Keberagaman dalam Keberagamaan

Nyaris setiap akhir pekan, saya melakukan perjalanan ke luar kota, menyahuti permintaan aneka mata acara, yang umumnya berkaitan dengan gerakan literasi. Perjalanan kali ini, agak spesial. Pasalnya, seorang sohib, sudi menawarkan tumpangan buat jalan bersama. Memang salah satu kelebihan sekaligus kelemahan mendasar saya, tidak punya kendaraan (mobil) pribadi, namun punya banyak kawan yang rela saya tumpangi. Bahkan, tidak sedikit yang menyengaja mencari jalan, agar bisa berkendara bersama, dengan asumsi, bahwa akan ada kejutan-kejutan dalam perjalanan.

Pagi baru semenjana teriknya, tampaklah sohib saya dengan mobilnya, yang berwarna putih, dengan plat nomor polisi yang masih putih pula, sepadan dengan pemiliknya, yang jiwanya putih juga,  setidaknya menurut saya. Rupanya mobil baru. Moncerlah saya menyambut kehadirannya, lalu menyambar tas ransel, yang mulai kumuh, karena jarang dicuci, bergegas segera menaiki mobil, duduk di kursi depan, samping sang sohib. Saya membatin, perjalanan bakal menyenangkan. Dan, benar saja adanya, setelah saya minta agar diputarkan lagu pengiring perjalanan, saya tak menduga, tembang-tembang yang tersaji, gue banget, sederet lagu lawas, tembang kenangan.

Dari selera musik inilah bermula semua perbincangan, yang memangsa waktu perjalanan kurang lebih tiga jam. Begitu pemutar lagu disetel, mengalunlah tembang dari The Mercy’s, Panbers, D’lloyd, dan tentu tak ketinggalan yang paling melegenda, Koes Plus. Sang sohib mulai takjub, tatkala saya berbicara lancar, selancar laju kendaraan yang bebas macet, tentang group-group band legendaris itu. Sesungguhnya, ia tak perlu kagum, sebab semua yang saya ceritakan itu, hanyalah hasil bacaan, serupa literasi musik Indonesia. Dan, yang membuatnya makin khuyuk mendengarkan saya, kala membabarkan satu group musik asal Papua, Black Brothers, yang sempat terlibat dalam politik Papua Merdeka, yang hingga kini lagu-lagunya masih dikenang. Bukan itu saja, Black Brothers telah menjadi pelopor pemusik berbakat asuhan alam, buat generasi berikutnya, semisal Black Sweet dan Black Papas.

Ah…, saya tak sangka, keasyikan bicara musik ini teralihkan, gegara sohib saya mulai angkat ujar, dengan bercerita tentang temannya dan kuliahnya di Pascasarjana, pada sebuah universitas berlabel Islam. Menurut temannya, musik sejenis itu haram untuk didengar, apatah lagi dinikmati, sebab hanya mengumbar hasrat, menjauhkan diri dari Tuhan. Lalu saya dimintai pendapat tentang musik itu, maka saya pun menjawabnya, dengan mengutip pendapat dari seorang schoolar tersohor, Qasim Mahthar, “Sekalipun musik rock, bila itu mengantarkanmu pada Tuhan, maka nikmatilah musik itu.” Berikutnya, saya tambahkan argumen, lebih menukik lagi, bahwa sesarinya, para musisi itu, hanya memindahkan segenap suara-suara alam yang dititipkan Tuhan pada alam, untuk disederhanakan melalui alat-alat musik.

Ternyata, perbincangan makin melebar, bukan soal keharaman musik semata, tapi merambah pada tema-tema bid’ah dan aliran-aliran dalam Islam, yang sesat dan menyesatkan. Dan, yang mencengangkan saya, ketika sang sohib menegaskan, bahwa kawannya itu, cenderung untuk membenarkan pendapatnya sendiri, jauh dari sikap toleran pada pendapat orang lain. Padahal, selaiknya menurut hemat saya, jenjang pendidikan yang sudah begitu mumpuni – pascasarjana dan pasti banyak baca– semestinya beriringan dengan keluasan wawasan, yang bermuara pada keniscayaan akan perbedaan-perbedaan. Teringatlah saya pada status seorang teman facebook, Surya Darma, yang menulis status, “Jika bacaanmu banyak dan itu tidak jua membuatmu adil dan bijak, maka bacaanmu itu laknat…!”

Memang repot, meminta seseorang untuk memahami perbedaan dalam menghayati cara beragama, khususnya Islam, bila yang bersangkutan menutup diri akan keluasan dan kemestian perbedaan cara pandang tentang keberagaman dalam cara keberagamaan Islam. Sebab, begitu doktrin dasar Islam ingin difungsionalkan, maka para penganutnya akan berlomba menafsirkan doktrin itu, sesuai dengan tantangan yang dihadapi dan persepsi terhadapnya. Imam Ja’far Ash-Shadiq, bilang di bukunya, The Lantern of the Path, bahwa seorang yang cerdas, bukanlah yang terjebak dalam perbedaan-perbedaan. Tapi, yang memahami perbedaan-perbedaan itu.

Lalu, saya rekomendasikan pada sohib saya, bahwa menghadapi orang yang tidak toleran pada keberagaman dalam keberagamaan, tidak perlu berdebat dengannya. Cukuplah membawanya ke kolam ikan lele, baru giring untuk melihat aquarium yang amat menawan karena keragaman ikannya. Atau, ajaklah ia melihat sepohon anggrek, selanjutnya, bawalah ia mengunjungi taman yang begitu indah, sebab aneka bunga di dalamnya. Berikutnya, tanyalah ia, mana yang lebih menawan, kolam lele atau aquarium? Dan mana yang lebih indah, sepohon anggrek atau setaman bunga?

Masih dalam perjalanan, pada laju kendaraan yang mulai pelan, saya lalu bertutur ke sohib, yang sedari awal di belakang setir, bahwa dulu saat saya masih muda belia, ketika masih di kampung halaman, gadis yang paling cantik adalah gadis kampung saya. Bahkan kami rela sesama anak muda untuk berselisih, guna mendapatkannya. Tetapi setelah ke kota, merantau untuk menuntut ilmu, ternyata di kota, banyak sekali gadis cantik. Saking banyaknya, berarti beragam pula wujudnya, sehingga saya mudah untuk memilihnya.

Jelang tiba di tujuan, sebelum turun dari mobil, saya berujar pada sohib, bahwa, “Kawan yang mengharamkan musik itu, dan sukanya menyalahkan orang lain, sebenarnya, ia masih melihat kolam ikan lele, lebih menawan tinimbang ikan-ikan di aquarium. Atau, jangan-jangan penglihatannya, lebih indah setangkai anggrek ketimbang setaman bunga.” Namun yang pasti, kawan sohib saya itu, menganggap gadis tercantik yang ia kenal, hanyalah yang ada di kampungnya saja.

 

  • Lisan Sebuah getaran keluar dari mulut Dari leher turut decak yang ingin meluap Menggemakan wicara bak pesulap Tadinya dia hanya gesekan paruh dan rongga, Kemudian terluah dalam bahasa Kini gelombang punya rona Sama ketika frekuensi mencipta bahasa pesona Aku ringkih mendengar sebuah suara Pagut memagut, mesti takut Memaksa ikut Itulah lisan yang nista Mencuri hati…

  • Saya lagi mendaras bukunya Taufik Pram, yang bertajuk  , Hugo Chaves Malaikat Dari Selatan. Lalu saya begitu terpesona pada Chaves, yang  menurut  buku ini, “Hugo Chaves adalah pemimpin yang suka membaca. Dari barisan kata-kata yang berderet rapi di dalam sebuah buku itulah dia tahu ada yang salah dengan dunia yang didiaminya. Kesalahan yang dibiarkan langgeng…

  • Harus saya akui, kali ini redaksi Kala teledor soal cetakan edisi 10. Di terbitan tertanggal 27 Maret itu, judul kolom khusus kepunyaan Sulhan Yusuf salah cetak. Tulisan yang seharusnya berjudul Arsene, Arsenal, dan Arsenik, malah jadi Arsene, Arsenal, dan Arsenal. Ini gawat, malah justru fatal. Saya kira, di sini harus diakui, redaksi Kala belum punya…

  • Pada penghujung putaran kompetisi sepak bola di daratan Eropa, bulan Maret 2016 ini, salah satu klub sepak bola ternama, Arsenal yang bermarkas di London Utara, Inggris, negeri leluhur asal muasal sepak bola modern mengalami nasib yang kurang beruntung. Arsenal, yang dimanejeri oleh Arsene Wenger -yang digelari Profesor- pelatih berkebangsaan Perancis, sesarinya adalah satu-satunya klub yang…

  • Parasnya lelah. Mukanya sendu, keringatnya cucur. Di penghujung pukul sembilan malam suaranya berubah parau. Awalnya, perempuan ini bersemangat memimpin forum. Namun, waktu berderap, energi banyak dikuras, forum masih panjang. Di waktu penghabisan, Hajrah merapal karya tulisnya. Kali ini gilirannya. Satu persatu huruf diejanya. Tulisannya agak panjang. Kali ini dia menyoal masyarakat tanpa kelas perspektif Marx.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221