HMI-MPO dan Kasus Ahok

Perlahan namun pasti, HMI-MPO bermetamorfosis menjadi organisasi mahasiswa yang mapan. Di masa-masa mendatang, tak akan lagi kita temukan HMI-MPO yang liar dan bandel, sebagaimana dulu di era Orde Baru dan awal-awal Reformasi—yang membuat HMI-MPO benar-benar gokil. Kemapanan HMI-MPO itu disebabkan oleh banyak faktor, tapi setidaknya ada dua faktor yang dominan: pertama, bahwa para aktivisnya, utamanya para elit di tingkat cabang dan pengurus besar, memiliki cara berpikir dan orientasi individual yang bernada mapan; dan kedua, para alumni HMI-MPO dewasa ini sudah cukup mapan, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik, dan kemapanannya itu diidam-idamkan oleh anggota aktif di satu sisi, serta berusaha ditularkan oleh alumni kepada anggota aktif di sisi yang lain. Metamorfosis HMI-MPO menuju kemapanan itu sifatnya alamiah belaka, seiring perkembangan waktu, pergantian generasi, perubahan paradigma para pegiatnya, serta situasi multidimensi yang melingkupinya.

Pada satu sisi, kemapanan HMI-MPO itu merupakan sesuatu yang positif belaka. Setidak-tidaknya dengan begitu HMI-MPO berpeluang untuk tumbuh gemuk, rimbun, dan riang gembira seperti halnya organisasi ektra-kampus arus utama lainnya seperti HMI (Dipo), PMII, GMNI, IMM, ataukah KAMMI. Kendati demikian, dengan menjadi organisasi yang mapan, HMI-MPO, sebagaimana koleganya tadi, akan kehilangan kelincahannya, daya dobraknya, kepeloporannya, kreativitasnya, dan juga tentu saja daya kritisnya—beserta keliaran, kebandelan, dan kegokilannya. Kenapa? Karena sebagai organisasi yang mapan, ia akan bersikap hati-hati (bahkan ekstra hati-hati) dalam menyikapi sesuatu, lantaran harus memperhatikan aspirasi kekuatan-kekuatan (politik dan ekonomi) yang ada di kanan-kiri depan-belakangnya, yang telah berjasa membuatnya mapan.

Dalam sejarahnya, sesungguhnya HMI-MPO beberapa kali tampil sebagai anak bandel. Pertama, dalam kasus penolakan HMI-MPO terhadap asas tunggal tahun 1980-an, di mana arus utama ketika itu menerima asas tunggal yang dipaksakan rezim Orde Baru. HMI-MPO juga merupakan salah satu penentang utama pemerintahan Soeharto. Kedua, dalam kasus penolakan HMI-MPO terhadap B.J. Habibie sebagai presiden, yang mana mayoritas organisasi Islam mendukung B.J. Habibie. Ketiga, dalam kasus tuntutan HMI-MPO untuk melengserkan empat tokoh dari jabatannya (Amien Rais, Megawati, Gus Dur, dan Akbar Tanjung), sementara arus utama ketika itu hanya menginginkan Gus Dus semata yang dilengserkan. HMI-MPO sendiri cenderung lebih berpihak kepada Gus Dur.

Kenapa HMI-MPO berani bersuara lain di tengah arus utama dalam kasus-kasus tersebut? Ya, karena HMI-MPO tempo itu belum mapan, sehingga masih sangat independen dan kritis, termasuk kepada alumninya sendiri. Dalam doktrin Khittah Perjuangan HMI-MPO disebutkan bahwa ciri kader HMI-MPO yang ulul albab ialah berani dan teguh berpegang pada kebenaran sekalipun ia seorang diri. Prinsip itulah yang membuat HMI-MPO selalu tampil beda di setiap era—dan sejarah berbicara di kemudian hari bahwa pilihan sikapnya itu tidaklah keliru (atau setidaknya, tidak keliru-keliru amat).

 

Sikap atas Kasus Ahok

Sekali tempo, seorang alumni HMI-MPO bertanya kepada saya: “Apa kira-kira yang Anda lakukan dalam menyikapi kasus Ahok seandainya Anda masih menjabat Ketua Umum PB HMI-MPO?” Saya jawab: “Saya akan mengeluarkan larangan memakai atribut HMI-MPO dan pengatasnamaan HMI-MPO dalam demonstrasi bertajuk ‘Aksi Bela Islam’ yang digalang GNPF-MUI, namun tidak melarang kader-kader HMI-MPO terlibat dalam aksi tersebut. Tapi ketika Ahok sudah dinyatakan tersangka oleh Polri, maka saya akan mengeluarkan larangan bagi anggota HMI-MPO terlibat dalam aksi GNPF-MUI berikutnya”.

Sikap saya tersebut, jelas bernuansa kemapanan juga (meskipun tidak mapan-mapan banget), yaitu bersikap ekstra hati-hati dan mempertimbangkan suasana kebatinan dan aspirasi di kanan-kiri depan-belakang saya. Sikap saya semacam itu sudah tentu merupakan sikap yang “selemah-lemahnya iman”. Kenapa? Karena pernyataan Ahok yang memicu keluarnya fatwa MUI itu, dalam kaca mata diskursus intelektual yang berkembang di HMI-MPO selama ini, adalah suatu pernyataan yang biasa sekali diutarakan dalam percaturan wacana di HMI-MPO. Kalau tidak percaya, periksalah makalah-makalah peserta LK II dan LK III HMI-MPO atau jurnal-jurnal pemikiran HMI-MPO yang diterbitkan cabang atau PB HMI-MPO yang mengangkat tema terkait Al-Quran. Di sana pasti Anda menemukan pernyataan (tulisan) yang lebih “gila” daripada sekadar pernyataan Ahok yang biasa sekali itu. Kalau dikatakan bahwa pernyataan Ahok itu menjadi masalah karena ia begitu lancang mengomentari Islam dan Al-Quran (sementara ia seorang non-Muslim), maka hal itu seyogianya bukan pula masalah bagi HMI-MPO, sebab dalam forum-forum diskusinya, anak-anak HMI-MPO juga biasa sekali mengomentari secara kritis (dan tajam) ajaran agama lain (beserta kitab sucinya).

Meski saya menganggap biasa saja pernyataan Ahok itu, saya sendiri (seandainya masih menjabat Ketua Umum PB HMI-MPO) tidak akan mengeluarkan sikap bahwa HMI-MPO membela Ahok dari fatwa MUI. Kenapa? Ya, (sekali lagi) karena pernyataan Ahok itu biasa sekali, tidak ada apa-apanya dibanding tema yang biasa diperbincangkan di HMI-MPO. Daripada menghabiskan energi untuk pernyataan yang biasa sekali semacam itu, lebih baik saya (seandainya masih) selaku Ketua Umum PB HMI-MPO mengurusi perkaderan, keaparatan, dan pengembangan pemikiran di HMI-MPO.

 

Barisan Fundamentalis

Tak dapat dipungkiri bahwa di masa mula kehadirannya, corak ideologi HMI-MPO bersifat fundamentalistik. Kader HMI yang memilih bergabung dengan HMI-MPO di masa itu adalah mereka yang terpapar oleh pemikiran fundamentalisme Islam. Tentu saja tidak semuanya begitu. Namun dalam perkembangannya, HMI-MPO mulai menanggalkan watak fundamentalistiknya itu. Di era tertentu, HMI-MPO bahkan tampil dengan corak Islam progresif alias Islam kiri. Alumni HMI-MPO yang masih mempertahankan pemikiran fundamentalistiknya tempo itu, malah sampai menyebut HMI-MPO sedikit lagi akan berubah menjadi komunis.

Dulu, di kampus tempat saya kuliah, kalangan mahasiswa fundamentalis berkampanye kepada para mahasiswa (utamanya mahasiswa baru dan jamaah masjid kampus) untuk jangan sekali-kali masuk HMI-MPO, sebab kata mereka, HMI-MPO itu liberal, komunis, syiah, dan banyak lagi. Intinya, mereka mendakwa HMI-MPO sesat dan menyesatkan, bahkan kafir.

Tapi bagaimana ceritanya kini HMI-MPO berada di belakang barisan tokoh-tokoh fundamentalis pendukung fatwa MUI, bersekutu dan berangkulan dalam jamaah fundamentalis yang kerap mendakwanya sesat dan menyesatkan itu? Hal ini sudah tentu berdasarkan prinsip bahwa “tidak ada kawan/musuh yang abadi, yang abadi adalah kepentingan”. Kepentingan antara HMI-MPO dengan para fundamentalis pendukung fatwa MUI itu adalah sama (baik karena kebetulan sama maupun karena sengaja disamakan). Hanya saja, yang cukup memprihatinkan ialah karena dalam aksi GNPF-MUI itu, HMI-MPO tampak sekadar peserta turut ramai belaka (tukang tepuk tangan dan tukang sorak-sorai semata), sementara pemain utamanya adalah Rizieq Shihab, Bachtiar Nasir, dan Zaitun Rasmin. Yang memainkan gendang adalah habib dan ustad tadi, sementara anak-anak HMI-MPO semata menari sesuai irama gendang.

Lantas, apakah dengan berhimpunnya HMI-MPO dalam barisan kaum fundamentalis itu merupakan pertanda bahwa HMI-MPO kini kembali kepada haluan fundamentalisme? Saya kira, tidak (atau belum?). Kemungkinan HMI-MPO untuk kembali memeluk ideologi fundamentalis, kelihatannya sangat kecil sepanjang mereka masih setia dengan Khittah Perjuangan HMI-MPO yang ada saat ini. Tapi kemungkinan terlibatnya HMI-MPO dalam barisan kaum fundamentalis untuk mengusung agenda Islam politik, tentu selalu terbuka. Jika di masa mendatang tradisi intelektualisme kian meredup sementara tradisi politik kian menguat di lingkungan HMI-MPO, maka hubungan antara HMI-MPO dengan kalangan fundamentalis dipastikan akan kian hangat dan mesra.

 

Ideopolstrata

Tema-tema dekonstruksi atas penafsiran Al-Quran dan Hadis, sungguh merupakan suatu yang lazim dalam dinamika pemikiran HMI-MPO. Anak-anak HMI-MPO biasanya lebih suka mengapresiasi pemikiran yang terkesan liar (nyeleneh) ketimbang pemikiran yang tertib (mapan), termasuk dalam studi-studi Al-Quran. Dalam konteks tersebut, apa yang dikatakan Ahok terkait Al-Quran itu, pastinya sudah dianggap selesai oleh anak-anak HMI-MPO (yang suka kajian dan gemar membaca beragam buku—karena tidak sedikit pula anak-anak HMI-MPO yang malas kajian dan jauh dari buku, tapi rajin demonstrasi). Dan kalau dianggap sudah selesai, buat apa lagi hal semacam itu diperkarakan?

Sejumlah pihak menilai kasus Ahok ini sebagai kasus ideologis (agama), dan tak ada kaitannya dengan hal ihwal politik. Tapi apakah benar demikian? Pada kegiatan LK II, kader-kader HMI-MPO umumnya sudah mendapatkan materi ideopolstrata (ideologi, politik, strategi, dan taktik). Dari materi ideopolstrata itu, seorang lepasan LK II tentu sudah pandai membedakan mana hal yang ideologis dan mana hal yang politis belaka. Elit-elit HMI-MPO di tingkat cabang dan pengurus besar, rata-rata merupakan lulusan LK II, bahkan LK III. Sudah barang tentu mereka mengaplikasikan pengetahuan ideopolstrata mereka itu dalam menyikapi kasus Ahok ini. Bahwa PB HMI-MPO bersikap mendukung fatwa MUI yang mendakwa Ahok telah menistakan Islam (dan ambil bagian dalam Aksi Bela Islam GNPF-MUI), hal itu juga merupakan pengaplikasian dari materi ideopolstrata. Pertanyaannya, apakah sikap PB HMI-MPO itu merupakan sikap ideologis ataukah sikap politis? Kader HMI-MPO yang pernah menyimak dengan cermat materi ideopolstrata tentu dapat menjawabnya dengan baik. Wallahu a’lam. []

Sumber gambar: http://www.detikawanua.com/2015/12/tolak-freeport-hmi-mpo-se-indonesia.html

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221