Catatan KLPI Pekan 39

Kelas menulis KLPI tidak seperti biasanya. Lenggang. Tapi, itu bagian dari rutinitasnya selama ini. Kadang kelas banyak kedatangan kawan-kawan, juga seringkali seperti pekan kemarin, sepi.

Bagi kawan-kawan, kondisi demikian sudah biasa. Yang berbahaya jika KLPI berhenti. Apabila KLPI berhenti, itu artinya dua hal: pertama, tujuan KLPI sudah terealisasi. Kedua, jika menulis dilarang pemerintah.

Yang pertama, barangkali keadaan yang masih jauh, bahkan utopis. Mau mengharapkan semua orang menjadi penulis. Mau mengharapkan semua orang sadar literasi. Kesannya muluk belaka. Tapi, bukankah semua tujuan harus muluk-muluk. Optimis.

Pilihan yang kedua, bukan tidak mungkin bakal terjadi. Bukankah selama ini pemerintah sering kalap jika ada warganya lapakan buku. Menggusur dengan dalih mengganggu keindahan kota.

Di Makassar, ada namanya Pasar Minggu; komunitas yang terdiri dari anak-anak muda kreatif. Berasal dari beragam kelompok dan kecenderungan, tiap pekan berkumpul berdiskusi, menjual buku, membuat handycraff, berpuisi, dsb. Tapi, belakangan mereka digusur satpol PP. Sudah pasti dengan alasan yang sama.

Di kampus UNM, beberapa lapakan buku mahasiswa dilarang beraktivitas. Informasi yang diterima, jualan dan diskusi buku itu tidak memiliki ijin. Sungguh tidak masuk akal. Aktivitas intelektual macam lapakan buku dilarang. Besok-besok ketika membawa buku di dalam kampus bisa jadi dirazia.

Jika mengamati media sosial belakangan, banyak peristiwa serupa terjadi di berbagai daerah. Ini kalau dibenarkan, secara kultural, bangsa ini akan kehilangan generasi emasnya. Secara pendidikan, tidak ada sumber daya memadai. Lima sampai sepuluh tahun ke depan, misalnya, menulis dan membaca buku, menjadi pemandangan yang aneh.

Tapi, kemungkinan kecil bakal terjadi. Tiada bangsa yang mau mengerdilkan dirinya sendiri. semua bangsa pasti ingin penduduknya maju. Dapat bersaing di kancah dunia. Termasuk Indonesia.

Itulah sebabnya, KLPI mau ambil bagian. Membuat Indonesia menjadi bangsa besar. Bangsa yang diperhitungkan, tentunya.

Pekan kemarin, sebelum kelas dimulai, sudah ada diskusi panjang menyampir banyak soal. Pertama-tama, Syarif menunjukkan puisi Danarto yang “hanya” berupa kotak panjang berjumlah tiga segi empat. Dari penjelasan buku yang dibawanya, puisi Danarto disebut puisi akibat susunan segiempat itu juga bermakna. Alasannya, jika puisi adalah juga simbol-simbol bermakna yang dibuat penyairnya, itu berarti “kotak-kotak” buatan Danarto juga pantas disebut syair.

Tapi, apakah kotak-kotak bersusun itu memang memiliki makna? Jika ada, lantas apakah maknanya? Yang pasti, puisi “kotak” yang dibuat Danarto itu memicu pertanyaan apakah puisi itu sebenarnya? Apakah puisi harus diwujudkan dalam bentuk syair, kata-kata? Jika iya, lantas bagaimanakah puisi Danarto itu? Setidaknya, puisi “kotak” Danarto menjadi jalan kembali mempertanyakan pengertian dasar soal puisi.

Diskusi juga menyampir kecenderungan esai berbasis travelling. Omongan ini akibat beberapa kawan-kawan Mapala Syarif, ingin mendokumentasikan catatan perjalanannya berupa esai. Syarif bilang, di Seram, banyak memiliki situs budaya yang melimpah. Sejarah kerajaan-kerajaan Tidore dan kerajaan di sekitarnya. Kebiasan-kebiasaan bergama masyarakat setempat. Perkampungan-perkampungan yang banyak menyimpan mitos-mitos asing. Dan juga, cerita-cerita rakyat seputar Pattimura dan rempah-rempah dari tanah adat istiadatnya.

Apa yang disebutkan Syarif banyak memberikan data-data awal jika mau menulis esai berbasis pengalaman perjalanan. Apalagi, dari tanah kelahiran Syarif, banyak hal yang ingin diketahui khalayak. Ini modal besar seperti yang banyak ditulis bloger-bloger traveling. Intinya, esai hasil pengalaman perjalan seseorang, layak dibaca khalayak akibat banyak menyimpan kisah-kisah unik.

Dari esai travelling, diskusi sebelum kelas dibuka, juga akhirnya menyebut novel Pramoedya Ananta Toer: Arus Balik. Novel sejarah yang bercerita kejatuhan Nusantara.

Omongan mau tidak mau menyebut Malaka, satu titik di timur Nusantara yang pernah menjadi daerah strategis perdagangan internasional. Kala di mana Malaka adalah pusat perdagangan dunia.

Juga, obrolan panjang menyebut sejarah kerajaan Gowa-Makassar. Terutama seorang perdana menteri yang polygot: Karaeng Pattingalloang. Nama ini disebut hanya mau mengingatkan betapa seorang intelektual cemerlang, seperti Karaeng Pattingalloang, niscaya dibutuhkan jika mau membangun peradaban panjang. Seperti kerajaan Gowa-Makassar, kerajaan-kerajaan yang pernah digdaya di masa lalu, di belakangnya pasti ditunjang dengan kekuatan intelektual. Aktifitas tulis menulis, misalnya.

Diskusi tanpa disadari harus berhenti. Wawan dan dua teman lainnya datang. Juga tak lama ikut serta Sandra Ramli. Akhirnya kelas dimulai. Muhajir membukanya.

***

Muhajir duduk menatap lekat layar laptopnya. Kami hanya berdua. Belum ada siapa-siapa. Barangkali memang hanya kami berdua yang datang. Dugaan ini agak benar. Minggu-minggu kemarin, kuantitas kawan-kawan sedikit berkurang.

Akhirnya, tiada pilihan lain. KLPI tetap berjalan. Hanya saja, kali ini aktifitasnya berbeda. Kami masing-masing memilih melanjutkan pekerjaan di layar laptop. Kalaliterasi.com belum menurunkan tulisan  hari itu.

Hajir mengatakan, redaksi Kalaliterasi.com akhir-akhir kebanjiran puisi. Esai, kalah jumlah. Lama-lama, Hajir bilang, Kala bakal diisi puisi belaka.

Itu tidak jadi soal. Selama Kala beredar di dunia maya, tulisan esai, atau bahkan cerpen tak akan ada kehabisan stok tulisan. Ingat, Kala bukan media yang memiliki target redaksi muluk-muluk. Setiap satu hari satu karya tulis itu sudah luar biasa. Yang penting konsisten.

Sebenarnya, jajaran Redaksi Kalaliterasi.com sudah cukup mengisi tulisan satu hari satu karya tulis. Tinggal diatur saja. Dan, lagi-lagi konsisten. Namun, sampai sekarang hal itu belum dilakukan.

Terlepas dari semua itu, sampai sekarang, Kalaliterasi.com masih kuat menurunkan satu karya tulis setiap hari. Entah sastra ataupun esai, ataupun genre tulisan lainnya. Walaupun jam terbitnya kadang tidak menentu. Kadang malam, pagi. Terkadang siang.

Termasuk, rubrik Unjuk Rasa yang diampu Sulhan Yusuf. Setiap akhir pekan atau awal pekan akan menjumpai kawan-kawan di lini masa FB. Namun,entah mengapa minggu ini tulisan khas yang sering ditulis Sulhan Yusuf itu tidak terbit. Mungkin ada soal, entah apa.

Namun, satu keyakinan kami, tulisan unjuk rasa Sulhan Yusuf pasti bakal muncul. Ini hanya strategi beliau menarik kerinduan pembaca setianya.

Syahdan, besok KLPI dibuka pukul tiga siang.

  • Ada banyak persoalan rumit dalam hidup ini. Satu di antaranya adalah ketika kita dituntut berpikir sebelum berbuat, di saat yang sama, keinginan memaksa segera melakukan tindakan. Kerumitan-kerumitan ini, kadang membuat sebagian orang tak berdaya olehnya. Saya misalnya, untuk mengikat ide dalam tulisan ini saja, bukan main rumitnya. Saya mesti bolak-balik buku, mengganti bacaan satu dengan…

  • Telah sampai di suatu subuh Lotengloteng dibuat bergetar Tergeletak sudah sebujur tubuh ditinggal lili tak sempat mekar Sudah tiba dikau dibuat hari yang naas sembari jadi siasia, jangan! ini mimpi yang belum tuntas separuh sepotongnya telah tiba, di bulan Jalan lenggang, pagar rumahrumah kokoh dari seikat bambu Telah lama hilang desir suara di bibir loteng…

  • Pada akhirnya, orang-orang akan mencari muasalnya, tempat segalanya bermula. Kau akan ke kampung halaman, ke pohon mangga dekat rumahmu, atau mungkin ke rumah perempuan yang pernah kau perkosa. Sebab di sana ada sehimpun masa silam, suatu ruang-waktu di mana takdir menulis sejarahmu, menciptakanmu. Dan kau akan ke mana-mana, tapi juga tak akan kemana- mana. Sebab,…

  • Perbuatan baik adalah yang membuat hatimu tenteram,  Sedangkan perbuatan buruk adalah yang membuat hatimu gelisah —Hadis Nabi— Apa yang menarik dari hidup? Bahwa di sana ada setumpuk masalah dengan berbagai macam bentuknya. Dengan berbagai wajahnya yang datang pada manusia tanpa jeda. Tanpa titik akhir jelas. Ia tak sedikit menghadirkan keresahan yang sangat. Sepertinya hidup adalah…

  • Ternyata, bukan hanya saya yang was-was. Tapi Daeng Noro’ dan Daeng Gaga’ juga demikian, bahkan lebih dari itu, amat cemas dan gelisah. Apatah lagi Daeng Gaga’—sebenarnya ini nama gelaran saja atas kondisinya yang gagap ketika berbicara—gagapnya makin menjadi-jadi, kalimat-kalimatnya menyembur putus-putus, sulit ia sambungkan bicaranya, nanti dipukul pundaknya, baru bisa nyambung lagi. Pasalnya, setelah dua…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221