Baba Cangkeng, Imlek, dan Pemaksaan Iman

Gong Xi fa Chai, Selamat Hari Raya Imlek , Selamat Tahun Baru China 2568. Ungkapan-ungkapan itu, hanyalah sebagian dari pernyataan akan perayaan Imlek, yang jatuh pada Sabtu, 28 Januari 2017. Imlek tahun ini, yang didasarkan pada penanggalan ribuan tahun sebelumnya, disebut sebagai Tahun Ayam. Dan, seperti tahun-tahun sebelumnya, saya selalu menaruh perhatian setiap kali Imlek tiba. Salah satunya, menyusuri kawasan Pecinan di Kota Makassar. Terkadang, berboncengan motor dengan anak, sembari memberikan kuliah singkat tentang, tema-tema penting yang berkaitan dengan etnik Tionghoa. Bila saja ada pertanyaan yang lebih serius, saya menawarkan buku untuk didaras, Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar Dari Abad Ke-17 Hingga Ke-20, karangan Yerry Wirawan.

Buku tersebut hanyalah salah satu buku yang ada pada pojok surga, ruang baca, di mukim saya. Setidaknya, saya mengoleksi buku yang berkaitan dengan topik Tionghoa ini, lebih dari 20 judul. Dan, salah satu buku yang menarik perhatian saya, untuk saya eja ulang, buku Spirit Khonghucu Modal Sosial Dalam Merenda Kebangsaan. Buku yang ditulis oleh para peneliti ini, yang diantaranya adalah seorang peneliti dari Litbang Kemenag Sul-Sel, Sabara Nuruddin, yang ketika meneliti di Bantaeng, saya ikut mendampinginya. Hasil penelitiannya, kemudian dituangkan dalam buku ini, dengan judul, “Khonghucu di Butta Toa: Pendar Lampion yang Tinggal Setitik.”

Timbulnya hasrat untuk merapal ulang buku itu, gegara saya kembali berkeliling dengan motor, menandangi kawasan Pecinan pada Sabtu sore, hingga malam. Setiba di mukim, pikiran saya teringat pada Baba Cangkeng di Bantaeng, yang bulan lalu saya masih sempat sapa, kala duduk di kursi rodanya, pada teras ruko, yang sekaligus berfungsi sebagai warungnya. Apa yang menyambung rasa saya pada Baba? Hanyalah batang-batang tebu beserta daunnya, yang berdiri tegak pada pintu rumah  kaum Tionghoa, yang saya lihat dan asap bau dupa yang meliuk-liuk menyampaikan pesan spiritual, ketika saya menaklukkan kawasan Pecinan Makassar.

Sembari membaca buku hasil penelitian Sabara, perlahan-lahan daun-daun ingatan berjatuhan di lintasan imajinasi saya. Ada bayangan yang kuat menghidu jalan pikiran saya, atas potret perjalanan hidup dan kehidupan Baba Cangkeng, yang kini usianya sudah sepuh, bahkan dia saat ini, mungkin satu-satunya sepuh Tionghoa yang masih menjalani sisa jatah usianya. Apatah lagi, kini ia hanya bisa duduk di kursi roda, sebab salah satu kakinya telah diamputasi. Pun, istrinya telah berpulang tahun lalu. Di usia senjanya, ia tetap menyapa orang-orang yang datang ke warungnya, “Rumah Makan Sederhana” yang usia warung itu sepadan dengan usia saya, yang jelang setengah abad.

Dari penuturan Effendi Sinyo – nama KTP-nya Baba Cangkeng – yang tertuang dalam buku hasil penelitian itu, terkuaklah banyak hal tentang dimensi-dimensi kehidupannya selaku warga negara beretnik Tionghoa, dalam persentuhannya dengan perjalanan ke-Indonesia-an negeri ini. Silih bergantinya penguasa, yang juga berpengaruh langsung atas nasib kaumnya, mulai dari pusat kekuasaan hingga ke pelosok negeri, semisal di Bantaeng. Patut untuk diketahui, bahwa salah satu kabupaten yang mempunyai kawasan Pecinan di Sul-Sel, selain Makassar, adalah Bantaeng. Dan, saya selaku anak bangsa yang lahir dan bertumbuh di Bantaeng, amat terbiasa dengan pola interaksi bermasyarakat dengan kaum Tionghoa. Makanya, tatkala saya mukim di Makassar, salah satu cara merawat keindahan kenangan, jika Imlek tiba, berwisatalah saya ke kawasan Pecinan Makassar.

Saat Baba Cangkeng berbicara tentang Khonghucu, menurutnya, ada dua pandangan. Pertama, yang menganggap Khonghucu sebagai agama, yang dipeluk oleh kebanyakan generasi sepuh. Sebagai agama yang dianut, berkonsekuensi langsung pada penegakan pada ritus-ritus yang diperintahkan, tepatnya melakukan sembahyang. Kedua, yang sekadar menganggap Khonghucu sebagai tradisi nenek moyang, serupa etika yang bisa disinkretikkan dengan agama yang dianut. Puncak pergulatan iman pada diri Baba Cangkeng, tatkala penguasa Orde Baru, menerapkan Inpres terkait UU. Nomor 14 tahun 1967 dan SE Mendagri Nomor 477/4054 tahun 1978, yang maksud pokoknya tidak mengakui Khonghucu sebagai agama resmi.

Agama Baba Cangkeng pun dipaksa berubah. Iman pun harus berganti. Dan, demi keselamatannya, ia mencantumkan agama Budha di KTP-nya. Anak-anak dan keluarga lainnya, dipersilakan memilih agama yang diingini. Konversi agama terjadi secara massal di Indonesia. Baba Cangkeng hanyalah salah satu korban dari Inpres dan SE Menteri. Sewaktu saya dan kawan peneliti mengunjunginya, dan menanyakan secara tegas prihal agama Khonghucu ini, dengan lugas tiada beban ia menjawab, “Saya tetap menganut Khonghucu.” Sikap terbukanya itu, dikarenakan oleh dicabutnya aturan larangan sewaktu Gus Dur (Abdurrahman Wahid) menjadi presiden. Selagi dalam suasana pelarangan, biasanya umat Khonghucu bersembayang secara tertutup dan hanya di tempat tertentu.

Di era kiwari ini, umat Khonghucu sudah bebas melaksanakan ritus-ritus peribadatannya. Salah satunya adalah Imlek. Patut dipahami, bahwa Imlek bertautan langsung dengan tradisi Khonghucu, sebab perayaan ini ditujukan untuk memperingati kelahiran Kong Zi (Khonghucu). Kaum Tionghoa, baik yang menganggap Khonghucu sebagai agama, maupun sebagai tradisi nenek moyang semata, semuanya tumpah ruah dalam kegembiraan perayaan Imlek. Sejak pemerintahan Gus Dur, Imlek dirayakan secara terbuka, terang-terangan, sangat meriah, amat tenang dan tentram. Rupanya, Imlek adalah jalan kembali untuk merajut tali persaudaraan kaum. Lebih dari itu, Imlek juga sudah menjadi peristiwa budaya. Pembagian Angpao dan pertunjukan Barongsai, yang bisa dinikmati oleh warga bangsa lainnya. Waima, belakangan ini, sentimen anti China bagi sebagian kecil anak negeri, membuncahkan kesunyatan.

  • Bara di Dada Pertiwi Di tepian pantai kusaksikan anak-anak angin dengan riangnya berdansa memainkan alismu. Kau tertidur di atas bangkai perahu reyot. Kebayamu yang lusuh, koyak. Payudaramu yang memabukan iman, tampak oleh mataku. Pertiwi. Rupanya, kau baru saja ditindih dagingmu sendiri. Daging yang kau pangku selama tujuh puluh satu tahun tanpa Ayah. Entah, siapa ayahnya?…

  • Beberapa hari lalu, saya menulis satu respon dan koreksi terkait tak mampunya orang kebanyakan memahami metafor, perumpamaan, dan pesan-pesan implisit (baca di sini). Itu saya tulis selepas melihat satu kiriman di linimasa Facebook yang terkesan menggugurkan pesan “menginjak atau membakar kitab suci itu sama sekali tidak menghina Tuhan, dst…” dengan menyamakannya dengan kasus “bagaimana kalau…

  • Cermin benda yang bermanfaat dalam kehidupan praktis manusia. Cermin bagi dunia mode, misalnya, merupakan salah satu perkakas yang paling elementer. Tanpanya, sang pesolek tak mampu melihat bayangan dirinya. Apakah sempurna atau tidak, semuanya bergantung kepada cermin. Seperti sang pesolek, masyarakat umum juga membutuhkan cermin agar bisa menunjang penampilannya. Tak bisa dipungkiri, mulai dari anak sekolahan…

  • Seekor kelabang menggelitik punggungnya. Lima jarinya meraba, ternyata bukan hanya satu. Ada dua. Tidak, ada tiga, empat, dan serasa punggungnya dipenuhi kelabang. Serentak, binatang berkaki berjibun ini menyuntikkan bisanya di punggung Lajana, menyisakan jerit yang lebih serupa lolongan, dan lebam-lebam biru kehitaman di seluruh punggungnya. Nyeri yang melanda, membuatnya bermandi keringat. Dia meringis sejadi-jadinya, dan…

  • Biasanya, begitu memasuki bulan November, segera saja saya beromantis ria, dengan memutar berulang kali, tembang lawas dari Black Brothers, yang berjudul, Kenangan November, yang potongan syairnya, “Terlalu cepat pertemuan ini // terlalu cepat pula perpisahan // namun kenanganku denganmu // di awal Nopember yang biru.” Namun, November kali ini agak lain, saya menyebutnya November yang…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221