Rasa Lapar dan Agresivitas Manusia

Tahun 1950, 32 orang menjadi subjek penelitian tentang pengaruh rasa lapar. Eksperimen ini dilakukan selama 6 bulan oleh Keys dan kawan-kawannya. Tujuannya demi melihat kepribadian seseorang ketika rasa lapar menghinggapi. Selama masa pengamatan, ternyata orang-orang yang dibiarkan mengalami rasa lapar banyak mengalami perubahan kepribadian berupa mudah gusar, sukar berbaur, dan tidak bisa berkonsentrasi.(1)

Yang mengejutkan, disebutkan selama mendekati akhir penelitian, perbincangan subjek banyak didominasi oleh makanan dari pada tema pembicaraan lainnya. Bahkan, di dalam mimpi, makanan menjadi bunga-bunga tidur yang paling dominan.

Memang kebutuhan biologis salah satu faktor yang paling banyak mendominasi perilaku manusia. Sama halnya kebutuhan terhadap seks dan lainnya, manusia banyak didorong kebutuhan biologisnya untuk menunjang aktivitasnya.

Kesimpulan sederhana yang bisa ditarik dari eksperimen di atas, manusia begitu gampang mengalami perubahan kepribadian jika dirinya mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhannya. Rasa lapar, misalnya, merupakan sebab utama mengapa orang mudah gusar dan sukar berkonsentrasi.

Bahkan, seluruh isi pembicaraan, sangat banyak dipengaruhi oleh kebutuhan pokok akibat tidak dapat dipenuhi. Jadi seperti yang ditemukan dalam penelitian Keys, orang-orang yang mengalami rasa lapar, isi pembicaraannya banyak dipengaruhi makanan sebagai bahan perbincangannya.

Di arena filsafat, atau lebih tepat psikoanalisis, Sigmund Freud menyatakan semua ungkapan kebudayaan manusia pada hakikatnya merupakan representasi libido. Termasuk bahasa percakapan, merupakan arena libido untuk dapat disalurkan. Dalam bahasa selalu terjadi tegangan antara hukum-hukum, norma, dengan id yang menjadi faktor paling dominan dari kesadaran manusia.

Itu sebabnya, dalam bahasa percakapan, manusia sering kali mengalami keseleo lidah atau salah ucap akibat tarik-menariknya id yang liar dengan kebudayaan yang teratur. Dalam kasus ini, dapat dikatakan melalui bahasa percakapan, libido manusia seringkali menunjukkan dirinya di antara aturan logikal yang mengaturnya.

Yang menarik dari Freud, akibat id yang tidak dapat dibendung dan tidak dapat disalurkan dengan baik, maka dapat melahirkan rasa frustasi atau sikap agresif.  Sebagaimana air mendidih akan meluber kemana-mana jika tidak diberikan katup pengaman ketika mencapai suhu seratus derajat. Id, akibat menganut prinsip kesenangan, menurut Freud tidak serta merta dapat merasakan kepuasaan walaupun sudah menemukan objek hasratnya. Id, selama-lamanya tidak akan pernah terpuaskan.

***

Masa kekinian, hampir semua relasi antara komunitas dan kelompok masyarakat banyak mengalami tegangan akibat praktik interaksi yang timpang. Hubungan normatif yang diikat nilai bersama menjadi renggang disebabkan interaksi sosial bukan lagi diproduksi secara bersama, melainkan produk sempit kelompok-kelompok tertentu.

Praktik interaksi sosial tidak lagi didasarkan kepada fungsi rasionalitas yang mengedepankan solidaritas, melainkan lebih banyak didorong rasa sentimen yang berlebihan. Imbasnya relasi interaksi tidak lagi mencerminkan kecerdasan orang yang bersangkutan, tapi malah sebaliknya, justru menjadi cermin sikap agresif dan mudah gusar.

Frustasi dan agresivitas, belakangan, banyak ditemui dari praktik interaksi yang saling menyakiti. Ibarat kehilangan kendali, suasana patologis ini tidak tanggung-tanggung merusak kesantunan dan kesopanan yang selama ini menjadi modal sosial bersama.

Tidak mungkin dapat sepenuhnya dikatakan benar bahwa agresivitas dan rentannya rasa frustasi belakangan ini akibat rasa lapar yang menghinggapi tubuh masyarakat. Tapi sebagai suatu pembacaan sederhana, “rasa lapar” akibat banyaknya hambatan-hambatan yang tidak dapat dipenuhi, barangkali memang menjadi penyebab utama keagresifan dan kegusaran massal terjadi.

Rasa lapar dalam kategori yang lain memiliki banyak wujud. Dalam kancah politik, agresivitas menyakiti kelompok lain kemungkinan besar imbas rasa lapar terhadap kekuasaan. Kekuasaan dan jabatan seperti mesin hasrat yang tidak habis menciptakan dahaga berkepanjangan. Karena dorongan rasa lapar terhadap kekuasaan, jamak ditemukan dalam tubuh masyarakat, watak orang-orang seperti yang digambarkan Thomas Hobbes: homo homini lupus.

Dalam ranah budaya, agresivitas dan kegusaran imbas dari rasa lapar atas kesenjangan terhadap nilai budaya. Banyak orang-orang bersikap agresif akibat “kelaparan” yang disebabkan budaya konsumerisme. Imajinasi produk-produk yang dikonsumsi melalui simbol dan tanda tidak dapat memberikan efek apa-apa kecuali kerakusan dan sikap agresif membeli apa saja tanpa henti.

Di bidang hukum, fenomena saling lapor merupakan penggambaran rasa “lapar” terhadap keadilan yang tak kunjung datang. Semakin agresifnya hukum dijadikan senjata saling serang, adalah tanda agresivitas bukan saja penyakit psikologis yang semata-mata menyerang aspek psikis. Fakta saling tuduh, saling menyalahkan, saling melapor, merupakan sikap agresif yang memanfaatkan hukum positif sebagai tameng menutupi kesalahan-kesalahan yang diperbuat.

Sementara di tingkat yang lebih sublim, agresivitas yang jamak ditemui berkat terhambatnya dan semakin besarnya tekanan psikologis dalam kehidupan sehari-hari. Semakin kuatnya tekanan hidup dan tidak dapat terpenuhinya id melalui saluran yang dibolehkan secara sosial, akhirnya ikut melipatgandakan sikap agresif yang tidak dapat dikendalikan.

Bukan saja itu, dalam praktik berbahasa, agresivitas banyak mengemuka dari kata-kata yang mengandung rasa amarah dan sentimen. Praktik berbahasa tidak lagi berjalan sebagaimana fungsi bahasa itu sendiri, yakni sebagai media kesalingpengertian, tapi justru menjadi alat pemecah solidaritas. Bahasa, di kekinian, tidak lebih jauh digunakan hanya untuk menyalurkan hasrat kelaparan atas dendam dan rasa benci.

Dalam praktik berbahasa, hoax, misalnya, adalah akibat dari hilangnya kosentrasi yang disebabkan rasa “lapar”. Kurangnya asupan informasi yang bergizi dan bermanfaat menjadi sebab rasa lapar dapat terjadi. Di sisi lain, merebaknya hoax, menandakan betapa besarnya kebutuhan masyarakat atas informasi yang sehat dan bermanfaat imbas rasa frustasi yang selama ini terjadi.

Hatta, dari fenomena di atas, nampaknya kita perlu melakukan penelitian sederhana, terutama bagi diri sendiri sebagai subjeknya: apakah semua yang kita lakukan merupakan pantulan dari rasa lapar? Jika iya, apa yang membuat kita merasa lapar? Kekuasaankah, nama baik, kekayaan, kemenangan, ketenaran? Seberapa dahagakah saya terhadap itu semua? Jika iya, pasti Anda mudah gusar dan berlaku agresif jika semua itu belum dapat Anda peroleh.

(1) Psikologi Komunikasi, Jalaluddin Rakhmat.

Sumber gambar: stranger-publish.blogspot.co.id

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221