Setelah Bumi, Sekarang Kepler

Kisaran enam miliar tahun silam, kami sudah beranak-pinak di Kepler. Mengutuk siapa saja yang menolak cinta dan patuh pada tindak sadis—seperti inilah iman kami, manusia bersayap malaikat.

Kepler yang kami tempati sekarang,merupakan sebuah planet dengan ukuran sepuluh persen lebih besar dari Bumi. Di Kepler, kami menggantung nasib pada rasi bintang tipe G—kepler 22b, yang lebih tua usianya dari matahari yang berusia empat koma enam miliar tahun.

Kepler terletak sekitar limaratus tahun cahaya dari konstelasi cygnus—suatu rasi bintang di belahan utara. Selain itu, Keplar memiliki empatpuluh delapan rasi bintang ptolemy dan juga satu dari delapanpuluh delapan rasi bintang modern. Dengan rupa-rupa rasi ini, rasa takut tak bergelantungan di dalam diri kami.

Di Kepler kami mengimaniNakuwasa—sosok yang dipercaya sebagai Tuhan. Duapuluh tiga malaikat, duapuluh tujuh nabi, dan dua iblis. Maka, tak heran kerusakan dan kejahatan nyaris tak bertempat tinggal di Kepler. Fanometan, sosok iblis sebagai penggoda di malam hari. Sedangkan Fanofutu, sosok iblis sebagai penggoda di siang hari. Tugasnya sederhana, yaitu mengusik cinta dan patuh pada tindak sadis.

Tiap orang diberi sekali kesempatan tinggal di Kepler yang dikelilingi hamparan bunga-bunga berwarna putih dan kupu-kupu berwarna jingga. Kelak mereka patuh pada perang, maka tak segan-segan ditendang keluar dari Kepler.

Selam enam miliar tahun, kami merasa damai di Kepler.Jauh sebelum manusia di Bumi, mengarahkan segala kemampuannya menjelajah ruang angkasa, memorak-porandakkan planet kami. Lalu, memusnahkan peradaban kami.

Semua kerusakkan diawali dari hari itu. Tepat pagi masih perawan. Kami begitu sontak dibuat kaget dengan sebuah ledakan yang mahadasyat,yang belum pernah kami dengar selama bermiliar-miliar tahun.

“Mungkin ini sudah kiamat?”

“Ya, Nakuwasa.Kenapa secepat ini?” kami begitu percaya pada lisan Nakuwasa, seperti yang tertulis di dalamTauzaiq—kitab suci kami. Bahwa kiamat pasti datang, entah kapan waktunya?

Wajah-wajah tampak lesuh bergelantung. Kendati begitu ringkih, sebab sudah enam miliar tahun tak pernah ada orang mempunyai nyali mengusik kedamaian ataupun ketenangan di Kepler. Wajar saja, kami begitu keruan mendesah, memohon ampun pada Nakuwasa.

“Apakah ini pertanda Kiamat? Padahal cinta dan kemanusiaan masih basah di sini, bersama gerimis.Mungkin kematian telah datang memeluk kita bersama gelombang cinta, lalu menuju karib kita yang abadi?”ada yang menimpal serupa, sepertinya semerbak kantong darah mulai mengering.

Sejurus kemudian, sebelas orang awak keluar tangki endeavour—pesawat luar angkasa, dengan pakaian orange lekat pada tubuh dan wajah mereka yang dibaluti masker. Tanpa rasa iba, mereka lalu menyemprot busa beracun hingga berseliweran di sana-sini. Sehingga, kami yang mengerumui tangki endoavour,begitu meringis akibat gas beracun itu.

“Siapa kalian?”

“Kami dari Bumi!Penjelajah luar angkasa.”

“Sekarang planet Kepler telah menjadi milik kami.Jangan kalian melawan.Keluar saja dari planet ini!” pinta mereka.Gas beracun itu, terus bergeliat di terbangkan. Lalu, satu persatu dari kami jatuh bak dedaunan.

Dalam keadaan sekarat kami masih sisakan sedikit waktu, mengingat nasihat leluhur tempo itu. Tentang kehidupan manusia di Bumi. Leluhur kami percaya bahwa, Nakuwasa selalu mencipta hal yang kembar—berpasang-pasangan. Seperti gelap dan terang, ataupun Kepler dan Bumi, yang keduanya menyimpan kehidupan.

“Ya, kami pernah mendengar Nakuwasa manciptakan sosok mahluk yang sama seperti kami, menjadi raja di planetnya—Bumi.”

“Kami pernah mendengar, mereka tidak semua mematuhi titah Nakuwasa.”

Iya, mereka berpaling dari Nakuwasa.

“Aku tidak percaya.”

“Tidak!” begitu kisruh. Saling melempar bantahan antar sesama pemuka-pemuka Kepler. Tetapi, tidak sampai gaduh, memecah belah. Tidak seperti lakon manusia di Bumi.

Bumi, sebagaimana diceritakan leluhur, ada kehidupan di sana. Tetapi sejauh ini leluhur Kepler belum pernah ke sana. Entah di mana keberadaannya? Seperi apa orang-orang dan peradaban di sana? Namun, hari ini kami saksikan sendiri bagaimana sosok manusia yang dikutuk Nakuwasa. Pun telah datang mengusik kehidupan kami. Di planet kami sendiri.

Para leluhur kami selalu bertutur bahwa sekitar enam miliar tahun silam, kami sudah diwarisi Kepler untuk menumbuh kehidupan, lalu mencipta peradaban. Tentulah cinta dan kemanusiaan adalah ruh dari peradaban kami.

“Hanya orang-orang bodoh yang mengusik cinta dan kemanusiaan.”

“Ya, hanya orang-orang bodoh yang tidak mensyukuri cinta dan kasih Nakuwasa.”

“Nakuwasa tidak menciptakan kejahatan. Tidak menciptakan perpecahan. Dan, tidak menciptakan penyakit yang bernama dendam.”

“Ya, Nakuwasa justru menciptakan cinta laksana hujan yang menumbuhkan pohon dan bunga nun molek.”

“Kami memuji Nakuwasa dengan sujud yang lebih lembut dari syair dan puisi. Semua benda—batu-batu berlumut, jamur, kelinci berbulu kuning, kucing, semut berkepala besar, semuadititahkan untuk mengabdi kepada Nakuwasa.”

Kami begitu tergeletak pasrah di atas tanah Kepler, dalam keadaan sekarat menuai ajal.

“Indahkan rasi kepler 22b, itu? Jangan pejamkan matamu!”

“Kau akan damai di sini.Nakuwasa melindungi Kepler kita.”

“Jangan lupa berdoa!Nakuwasa selalu menjawab doa kita yang tulus.”

“Sekarang pejamkan matamu.Mari kita berjalan ke surga.Berjalanlah ke Utara.Bersama rasi ptolmey.” seperti inilah cara kami menghabiskan sisa waktu dengan berdoa dan bersajak.

“Semua orang harus patuh pada titah Nakuwasa.Tidak boleh membunuh.Tidak ada yang bermusuhan.Tidak ada yang bersekongkol dengan iblis.Semua orang saling melindungi. Memuliakan manusia.”kami terdiam sejenak.

Para penjelajah ruang angkasa itu mengira kami telah tiada. Meraka tertawa terbahak-bahak menyaksikan tubuh-tubuh kami yang begitu sekarat, melumat ajal.Mereka lupa bahwa kami begitu patuh pada Nakuwasa.

Kami percaya Nakuwasa bukanlah sosok yang Maha kejam. Nakuwasa tidak pernah mendatangkan banjir, mengaduk-aduk Kepler sesuka hati, atau memorak-porandakan Kepler tanpa belas kasih. Tidak seperti di bumi, tempat mereka beranak-pinak.

Nakuwasa memberikan kebebasan kepada siapa pun menentukan apa pun yang mereka inginkan.Termasuk bebas melawan iblis.”

Nakuwasa membiarkan para perempuan Kepler menjadi pemimpin, tidak melarang siapa pun bersaing menjadi pemimpin, mengajari siapa pun membuat peraturan-peraturan indah, dan menciptakan rasi-rasi bintang yang meluluhkan hati.

Tak ada yang berani melawan apalagi menghardik.Bukannya kami tak punya nyali untuk melawan, melainkan kepatuhan pada Nakuwasa.

“Kami benci perang.”

“Siapa diantara kami orang-orang Kepler suka perang?Siapa?Mungkin mereka tak pernah mengerti.”

“Iya, Nakuwasa benar!Mereka tak patuh pada Nakuwasa.”

“Lihat saja kita telah sekarat.”

“Setelah Bumi, sekarang Kepler.”

“Tak lebih dari sebuah medium birahi bagi daging-daging hina yang telah dikutuk Nakuwasa.”

Sumber gambar: http://www.regaltribune.com/tag/earth-transit-zone/

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221