Buah Khuldi dan Sunnatullah

Sejak semula kita meretas waktu, pertanda kita akan segera memulai kisah perjalanan sebagai manusia. Kisah monumental dan purba Nabiullah Adam, nenek moyang manusia telah memulai debutnya dalam mengarungi perjalanan hidup di permukaan bumi.

Bahwa kejatuhan sering ditafsirkan sebagai kekalahan aql dari nafsu, yakni sebuah tafsir yang penuh dengan subjektivitas. Kenapa? Karena kejatuhan hanyalah merupakan akibat atau memakan buah khuldi, juga adalah akibat dari sebab. Jika pembahasan ini kita serempetkan pada apa sebabnya, sehingga Nabiullah Adam memakan buah khuldi, padahal Nabiullah Adam kala itu, satu-satunya representasi manusia sempurna.

Sempurna dalam arti, sebagai nabi yang diciptakan oleh Tuhan dan bermukim di surga. Sementara surga adalah representasi tempat yang paling sempurna, maka secara logis semua kenikmatan, mestinya bisa dilakukan tanpa pengecualiaan, termasuk memakan buah khuldi. Toh akhirnya, setelah manusia mengalami kajatuhan, pada ujungrnya, memakan buah khuldi menjadi sesuatu yang dihalalkan, meskipun harus memenuhi kaidah syariat.

Kalau memakan buah khuldi sebagai akibat kejatuhan ke bumi, lalu kemudian disunnahkan untuk dilakukan oleh manusia, maka mengapa memakan buah khuldi di surga menyebabkan kita harus terlempar ke bumi? Premis ini membuat kita bertanya serius, bahwa sesungguhnya kejatuhan itu, hanyalah akibat dari sebuah kehendak Tuhan untuk “melihat” dirinya, men-tajalli-kan dirinya, agar Ia bisa dikenal. Dan karena itu, Tuhan kemudian berkehendak pada sifat untuk menciptakan. Kenapa pada sifat? Sebab pada zat, Tuhan tidak mungkin bisa dikenal.

Proses kejatuhan, sesungguhnya adalah proses sunnatullah, yang memang harus terjadi sebagai konsekuensi dari Tuhan sebagai pencipta. Sebab tanpa itu, premis Tuhan sebagai Maha Sempurna, maka Tuhan harus melingkupi dhohir dan batin. Adam sebagai manusia insan kamil, mestinya tidak boleh melakukan kesalahan. Dan, karena tidak boleh salah, maka pemahaman primordial tentang kejatuhan, mesti di-review atas pemahaman itu, bahwa sungguh Tuhan hanya ingin ber-tajjali dalam rangka memperkenalkan dirinya.

Bahwa atas “perbuatan” Nabiullah Adam, kemudian menyebabkan dosa, sehingga manusia kemudian terlempar ke bumi, hanyalah bahasa simbol yang penuh dengan misteri. Akan tetapi misteri itu kemudian, membuat kita bisa leluasa berapresiasi, apa maksud Tuhan, sehingga hanya dengan perbuatan memakan buah khuldi, manusia “terjatuh”, yang kemudian dihalalkan setelah di bumi, adalah sebuah tanda tanya besar.

Nabi Adam sebagai “manusia aql” yang bermukim di sorga, sebagai makhluk terbaik, maka peluang untuk tergelincir dalam badai nafsu sekalipun, sangatlah tidak mungkin, seperti yang diilustrasikan selama ini. Untuk sampai kepada batin, maka kita membutuhkan syariat agar bisa sampai pada batin. Karena manusialah tempat tajalli Tuhan yang paling sempurna, karenanya, kemudian nabi Adam as, Sitti Hawa dan Setan sebagai pemain,  atas berbagai “kehendak” Tuhan.

Buah khuldi sebagai buah terlarang, menjadi sebab terjadinya perpindahan Adam, dari alam surga menuju alam dunia, tanpa sebab itu, dunia akan menjadi sia-sia. Padahal, hukum penciptaan tidak boleh ada kesia-siaan, maka terjadilah sebuah proses di mana buah khuldi harus dimakan, dengan seluruh ketelanjangan dan seluruh ikutan kenikmatan dunia. Maka bumi menjadi alat pengabdiaan untuk manusia, di mana ia menjadi khalifah.

Jadi memakan buah khuldi memang harus terjadi, sebagai prasyarat keberlanjutan atas kehidupan di muka bumi. Mengenai dosa  Nabi Adam as atas akibat memakan khuldi, merupakan ikutan atas perbuatan tersebut, di mana manusia harus menjalaninya. Ini serupa perjanjian antara Tuhan sebagi pencipta dan manusia sebagai dicipta. Hal mana, dosa dan amal, akan senantiasa  membayangi manusia, karena hukum dunia menganut dosa dan amal. Itulah yang dimaksud dengan pelanggaran, sebab manusia harus berjalan di dunia, dengan segala macam konsekuensi dan akibat dari perbuatan.

Atas dasar konsekuensi dan dosa ini jugalah, menjadi penyebab atas sifat Maha Pengampun dari Tuhan. Jadi hukum pencipta dan dicipta menjadi mata rantai. Mata rantai inilah kemudian juga disebut dengan sunnatullah. Jadi posisi dari mata rantai sunnatullah memakan buah khuldi, menjadi komponen utama dalam hukum perpindahan, dari alam surga menuju alam dunia.

Apakah mata rantai memakan buah khuldi tidak akan terjadi apabila setan tidak menggoda nabi Adam? Dari hukum logika, ya. Akan tetapi premis ini menjadi rancu, apabila kita hubungkan dengan realitas. Padahal hukum logika yang real adalah, kenyataan atas apa yang kita lihat dan terjadi. Jadi, sekali lagi mamakan buah khuldi yang terlarang itu, harus terjadi sebab hukum sebab akibat dari penciptaan, harus melewati mata rantai memakan buah khuldi.

Mari kita perhàtikan, akibat dari perbuatan memakan buah khuldi adalah keberlanjutan atas kehidupan, yakni berkembangnya populasi manusia sehingga dengan banyaknya mansia akan berimplikasi juga pada penyembahan, di mana manusia harus belajàr menyembah untuk mengenal Tuhannya. Penyembahan ini menjadi tujuan utama penciptaan agar Tuhan bisa dikenal.

Skenario Tuhan sungguh-sungguh sempurna, sebab Tuhan ingin merealisasikan kehendak dari diri-Nya dan menjalankan sifat-sifat sebagai pencipta, maka Dia membuat titik-titik simpul, di mana titik simpul yang satu akan saling berkorelasi dengan titik simpul lainya. Tuhan sebagai pencipta harus “tunduk” pada sifat yang ada pada dirinya, di mana diri-Nya sebagai Tuan dan ciptaan sebagai hamba.

Bahwa Tuhan sebagai maha sempurna, maka Ia harus menciptakan hamba. Dan hamba menjadi wajib karena ada kehendak Tuhan untuk memperkenalkan diri-Nya.

Wallahu A’lam

  • Marga Berpeti Suara tak kenal rupa Bergema pada tiap tutur sapa Namun mengusik tak apa Hanya saja jangan berharap menyapa Tak pernah kita meski kata berjumpa Ketika kau tanamkan kenangan hampa Sebut saja cerita kesakitan Untuk tajamnya cacian Meski abai adalah keinginan Namun tuli tak kau sandangkan Hanya gelar kau patrikan Melekat bagai marga penolakan…

  • “Kenikmatan akibat cinta sekejap; derita akibat cinta berlangsung selamanya.” Begitu kata Jean Pierre Claris de Floriam, seorang sastrawan berkebangsaan Prancis. Mungkin itu pulalah yang dirasakan oleh Takaki Kono, dalam anime 5 Centimeter Per Second. Film yang disutradarai oleh Makoto Shinkai ini, menjadi anime kedua yang saya tonton setelah Naruto. Dan sialnya, saya menyesal. Monontonnya pukul…

  • Aku ingin berhenti jadi guru. Menjadi anggota dewan tampaknya bukan pilihan buruk. Bisa perjalanan dinas ke mana-mana pakai uang negara yang hampir bangkrut.  Menjadi anggota dewan, rada-rada enak. Semua-muanya difasilitasi negara. Bisa berkantor di gedung mewah. Berpendingin. Pantat dimanjakan kursi empuk yang bisa diputar sekehendak jidat. Ya, macam laporan pertanggungjawaban tahunan biar tak ketahuan boroknya.…

  • Liburan adalah tanda baca, kata Aan Mansyur. Jika begitu, Minggu adalah tanda baca pada kalimat-kalimat panjang. Pada hari-hari yang melelahkan. Di kantor-kantor yang sibuk dan menyebalkan. Minggu adalah meletakkan jeda, tempat mampir sejenak. Menghela nafas. Lalu melanjutkan perjalanan. Menuju hari yang makin meletihkan saban waktu. Ya, laiknya kalimat dalam pagina buku yang butuh tanda baca,…

  • Setelah membaca Kisah Seekor Camar Dan Kucing Yang Mengajarinya Terbang, saya membatin, kelak, Banu, harus juga membaca kisah ini. Entah bagaimana caranya ia juga mesti menemukan sesuatu yang berharga dari cerita karangan Luis Sepúlveda  ini, dari kesetiaan Sorbas, dan keberanian Fortune, anak camar yang besar tanpa induknya itu. Di antara buku-buku saya, inilah salah satu…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221