Tetralogi Hujan

Hujan di Gunung Sari

Kala hujan di Gunung Sari, di aspal jalanan riuh demonstran menuntut pemerintah, buliran air tak menghalangi untuk turun aksi. Di kerumunan massa, jeriken BBM dihambur-hamburkan pada ban bekas yang belum terbakar, api disulut, ban dibakar, suara pun berkoar-koar.

“Hidup mahasiswa!” teriak seorang di atas mobil tanker yang tersandera.

“Hidup!” balas serempak segerombolan mahasiswa.

Sang orator yang masih di atas mobil tanker berkoar, “Saudara-saudara sekalian! Hari ini kita turun ke jalan menuntut pada pemerintah, turunkan harga BBM! Apakah saudara-saudara setuju agar pemerintah menurunkan harga BBM?!”

“Setuju!” sahut serempak segerombolan massa

“Saudara-saudara sekalian! Hari ini, walaupun hujan turun membasahi bumi, tidak menyurutkan niat untuk menuntut pemerintah, kami di sini sebagai agent of change menuntut pemerintah untuk memperbaiki fasilitas dan layanan publik di bidang transportasi, kami bosan melihat jalan macet!”

Sang orator masih berkoar di atas mobil tanker, di saat bersamaan segerombolan massa menutup jalan dengan ban-ban bekas serta dahan pohon yang dipatahkan. Pun akhirnya jalan menjadi macet.

“Oe! Minggir! Kalian bikin macet jalan!” teriak supir taksi, bus, dan pengendara lainnya serempak.

Segerombolan massa tetap berkukuh menutup jalan, mereka kembali bereuforia dalam aksi demonstrasi.

Di tempat tak jauh dari segerombolan massa, di jarak selemparan batu, di atas Menara Flamboyan, seorang petugas administrasi kampus berhadapan dengan mahasiswa, mereka terlibat pembicaraan yang cukup serius.

“Maaf, Pak. Kapan trasnkip nilai saya bisa dicetak?” tanya mahasiswa yang sedang memegang map bewarna kuning.

“Waduh, gimana yah, Dek?! Besok saja, soalnya saya masih banyak pekerjaan,” jawab sang petugas administrasi kampus.

“Tapi, bukankah bapak sudah berjanji kemarin? Bahwa hari ini transkip nilai saya akan dicetak,” sergah sang mahasiswa yang mendekap map kuning.

“Yah, saya tahu, Dek. Tapi bukan kamu saja yang butuh dilayani, banyak sekali mahasiswa yang harus dicetakkan transkip nilainya.” Sang petugas administrasi kampus berkilah, ia senyum menyeringai, picik, licik.

“Bagaimana ini, Pak. Saya tidak bisa maju ujian tutup dan mengurus prosesi pendaftaran yudisium serta wisuda, jika persyaratan administrasi ini tidak bisa saya penuhi! Tolonglah, Pak?” sang mahasiswa sedikit membentak namun tetap merajuk.

Sang petugas administrasi kampus kembali berkilah, ia memencet-mencet printer di dekatnya, seraya berucap, “Saya mau bantu sekali, cuman bagaimana yah? Printer juga habis tintanya, bendahara pun sudah pulang, kamu datang besok saja deh.”

Sang mahasiswa mendengus kesal lalu beranjak dari tempatnya. Ketika kursi itu telah kosong, beberapa menit kemudian datanglah mahasiswa lain, dengan membawa map kuning dan menyelipkan selembaran uang bewarna biru.

“Permisi, Pak. Saya baru mau cetak transkip nilai, bapak bisa cetak, kan?!” tukas sang mahasiswa yang lain, kemudian menyodorkan map kuning—yang di dalamnya terselip selembaran uang bewarna biru.

Sang petugas administrasi pun langsung sigap dan cekatan mencetak transkip nilai, seraya berucap, “Ini baru dikatakan mahasiswa pengertian.”

Dan uang bewarna biru itu pun masuk dalam dompet.

 

Hujan di Tamalate

Kala hujan di Tamalate—sebuah tempat dengan sematan bahasa daerah, yang bermakna; daun yang tak layu. Di kala pagi yang gerimis, seorang bapak dalam balutan seragam mencegah pengendara tak berpengaman.

Bapak dalam balutan seragam memberikan takzim, sejenak pengendara tak berpengaman itu membalas takzim. Sejurus kemudian, bapak dalam balutan seragam berujar, “Selamat pagi Pak, bisa tunjukkan surat-suratnya?”

Pengendara tak berpengaman itu menggelengkan kepala, lantas bapak dalam balutan seragam merangkulnya, kemudian menggiringnya masuk ke pos penjagaan.

“Silahkan duduk, Pak,” sahut bapak dalam balutan seragam.

Sejenak bapak dalam balutan seragam itu menceramahi pengendara tanpa pengaman, ia memberikan penjelasan mengenai aturan berlalu-lintas yang benar, serta pasal yang dilanggar pengendara tanpa pengaman itu.

Pengendara tanpa pengaman itu terperenjat, mendengar hukuman yang akan ditimpa kepadanya. Pun ia kalut! Takut motor disita, takut dibui, sejenak pengendara tanpa pengaman itu menatap bapak dalam balutan seragam, ia berandai-andai jikalau menjadi narapidana.

Jangan sampai saya menjadi narapidana, bisa-bisa saya dikurung dalam penjara lalu putus dengan kekasihku. Kalau putus, maka saya menjomblo, kalau jomblo, hidupku ngenes, maka jadilah saya jomblo ngenes yang dikurung dalam penjara.

“Apa tidak ada jalan damai?” tanya dan tawar pengendara tanpa pengaman itu.

Bapak dalam balutan seragam sejenak menjeling, ke kanan dan ke kiri, seperti mencari seseorang atau mungkin sedang membaca situasi, lantas ia menuliskan sebuah catatan kecil pada secarik kertas, sejurus kemudian pengendara tanpa pengaman itu merogoh kocek yang cukup dalam.

Mereka bersalaman, dan tak lupa bapak dalam balutan seragam itu menasehatinya untuk tidak mengulangi perbuatannya. Sedang dalam hati pengendara tanpa pengaman itu berujar, lebih baik merogoh kocek yang dalam, tinimbang hidup jomblo di dalam penjara.

 

Hujan di Panakkukang

Kala hujan di Panakkukang, sebuah tempat yang bermakna; tempat merindukan. Di kala siang yang hujan itu, seorang pedagang menggelar dagangan di jalur pedestrian di jalan kota. Tak berselang lama seorang ibu haji bergincu merah, berpipi merah, dan mengenakan pakaian merah, mendekati tenda merah milik pedagang di jalur pedestrian.

Ibu haji berpakaian serba merah itu berjongkok, sejenak memandangi pedagang itu, lalu menawar satu ikat kangkung yang bewarna hijau.

“Kek, berapa satu ikat kangkung ini?” tanya ibu haji berpakaian merah.

“Lima ribu rupiah, Bu Haji,” jawab pedagang itu.

“Tidak bisa kurang?” tawar ibu haji berpakaian merah.

Pedagang itu hanya menggelengkan kepala dan berkukuh atas harga yang telah ditetapkan. “Sudah begitu harganya, kalau ditawar lebih rendah saya merugi.”

“Begini saja, saya ambil dua ikat, delapan ribu, bagaimana?” Ibu haji berpakaian merah itu merogoh koceknya, dan memberikan beberapa lembaran rupiah dengan sedikit paksaan pada pedagang itu.

“Tapi, Bu Haji…?!”

“Ah, sudah! Kamu ambil saja, kamu harus bersyukur daganganmu dibeli oleh ibu haji sepertiku.”

Ibu haji berpakaian merah itu kemudian berjalan bak pragawati, sembari menenteng dua ikat kangkung yang dibungkus kantong plastik bewarna merah. Pun payung yang digunakan ibu haji itu bewarna merah, semua serba merah.

Sejenak ibu haji berpakaian merah itu menyeringai, sedangkan pedagang di bawah tenda merah itu menghela nafas panjang.

Kini, ibu haji berpakaian merah telah berada di salah satu pusat perbelanjaan yang mewah, ia melangkahkan kakinya pada gerai sayur-mayur yang bersih dan tertata rapi. Tanpa babibu ia lantas mengambil dua ikat kangkung yang dibungkus plastik bening.

Ibu haji bergincu merah, berpipi merah, dan mengenakan pakaian merah, berjalan menuju meja kasir. Lalu dengan penuh bangga merogoh koceknya dan membayar dua ikat kangkung itu dengan selembaran uang bewarna biru.

 

Hujan di Rumah Seorang Penulis

Kala hujan di rumah seorang penulis, menunggu beningan hujan reda di waktu subuh, bersama secangkir cappuccino, biskuit dan kuota yang menipis. Diketik dengan khusyuk sebuah naskah cerpen. Layar monitor dijejali huruf-huruf yang membentuk kata, kata membentuk kalimat, dan kalimat membentuk paragraf. Ketika naskah dianggap selesai dan disunting sana-sini—dengan mantap dan penuh harap—maka dikirimkan naskah itu pada salah satu media daring terkenal di kotanya.

Pemuda yang menamakan dirinya seorang penulis, kemudian berdoa, semoga naskahnya dapat diterima, dan tak dibuang di alam maya bernama Recycle Bin. Dan ketika naskah telah berhasil dikirim, kuota pun habis digunakan. Lantas, pemuda yang menamakan dirinya seorang penulis pun berujar, “Ah, problematika hidup warga perkotaan, tak lepas-lepas dari persoalan harta, tahta dan kuota.”

[Kala hujan di Tompobalang, 25 Oktober 2016 / 24 Muharram 1438.]

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221