Menggugat Kampus dan Pernak-Perniknya

Aku menghabiskan uang orangtuaku hanya untuk membiayai aku kuliah agar aku tahu betapa itu semua rutininats yang tak bermakna. Seperti seorang dungu yang memenuhi kewajibanya mengisi absen. Aku memang kuliah di salah satu universitas negeri. Yah, aku kuliah di Kota Daeng dengan kampus “tit”.

Bagiku, apa yang kulakukan jauh lebih bermakna yang dikerjakan oleh penjual somai, atau tukang ojek. Penjual somai kedatangannya ditunggu-tunggu penikmat somai, begitupun tukang ojek kehadirannya membantu kemudahan transportasi bagi masyarakat. Tapi yang menungguku di ruang kuliah adalah tugas, absen, bangku, ruang kuliah yang sumpek, dosen dengan segala kebosanannya, dan sebagian mahasiswa lainnya dengan segala kepasifannya. Dunia kampus, begitupun organisasi mahasiswa di dalamnya dengan budaya buta hurufnya menambah ketidakbermaknaannya kampus.

Sekarang aku memasuki tahun anggaran ke-tiga. Aku sengaja menyebutnya tahun anggaran bukan tahun ajaran. Argumenku jelas, bahwa memang hanya uang yang menjalankan segala aktifitas dalam kampus. Aku tidak bakalan diizikan mengikuti aktifitas kuliah jika tak membayar. Tapi lebih parahnya lagi orang yang dikenakan skorsing kuliah (satu semester sampai tiga semester) malah masih diwajibkan membayar uang kuliah. Kadang di sisi ini aku bingung dengan semboyan “uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.”

Adakah orang bodoh membayar agar tidak mendapat apa-apa? Dan ini terjadi di kampus yang katanya menelurkan kaum intelektual. Jika demikian tidak mengherankan banyak koruptur, penindas dan lain sebagainya bertelur dari rahim kampus. Karena banyak kajadian aneh yang tak masuk akal malah dipraktekkan di dunia kampus. Pertama, membayar untuk sesuatu yang tak bermanfaat, seperti yang saya katakan di atas. Skorsing berarti kita dilarang mengikuti aktifitas perkuliahan, tapi masih diwajibkan membayar. Dengan begitu di kampus skorsing pun memiliki nilai ekonomis yang bisa dijual. Ibarat seorang pengangguran membayar kepada si penjual waktu nganggur agar dia bisa menikmati masa pengangguran. Bodoh sekali.

Jika kau mengalami atau setidaknya melihat kajadian ini di kampus tempat kau menggali ilmu, maka segeralah keluar dari kampus itu, sungguh hanya kedunguan yang akan kau peroleh kelak. Kau hanya membayar waktu untuk mengulur kau agar tidak cepat nganggur saja. Tidak ada ilmu di dalamnya, bahkan profesornya, mahasiswanya, dan segala pernak-perniknya. Aku sudah mengalami kejadian itu. Mudah-mudahan setalah menulis ini aku tak muncul lagi di kampus.

Kedua, mahluk yang bernama profesor tak rela jika ia mengajar mahasiswa baru. Jika ada matakuliah Anda yang berawalan “pengantar……” seharusnya profesorlah/orang yang profesional di bidang itu sebagai orang yang mengantarmu memahami secara komprehensif jurusan keilmuan yang kau emban. Yang terjadi malah sebaliknya. Seperti di jurusanku, dosen yang mengajar matakuliah yang berawalan “Pengantar……….” malah seorang dungu dengan sejuta tugasnya.

Aku masih ingat saat di mana aku sedang botak (gara-gara senior bangsat yang tidak menghargai budaya nusantara mencukur rambutku seperti orang gila. Senior bangsat yang tak menghargai perjuangan mahasiswa tempo dulu yang melawan kebijakan gundul yang diterapkan oleh kampus di bawah pengawasan Jepang. Sudah jelas ini dikarenakan kebutaannya terhadap buku/sejarah. Coba kau baca buku “Dilarang Gondrong” pastinya kau memahami apa yang saya maksudkan) dengan segala ketidak tahuanku tiba-tiba dengan lancang dosen yang memegang matakuliah “pengantar…….” menyuruh aku dan teman-temanku yang lain untuk membuat makalah tentang Antropologi dan Rung lingkup Keilmuannya. Batapa dungu dan bodohnya kami saat itu, kami menerima saja dengan sikap pasif.

Bayangkan mahasiswa baru dengan kepala plontos disuruh mengerjakan tugas yang amat berat itu. Jujur saat itu aku tak tahu bagaimana prosedur penulisan makalah, begitupun tentang antropologi dengan ruanglingkup keilmuannya. Saya malah disuruh mengerjakan sesuatu yang saya tidak tahu dalam bentuk yang saya tidak tahu (makalah). Ibarat seseorang yang bodoh pada matematika dan tidak bisa bahasa inggris, tiba-tiba disuruh mengerjakan soal matematika dalam bahasa inggris. Sungguh kedungan sejati yang sedang dipraktikkan oleh dosen matakuliah “Pengantar……….” saat itu.

Jika ada yang marah dengan sikapku yang kurangajar dalam tulisan ini, maka kalianlah yang kumaksud dalam tulisan ini. Dengan atmosfir pengajaran seperti itu, kita ingin menghilang budaya copy paste di dunia kampus? Saya yang sedari SMA memiliki kebiasaan nyontek, dengan harapan datang kuliah bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu. Harapan itu pupus sembari masifnya cara pengajaran seperti itu.

Ketiga, sikap ambivalensi. Di dunia kampuslah berkembang biaknya sikap ambivalensi ini. Terutama mahasiswanya. Seperti yang dibilangkan tokoh psikologi Jascues Lacan, mahluk yang lahir dari praktek penjajahan adalah mahluk dengan subjek yang terbelah. Bangsa yang baru saja terlepas dari cengkraman kolonialisme membentuk sifat dualistik. Satu sisi ia membenci penindasan/penjajahan, di lain sisi ia merindukan praktek-praktek penindasan/penjajahan tersebut.

Sikap seberti itulah yang dibilangkan oleh Lacan sebagai subjek yang terbelah. Dan lagi-lagi subjek-subjek yang terbelah itu banyak berkembang biak di dalam kampus. Salah satu contoh yang menjelaskan kasus ini adalah diwajibkannya mahasiswa baru untuk menggunduli kapalanya. Saya akan sedikit lega ketika hanya dosen yang menyuruh maba melakukan ini, tapi yang terjadi di lapangan malah mahsiswalah (senior) yang menjadi pelopor menegakan kebijakan ini. Setela MABA selasai mengikuti proses kaderisasi yang tak bermartabat tersebut (kewajiban untuk gundul), dengan muka/subjek yang berbeda (senior) menyarankan juniornya yang sudah ia gunduli kepalanya untuk memanjangkan rambut/gondrong dengan doktrin sebagai simbol perlawanan.

Aku ingin menjelaskan kasus ini dengan kalimat yang saya dapat dari sebuah novel (saya lupa apa judulnya), kira-kira begini kalimat di dalamnya “untuk menjadi pemberontak sejati, terlebih dahulu harus menjadi budak sejati”. Sama seperti aktor dalam novel tersebut (lagi-lagi saya lupa nama aktor) dia mengatakan “itu sebuah logika yang sangat sesat dan buta”. Apakah untuk mengatakan bahwa pincang itu tidak menyenangkan, saya harus pincang terleboh dahulu? Jika kau mengiyakan, maka yang saya maksud dalam kasus di atas adalah kamu. Jika gondrong adalah simbol perlawan, maka botak simbol perbudakan/penindasan.

Sikap ambivalensi ini memang marak dipraktikan oleh kalangan mahasiswa. Masih dengan kasus yang sama, bahwa dalam mulut mereka membenci penindasan, penghisapan, korupsi, dan watak tidak manusiawi lainya. Namun dalam perilaku keseharian mereka jalankan dengan khusyuk dan penuh penghayatan. Itulah jika semboyan dengan kalimat “berperilakulah seperti apa yang kau katakan” masih kita pegang teguh. Sungguh, bagi saya semboyan itu malah menyuruh orang berdusta. Sebab jika seperti itu, jika kau mangatakan “bangun pagilah, karena di situ rezki dilimpahkan,” padahal kau tidak mengerjakan seperti yang kau ucap. Maka kamu menjadi pendusta, kamu tidak melakukan seperti apa yang kamu ucapkan. Seharusnya semboyan itu diubah menjadi seperti ini “katakanlah apa yang kamu lakukan”, ada muatan imperatif terhadap kejujuran dengan kalimat itu. Jika semboyan itu yang kita pegang teguh, dengan kasus bangun pagi, kamu akan mengatakan seperti ini “jujur aku malas bangun pagi, tapi aku rajin bangun siang.” Bukankah kita menyukai kejujuran? Jika kamu tidak suka, maka yang aku maksud dalam tulisan ini adalah kamu.

Keempat, phobia filsafat oleh sebagian besar mahasiswa. Sejauh ini saya masih melihat mahasiswa sebagai pengidap phobia filsafat paling banyak di dunia kampus. Poin ini tidak bermaksud mengkritik dosen, karena saya jarang bergaul dengan dosen dengan durasi yang panjang, sampai saya harus bermalam di rumah dosen. Sehingga dalam poin phobia filsafat murni berangkat dari kedekatan saya dengan kalangan mahasiswa.

Dalam tulisan ini saya tidak ingin buka-setengah-setengah, saya harus buka-bukaan, sebagaimana yang saya sering dengar dari kalangan mahasiswa yang sering menuntut transparansi dana di pihak universitas. Bagi saya sikap ketidaksetujuan, ataupun sikap kritis pula harus ditransparasikan sejelas-jelasnya. Sekali lagi jika anda marah dengan poin keempat ini, maka yang saya maksud sebagai pengidap phobia filsafat adalah Anda. Tidak bisa dinafikan,ada sebagian dari mahasiswa yang sangat gandrung mendalami kajian filsafat sampai-sampai ia tenggelam dengan sejuta pertanyaan, sampai-sampai ia mengatakan “aku meragukan semua yang ada, tidak ada yang pasti, kecuali satu yang pasti saat ini, bahwa yang pasti adalah aku sedang dalam keraguan yang amat sangat.”

Untuk menjelaskan fenomena phobia filsafat ini, ada kisah yang menurut hemat saya bisa dikategorikan phobia filsafat di kalangan mahasiswa. Jadi saya pernah, mengadakan kelas logika, tapi bukan dalam kampus melainkan di sekret salah satu organisasi yang sering saya ikuti kajian logikanya. Dalam kelas logika ini saya mengundang beberapa MABA untuk mengikutinya. Tiba-tiba saja saya mendengar banyak kawan-kawan saya melarang untuk mengajak MABA dengan alasan “itu (kajian logika) masih sangat berat bagi maba. Yang harus kamu kasih (ajari) mestinya dinamika organisasi dan kampus.” Saya dengan sesal menjawab, “bagi saya, dinamika organisasi dan kampus lebih berat dan sangat kompleks. Dan sebagai dasar untuk maba haruslah diajari cara berlogika yang baik dan benar. Sehingga dalam melihat dinamika organisasi dan kampus, maba yang sudah mengikuti kajian logika bisa dengan mudah memahaminya. Tanpa kita ajari, karena dinamika organisasi dan kamus adalah dinamika individu-individu yang berfikir.” Akhirnya saya dan sebagian yang mau ikut bergabung menuju lokasi kajian merasakan sedikit sesal

Tidakkah kita pernah membaca, atau sedangkalnya mendengar orang-orang mengatakan bahwa ibunya pengetahuan adalah filsafat. Di sana letak kebijaksanaan. Sejatinya filsafat adalah dialog. Dialog ini terbagi dua, internal dan eksternal. Dialog internal, biasa kita dengar dengan istilah perenungan. Aktifitas ini sudah dilakukan oleh pendahulu, tetuah, dan para tokoh bangsa kita. Perenungan, sebagaimana yang di ajarkan Nabi Muhammad saat dia melakukannya di gua hira. Nabi dalam kesunyian yang dialami dalam gua hira mencoba mencari jalan keluar dari kajahiliaan Kota Makkah saat itu. Dengan hati dan pikiran yang tenang difokuskan mencari akar permasalahan, suara Jibril pun mengagetkan Beliau.  “Iqro” ucap Jibril. Saya hanya ingin menggambarkan betapa filsafat memberikan jeda bagi manusia untuk merenungi makna sebuah kehidupan. Apalagi di era hujan informasi ini kita sangat perlu untuk jeda bermandi dengan informasi-informasi yang sejatinya mendangkalkan nalar kita. Maka sangat diperlukan perenungan. Filsafat menyuruh kita untuk merenung. Mancari kebijaksanaan.

Dengan phobia filsafat ini jelas kampus tidak menyediakan ruang untuk saya berenung. Setelah dilakukan dialog internal, selanjutnya mesti dilakukan dialog eksternal. Di tahap inilah yang agak rumit bagi saya. Saya harus mendialogkan apa yang saya dapatkan dari perenungan yang telah saya lakukan pada orang lain. Terkadang orang yang saya temani menganggap saya bodoh dan gila. Apa boleh buat, sejarah membuktikan orang-orang yang selepas perenungan acap kali dianggap gila jika ia mengutarakan hasil perenungannya. Di sinilah letak phobia filsafat itu terjadi. Mereka takut gila seperti saya. Maka dengan lantang Michel Foucault bertanya pada mereka yang merasa waras, apa indikator seseorang itu bisa dikatakan gila?

Jika, Anda berada di kelompok orang yang Anda anggap gila, dan Anda sendirian di dalam kelompok itu. Pertanyaannya, siapakah yang akan di sebut gila? Anda kah? Atau kelompok orang gila itu? Bayangkan sendiri. Jika indikatornya adalah mayoritas, maka betapa bodohnya kita hari ini.

Saya lupa jelaskan pada awal tulisan, bahwa maksud tulisan saya ini salah satunya mengkritik si pengkritik(mahasiswa). Sama halnya Kant, mencoba mengkritik akal budi dengan akal budi. Jadi saya mengkritik mehasiswa dari pandangan mahasiswa. Karena saya juga mahasiswa. Jika si pengkritik (mahasiswa) enggan untuk dikritik, lagi-lagi saya tegaskan “bahwa benar kampuslah yang menelurkan para anti kritik dan penindas.”

Saya memberikan ruang bagi tulisan ini untuk salah dan kritik dari sidang pembaca yang budiman. Tapi saya hanya menerima kritikan dengan membuat tulisan tandingan dari kisah yang saya tuliskan di sini. Kenapa demikian, persoalannya ucapan hanya akan terbawa angin. Besok atau lusa, kritikan (ucapan) tidak meninggalkan apa-apa kecuali kebisuan. Dan bagi orang yang merasa tersinggung dengan tulisan saya, saya siap untuk berdialog lewat tulisan.

Baiklah, saya kira sampai di sini. Sidang pembaca yang budiman, jika Anda menemukan keempat poin di atas dalam dunia kampus dan organisasi mahasiswa, segeralah Anda menghindar sebab di sana kedunguan sedang menyebarkan virusnya. Saran saya, “rawatlah akal sehat Anda dengan membaca, dan awetkan ide Anda dengan menulis. Jika demikian maka Anda sudah menemukan cara untuk hidup abadi.”

Chairil Anwar berucap dalam syairnya “aku ingin hidup seribu tahun lagi.” Bukankah dari menulis kita dapat melakukan itu?

 

Sumber gambar: http://bosgalang.blogspot.co.id/

  • Bagi penyuka hari libur, angka merah – kadang juga hijau, tapi lebih populer dengan istilah “tanggal merah”– di kalender adalah waktu yang paling dinanti. Dan, di pekan pertama bulan Mei 2016, benar-benarlah berkah bagi banyak orang. Soalnya, pada tanggal 5-6, diganjar sebagai hari libur nasional. Latar penetapan libur itu, dutujukan sebagai peringatan akan dua peristiwa…

  • Kelas dimulai dengan suara abaaba Hajir, itu tanda forum dibuka. Setelah mengucap beberapa kata, orang pertama yang membacakan tulisannya adalah Asran Salam. “Cinta Seorang Kierkegaard,” begitu Asran Salam mengucapkan judul tulisannya. Agak lama ia mengeja tulisannya. Sekira hampir sepuluh menit. Setelah itu, satu persatu mata mempelototi naskah yang dibagikannya. Hal ini adalah kebiasaan yang sudah…

  • Tidak banyak insan yang mengisi hari libur dengan berbagi kepada sesama. Sebab, bagi kebanyakan orang, liburan adalah buat keluarga, atau setidaknya, menjadi ajang memanjakan diri, mengurus soal-soal pribadi. Tapi, bagi empat pembicara di Seminar Nasional yang bertajuk: “Narasi Kepustakawanan dalam Gerakan Literasi”, yang diselenggarakan oleh IKA Ilmu Perpustakaan dan HMJ Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, memilih…

  • Ada apa dengan angka  60 (enam puluh)? Yang jelas, tidak ada kaitan erat dengan film  Ada Apa dengan Cinta (AADC)2, yang lagi ramai diobrolkan dan penontonnya masih antrian mengular. Pun, angka 60 ini, bukan merupakan usia kiwari saya, sebab saya masih harus melata sebelas tahun untuk tiba di angka itu. Semuanya bermula dari rilis yang…

  • Orangorang berkumpul hanya ingin banyak berbicara, orangorang menepi hanya untuk menulis.  Suatu tindakan harus dimulai dengan satu kemauan, sekaligus karena itu di baliknya perlu ada seribu kesabaran. Kelas literasi PI, awalnya bukan mau menyoal jumlah. Pertama kali dirintis, kalau tidak salah ingat, kelas dibangun berdasarkan visi gerakan. Sementara logika gerakan bukan mengutamakan jumlah. Itulah sebabnya…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221