bahkan agama sekalipun dijadikan Bung Karno sebagai alat untuk mencapai cita-cita tersebut. Bagi beliau kenyataan pahit pribumi Hindia-Belanda adalah alat. Kapitalisme-imperialisme adalah alat. Sosialisme-komunisme adalah alat. Agama sekalipun, terutama Islam, adalah alat. Termasuk aktivitas literasi adalah alat. Yakni alat untuk mencapai cita-cita luhur, Indonesia meredeka.
Tanpa kehadiran literasi, Soekarno dan perjuangannya menjadi mandul dan lumpuh. Artinya, tidak akan pernah tercapai Indonesia merdeka tanpa literasi. Sudah bisa dibayangkan apa yang terjadi jika perjuangan Bung Karno tanpa pena dan buku. Tanpa korespondensi dengan pemuda lain yang seide, dengan tokoh Islam A. Hasan dan lain-lain misalnya. Tanpa menuliskan ide-idenya ke koran dan majalah serta media lainnya. Begitu sulit menyebarkan “virus ganas kemerdekaan” tanpa andil literasi.
Jika dibaca karya tulis Bung Karno prakemerdekaan, begitu tampak betapa keras upaya “meliterasikan” virus kemerdekaan yang beliau sebarkan. Beliau harus berdialog, bahkan berdebat dengan berbagai mazhab pemikiran dan para tokohnya, serta dengan kreatif mensintesiskannya. Bagi Bung Karno, nasionalisme, agama dan komunis adalah kekuatan nyata pada saat itu. Adalah pilihan cerdas menyatukan kekuatan itu menjadi Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme). Sehingga terlahir kekuatan dahsyat untuk menyatukan bangsa untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankannya. Lagi-lagi, Nasakom bukan sebagai mazhab, tapi lebih cenderung sebatas alat. Yakni alat untuk membumikan ide Indonesia merdeka. Nasakom sebagai sebuah konsep, sudah tampak dalam tulisan Bung Karno jauh sebelum kemerdekaan.
Bung Karno begitu cerdas “meliterasikan” rasio dan emosinya. Hal ini sangat nyata dalam berbagai tulisan beliau, termasuk “meliterasikan” rasa ke dalam surat cinta. Adalah menarik tema-tema kiri Islam yang belakangan digandrungi, namun sudah dikunyah-kunyah Bung Karno sejak tahun 1920-an, bukan sebagai pembaca dan penerima, tapi lebih dari itu, yaitu sebagai formulatornya! Yang lebih dahsyat lagi adalah, tokoh besar sekaliber dia, masih sempat menulis surat cinta yang begitu memikat. Ya, cinta bisa dibalut dengan literasi. Atau, literasi membalut cinta. Hehehe…..
Bisa diabayangkan, seandainya Soekarno muda terlahir kembali sekarang, ada dalam realitas kini, betapa juga beliau merasa tidak puas dengan berbagai perjajahan yang memakai beribu wajah untuk menyekap dan mencengkram kemerdekaan. Beliau akan sadar bahwa perjuangan untuk merdeka belum usai. Beliau akan begitu serius memukulkan dengan hentakan kuat “palu godam literasi”, untuk meluluh-lantakkan cangkang penjajahan tersamar, yang meresap dalam sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara kini. Jurnal-jurnal, buku-buku, media sosial dan media-media online akan menjadi alat ampuh baginya untuk tetap mewabahkan “virus kemerdekaan”.
Apakah pemuda sekarang, telah menggunakan semua media yang ada sebagai bagian dari aktivitas literasi, untuk mencipta patahan peradaban dan masa depan yang ideal, sebagaimana pernah dilakukan Soekarno muda? Ataukah terlarut dalam kesemuan literasi yang beralatkan media yang begitu banyak dan beragam? Apapun jawabannya, kesadaran akan perubahan harus hadir, karena ia memang elan vital gerakan literasi, sebagaimana juga gerakan Soekarno.